"Baiklah, besok Shaka usahakan ke rumah paman," ucap Shaka pada akhirnya. Menepis kekhawatiran Tsabi yang begitu kentara. "Tapi, saya datang bersama Tsabi paman," sambung pria itu kali ini harus melibatkan istrinya dalam bentuk apa pun. Shaka tidak ingin Tsabi merasa khawatir di rumah lantaran menunggu dirinya. Atau kejadian seperti kemarin yang menyebabkan istrinya salah paham. "Terserah, tapi paman sarankan kamu datang sendiri, karena ini akan memakan waktu yang mungkin tidak sebentar. Bisa saja kan istrimu bosan.""Dia akan lebih bosan kalau menunggu Shaka di rumah. Benarkan sayang?" kata Shaka mengalihkan tatapannya pada Tsabi. Perempuan itu mengangguk, hatinya merasa lega setelah berkeinginan untuk mengajaknya. Walaupun ada rasa takut yang mendalam, tetapi keputusan Shaka membuat hatinya menghangat. Merasa dianggap ada dan selalu dilibatkan dalam urusannya. Sementara Angel, nampak kurang suka dengan perubahan Shaka dan sikap harmonis pria itu. Dua benar-benar telah kehilangan
"Sayang, aku ke masjid dulu ya, kalau di rumah takut sendirian, kunci saja pintunya. Jangan menerima tamu kalau tidak dikenal," pesan Shaka begitu mendengar suara adzan isya. Pria itu bersiap-siap untuk jamaah di masjid terdekat. Pertama kali meninggalkan Tsabi di rumahnya sendiri, membuat pria itu mewanti-wanti. "Iya Mas, nanti selesai langsung pulang kan?" tanya Tsabi agak takut juga. Kalau malam suasananya sepi. Hanya sesekali terdengar suara kendaraan berlalu-lalang karena rumahnya pas dekat jalan raya. "Iya, langsung pulang kok, udah nggak sabar ya," ujarnya setengah meledek. Dikaitkan dengan hal lain. "Apaan sih, bukan gitu, sepi kalau kamu nggak di rumah," ujarnya malu-malu. Pipinya mendadak panas disinggung soal lainnya. Otaknya langsung terhubung saja dengan hal lain. Shaka mengulurkan tangannya, Tsabi masih diam ragu untuk menyambutnya. "Kan udah wudhu, Mas," katanya mengingatkan. Barang kali suaminya lupa. "Nanti di sana wudhu lagi. Nggak apa kan kalau sekarang pamit
"Buka mulutmu sayang, makan dulu," bujuk Shaka hendak menyuapi istrinya. "Aku bisa makan sendiri Mas," ujar perempuan itu semakin mrengut. Namun, membuka mulutnya juga saat Shaka menyodorkan sendok yang sudah terisi. Pria itu menanti dengan sabar. "Dari tangan aku lebih enak, mumpung Zayba juga sudah lelap, saatnya ummanya yang makan," katanya tersenyum manis. Tsabi menerima suapan demi suapan dari tangan suaminya. Perlahan isi piring itu berkurang hingga membuat Shaka merasa senang. Lucu sekali, katanya tidak mau, tapi lahap juga. "Kamu makan juga, dari tadi aku terus," kata Tsabi bergantian mengambil sendok di tangan Shaka. Lalu menyuapi suaminya yang kini tersenyum menatapnya. "Jangan menatapku begitu, aku makannya banyak kan.""Emang harus banyak, kan buat Zayba juga. Kalau ummanya sehat, asinya lancar, adek juga pasti senang. Keduanya bahagia.""Abinya ikut senang nggak?""Iya dong, kan ditransfer senyuman setiap hari. Apalagi dari istriku yang cantik ini. Hehehe.""Kamu sek
"Maaf sayang, tadi beneran lupa," kata Shaka berusaha menenangkan istrinya yang nampak khawatir setelah sesi panas mereka. "Kamu gimana sih, kan Zayba masih kecil. Kalau beneran jadi gimana?" protes Tsabi ambyar. "Nggak apa, baru sekali belum tentu juga kan. Kenapa sekhawatir ini, toh ada suaminya. Aku pasti tanggung jawab lahir batin.""Bukan itu masalahnya, kamu nggak ngerti," katanya beringsut turun dari ranjang. Merasakan sesuatu yang sangat tidak nyaman di inti tubuhnya. Perempuan itu mendesis lirih, berjalan pelan beranjak dari ruangan. "Tsa, sakit?" tanya Shaka menyusulnya. Tahu betul aktivitas menakjubkan yang baru saja terjadi menimbulkan efek yang tak biasa bagi keduanya. Terutama Tsabi yang merasa lelah dan butuh perhatian lebih. Ibu dari satu anak itu menggeleng tanpa menyahut, jelas sekali berbohong. Wajahnya menyiratkan kalau istrinya merasakan sesuatu yang luar biasa. "Maaf, tadi nggak ada maksud," katanya sembari mengangkat tubuh istrinya begitu saja. Tsabi terk
Tsabi terjaga saat mendengar rengekan Zayba. Perempuan itu langsung membuka matanya, lalu menyingkirkan tangan Shaka yang melingkar indah di pinggangnya. "Haus ya sayang," gumam wanita itu seraya menimangnya. Langsung memberikan ASI dari sumbernya. Beberapa kali Tsabi menguap, terkantuk-kantuk sembari menyusui putrinya yang nampak langsung diam menikmati sumber air kehidupannya. "Sayang, Zayba bangun?" tanya Shaka ikut terjaga. Menyadari guling hidupnya telah hilang, dia langsung membuka mata. "Hmm," jawab Tsabi hanya dengan gumaman. Shaka mengamatinya seraya berbaring, tangannya terulur memeluk kaki atas istrinya. Sementara Tsabi baru saja melepas miliknya dari bayi mungilnya. Lebih dulu menyendawakan sebelum akhirnya kembali membaringkan Zayba di sampingnya. Tsabi tidak mengembalikan ke ranjang baby, melainkan membaringkan Zayba di dekatnya. Memeluk dengan nyaman, hingga bayi itu lelap kembali. Shaka juga sama, ikut merapat mempertemukan tubuh dan punggung istrinya tanpa seka
"Aku kira kamu tidak akan datang memenuhi undangan paman," kata pria paruh baya itu menyambut kedatangan Shaka. Ia beralih menatap Tsabi di sebelah Shaka dengan dingin. "Aku pasti datang, paman, bukankah memenuhi sebuah undangan itu suatu keharusan," jawab Shaka santun. Menunduk hormat, diikuti Tsabi mengatupkan kedua tangannya sopan. Kali ini dia tidak membawa Zayba, sengaja menitipkan ke ummi karena memang ada urusan menemani Shaka. Mereka akan menjemputnya nanti usai dari bepergian. "Ya, kamu benar, silahkan duduk Shaka, walaupun kamu agak terlambat sedikit dan membuat paman menunggu, tapi tidak masalah. Paman mentolerir hal itu.""Terima kasih paman," jawab Shaka sembari membimbing istrinya agar duduk di sebelahnya. Seorang pelayan nampak langsung menjamu pasangan yang baru datang itu. "Shaka, apa kamu butuh pengawal, kenapa sekarang ke mana-mana terlihat membawa Tsabi?" tanya paman kurang respect dengan gadis di sampingnya, yang menurutnya membawa pengaruh besar bagi Shaka.
Shaka langsung menuntun Tsabi pamit. Keluarganya benar-benar keterlaluan membahas hal se sensitif ini di depan istrinya. Apakah mereka tidak punya perasaan? Tidak tahu saja bagaimana perjuangan Shaka untuk mendapatkan Tsabi kembali. Hanya orang bodoh yang mau menuruti kemauan mereka. "Shaka!" Angel berjalan cepat menghampiri keduanya yang melangkah keluar. Langkah Tsabi dan juga Shaka terhenti. Pria itu tak melepaskan tautan tangannya sedikit pun. Menoleh hingga menghadap wanita yang sudah Shaka anggap sebagai saudaranya. "Maaf Ka, kenapa pergi begitu saja. Janganlah diambil hati perkataan ibumu. Dia bahkan datang jauh-jauh hanya niat pulang ingin melihatmu. Tidakkah kamu ingin berdamai dengannya.""Maaf Angel, aku tidak bisa memenuhi permintaan mereka. Aku juga tidak akan memberikan harapan apa pun. Aku menghormati kamu, mommy, dan juga paman. Mereka adalah keluarga, tapi jika berniat menghancurkan rumah tanggaku, maaf, sekali lagi, aku tidak akan lagi berurusan dengannya.""Tante
"Zayba sudah bobok? Digendong saja, pulang sayang," ujar Shaka mengkode istrinya. "Iya Mas, bentar." Tsabi menuju kamar ibunya. Baby Zayba bobok di kamar utinya. "Ummi, Tsabi mau pulang, maaf jadi ngerepotin sampai malam," ujar perempuan itu menemuinya ke kamar. "Kenapa nggak nginep saja Tsa, kasihan Zayba lagi lelap," kata Ummi menyayangkan. Cucunya seperti anak bontot, sudah sehati, saat mau kembali, Ummi mendadak kesepian. "Besok-besok main lagi ummi, sekarang pulang dulu," kata Tsabi pamit. Perempuan itu menggendong Zayba yang masih lelap. Pamit dengan orang-orang rumah. "Hati-hati di jalan sayang, kalau perlu bantuan ummi buat jagain Zayba, jangan sungkan. Ummi banyak waktu," katanya berpesan. Tsabi mengangguk mengiyakan, tak lupa memberikan buah tangan yang tadi sempat dibeli Shaka. Keduanya pulang cukup malam. "Kangen banget sama bayi mungilnya abi." Shaka mencium lebih dulu bayi mungil dalam gendongan istrinya sebelum menyalakan mesin mobil. "Ish ... jangan digemesin M
"Tapi apa Mas?" Tsabi yang penasaran langsung mencicipinya. Tidak ada masalah, rasanya juga cukup enak. Namun, ia sedikit eneg ketika mendapati isian bawang bombainya."Hehehe. Seharusnya kamu bikin lebih banyak lagi. Aku suka, kalau ukurannya kecil gini kurang sayang.""Ish ... bikin worry saja. Habisin semuanya Mas, aku kenyang.""Kapan kamu makan?" Sedari bangun Shaka belum melihat istrinya mengisi perutnya."Lihatin kamu udah kenyang. Aku belum lapar, udah minum susu tadi," jawab Tsabi benar adanya."Sini aku suapin," ujar pria itu membagi sisa gigitannya.Sebenarnya Tsabi agak mual dengan bawang bombay, tetapi isian itu kurang menarik tanpa umbi satu itu.Tsabi baru mengunyah beberapa suapan, tetapi dia merasa semakin eneg. Wanita itu langsung beranjak dari kursi seraya menutup mulutnya.Shaka yang melihat itu langsung berdiri menyusul. Paling tidak bisa melihat istrinya dalam kesusahan."Sayang, maaf, kamu beneran mual?" ucap pria itu iba. Kasihan sekali melihat Tsabi yang menda
"Kamu juga capek kan Mas, kenapa mijitin?" tanya wanita itu sembari menyender di kepala ranjang. "Lelahku hilang saat melihat senyum kamu sayang," ujar Shaka jujur. Sedamai itu ketika menatap wajahnya yang teduh. Selalu menenangkan. "Bisa aja kamu Mas," jawab Tsabi tersenyum. Ditemani gini saja sudah mengembalikan moodnya. Apalagi dipijitin begini, sungguh Mas Shaka suami yang romantis dan pengertian. Perlahan netra itu mulai berat. Seiring sentuhan lembut yang mendamaikan. Tsabi terlelap begitu saja. Melihat itu, Shaka baru menyudahi pijitanya, dia membenahi posisi tidur istrinya agar lebih nyaman. Sebenarnya ada hasrat rindu yang menggebu, apalagi memang pria itu sudah beberapa hari tak berkunjung. Namun, nampaknya waktu dan keadaan kurang memberikan kesempatan. Tsabi juga terlihat lelah akibat aktivitas seharian di luar. Shaka akan menundanya besok sampai waktu memungkinkan. Agar keduanya sama-sama nyaman. Terutama Tsabi yang saat ini tengah hamil muda. Kadang moodian. Shaka h
"Nggak jadi aja ya, perasaan aku nggak enak," kata Shaka yang sebenarnya takut kalau nanti istrinya bakalan sakit hati lagi. "Kenapa, kalau dia nggak mau ketemu sama aku, mungkin mau dijengukin kamu. Kita bisa bawakan makanan kesukaan Angel dan mukena. Aku yakin dia mau berubah. Kita tidak boleh memusuhinya Mas.""Kenapa sih kamu jadi orang baik banget. Dia udah jahat banget loh sama kamu, sama keluarga kita. Wajar kan kalau pada akhirnya aku nggak respect.""Sangat wajar, itu namanya naluriah. Ketika seseorang disakiti terus membalas. Aku cuma mau kasih ini Mas, mana tahu dia bisa terketuk hatinya untuk melakukan kebaikan.""Oke, nanti aku antar," ucap Shaka pada akhirnya. Mereka benar-benar mengunjungi Angel yang saat ini dalam tahanan. Akibat perbuatannya, Angel harus menerima sanksi berat. Mendapatkan kurungan yang tak sebentar. Karena mencoba melakukan penganiayaan dan juga pembunuhan."Ngapain kalian ke sini? Puas lihat aku di sini seperti ini," sentak Angel menatap sinis pasu
Sepekan telah berlalu, tapi kesedihan nampaknya masih membekas di hati Shaka. Suasana hatinya beberapa hari ini sedang tidak baik-baik saja. Beruntung Tsabi adalah istri yang begitu perhatian dan pengertian. Wanita itu sangat sabar menemani suaminya yang dalam suasana duka.Hari ini pria itu sudah mulai beraktivitas kembali seperti biasanya. Toko dan bengkelnya juga sudah mulai dibuka kembali. Setelah sepekan tutup total karena dalam suasana berkabung. Ibunya memang belum meninggalkan banyak kenangan manis dengannya. Namun, sebagai seorang anak pasti sangat kehilangan ditinggalkan orang yang telah melahirkannya untuk selamanya. "Mas, ini ganti kamu hari ini," ujar Tsabi menyiapkan pakaian ganti suaminya. Walaupun beraktivitas di samping rumahnya, tentu Tsabi tak pernah lupa mengurusi pakaian suaminya juga untuk kesehariannya. Santai, tapi bersih dan tertata. "Makasih sayang," jawab Shaka memakainya begitu saja di depan istrinya. Sudah tidak tabu lagi. Bahkan menjadi pemandangan men
Tepat pukul lima sore hari Nyonya Jesy menghembuskan napasnya yang terakhir. Shaka sangat terpukul dengan kepergian ibunya. Pria itu tersedu sembari membacakan ayat-ayat suci di dekat ibunya. Tsabi mengusap lembut punggung Shaka setelah menyelesaikan surat yasin menutup doa ibu mertuanya. "Yang ikhlas Mas, biar mommy tenang," ucap Tsabi menguatkan. Dia tahu ini berat, hanya doa terbaik untuk almarhum mommy yang sekarang bisa ia lakukan. Wanita itu langsung menghubungi keluarganya. Ummi Shali, Ustadz Aka, dan Khalif serta beberapa orang abdi dalem langsung bertolak ke rumah sakit. Tentu saja untuk mengurus kepulangan dan juga pemakamannya. Beberapa orang lainnya nampak sudah bersiap menunggu jenazah pulang ke rumah duka. Suasana mengharu biru saat jenazah itu tiba dan hendak disholatkan. Ustadz Aka sendiri yang mengimaminya. Berhubung waktu belum terlalu malam, almarhum langsung dikuburkan malam itu juga. Tepatnya setelah sholat maghrib. Semuanya seakan berjalan begitu cepat. Padah
"Tsabi, apa yang terjadi sayang?" Ummi Shali dan suaminya langsung bertolak ke rumah menantunya begitu mendapatkan kabar dari Shaka. "Zayba jatuh Ummi, dia sepertinya sangat kaget," jelas Tsabi mengingat bocah kecil itu terlepas dari troli. Salah satu karyawan toko yang menggendongnya dan langsung mengamankan bayi itu. "Astaghfirullah ... Mas, cucuku gimana ini. Kita bawa ke tukang pijat.""Kenapa bisa sampai seteledor itu menjaga anak kecil. Bukankah kamu di rumah?""Tsabi tidak enak badan abi, tadi habis periksa. Aku nitip ke mommy, tapi malah ada musibah begini.""Kamu sakit?" tanya Ummi Shali menatap dengan serius. "Sakit, tapi sebenarnya—" Tsabi terdiam, agak ragu berkata jujur saat ini. Namun, bukankah kabar baik itu harus berbagi. "Sebenarnya apa?" tanya Abi Aka giliran yang menatapnya. "Zayba mau punya adik, Ummi," kata Tsabi malu dan ragu membagi kabar bahagia tersebut. "Kamu hamil lagi?" tanya Ummi cukup kaget. Baby Zayba belum genap satu tahun sudah mau punya bayi. Ba
"Ide menarik, boleh dicoba kalau nanti gagal.""Maaf ya, belum bisa bahagiakan kamu," ucap Shaka tiba-tiba. Baru saja mau bangkit, sepertinya ada saja halangannya. "Aku nggak ngerasa gitu kok, maaf juga kalau masih banyak mengeluh selama jadi istri kamu." Tsabi mencoba menerima dan bersabar dengan ujian yang datang dari keluarga Shaka. Dia juga harus bisa menerima keluarganya juga bukan. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Hampir satu purnama Angel menumpang di rumah mereka. Semua Tsabi lalui dengan tidak mudah. Karena wanita itu sering berulah dengan sengaja. Beruntung Shaka yang pengertian memperlakukan Tsabi dengan penuh perhatian. "Sayang, kamu pucet sakit?" tanya Shaka memperhatikan istrinya yang sepertinya kurang enak badan. "Agak pusing Mas, perlu minum obat kayaknya." Beruntung ini hari libur, jadi Tsabi tidak harus berangkat mengajar. "Ya sudah tiduran saja, mumpung libur juga. Tidak usah mengerjakan apa pun. Zayba hari ini full sama abi.""Makasih Mas," jawab
"Nggak bisa Mas, aku kan kemarin sudah izin. Kamu sarapan dulu ya, terus minum obat. Nanti biar Zayba sama Mbok Tini. Kemarin juga seharian sama Mbok Tini."Shaka yang tengah rebahan meraih pinggang istrinya agar duduk makin dekat. Pria itu memposisikan kepalanya tepat di pangkuan istrinya dengan manja. "Obatnya kamu," katanya sembari menenggelamkan wajahnya ke perut Tsabi. Tangan kanannya memeluk erat. Seolah tidak mengizinkan wanita itu untuk beranjak dari sisinya."Aku bikinin sarapan ya, terus minum obat.""Pingin sarapan kamu, yank, aku tidak semangat," kata pria itu mode rewel. Bisa begini juga ternyata cowok yang super dominan itum"Dih ... aku belum bersih lah. Tapi udah mau sembuh kok. Kamu kenapa jadi manja gini sih Mas. Nanti aku kabari kalau udah selesai.""Kangen, namanya juga kangen ya gini. Kamu cuek banget dari kemarin."Repot kalau suaminya mode rewel. Sakit sedikit manjanya ngalahin bayi. Tsabi tidak leluasa bergerak sama sekali. Tiba-tiba Zayba juga merengek. Tsab
"Kamu ngapain sih Mas ngikutin mulu, tidur sana!" omel Tsabi melihat suaminya mengekor dirinya. "Ya itu Zayba rewel, mana tahu kamu butuh bantuan.""Nggak, aku pikir kamu malah nggak ingat pulang," jawabnya ketus. Efek lelah dan juga tubuhnya sedikit tidak enak badan, membuat Tsabi sewot sendiri. "Kok ngomongnya gitu, aku pasti pulang lah. Ya walaupun akhirnya malam. Maaf, tadi ikut ngaji dulu.""Ya nggak pa-pa kan, aku juga nggak pernah ngelarang juga. Kamu mau ngapain aja terserah kamu. Lagian ada Khalif kok yang bisa bantuin ke mana-mana.""Memangnya tadi ke mana? Kamu nggak telpon kan?""Seharusnya kamu ingat memberi kabar. Bukannya nungguin aku hubungi kamu. Memangnya aku sempat apa telpan telpon terus Zayba sakit begini.""Zayba masih sakit?" Tsabi tidak menjawab, melainkan menatapnya dengan merotasi matanya jengah. Bukankah pria itu tahu tadi pagi juga Tsabi sudah mengeluh kalau bayinya sakit. Apa seorang pria tidak sepeka itu. Perempuan itu kembali masuk ke kamar seraya me