"Astaghfirullah .... " Tsabi berjingkat resah mendapati Shaka sudah di depan pintu belakang. Bukankah pria itu sudah berangkat ke kantor beberapa menit yang lalu. Raganya memang sudah melaju dari tempat itu, tetapi semua kawasan itu dalam genggaman Shaka. Pria berperawakan tegap itu bisa dengan muda memantau aktivitas Tsabi dari layar ponselnya yang terhubung dengan CCTV rumah. Jadi, sudah pasti pergerakan Tsabi terbaca secara jelas. Pria itu menatap penuh selidik, mata elangnya membisukan bibir Tsabi yang tetiba susah untuk menjawab. "Susah ya nurut apa kata suamimu. Bukankah agamamu mengajarkan itu, harusnya kamu patuhi apa yang sudah kupesankan tadi," kata Shaka dingin. "A-aku hanya ingin keluar sebentar. Aku mendadak ingin es krim, sepertinya calon anak kita mulai nyidam," jawab Tsabi cukup beralasan. Walaupun kadang ia sendiri merasa lupa kalau tengah hamil. "Biar nanti aku belikan sepuas yang kamu mau, masuk, dan kembali ke kamarmu!" titah Shaka serius. "Tapi aku maunya se
Shaka menghampiri meja dengan wajah datar. Membuat Tsabi bertanya-tanya dalam hati. Pria itu bahkan tak melanjutkan makan es krim di depannya. Sibuk dengan gawai di tangannya. Menyebalkan sekali memang. "Sudah?" tanya pria itu melihat Tsabi menghentikan suapannya. "Punya Mas masih banyak, nggak dihabisin?" sahut perempuan itu kembali menyuap ke mulutnya. "Buat kamu saja," jawab Shaka sedingi es di depannya. Sabar, itu yang harus dilakukan agar tetap waras membersamai suaminya yang kaku. Pria itu terus menatap jam di tangannya, seakan menghitung berapa waktu yang tersisa bersamanya. Membuat Tsabi paham akan ketidaknyamanan suaminya. "Mas ada acara lain? Kalau sibuk, tinggalkan aku sendiri. Biar aku pulang dengan taksi," kata Tsabi tak ingin merepotkan. Shaka tidak menjawab, hanya menatap dengan tatapan tanpa ekspresi. Membuat Tsabi serba salah sendiri. Seharusnya kalau repot tidak usah sok mengantar begini. Jadi akan membuatnya tidak nyaman. Tidak mendapat respon dari Shaka membua
Tsabi memejam merasai kulit tangan pria itu menempel lehernya. Serasa ada aliran listrik ribuan volt menyengat tubuhnya kala pria itu berbisik dengan seduktif."Apa kamu tidak berniat melepas hijabnya malam ini Tsabi? Bukankah ini halal aku lihat," kata pria itu membuat kulit Tsabi meremang seketika. Perempuan itu tiba-tiba panas dingin dalam radius tanpa jarak. Jantungnya berdetak tak beraturan. Dengan gerakan cepat Shaka memutar tubuh istrinya hingga keduanya saling berhadapan. Mengunci tatapan satu sama lain. Tangannya menopang pinggang dan mendekapnya posesif. "Diam berarti iya," kata Shaka membuat keputusannya sendiri? "Kamu berhutang penjelasan padaku, istrimu halal jika anak ini benar anakmu," jawab Tsabi memberanikan diri menatap matanya. Sungguh ia tidak ingin menjadi istri pembangkang andai semua urusannya diperjelas. Hidupnya menjadi rumit kala Shaka tak kunjung jujur padanya. Shaka seperti tuli malam itu. Sedikit mendorong tubuh Tsabi hingga terjerembab ke ranjang. De
Setelah menyelesaikan serangkaian pemeriksaan untuk test DNA, pasutri itu harus menunggu kurang lebih sekitar dua minggu baru akan keluar hasilnya. Baik Tsabi ataupun Shaka tentu merasa tidak sabar. Tsabi ingin cepat tahu hasilnya, sementara Shaka ingin cepat membuktikan kalau apa yang dikatakannya selama ini benar. Semakin itu, tentu saja karena pria itu yang lebih tahu kronologinya dibalik skandal kehamilan istrinya. "Aku ingin meminta kamar yang berbeda selama kita menunggu hasilnya," pinta Tsabi mendadak tidak nyaman sekali satu ranjang dengan suaminya. "Kenapa? Bukankah kita sudah terbiasa satu ranjang, bahkan satu selimut yang sama," kata Shaka dingin. Walaupun Tsabi memberi jarak dan batasan di antara keduanya. "Ini hanya sebuah permintaan, tidak sulit bukan, toh kita juga akan menjaga jarak satu sama lain," kata perempuan itu benar adanya. Shaka bahkan jarang sekali menempati ranjangnya di jam yang benar. Pria itu selalu pulang larut, bahkan dini hari yang entah melakukan p
"Tsabi ... kenapa? Perutmu sakit?" tanya Shaka khawatir. Perempuan itu mendesis lara seraya memegangi perutnya sendiri. Shaka yang melihat itu tanpa banyak bertanya langsung menggendongnya. Membawanya ke rumah sakit yang belum jauh dari tempat itu. Perempuan itu menggigit bibir bawahnya menahan nyeri yang begitu tiba-tiba. Perutnya seperti diremas dari dalam. "Dokter tolong! Dokter!" pekik Shaka cemas. Menyesali kenapa Tsabi sampai lari-larian tadi. Tsabi langsung dibawa ke IGD untuk kemudian ditangani tim medis. Shaka menunggunya dengan gelisah. Mondar-mandir tak karuan. Sebelumnya ia belum pernah secemas ini, tetapi sekarang begitu takut terjadi sesuatu dengan janin itu. "Dengan keluarga pasien atas nama Tsabi?" seru Dokter menginterupsi. "Iya Dok, saya suaminya, bagaimana keadaan istri saya?" tanya pria itu khawatir. "Kandungan istri Anda sangat lemah, saya sarankan harus bedrest." "Kenapa bisa begitu Dok? Bulan kemarin masih cukup baik saat pemeriksaan?" tanya Shaka tak pa
Tsabi memilih tidur daripada mendengarkan saran suaminya untuk menghubungi orang tuanya. Sementara Shaka malam itu tidak ke mana pun, menemani istrinya dan menjaganya semalaman. Hal yang sesungguhnya tidak Tsabi inginkan. Entahlah, sejak mengetahui kebenaran itu, kadar kesal dan benci Tsabi terhadap Shaka makin meningkat. Tidak seperti awal menikah yang walaupun bingung tetap berusaha memahami. Namun, sekarang mendadak tak ada kompromi. "Mau ke mana?" tanya Shaka melihat pergerakan istrinya setengah malam turun dari ranjang. Tsabi tidak menjawab, membuat Shaka langsung beranjak membantunya mengingat tubuh istrinya masih terlihat ringkih. "Jangan ngikutin, bisa sendiri," tolak Tsabi memberi jarak saat Shaka hendak membantunya. Pria itu menahan diri mengikuti kemauannya. Memperhatikan Tsabi yang berjalan ke arah kamar mandi. Cukup lama perempuan itu di dalam sana, tertegun saat keluar dari toilet mendapati Shaka bak penjaga di depan pintu. Hampir membuat Tsabi kaget. Tsabi segera me
Perempuan itu tersenyum penuh ceria di dekat ibunya. Senyuman langka yang beberapa purnama ini hilang dari gadis cantik itu. "Kalau lagi hamil itu nggak boleh capek-capek. Nurut aja kalau Shaka ngelarang ini itu demi kebaikan kamu," pesan ummi adem di hati. Tutur bahasanya yang lembut selalu menenangkan, membuat hati Tsabi yang sebenarnya tengah gersang seperti disiram air begitu mandat dari ibu suri yang keluar. "Iya Ummi," jawab Tsabi mengiyakan saja. Senang sekali rasanya hari ini benar-benar bisa bertatap muka dengan orang yang tengah dirindukannya. "Eh, ya ada salam dari adikmu Ameena dan Shaka," ucap Ummi memberikan mandat pesan dari dua adiknya. "Waalaikumsalam ... mereka apa kabar, Ummi, aku kangen sama Menna. Shaka juga, dia sudah pulang ya?" tanya Tsabi menanyai adiknya satu-satu. Ameena adalah adik bungsu yang kemarin menggantikan dirinya dengan calon imam impian Tsabi. Masih membekas luka bila mengingat hari itu, tetapi Tsabi sudah berusaha ikhlas dan semoga adiknya b
Pria itu langsung masuk ke mobil dan mengejarnya. Membelah jalan raya yang nampak ramai. Sedikit mengabaikan kendaraan lain dan menyerobot tanpa perhitungan hingga membuat pengemudi lain mengumpat kesal. Bagai pembalap handal, melintas dengan fokus berusaha mengejar target yang membawa istrinya. Shaka yakin sekali itu pekikan Tsabi ditambah seseorang suruhannya menginfokan kamar rawat Tsabi kosong. "Brengsek!" umpat Shaka memaki di ujung telepon. Memukul bundaran stir karena kesal. Menarik earphones dari telinganya lalu menaruhnya dengan emosi. Pria itu menambah kecepatan, sayang sekali terhalang traffic light merah yang menyala. Membuatnya tertinggal jauh dari mobil yang tengah dikejar. "Brengsek! Brengsek!" Pria itu mengumpat berkali-kali karena kesal. Istrinya dalam bahaya terlebih tengah dalam masa bedrest karena kehamilannya tidak begitu sehat. Pikiran Shaka makin kacau mengingat itu. Sementara Tsabi tidak tahu menahu kenapa dirinya mendadak jadi tawanan. Siapa pria-pria bert
"Tapi apa Mas?" Tsabi yang penasaran langsung mencicipinya. Tidak ada masalah, rasanya juga cukup enak. Namun, ia sedikit eneg ketika mendapati isian bawang bombainya."Hehehe. Seharusnya kamu bikin lebih banyak lagi. Aku suka, kalau ukurannya kecil gini kurang sayang.""Ish ... bikin worry saja. Habisin semuanya Mas, aku kenyang.""Kapan kamu makan?" Sedari bangun Shaka belum melihat istrinya mengisi perutnya."Lihatin kamu udah kenyang. Aku belum lapar, udah minum susu tadi," jawab Tsabi benar adanya."Sini aku suapin," ujar pria itu membagi sisa gigitannya.Sebenarnya Tsabi agak mual dengan bawang bombay, tetapi isian itu kurang menarik tanpa umbi satu itu.Tsabi baru mengunyah beberapa suapan, tetapi dia merasa semakin eneg. Wanita itu langsung beranjak dari kursi seraya menutup mulutnya.Shaka yang melihat itu langsung berdiri menyusul. Paling tidak bisa melihat istrinya dalam kesusahan."Sayang, maaf, kamu beneran mual?" ucap pria itu iba. Kasihan sekali melihat Tsabi yang menda
"Kamu juga capek kan Mas, kenapa mijitin?" tanya wanita itu sembari menyender di kepala ranjang. "Lelahku hilang saat melihat senyum kamu sayang," ujar Shaka jujur. Sedamai itu ketika menatap wajahnya yang teduh. Selalu menenangkan. "Bisa aja kamu Mas," jawab Tsabi tersenyum. Ditemani gini saja sudah mengembalikan moodnya. Apalagi dipijitin begini, sungguh Mas Shaka suami yang romantis dan pengertian. Perlahan netra itu mulai berat. Seiring sentuhan lembut yang mendamaikan. Tsabi terlelap begitu saja. Melihat itu, Shaka baru menyudahi pijitanya, dia membenahi posisi tidur istrinya agar lebih nyaman. Sebenarnya ada hasrat rindu yang menggebu, apalagi memang pria itu sudah beberapa hari tak berkunjung. Namun, nampaknya waktu dan keadaan kurang memberikan kesempatan. Tsabi juga terlihat lelah akibat aktivitas seharian di luar. Shaka akan menundanya besok sampai waktu memungkinkan. Agar keduanya sama-sama nyaman. Terutama Tsabi yang saat ini tengah hamil muda. Kadang moodian. Shaka h
"Nggak jadi aja ya, perasaan aku nggak enak," kata Shaka yang sebenarnya takut kalau nanti istrinya bakalan sakit hati lagi. "Kenapa, kalau dia nggak mau ketemu sama aku, mungkin mau dijengukin kamu. Kita bisa bawakan makanan kesukaan Angel dan mukena. Aku yakin dia mau berubah. Kita tidak boleh memusuhinya Mas.""Kenapa sih kamu jadi orang baik banget. Dia udah jahat banget loh sama kamu, sama keluarga kita. Wajar kan kalau pada akhirnya aku nggak respect.""Sangat wajar, itu namanya naluriah. Ketika seseorang disakiti terus membalas. Aku cuma mau kasih ini Mas, mana tahu dia bisa terketuk hatinya untuk melakukan kebaikan.""Oke, nanti aku antar," ucap Shaka pada akhirnya. Mereka benar-benar mengunjungi Angel yang saat ini dalam tahanan. Akibat perbuatannya, Angel harus menerima sanksi berat. Mendapatkan kurungan yang tak sebentar. Karena mencoba melakukan penganiayaan dan juga pembunuhan."Ngapain kalian ke sini? Puas lihat aku di sini seperti ini," sentak Angel menatap sinis pasu
Sepekan telah berlalu, tapi kesedihan nampaknya masih membekas di hati Shaka. Suasana hatinya beberapa hari ini sedang tidak baik-baik saja. Beruntung Tsabi adalah istri yang begitu perhatian dan pengertian. Wanita itu sangat sabar menemani suaminya yang dalam suasana duka.Hari ini pria itu sudah mulai beraktivitas kembali seperti biasanya. Toko dan bengkelnya juga sudah mulai dibuka kembali. Setelah sepekan tutup total karena dalam suasana berkabung. Ibunya memang belum meninggalkan banyak kenangan manis dengannya. Namun, sebagai seorang anak pasti sangat kehilangan ditinggalkan orang yang telah melahirkannya untuk selamanya. "Mas, ini ganti kamu hari ini," ujar Tsabi menyiapkan pakaian ganti suaminya. Walaupun beraktivitas di samping rumahnya, tentu Tsabi tak pernah lupa mengurusi pakaian suaminya juga untuk kesehariannya. Santai, tapi bersih dan tertata. "Makasih sayang," jawab Shaka memakainya begitu saja di depan istrinya. Sudah tidak tabu lagi. Bahkan menjadi pemandangan men
Tepat pukul lima sore hari Nyonya Jesy menghembuskan napasnya yang terakhir. Shaka sangat terpukul dengan kepergian ibunya. Pria itu tersedu sembari membacakan ayat-ayat suci di dekat ibunya. Tsabi mengusap lembut punggung Shaka setelah menyelesaikan surat yasin menutup doa ibu mertuanya. "Yang ikhlas Mas, biar mommy tenang," ucap Tsabi menguatkan. Dia tahu ini berat, hanya doa terbaik untuk almarhum mommy yang sekarang bisa ia lakukan. Wanita itu langsung menghubungi keluarganya. Ummi Shali, Ustadz Aka, dan Khalif serta beberapa orang abdi dalem langsung bertolak ke rumah sakit. Tentu saja untuk mengurus kepulangan dan juga pemakamannya. Beberapa orang lainnya nampak sudah bersiap menunggu jenazah pulang ke rumah duka. Suasana mengharu biru saat jenazah itu tiba dan hendak disholatkan. Ustadz Aka sendiri yang mengimaminya. Berhubung waktu belum terlalu malam, almarhum langsung dikuburkan malam itu juga. Tepatnya setelah sholat maghrib. Semuanya seakan berjalan begitu cepat. Padah
"Tsabi, apa yang terjadi sayang?" Ummi Shali dan suaminya langsung bertolak ke rumah menantunya begitu mendapatkan kabar dari Shaka. "Zayba jatuh Ummi, dia sepertinya sangat kaget," jelas Tsabi mengingat bocah kecil itu terlepas dari troli. Salah satu karyawan toko yang menggendongnya dan langsung mengamankan bayi itu. "Astaghfirullah ... Mas, cucuku gimana ini. Kita bawa ke tukang pijat.""Kenapa bisa sampai seteledor itu menjaga anak kecil. Bukankah kamu di rumah?""Tsabi tidak enak badan abi, tadi habis periksa. Aku nitip ke mommy, tapi malah ada musibah begini.""Kamu sakit?" tanya Ummi Shali menatap dengan serius. "Sakit, tapi sebenarnya—" Tsabi terdiam, agak ragu berkata jujur saat ini. Namun, bukankah kabar baik itu harus berbagi. "Sebenarnya apa?" tanya Abi Aka giliran yang menatapnya. "Zayba mau punya adik, Ummi," kata Tsabi malu dan ragu membagi kabar bahagia tersebut. "Kamu hamil lagi?" tanya Ummi cukup kaget. Baby Zayba belum genap satu tahun sudah mau punya bayi. Ba
"Ide menarik, boleh dicoba kalau nanti gagal.""Maaf ya, belum bisa bahagiakan kamu," ucap Shaka tiba-tiba. Baru saja mau bangkit, sepertinya ada saja halangannya. "Aku nggak ngerasa gitu kok, maaf juga kalau masih banyak mengeluh selama jadi istri kamu." Tsabi mencoba menerima dan bersabar dengan ujian yang datang dari keluarga Shaka. Dia juga harus bisa menerima keluarganya juga bukan. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Hampir satu purnama Angel menumpang di rumah mereka. Semua Tsabi lalui dengan tidak mudah. Karena wanita itu sering berulah dengan sengaja. Beruntung Shaka yang pengertian memperlakukan Tsabi dengan penuh perhatian. "Sayang, kamu pucet sakit?" tanya Shaka memperhatikan istrinya yang sepertinya kurang enak badan. "Agak pusing Mas, perlu minum obat kayaknya." Beruntung ini hari libur, jadi Tsabi tidak harus berangkat mengajar. "Ya sudah tiduran saja, mumpung libur juga. Tidak usah mengerjakan apa pun. Zayba hari ini full sama abi.""Makasih Mas," jawab
"Nggak bisa Mas, aku kan kemarin sudah izin. Kamu sarapan dulu ya, terus minum obat. Nanti biar Zayba sama Mbok Tini. Kemarin juga seharian sama Mbok Tini."Shaka yang tengah rebahan meraih pinggang istrinya agar duduk makin dekat. Pria itu memposisikan kepalanya tepat di pangkuan istrinya dengan manja. "Obatnya kamu," katanya sembari menenggelamkan wajahnya ke perut Tsabi. Tangan kanannya memeluk erat. Seolah tidak mengizinkan wanita itu untuk beranjak dari sisinya."Aku bikinin sarapan ya, terus minum obat.""Pingin sarapan kamu, yank, aku tidak semangat," kata pria itu mode rewel. Bisa begini juga ternyata cowok yang super dominan itum"Dih ... aku belum bersih lah. Tapi udah mau sembuh kok. Kamu kenapa jadi manja gini sih Mas. Nanti aku kabari kalau udah selesai.""Kangen, namanya juga kangen ya gini. Kamu cuek banget dari kemarin."Repot kalau suaminya mode rewel. Sakit sedikit manjanya ngalahin bayi. Tsabi tidak leluasa bergerak sama sekali. Tiba-tiba Zayba juga merengek. Tsab
"Kamu ngapain sih Mas ngikutin mulu, tidur sana!" omel Tsabi melihat suaminya mengekor dirinya. "Ya itu Zayba rewel, mana tahu kamu butuh bantuan.""Nggak, aku pikir kamu malah nggak ingat pulang," jawabnya ketus. Efek lelah dan juga tubuhnya sedikit tidak enak badan, membuat Tsabi sewot sendiri. "Kok ngomongnya gitu, aku pasti pulang lah. Ya walaupun akhirnya malam. Maaf, tadi ikut ngaji dulu.""Ya nggak pa-pa kan, aku juga nggak pernah ngelarang juga. Kamu mau ngapain aja terserah kamu. Lagian ada Khalif kok yang bisa bantuin ke mana-mana.""Memangnya tadi ke mana? Kamu nggak telpon kan?""Seharusnya kamu ingat memberi kabar. Bukannya nungguin aku hubungi kamu. Memangnya aku sempat apa telpan telpon terus Zayba sakit begini.""Zayba masih sakit?" Tsabi tidak menjawab, melainkan menatapnya dengan merotasi matanya jengah. Bukankah pria itu tahu tadi pagi juga Tsabi sudah mengeluh kalau bayinya sakit. Apa seorang pria tidak sepeka itu. Perempuan itu kembali masuk ke kamar seraya me