Pagi hari yang cerah bagi Dea, duduk di antara Oma dan Opanya yang paling ia rindukan. Suasana meja makan menjadi sangat hangat, kecuali sudut lain di mana Mira dan Aron terlihat sibuk sendiri dengan obrolan mereka. "Oma gak sabar bangt pingin liat Cicit Oma, bagaimanapun Oma kira kami tidak sampai bisa melihatnya, usia Oma bahkan sudah hampir 70 tahun you know?" Dea pun mengangguk, "Oma akan melihatnya segera." "Yah, asalkan kamu sehat selalu, Oma tenang." "Oma akan di sini lama kan?" tanya Dea berharap. "Yah, selam seminggu." "Kok cuma sebentar?" tanya Dea tak suka dengan situasi itu. "Gimana lagi, Oma harus kembali lagi kan?" "Gak harus, Oma dan Opa bisa tinggal di sini. Sampai aku melahirkan," rengek Dea. "Opaaaaaa!" bujugnya berganti pada sang Opa. "Kami akan kembali lagi saat kau melahirkan, jadi kamu tidak perlu khawatir, Sayang." Dea pun cemberut tetapi ia mengangguk setuju. "Enggak papa deh, pokoknya selama seminggu di sini, Opa dan Oma harus quality
Saat Dea dan Mira masih jadi sahabat; "Lu suka sama Bokap gue?!" tanya Dea remaja heboh. Mira remaja dengan senyum malunya mengangguk, ia baru saja mengungkapkan perasaannya pada sahabatnya tentang rasa sukanya pada Aron--ayah dari sahabatnya. "Ya siapa sih yang nggak suka sama Bokap lu? Kan elu sendiri yang cerita kalo banyak temen lo yang udah ngefans sama Bokap lo dari TK. Mereka nempelin bokap lu meskipun ... ya cuma ngefans doang." "Iya itu kan ngefans, beda ama lo yang bucin." "Ya anggap aja rasa suka gue ke Bokap lu cuma ngefans doang.""Gue bingung kenapa sih orang tuh pada suka sama Bokap gua, kan dia tuh udah tua.""Udah tua tapi masih cakep, why not?""Ih, why not, why not apaan. Lu liat aja Bokap gue itu udah 30an ke atas, udah Om-om! Selera lu liar juga ya.""Terserah lu mau bilang apa, gue juga nggak ngerti kenapa gue selalu naksir sama orang yang jauh lebih tua dari gue. Gak cuma Bokap lu aja, kalau gue ngefans sama artis juga gue bakal lihat orang yang minimal u
Setelah sang Oma mengobati luka Mira, Dea ingin pergi tapi sang Oma malah memanggiknya dan menyuruh Mira untuk istirahat ke kamar. Oma Zaenab menuntun cucu tersayangnya itu untuk duduk. Bagaimana lagi, Dea cucu perempuan satu-satunya. Cucu Oma Zaenab yang lain semuanya laki-laki. "Dea...." Dea terlihat ragu untuk menatap Omanya, tapi sang Oma hanya tersenyum dan menepuk pangkuannya. Maka dengan ragu, Dea tidur di pangkuan Omanya yang sejak kecil suka melakukan itu padanya. "Oma udah kangen sama sikap manja kamu loh." Dea terkejut dengan ucapan neneknya itu, ia kira neneknya akan marah, apalagi ia tidak meminta maaf pada Mira. "Oma kira setelah kamu pulang kamu bakal manja-manjaan sama Oma, eh malah kamu mau istirahat dulu. Apa kamu capek?" Dea segera tersadar, "Eggak sih, Oma. Cuman ya ... gitu." Oma pun tersenyum tenang, "Nggak apa-apa Sayang, Mira juga kelihatannya nggak masalah." Dea pun mengangguk, tetapi melihat ekspresi Omanya yang berubah sendu membuat Dea b
"Dia masih sama seperti dulu, dia yang patuh, tulus, dan selalu memikirkan kamu." Tentu, Dea merasa bahwa kata-kata Omanya tidak benar, tapi Omanya segera menegaskan. "Oma tahu kamu nggak percaya dengan itu, tapi S suatu hari nanti kamu akan ngerti kenapa akhirnya Oma masih setuju dengan pernikahan Mira dan Aron." Dea agak bingung dengan kata-kata itu, lagi-lagi ia harus menjadi pihak yang tak tau apa-apa. Mereka ingin menutupi alasan di balik pernikahan ayahnya dan Mira. "Papi terlihat cinta sama Mira." "Iya, kalau itu udah jelas, Sayang." Dan percakapan tentang Mira sampai di sana saja, karena Omanya langsung membahas soal perencanaan konsep pesta ulang tahun dari Aaron. ••• Sayang sekali, Dea harus menahan diri untuk bekerjasama dengan Mira yang ia benci. "Tulus apanya, dia bahkan penuh dengan tipu daya...." gumam Dea melihat bagaimana tingkah pick me Mira. Kini, Dea, Oma dan Mira duduk di sofa berjejeran untuk melihat katalog dari Tim WO untuk mengurus ulangt
H-2 suasana Mansion sudah diubah dengan dekorasi Ulang Tahun. Namun pernghuninya masih saja melakukan aktivitas seperti biasanya, seolah acara itu tak terlalu mengherankan bagi mereka. Mira sendiri merasa canggung ketika dimintai untuk mengatur acara tersebut agar berjalan lancar. Untunglah pekerjaan barunya cukup fleksible, ia bisa datang kapanpun ia bisa. "Kenapa?" tanya Oma melihat Mira yang terdiam di dapur. Mira menggeleng setelah sembuh dari keterkejutannya. "Hanya... aku merasa bingung. Nanti pas acara dimulai, dan aku belum diumumkan sebagai istri Aron. Aku takut bikin reputasi dia turun, maksudnya... aku...." Oma Zaenab pun tersenyum menggenggam tangan Mira. "Sudah saatnya kok Aron memperkenalkanmu pada mereka semua." "Tapi aku belum siap," ujar Mira. "Gak papa, pelan-pelan. Mereka mungkin akan shock, tapi pasti mereka menghargai keputusan Aron." Mira pun mengangguk, ia masih merasa sungkan dan ragu. Mungkin opsi lainnya, ia harus menyingkir dari acara agar
Mira sudah memastikan pada Mika untuk mengirim gaunnya segera, tetapi pada jam 9 pagi, gaun itu belum juga diantar.Baru jam 10 pagi, Mira dikabari kalau proses pengantaran bermasalah karena terjadi kecelakaan gaun yang diantar terbakar.Sehingga Mira tak bisa menggunakan gaun yang sama dengan keluarga Victorius yang lain, tapi Mika menyarankan untuk memberi alternatif dengan memakai gaun dengan warna yang mirip, yakni biru denim.Mira tkut jika itu menjadi masalah, ia takut dimarahi oleh Aron.Sampai jam 4 ketika semua mempersiapkan diri untuk make up, Mira malah keluar dengan gaun yang beda warnanya dengan mereka semua."Apakah ini hasil yang mereka katakan?" tanya Aron pada Mira dengan marah.Tetapi ia tak marah pada Mira, ia marah ke pada Mika yang ada di sana.Mika terlihat menunduk, "Maafkan saya, Tuan. Gaun yang harusnya dipakai oleh Nyonya Victorius terbakar akibat kecelakaan yang dialami kurir kami.""Bagaimana bisa itu terjadi?""Kami menghindari motor dan akhirnya mobil kam
"Kenapa kamu keliatan seneng nonton drama mereka sih?" tanya Dea pada sang suami. Juna malah mempererat pelukannya sambil berbisik, "Bukankah drama adalah tontonan yang paling seru?" tanyanya balik. Dea mendengus, tetapi baru menyadari kalau Lina telah menghilang dari sana. "Tante Lina ke mana?" tanyanya.Juna mengedikkan bahu, "Nggak tahu, mungkin dia cemburu.""Kok kamu kayak gitu sih?" "...kayak gitu gimana sih, Sayang? Bukannya justru tindakannya tidak bermoral?"Dea bingung dengan apa yang diungkap Juna, bagaimana bisa Lina dianggap tak bermoral?"Maksud kamu?" tanya Dea."Pikir aja deh, gimana posisi dia sekarang?"Dea tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Juna."Oke, kamu pikirkan aja... Papi kamu udah nikah sama Mira, meskipun kalian sama-sama nggak suka sama Mira, tapi Papi kamu memilih untuk bersama Mira, artinya ada hal yang Papi kamu butuhkan dan hanya ada pada Mira. Nggak ada satupun orang yang berhak menilai seseorang bagi dia, apakah itu layak atau enggak
Ini kata-kata yang wajar, tapi kenapa ayahnya semarah itu? Dan setelah Dea pikirkan lagi, kata terakhir itu sangat membingungkan "menyelesaikannya". 'Kenapa peran itu harus selesai?' Tidak ada jawaban, tetapi Dea seolah bisa membaca ekspresi dari lawan bicara sang ayah. Mungkin Mira sedang bergetar atau menahan tangis, sesuatu yang biasa menjadi respon dari mantan sahabatnya itu. Reaksi yang paling menyedihkan dari Mira, si pengecut itu. "Maaf Pak, saya kira... Bu Lina yang akan jadi pasangan Dansa, Anda.""Kamu mempermalukan saya. Untung saya belum bilang ke orang-orang kalau kamu istri saya!"'Mendadak formal?' batin Dea makin penasaran."Maafkan saya, Pak."Berkali-kali Dea terkejut dengan fakta itu, ia kemudian bersembunyi di balik sofa yang ada di dekat sana. Tidak terlihat dari balkon, tapi bisa mendengar suara mereka."Maaf tidak cukup, kamu gak berguna sama sekali. Saya sudah memberikan semua yang kamu butuhkan, kalo saya gak ngelakuin itu, bisa jadi kamu jadi pelacu
"Adam Victorius Sanjaya," jawab Juna. "Gak nyambung," ujar sang ayah. "Aku pingin Adam nanti tau bahwa dia terikat oleh dua keluarga yang bahagia," ujarnya. Tanpa mereka sadari, itu sindiran untuk orang tuanya agar lebih perduli lagi padanya dan Dea, bahwa ia memilih Dea bukan untuk dinilai oleh kedua orang tuanya. "Bagus," ujar Aron. "Ya, keren banget sih," ujar Mira mendukung. Sementara itu Baby Adam terlihat menggeliat di pelukan sang nenek--ibu Juna. "Keliatannya Baby Adam setuju?" ujar Dea terkekeh. "Iya dong, jagoan Papa gitu!" ujar Juna. Ia langsung mencium pipi outranya dengan sayang, tetapi ditegur oleh ibunya karena ia terlalu brutal. "Masih bayi, Juna. Kamu tuh, kek bocil." "Maaf, Ma... gemes soalnya." Mereka semua tertawa melihat itu. Di balik kebahagiaan itu, Mira merasa harus keluar karena ia tak ingin orang-orang melihatnya menangis. Ia sangat senang, tapi juga sedih. Perasaan bercampur itu membuatnya merasa tak karuan. ••• Keesokan harinya,
Dea langsung dilarikan ke rumah sakit untuk melakukan persalinan, Aron dan Mira juga ikut ke rumah sakit mendampingi. Juna ikut masuk ke dalam untuk menjaga Dea, lalu Mira dan Aron duduk di kursi tunggu yang ada di luar. "Sepertinya, ini udah selesai ya Pak," gumam Mira. Aron terkejut dengan kata-kata Mira, ia tersenyum menatap ruangan tertutup itu. "Selesai apa maksud kamu?" "Kontrak kita sudah selesai kan? Dua minggu lagi," ujarnya. Aron yang awalnya mengkhawatirkan putrinya, jadi teralihkan. Ia diam tidak menanggapi, entah kenapa ada bagian dari hatinya yang sakit mendengar pernyataan itu. Betapa ia tak pernah membayangkan ini terjadi dementara hatinya sudah tertambat untuknya. . Di dalam sana, Dea sedang berjuang, mempertaruhkan nyawa demi seorang makhluk yang akan memanggilnya Ibu atau Mama. "Sakiiiiit!" teriaknya lemas. Anak mereka belum juga keluar, melihat bagaimana Dea yang sudah lemas, maka dokter menyarankan untuk Caesar. Dea menolak, tetapi Juna sa
Yuni berusaha mengintip tapi Mira menyembunyilannya, ia membacanya sendiri setelah berhasil ngumpet di salah satu pohon. _ ' _ Dear, Istriku. Hadiah ini untukmu, selamat ya sudah berjuang sejauh ini. Kamu hebat banget! Dari, Mr. M alias suamimu _'_ Mira mendelik, "Dari Pak Aron? Kok Mr. M?" gumamnya. Kemudian ia berpikir, tulisannya terlalu romantis untuk seorang Aron yang kaku. "Oh pasti Dea yang mesen," ujarnya langsung paham. Ia segera mengantongi surat ucapan itu dan keluar dari persembunyiannya. Yuni kesal karena kepo yang memuncak, tapi akhirnya melupakannya dan memilih untuk foto-foto bersama teman-temannya. Saat Mira akan pulang dengan jemputan mobil seperti biasa, ia terkejut ketika sang sopir mengirim pesan kalau ia akan pulang bersama Aron dan Dea. Tak lama kemudian, di seberang jalan tempat ia berdiri terlihat mobil sport milik suaminya dan masuklah pesan dari Dea, kalau mereka sedang menunggu di sana. Mira terkejut, tetapi ia langsung menatap se
"Sayang," panggil Juna. Dea pun berbalik dan meyakinkan suaminya. "Aku sama Papi, oke?" Juna pun akhirnya setuju, ia tak bisa apa-apa kalau Dea sudah sesenang itu. . Dea dan Aron datang ke kampus dan membuat semua orang langsung menatap mereka. Tentu saha, siapa yang tidak tahu Dea dan Aron, donatur terbesar kampus dan anaknya yang merupakan influencer. Apalagi tampilan Dea yang sedang hamil besar, ia memakai dress baby pink dan Aron menggunakan batik coklat tua dan hitam yang kelihatan sekali mahal. "Ini akan jadi berita ngawur Sayang," ujar Aron berbisik. "Ssstttt, Papi ikut aja gak usah bawel." "Padahal kamu yang bawel," balas Aron. "Papiiiii...." Aron pun rekekeh dan membiarkan Dea menggandengnya menuju ke ruangan yang katanya ruang sidang. Namun sebelum mereka sampai, di tikungan koridor fakultas, mereka malah ketemu dengan Rektor dan dihentikan di sana. "Selamat Pagi, Pak Victorius. Apakabar?" sapanya. Pria bertubuh gemuk dengan kacamata bulat itu c
Aron menoleh ke arah suara, siapa lagi kalau bukan putrinya? "Kamu juga, tuh!" Ia menunjuk leher putrinya dengan dagunya, itu kissmark. Dea langsung membuka ponselnya dan berkaca, ternyata benar ada kissmark. "Hem, biasa... btw, Papi udah begituan kan sama Mira?" Deg! Aron terdiam, jangankan begituan, dipeluk saja Mira kakunya minta ampun. Bisa-bisa ia marah kalau sesekali meminta jatah. Lagipula, tujuan mereka menikah bukan untuk bisa begituan, artinya ia harus bersahabat dengan sabun selamanya. "Dari muka Papi sih belom, ngenes banget." Aron menatap putrinya dengan kesal, ia sudah terbiasa dengan itu tapi pembahasan ini melukai harga dirinya. "Mau aku bantu?" goda Dea. Namun, ia serius menawari ayahnya. Kini tatapan Aron menjadi tatapan penuh harap. "Aku bakal bikin kalian jadi pasangan so sweet tiap hari. Tapi ada harganya...." ••• Tentang masalah berita itu, Aron seperti biasa membereskannya. Akan tetapi Dea masih melihat bahwa Juna tak lagi bisa b
Mira tertidur di sofa ruang keluarga usai mengobrol dengan Dea, untunglah tak lama kemudian Aron pulang. "Mira!" panggilnya pelan. Akan tetapi, Mira tidak bangun. Ia seperti terlihat sangat nyaman dengan tidurnya, padahal tidur di sofa tanpa adanya selimut. Tak tega melihat itu, Aron pun ke kamar mengambil selimut untuk Mira. Kemudian ia duduk di samping Mira, entah kenapa ia melakukan itu, jelas bukan terlihat seperti ia yang biasanya. Hari ini, rasanya terasa lebih berat dari biasanya dan ketika melihat Mira, hatinya terasa tenang. Apakah ini yang dinamakan istri solehah yang membawa ketenangan? Ia jadi teringat dengan percakapannya tadi dengan Juna. Juna memutuskan untuk menjadikan bukti yang dibawa olehnya sebagai salah satu opsi, tetapi ia masih akan berhati-hati dengan Mira. Maka Aron juga tidak bisa memaksa Juna untuk percaya pada Mira, itu keputusannya. Saat ini pun, ia tidak yakin dengan apa yang ia lakukan. Entah alasan apa yang membuatnya sangat mempercay
Siang yang cerah itu nyatanya terasa mendung bagi Dea, ia sangat emosi dengan apa yang ia lihat di berita. Di berita itu tertuls, tentang fakta kalau Dea diteror telah bocor ke publik dan diduga pelakunya adalah Mira. "Lo gila sih kalo masih biarin dia ada di rumah lo, lo melihara musuh!" ujar Rani. Jadi Dea menemui Rani untuk informasi itu, kini namanya tengah trending, sementara selama 3 bulan ini ia jarang membuka media sosial, lebih banyak main game atau melakukan kelas kehamilan yang membuat kegiatannya berkutat hanya pada kehamilan dan Skripsinya. Ia sangat kecewa, tapi apa ia harus menanyakan itu pada Mira. "Gue pulang sekarang!" "Tunggu, De!" Dea menghentikan langkahnya, "Gue cuma mau peringatin lo sekali lagi karena gue pure perduli ama lo. Gue harap, lo jangan masuk ke lubang yang sama lagi. Percaya sama orang yang salah." Setelah itu, Dea benar-benar pergi dari sana dengan pikiran yang penuh dengan kecemasan. Saat ia sampai di rumah, ia melihat Mira seda
"Em... ya gaklah. Aku cuma tiba-tiba kepikiran, kamu tau kan latar belakangku?" Dea mengangguk saja. "Wajar, tapi jangan dipelihara.""Iya.""Btw, Papi bener-bener cinta sama lu. Sayang banget, cuma... dia emang orangnya gitu gak bisa menunjukkan kecintaannya."Mira agak ragu, ia hanya tersenyum tipis. Ia tak punya waktu untuk membicarakan hal yang bernama cinta.Pikirannya terlalu sibuk untuk memikirkan keluarga, pekerjaannya, dan juga misi utamanya di sana."Dia bahkan minta gue buat nemenin lo ke toko perhiasan, karena kemarin dia gak beliin buat lo."Mira terkejut, "Masa sih?" "Kok lu keliatan pesimis gitu? Beneran! Makanya aku baru kepikiran, kenapa gak beli custom aja?"Mira tak mengerti, "Gimana maksudnya?""Papi biasanya ngebiarin Mami beliin perhiasan yang cuma dibuat 1 kali aja, itu khusus.""Pasti mahal.""Lagi dan lagi, omongan lu gak jauh-jauh dari mahal. Lagian ya... wajar kali seorang Nyonya Victorius punya barang limited edition. Bahkan kalo gak punya, aneh banget
"Dia cuma bilang agar aku hati-hati aja kalo pergi sama kamu, gitu." Dea terkejut, "Dia segitunya..." "Memang ada apa sih?" tanya Mira balik. "Gue semalem ijin mau pergi sama lu, atas permintaan Papi. Eh malah dia bilang gitu ke elu?" Mira mengangguk ragu, ia harus bilang apa. Ia hanya asal mencari alasan tadi. Setelah itu mereka melanjutkan percakapan lain, karena tidak enak dengan suasananya. "Gue nggak tahu kenapa semuanya jadi rumit kayak gini, tapi karena emang udah terlanjur kayak gini, nggak ada hal lain yang perlu gue takutin kan?" Mira mengangguk ragu lagi, ia tak paham arah pembicaraan Dea ke mana. "Setidaknya ada lu, Papi, dan Juna, menurut gue udah cukup sih, nanti ditambah anak kami." Mira mengalihkan pandangannya dengan senyum tipis menatap kolam. Tatapannya sendu seolah tak berujung. Dea jadi tak enak, apa kata-katanya membebaninya? "Pokoknya, gue seneng akhirnya Papi bisa buka hati buat orang lain. Gue juga udah relain kok kalo Nyokap Tiri gue buk