Ini kata-kata yang wajar, tapi kenapa ayahnya semarah itu? Dan setelah Dea pikirkan lagi, kata terakhir itu sangat membingungkan "menyelesaikannya". 'Kenapa peran itu harus selesai?' Tidak ada jawaban, tetapi Dea seolah bisa membaca ekspresi dari lawan bicara sang ayah. Mungkin Mira sedang bergetar atau menahan tangis, sesuatu yang biasa menjadi respon dari mantan sahabatnya itu. Reaksi yang paling menyedihkan dari Mira, si pengecut itu. "Maaf Pak, saya kira... Bu Lina yang akan jadi pasangan Dansa, Anda.""Kamu mempermalukan saya. Untung saya belum bilang ke orang-orang kalau kamu istri saya!"'Mendadak formal?' batin Dea makin penasaran."Maafkan saya, Pak."Berkali-kali Dea terkejut dengan fakta itu, ia kemudian bersembunyi di balik sofa yang ada di dekat sana. Tidak terlihat dari balkon, tapi bisa mendengar suara mereka."Maaf tidak cukup, kamu gak berguna sama sekali. Saya sudah memberikan semua yang kamu butuhkan, kalo saya gak ngelakuin itu, bisa jadi kamu jadi pelacu
Setelah tenang, Juna baru berani bertanya lagi. "Ada apa, Sayang? Bisa cerita sama aku?" "Aku nggak nyangka kalau Papi sejahat itu, aku kira kejadian waktu itu udah sikap dia yang paling jahat, tapi ternyata dia juga jahat sama istrinya." Juna terkejut dengan ucapan istrinya, "Hah?! Maksud kamu apa?" tanyanya tidak mengerti konteks pembicaraan istrinya. Ia lalu mengajak istrinya untuk duduk terlebih dahulu di kursi panjang yanga ada di ujung ranjang mereka. "Tadi aku ngikutin Papi sama Mira, waktu mereka keluar dari lantai dansa. Terus pas aku dengerin, ternyata Papi lagi ngomelin Mira, dan kamu tahu apa yang Papi bilang ke dia?" Juna pun menggeleng, tentu saja ia tak tahu. "Papi menggunakan kata-kata kasar." Juna tak percaya, "Masa sih? Enggak ah, gak mungkin dia kasar sama perempuan." "Aku gak bohong." "Aku gak mikir kamu bohong, tapi gak percaya aja kalo dia ngelakuin itu." "Iya, serius. Bahkan dia nggak pernah ngomong gitu sama Tante Lina, sama Mami dulu dan p
•••• Dea masih mengamati interaksi antara Mira dan Aron. Bahkan ia macam detektif yang memantau mereka dari subuh hingga akan tidur. Sampai-sampai Juna mengkhawatirkannya karena Dea dalam kondisi hamil. Sayangnya, istrinya memang lincah dan kandungannya yang kuat, sehingga tidak ada keluhan selama ini. "Kenapa sih kamu bertindak sejauh ini?" "Aku harus tau semuanya!" Juna tak bisa menghentikan istrinya itu, tetapi tingkah Dea makin aneh. Di beberapa kesempatan, Dea membuat sedikit keributan sehingga Mira dengan spontan menolongnya. Seperti halnya pura-pura sakit perut, atau ia yang minta dibuatkan sesuatu oleh Mira dan langsung dilakukan oleh ibu tirinya itu. Namun, Juna merasa bahwa tingkah istrinya tidak nyambung dengan apa yang ingin Ia tahu dari kedua orang tuanya itu. Meski begitu, Juna tidak akan ikut campur dengan apa yang ingin Dea lakukan. Ia hanya bisa melihat apa selanjutnya yang diinginkan Dea? Sementara dirinya, menemui Aron saat mereka membicarakan t
Beberapa jam sebelumnya. "Gue gak tau apa yang disembunyikan dari gue, tapi... kalo Papi jahat ke elo, lo bilang sama gue." Mira terkejut dengan pernyataan Dea itu. "Papi kamu baik kok ke aku," balas Mira. "Lo kira gue bego?" "Hah?!" Dea gemas rasanya, ia ingin menonyor kepala Mira yang berpikir lemot itu. "Lo tuh...." Ia gemas sendiri, bagaimana bisa Mira selemah itu terhadap lingkungannya. Teringat pada Mira yang dulu saat masih sahabatan dengannya, ia jelas tipe cewek yang menye-menye. Ia tidak mengerti kenapa Reza menyukainya, atau memang laki-laki suka karakter cewek yang menye-menye? "Maaf tapi, yah... memang kadang ada konflik sedikit, tapi Papi kamu baik. Dia bertanggungjawab, ngasih apa yang aku mau, sayang dan yang pasti dia gak nuntut banyak hal dari aku." "Oh ya?" Dea mengeryit tak percaya. Jelas-jelas kalimat yang ia dengar, ayahnya sedang menuntut perannya sebagai istri di pesta kemarin. "Terus kenapa di pesta kemarin lo dimarahin?" Mira me
"Ya udahlah, lo kira gue bego mau dibohongin selamanya?" Mira menggeleng, "Aku cuma cari waktu yang tepat." "Anjir gue frustasi banget ngobrol sama lo yang menye-menye gitu!" "Maaf De," ujar Mira lagi. "Gimana gue gak benci ama lo, lo udah kecewain gue dan perasaan ini gue pendam selama ini. Lu kira kehidupan gue gak susah dengan perasaan seperti ini, hah?!" Mira diam saja, sementara Dea seolah memberinya pemahaman. "Gua kecewa banget sama lo, bahkan sampai sekarang ... nggak ada sahabat yang benar-benar gue percaya 100%. Gara-gara apa? Ya gara-gara lu, gue takut dikhianati lagi. Setelah gue percaya sama sahabat gue 100% sama lo, jadi gua nggak ingin ada di posisi yang bodoh seperti itu lagi." Mira seperti tertampar dengan apa yang Dea katakan. "Kamu bener. Itu salahku. Aku minta maaf." "Maaf doang? Lu nggak akan jelasin kenapa lu waktu itu ciuman sama Reza?" "Gak De, aku nggak ciuman sama Reza. Reza yang tiba-tiba deketin aku, terus tiba-tiba bilang suka, dan terja
Setelah membayar di kasir, mereka pun menyerahkannya ke Bodyguard yang diperintahkan Juna untuk mengawal istrinya dan untuk membawa barang mereka. "Nggak ada rencana mau kuliah lagi apa lu? Lu kan suka belajar?" tanya Dea iseng saat mereka makan siang. "Ya kan nerusin juga butuh biaya, De. Aku gak ada," ujar Mira. "Anjir! Lu masih nggak paham apa yang gue bilang tadi?!" Mira seolah menyadari sesuatu dan meringis. "Inget, Mir! Lu punya suami kaya, anjir! Masa lu selalu mempermasalahkan yang namanya biaya?! Bokap gue tuh kaya! Apa lu nggak percaya kalau Bokap gue kaya?" "Percaya banget, Dea. Tapi kan aku pengen mandiri juga," jaeab Mira. "Lah lu udah mandiri dari dulu, sekarang lu punya suami yang bisa jamin lu. Gue nggak ngerti ya sama jalan pikiran lo yang kelewat goblok itu. Padahal, banyak banget temen-temen gue yang lelah banget buat mandiri dan pengen punya Sugar Daddy, ada yang jadi ayam kampus demi biar dapet duit banyak tapi gak capek." "Aku bukan mereka..." "T
"Dea...." protes Mira merengek. Dea malah tertawa, hal itu membuat devisi yang ada di samping mereka mulai berkumpul untuk menonton. Mungkin karena banyak karyawan yang juga menonton kejadian itu, membuat Mira tambah malu. Mira pun bergegas pergi dari sana meninggalkan Dea yang cengengesan. Mungkin Dea sudah sangat nyaman di sana, karena ia sudah keluar masuk kantor itu dari kecil. Bahkan saat pertama mereka masuk ke gedung itu, Dea langsung disambut dengan sambutan termanis dan paling hormat. Mira sendiri merasa malu dengan kelakuan Dea yang terus mempromosikan ayahnya, sebagai orang kaya yang bahkan bisa membeli gedung serupa. "Jadi, kalau misalnya lu minta apa aja, buku, baju make up, atau Skin Care yang tadi itu... itu cuma satu di antara bare minimun Bokap gue. Dia gak akan rugi apapun, bahkan kalo lo minta rumah, tinggal minta. Itu udah sangat minumum buat lo." Mira yang dasarnya tak suka keluar lama, sudah kehabisan energi. Orang introvert, jika keluar kelamaan ha
Diam dan menunduk, seolah tak ingin melihat adegan itu. 'Respon macam apa itu?' batin Dea menjerit. "Papi, Tante Lina?!" panggil Dea. Mereka berdua menoleh ke arah Dea, dan Mira. Melihat keberadaan Mira, Lina dan Aron terlihat saling menjauh dan kemudian Dea mendekati mereka. Mira masih di sana, hanya diam di tempat semula, tidak bergerak atau merespon dengan ekspresi lainnya yang menunjukkan kalau ia istri dari pria yang sedang bermesraan dengan perempuan lain itu. 'Minimal jambak kek!' begitulah batin Dea. Asisten Aron juga terlihat pergi dari sana memberikan privasi bagi Bosnya. Sementara itu, Lina langsung menghampiri Dea dan memeluknya seperti biasa dengan senyum cerahnya yang cantik. Bahkan saat berjalan, tubuhnya terlihat luwes dengan pakaian kurang bahan itu. "Halo, Sayang." "Halo, Tan." "Tante mau balik lagi ke Paris, ada fashion show juga di sana. Jadi kayaknya Tante bakalan ke Jakarta lagi dua minggu kemudian." "Dua minggu?" "Iya, jangan khawatir. Setelah
Mira keluar dari kantor saat tiba-tiba mobil mewah yang sangat ia kenali, berhenti di depannya, membuatnya dan orang di sekitarnya kaget. Lalu, kaca mobil dibuka dan memperlihatkan Yuda--sopir Aron yang tersenyum padanya. "Silahkan naik, Nyonya." "Lah Evi (opir Mira) kemana?" tanya Mira. "Sudah pulang, Tuan yang nyuruh." Mira kemudian mendekat dan melihat ada Aron yang duduk di kursi penumpang dengan ekspresi datar. Hal itu membuatnya bingung, tapi ia juga tak bisa menolaknya. Dibukanya pintu samping sopir dan ia duduk di sana, mengabaikan tatapan Aron yang jelas tak suka ia duduk di samping Yuda. "Nyonya... itu..." "Sssstttt, jalan!" perintah Mira. Yuda melirik Aron dari kaca tenah dan melihat sang majikan mengangguk parah. Sepertinya mereka sedang ada masalah, yang membuat Nyonyanya tak mau duduk bersama sang Tuan. Padahal biasanya mereka sangat menempel, tapi sebagai sopir Ia hanya bisa fokus menyetir dengan kondisi tertekan. Bagaimana tidak tertekan? B
"Kita harus kerja sekarang kan?" Aron mengeryit, "Di situasi ini?" Ia sungguh kaget, pembicaraan ini amat penting, dan sekarang Mira masih memikirkan kerja? "Aku akan teat dan akan dapat masalah," ujar Mira panik. Alih-alih menunggu suaminya bicara, ia segera masuk ke kamar mereka dan mengambil batang-barang yang harus ia bawa ke kantor. Aron kebingungan, tapi Mira terlanjur heboh sendiri dan minta dintarkan ke kantor pada sopirnya. Pada saat itulah, Aron merasa apa yang ia lakukan tidak mempan untuk Mira. Yah, Mira bukan perempuan bodoh, tapi ia hanya belum bisa menerima. Ia pun akan mencoba mengerti, jika seperti itu hasilnya. ••• Dea tadi malam memang sudah memberikan testimoni pada Mira tentang ayahnya Ia bukannya mau ikut campur, tapi ia ingin membantu ayahnya sedikit-sedikit. Makanya ia cukup banyak menceritakan tentang ayahnya pada Mira. Saat ini, Dea sudah agak senggang dan membuka ponselnya karena Baby Adam sudah tidur. Akan tetapi, ayahnya menelpon dan
"Jangan tinggalin aku!" gumam Aron dengan isak tangisnya. Mira tambah bingung, "Apa yang kamu maksud? Ninggalin apa?" tanyanya. Aaron kemudian melepas pelukannya pada Mira dan menatapnya. "Kamu nggak ninggalin aku kan?" Mira mengeryit bingung, "Maksud kamu? Lah aku kan cuma nginep di tempat Dea." "Kukira kamu gak bakal pulang karena masih marah sama aku. Aku takut kamu pulang lagi ke kampung," ujarnya dengan suara yang agak kekanakan. Jujur di sini Mira merasa bingung, apakah ini suaminya yang biasanya berwibawa, ia tampak seperti Kucing manja sekarang. Mira pun menghela nafas dan menggeleng. "Enggak kok, aku gak akan pergi sebelum nyelesein masalah kita." "Tapi kamu tetep pergi?" "Tergantung kamu," balas Mira sok cuek. Padahal ia hampir kelepasan ketawa gara-gara kondisi muka Aron terlihat seperti balita yang takut ibunya pergi. Saat Aron ingin membalas lagi, Oma menyarankan agar mereka duduk dulu. Lalu, mereka pun menurut dan berjalan menuju sofa. Mira dud
Mira merasa hatinya mulai mengeras, ia sulit percaya pada suaminya lagi. Ia takut, bahwa cintanya juga akan pudar. Ia mengirimkan pesan pada suaminya karena ingin menginap di Mansion milik Dea. Mira || Mas, ijin nginep di tempat Dea ya Aron || Kenapa? Aku mau ngobrol loh Sayang Mira || Besok aja, sekarang aku mau sama Baby Adam Menunggu cukup lama selama 5 menit, baru Aron membalas lagi. Aron || Ya udah gak papa, semoga mimpi indah Mira mendengus, "Manis banget kamu Mas," gumamnya kecewa. Ia masih kecewa dengan keadaan ini, di mana ia bahkan tidak bisa membayangkan kalau suaminya memang berselingkuh dengan Julia. Dea menatap Mira dengan prihatin, "Papi bilang apa?" "Dia mau ngobrol sama ku, tapi aku mau sama Baby Adam dulu." Dea pun mengangguk-angguk saja. Ia tak ingin membuat mood Mira turun. Ia yakin Mira dalam kondisi yang tidak membutuhkan nasihat, ia hanya butuh jeda jntuk bertemu Aron sebelum menghadapinya lagi. Menghadaoi orang yang membuat kita kecewa
Mira akan tetap berada di sendiri aja bahwa suaminya harus berusaha membuktikan bahwa ia tidak bersalah Ia merasakan trust issue dengan orang kaya seperti suaminya. Awalnya ia berharap bahwa ada titik terang, tapi ternyata Aaron juga berpotensi untuk menuju ke arah suami tidak setia. Lagian wajar sih, banyak cewek di luaran sana yang tertarim dengan Aron, tertarik untuk menikmati uang atau bahkan tubuhnya. Ia pernah diberitahu Dea, bahwa ayahnya pernah hampir diperkosa, ada juga yang terang-terangan meminta disetubuhi oleh suaminya secara gratis. Ia jadi merasa tambahsesak ketika mengingat fakta itu, ingin rasanya menangis. Ia tidak rela kalau harus membayangkan suaminya bercinta dengan perempuan lain, bayangkan kalau tangannya menyentuh entah bagian tubuh perempuan yang mana, atau perempuan mana saja yang ia sentuh. Ia tidak rela, dan terus merasa frustasi dengan itu. ••• Hari ini katanya Aron akan bertemu dengan Julia, sementara dirinya memilih pergi ke tempat Dea
Mira begadang semalaman, dan memikirkan apa yang dikatakan Dea. "Masuk akal...." gumamnya. Apakah mungkin aktivitas yang dilakukan Aron dan mantan istrinya itu, dilatarbelakangi dari kebutuhan batinnya yang tidak terpenuhi dari istrinya sendiri? Itu bisa sejalan sih, tapi Mira tidak yakin kalau Aron orang yang seperti itu. Jika memang Aron ternyata orang seperti itu, dan ia tidak tahu aslinya. Ia akan sangat hancur. Ia merasa bodoh, atau bisa jadi Aron terbiasa dengan itu dan tidak bisa sembuh. Suaminya bisa saja terbiasa melampiaskan kebutuhannya itu, pada para pelacur atau orang-orang random yang mau berhubungan badan dengannya, yang sama-sama terbiasa dengan aktivitas seperti itu. Ditambah lagi, Aron punya modal fisik yang sulit ditolak. Sangat langka untuk ukuran pria yang tampan tapi tidak doyan selingkuh, presentasenya sekitar 1 banding 10? Mira tidak tau. Biasanya perilaku playboy itu tidak bisa sembuh. Lalu, karena mereka sudah menikah, bisa saja seumur hid
Masalah antara Aron dan Mira tentu saja belum selesai, mereka masih saling diam tapi, Oppa kemudian bicara pada Aron. Mereka bicara di taman belakang, sambil ngopi dan menikmati sore yang tenang. Hari itu, Aron memang pulang lebih awal seperti biasa, ia tak tenang pergi ke kantor ketika istrinya marah padanya. Ia merasa dihantui rasa bersalah, dan merasa tak berguna. Ia merindukan Mira meski ia bisa melihatnya tiap hari, tapi tak bisa menyentuhnya, memeluknya dan menatapnya dati dekat. Mira selalu menjaga jarak, mengabaikannya dan mencoba mengurangi interaksi. Ini adalah siksaan terbesar untuknya. "Ini tidak boleh diteruskan, Aron," ujarnya. "Aku tau, hanya saja Mira tidak mau bicara padaku Yah," keluh Aron merasa frustasi sendiri. "Aku menerti, kamu kan bisa cari cara agar Mira bisa mendengarkan penjelasanmu. Bukan malah membiarkan dia menghindarimu seperti itu, perempuan memang punya ego sendiri, seperti kita parah laki-laki, sama. Tapi memang, mereka harus dibujuk deng
Malam harinya tiba, Aron menagih apa yang ditanyakan pada istrinya tadi siang. "Sayang, sekarang kamu udah mau cerita kan apa yang tadi aku tanyain ke kamu?" tanyanya. Mira yang baru naik ke ranjang dan bergabung di satu selimut yang sama dengan suaminya pun menghela napas. Ia seolah mempersiapkan semuanya untuk menjelaskan pada suaminya. Mempertimbangkan reaksinya atau akibat dari apa yang ingin ia sampaikan. "Gini..." Aron sebenarnya merasa gemas dengan istrinya yang seolah tarik ulur, tetapi ia paham bahwa ia juga butuh waktu untuk siap, jadi ia sabar menunggu. "Aku... liat waktu itu, kamu sama Maminya Dea ciuman di ruang tamu pas aku baru pulang dari rumah Dea." Deg! Wajah Aron langsung pias, seoolah baru saja ketahuan melakukan kesalahan yang ia sembunyikan, setidaknya itu yang Mira pikirkan. Ia sempat merasa khawatir kalau ternyata itu benar, akan tetapi Aron kemudian langsung berkata. "Maaf, itu salahku. Aku kira kamu gak tau?" tanya Mira langsung. Ia tak bisa men
"Maksudnya, Mami merasa nggak nyaman sama Mira dalam artian karena dia pasangan dari mantannya Mami. Eh... tapi aku paham kok kalau Mami ngerasain hal itu, karena itu kecemburuan yang wajar." Julia terlihat diam saja, seolah ingin menghindari percakapan dengan menatap ke luar jendela yang memperlihatkan taman samping Mansion. "Masalahnya kalau Mami takut aku lebih condong pada Mira, itu salah besar. Karena aku akan selalu menempatkan Mami di tempat utama, sementara Mira meskipun Ia sekarang ibu tiri aku, dia tetaplah sahabat aku. Setidaknya itu yang aku lihat, di mata aku dia adalah sahabatku. Jadi Nami nggak perlu khawatir tentang itu," ujar Dea meyakinkan. Julia masih diam, tapi kali ini terlihat mengangguk pelan. "Hem... coba deh Mami kenali Mira lebih jauh lagi. Dia asik kok orangnya," lanjut Dea meyakinkan sang ibu. Julia pun mengangguk saja tanpa mengatakan apa-apa. Dea pun mengerti, mungkin Julia sedang memikirkan atau mempertimbangkan apa yang ia sarankan. . Sem