"Apa?" Suara bapak yang terdengar lantang, telah mengejutkan Bu Melisa dan Esmeralda. "Ehm, bukan apa-apa, pak." Bu Melisa semakin terlihat gugup. Keringat dingin mengalir membasahi sekujur tubuhnya. Ia berusaha untuk melindungi Esmeralda dari kemarahan bapaknya. "Jangan bohong!" tegas Pak Belerick yang membuat Bu Melisa terkejut. Ia tersentak mendengar suara lelaki tua itu yang semakin terdengar meninggi. "Ada apa, nak? Katakan semuanya pada bapak!" ucap lelaki tua itu lagi. Kali ini nada bicaranya diturunkan lebih rendah dari sebelumnya. Ia menatap wajah Esmeralda dengan tatapan yang penuh harap. Sementara Esmeralda tampak ragu-ragu. Ditatapnya wajah ibunya yang hanya tertunduk seolah telah pasrah dengan apa yang akan terjadi. "Pak, sebelum kecelakaan, aku bertemu dengan Mas Franky," tutur Esmeralda dengan perlahan. Wajahnya ia tundukkan dalam-dalam, merasa takut melihat ekspresi kemarahan bapaknya. Tapi tak ada respon dari lelaki tua itu. Esmeralda melirik sejenak ke arah waj
Esmeralda menatap layar komputernya dengan tatapan mata yang kosong. Ia masih terngiang ucapan bapaknya tentang sebuah perjodohan yang akan diatur oleh bapaknya yang sangat ingin menimang cucu. Ngomong-ngomong soal cucu, ia tiba-tiba kembali teringat tentang kehamilan singkatnya. Ia pernah menjadi seorang ibu, meskipun ia tidak pernah melihat bayinya yang ia pikir sudah gugur. Esmeralda mendadak teringat dengan ucapan mantan suaminya - Franky yang mengatakan bahwa kehamilan ia sebelumnya, bukanlah kehamilan biasa, melainkan kehamilan anak genderuwo. Esmeralda menggeleng cepat, berusaha menepis pikiran buruknya tentang apa yang ia dengar dari mantan suaminya itu. Mana mungkin, makhluk yang berada di dua alam berbeda, bisa menghasilkan anak? "Dor!" Sebuah tepukan keras pada bahu Esmeralda yang tiba-tiba muncul dari arah belakangnya, membuat wanita itu tersentak kaget. Esmeralda menoleh, melihat Rafaela telah berdiri di belakang kursinya sambil tertawa cengengesan. Dalam sekejap,
"Kamu siapa?" tanya Esmeralda dengan tatapan mata yang tajam. Pandangannya mengarah dari ujung kepala lelaki itu hingga ujung kaki. Dia tidak ingin percaya bahwa lelaki itu yang akan dijodohkan dengannya. Jantung Esmeralda berdetak dengan kencang, menunggu jawaban dari lelaki itu."Maaf kak, kamu menempati kursiku. Apa kamu tidak melihatnya? Di meja ini telah ditulis reservasi?" tanya lelaki itu hendak memastikan. Mendengar jawaban dari Esmeralda, telah membuatnya bisa bernafas dengan lega. "Maaf," ucap Esmeralda singkat. Ia gegas pergi meninggalkan bangkunya. Pandangannya mengedar, mencari tempat duduk yang masih kosong. Tapi, hari itu di cafe yang dikunjungi oleh Esmeralda sangat ramai. Tidak seperti biasanya. Jadi wanita itu tidak memiliki tempat duduk lain. Sebuah tepukan halus di pundaknya, telah menyita perhatian wanita itu. Ia menoleh, menatap seorang lelaki yang tinggi itu, telah berdiri di belakangnya. Lelaki itu lebih tinggi dari Esmeralda, jadi ia harus mendongak untuk
"Ah...." Ling mendadak terlihat gugup. Ia tampak menggaruk-garuk kepalanya yang tidak terasa gatal. Ia menatap wajah Esmeralda yang polos. Beberapa detik kemudian, pandangannya beralih pada Rafaela yang tampak tersenyum nakal."Kalau calon suamimu keberatan, lebih baik nggak usah, Esme," ucap Rafaela secara tiba-tiba yang telah membuat perhatian Esmeralda tersita. Wanita itu menoleh, menatap wajah temannya dengan tatapan polos. "Kok keberatan? Kamu nggak keberatan kan, Ling?" Dengan cepat perhatian Esmeralda beralih pada Ling yang sepertinya tidak memiliki pilihan lain. Lelaki itu hanya menganggukkan kepalanya dengan pelan. "Kalau gitu, yuk kita pulang," ajak Esmeralda dengan antusias. Ling gegas membukakan pintu mobil untuk Esmeralda, yang membuat Rafaela semakin iri dengan temannya itu. Rafaela duduk di kursi belakang, menatap Esmeralda dan Ling yang terlihat mengobrol dengan akrab. Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di sebuah rumah yang cukup besar. Esmeralda gegas mem
"Kamu bicara apa, Esme?" Raut wajah Rafaela mendadak berubah. Ia terlihat sedikit gugup menatap wajah Esmeralda yang tersenyum kecut padanya. "Kamu berusaha menggoda Ling, kan?" ucap wanita itu tanpa berbasa-basi lagi, yang membuat Rafaela membelalakkan kedua matanya dengan lebar. "Tidak!" Rafaela menggeleng dengan cepat. Seketika semburat wajahnya terlihat panik. "Aku bahkan tidak pernah berpikir melakukan itu," sangkalnya dengan tegas. Esmeralda terdiam selama beberapa saat. Untuk sejenak, ia menjadi ragu-ragu. Raut wajah temannya itu terlihat sangat meyakinkan. Tapi di sisi lain, Ling tidak mungkin berbohong padanya. Untuk apa dia melakukan itu? "Ah, sudahlah! Aku tidak tahu siapa yang benar, dan siapa yang salah!" Esmeralda mengibaskan tangannya di depan wajah Rafaela yang kedua matanya mulai terlihat berkaca-kaca. Hanya selang beberapa saat, airmata itu mengalir perlahan membasahi pipinya. "Kamu tidak percaya padaku, Esme? Bahkan kita sudah lama saling mengenal. Kenapa kamu
Langkah Rafaela berhenti, saat ia berhadapan dengan seorang lelaki asing yang tampak kebingungan. "Kamu siapa?" tanyanya dengan penasaran. Rafaela menatap ujung rambut hingga ujung kaki dari lelaki bertubuh gemuk itu, yang balas menatapnya dengan tatapan mata yang dalam. "Permisi, apakah kamu bekerja di sini?" tanya lelaki itu dengan ragu. "Ya, kamu siapa ya? Cari siapa?" Rafaela tidak bisa menahan dirinya lagi untuk tidak bertanya. Ia terlihat tidak sabar menunggu jawaban dari lelaki itu. "Apakah benar, Esmeralda bekerja di sini?" Lelaki itu kembali menatap wajah Rafaela dengan tatapan yang menyimpan sebuah harapan besar. "Ya, benar. Kamu siapa ya?" "Aku adalah Franky, mantan suaminya," sahut lelaki itu dengan penuh percaya diri. "Apakah Esmeralda masih berada di kantor?" tanyanya lagi hendak memastikan. Rafaela menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Di kantor sudah tidak ada orang. Mereka semua sudah pulang termasuk Esmeralda." Jawaban wanita itu membuat Franky tertunduk mera
Esmeralda gegas menerima panggilan, setelah ia mengetahui bahwa panggilan itu adalah dari Ling - suaminya. Esmeralda menepikan mobilnya, sebelum ia meletakkan ponsel itu ke telinga. "Halo?" Suara wanita itu terdengar serak menyapa Ling di telpon. "Kamu kenapa, Esme? Apakah ada masalah? Suaramu terdengar tidak seperti biasanya?" tanya lelaki itu hendak memastikan. "Aku nggak apa-apa kok, Ling. Ada apa meneleponku?" Esmeralda yang enggan membahas tentang mantan suaminya itu, buru-buru mengalihkan pembicaraan. "Oh, aku hanya ingin memberitahukan padamu, Esme. Hari ini jadwalku sangat padat. Aku tidak bisa pulang tepat waktu. Bahkan mungkin aku bisa pulang sangat larut," ucap lelaki itu menjelaskan dengan gamblang. "Oh, baiklah," sahut Esmeralda singkat. "Aku memberitahumu agar kamu tidak menungguku untuk pulang. Kamu tidur duluan saja ya?" ucap lelaki itu lagi sebelum ia mengakhiri panggilan. "Ya, baiklah." Panggilan mendadak terputus. Esmeralda menatap kosong selama beberapa sa
Esmeralda melonjak dari tempat tidur. Ia gegas pergi ke kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Perutnya mendadak terasa sangat mual. Ia berusaha mengeluarkan sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman. "Uwek... uwek..." Kedua mata Esmeralda tampak merah. Tak ada apa pun yang keluar. Ia terdiam mematung selama beberapa saat menatap bayangannya di dalam cermin yang berada di hadapan wastafel. Wanita itu membuka keran air, dan membasuh wajahnya. Dengan langkah yang enggan, ia berjalan keluar dari kamar mandi, kembali ke tempat tidurnya. Kedua matanya ia arahkan ke jam dinding yang berada di atas meja rias. Waktu telah menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh menit. Wanita itu kembali menarik selimut tebalnya yang berwarna putih. Ia ingin tidur lagi, karena ia merasa sedikit tidak enak badan. "Kamu kenapa, Esme?" Ling yang baru menyadari bahwa istrinya sedang tidak baik-baik saja, mulai bertanya pada wanita itu. "Entahlah, sepertinya aku sedang tidak enak badan," jawab wanita i