Aisyah memejamkan mata, ragu-ragu namun perlahan mendekatkan wajahnya ke arah Sulistyo. Udara di antara mereka seolah membeku, penuh ketegangan yang menggigit. Napas keduanya bertemu dalam hembusan lembut yang membakar kulit, menggema di dalam kepala Aisyah dengan nyeri yang tak bisa dijelaskan. Ia bisa merasakan detak jantungnya menggila, sementara rasa takut dan pasrah bercampur menjadi satu, menghantamnya dengan kekuatan yang membuat tubuhnya kaku.
Sulistyo tersenyum penuh kemenangan. Dalam benaknya, ketundukan Aisyah adalah puncak dari segala kesenangan. Tanpa menunggu lebih lama, tangannya yang besar dan kasar melesat ke belakang kepala Aisyah, menariknya dengan keras hingga bibir mereka bertemu dalam ciuman yang intens dan penuh dominasi. Tidak ada kelembutan, hanya kerakusan yang menguasai. Bibirnya menghujam tanpa ampun, menuntut lebih dan lebih, seakan ingin menyerap habis jiwa istrinya yang gemetar di dalam genggamannya.Aisyah menahan napas, tubuhnya memPonsel di meja bergetar, nyaring, memenuhi ruang dengan dering yang menggema seperti dentuman bel kematian yang tidak terhindarkan. Nama Anisa muncul di layar, berkedip-kedip seolah mengundang harapan yang tak pernah benar-benar hadir dalam hidup Aisyah. Jemarinya gemetar saat mencoba meraih ponsel itu. Namun, tangan besar Sulistyo dengan cepat menangkap pergelangan tangannya, menghentikan gerakannya seakan mengunci nasib yang sudah diputuskan."Tidak boleh!" tegas Sulistyo dengan nada rendah yang penuh ancaman.Aisyah menatapnya dengan pandangan memohon. Matanya berkaca-kaca, bening seperti cermin yang memantulkan rasa takut dan ketidakberdayaan. "Ayolah…." Suaranya pecah, hampir seperti bisikan. "Aku hanya ingin bicara dengan kakakku sebentar saja. Aku janji tidak akan lama, dan aku tidak akan membicarakan apa pun tentangmu … Aku bersumpah!"Sulistyo tersenyum miring, senyum yang tidak membawa kehangatan tetapi ketakutan yang semakin menusuk. Ia mengusap
“Kakakmu itu.…” Sulistyo bergumam pelan, seolah berbicara dengan bayangannya sendiri, sementara senyuman licik terlukis di bibirnya. “Kalau dibiarkan, dia bisa jadi ancaman besar untukku.” Suaranya datar, tetapi penuh dengan nada ancaman yang membuat udara di ruangan terasa semakin dingin dan mencekam.Mata Aisyah membelalak. Napasnya tersentak, dadanya terasa remuk. Ia langsung menggeleng keras dengan ketakutan yang nyata, memohon dengan segenap jiwa yang tersisa. “Tidak! Jangan, aku mohon!” suaranya pecah penuh kepanikan. “Kau ... Kau sudah berjanji! Kau berjanji tidak akan menyakiti keluargaku selama aku menuruti semua keinginanmu!”Sulistyo membungkuk, mendekatkan wajahnya ke wajah Aisyah yang pucat. Tangannya mencengkeram dagu Aisyah dengan kasar, memaksa mata mereka bertemu. Cengkeramannya begitu kuat hingga Aisyah merasa tulang rahangnya berdenyut sakit. “Benarkah aku pernah berkata seperti itu?” Suaranya rendah, nyaris berbisik, tetapi penuh racun.
Sulistyo duduk santai di sofa ruang keluarga, tetapi matanya penuh waspada, mengamati setiap sudut ruangan seperti raja yang baru saja merebut tahtanya. Cahaya matahari yang masuk melalui celah tirai terasa dingin, tak mampu menembus aura suram yang melingkupinya. Dia tidak perlu memanggil keluarganya. Dia tahu—seperti serigala mencium darah—mereka akan datang sendiri, penuh rasa ingin tahu yang menyala-nyala.Tak butuh waktu lama. Langkah kaki terdengar mendekat, lalu pintu terbuka lebar. Jatmiko dan Ratri, kedua orang tuanya, masuk dengan ekspresi penuh kewaspadaan. Di belakang mereka, Prasetya, adik bungsunya yang sekarang memimpin partai besar, mengikuti dengan raut wajah setengah penasaran, setengah cemas. Mereka duduk dengan rapi, seperti para hakim yang siap mengadili."Ayah dengar," Jatmiko memulai, suaranya dalam dan tegas, meski bibirnya tampak bergetar, "kau mendapatkan kekuatan... semacam asap hitam misterius. Itu hanya rumor, kan? Sesuatu yang dilebih-lebihkan? Atau... ba
Ratri mendengus sinis, memutar bola matanya dengan malas. "Wanita tidak berguna itu... Harusnya kau bunuh saja! Lempar dia ke laut, biar hilang tanpa jejak. Dia hanya beban untuk keluarga ini!" Nada suaranya bergetar dengan kemarahan yang terpendam, seperti bara api yang siap menyulut kebencian lebih besar.Sulistyo mendengar hinaan ibunya dengan senyum yang kian melebar, namun matanya berkilat gelap, penuh gairah akan kekuasaan yang telah dia raih. Dia tertawa pelan, suara itu bagai bayangan kematian yang menyelusup pelan-pelan ke dalam ruangan. "Siapa bilang? Aisyah..." Dia menarik napas, seolah mengingat kenangan yang manis sekaligus kejam. "Dulu, dia memang seperti duri di dalam dagingku. Wanita keras kepala yang tidak tahu tempatnya. Tapi sekarang..."Dia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, memelototi ibunya dengan tatapan penuh kemenangan. "Sekarang, dia adalah wanita yang paling tunduk dan patuh yang pernah ada. Ketakutannya adalah kunci, kelemahannya menj
"Apa yang kau lakukan, Sulistyo?!" suara Jatmiko memecah ketegangan, menancap seperti pedang tajam yang menusuk udara. Tatapannya penuh kemarahan, matanya menyorotkan wibawa seorang pria yang terbiasa memimpin. "Kau membuat ibumu takut! Kau lupa, Sulistyo? Dia ibumu! Tak peduli apa pun yang terjadi, kau tidak boleh membantah atau melawan!"Sulistyo tidak bergeming. Tatapannya yang dingin dan penuh ketidakpedulian membuat atmosfer semakin mencekam. Ia memandang lurus ke arah Jatmiko, lalu dengan suara rendah yang menahan bara api, ia bertanya, "Apa kedatangan kalian berdua hanya untuk mengusikku? Untuk menyulut api di hatiku, lalu menuduhku yang membuatnya menyala? Siapa yang lebih dulu memulai, aku atau Ibu?"Suasana menegang hingga terasa menggantung di udara. Aisyah yang masih duduk di pangkuan Sulistyo menunduk semakin dalam. Ketakutan mencengkeram hatinya seperti belenggu yang tak terlihat. Tubuhnya gemetar, dan bibirnya yang pecah bergetar ketika dia mencoba b
Sulistyo kembali menutup pintu kamar dengan suara yang berat, suara kunci yang berputar menjadi tanda bahwa dunia Aisyah telah tertutup rapat dari dunia luar. Ia merasa telah melindunginya—mengurungnya di tempat yang ia anggap aman dari semua yang bisa menyakitinya. Namun bagi Aisyah, kamar dingin itu tak lebih dari sangkar yang merampas kebebasan dan harapan kecil untuk menghirup udara bebas. Di dalam ruang sempit dan gelap itu, dia hanyalah burung tanpa sayap, bersembunyi di balik jeruji yang terbuat dari kepemilikan dan obsesi.Sulistyo melangkah meninggalkan kamar, pintu terkunci di belakangnya seolah mengunci juga nuraninya yang sudah lama menghilang. Langkahnya yang santai bergema di sepanjang lorong yang berhiaskan kekuasaan dan kehampaan, membawa dirinya menuju ruang presiden yang kini menjadi singgasananya.Dia duduk di kursi besar, tubuhnya bersandar dengan penuh percaya diri, tangannya menggenggam sandaran kursi seolah dunia ada dalam genggamannya. Tidak
Nursyid terduduk dengan tatapan kosong di ruang kerjanya yang megah namun terasa semakin mencekik. Kertas-kertas laporan berserakan di sekitarnya, seolah menjadi bukti nyata betapa cepat segalanya merosot ke jurang kehancuran. Ia meremas rambutnya dengan tangan yang gemetar, mendesah panjang seakan setiap helaan napas mencuri sisa kekuatannya.“Ini benar-benar tidak normal!” gumamnya dengan suara serak. “Apa yang harus kulakukan sekarang?”Kemarahan yang lama tertahan akhirnya meledak. Dengan satu pukulan keras, ia menghantam meja di depannya. Dentuman kayu bergema, melukai keheningan ruangan. Ia mengatupkan rahangnya, giginya berderak saat ia menahan umpatan yang ingin keluar.“Sulistyo, kau iblis sialan!” desisnya. “Tak ada pilihan lagi selain menjilatmu! Hanya itu... hanya itu satu-satunya jalan!”Tangannya meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. Jemarinya menggantung di atas layar, ragu dan penuh kebencian pada dirinya sendiri. “Harga diri
Setelah beberapa saat hening, Nursyid akhirnya membuka suara dengan nada yang hampir berbisik, penuh kehati-hatian. "Omong-omong, apa aku boleh tahu... tentang keadaan Aisyah?" Sulistyo mengangkat sebelah alis, matanya menyipit penuh kecurigaan. "Kenapa kau menanyakan istriku?" suaranya mengeras seperti ancaman tersembunyi. "Apa yang sebenarnya kau inginkan darinya?" Nursyid mencoba tertawa kecil, tetapi suaranya goyah. "Bukan seperti itu... Maksudku... Aisyah sudah aku anggap seperti adikku sendiri. Kita sering bertemu di acara-acara resmi... bermain peran... berbincang seperti—" Sulistyo menyela tajam sebelum Nursyid bisa menyelesaikan kalimatnya. "Adik, atau sekutu?" Keringat dingin mulai mengalir di pelipis Nursyid. Tenggorokannya tercekat. "T-tentu saja... hanya sebagai saudara. Tidak lebih..." Sulistyo membiarkan keheningan menggantung di antara mereka, menikmati rasa takut
Aisyah merasakan keringat dingin membasahi tengkuknya saat tangan Sulistyo terulur, meminta ponselnya. Dengan jari yang bergetar, ia menyerahkan benda kecil itu—bukan hanya sebuah alat komunikasi, tetapi benteng terakhir dari privasinya yang selama ini ia lindungi dengan susah payah.Sulistyo tidak sekadar mengambil ponsel itu. Ia merebutnya kasar, seolah benda tersebut adalah miliknya sejak awal. Suara gesekan antara tangan mereka menggema dalam pikiran Aisyah seperti suara rantai yang menyeret di lantai beton. Ia menahan napas ketika pria itu menyalakan layar, matanya menyusuri setiap pesan, setiap jejak digital yang mungkin menjadi bukti penghianatan dalam pikirannya yang penuh curiga.Setelah beberapa detik yang terasa seperti abad, Sulistyo mengangkat matanya dan kembali menatap Aisyah. Tatapan itu seperti pisau tumpul—datar, tanpa ampun, dan menyakitkan dengan caranya yang mengerikan. Ia menyerahkan ponsel itu kembali padanya, tapi dengan perintah yang dingin
Malam mulai merayap ketika Aisyah dan Sulistyo kembali ke istana negara setelah kunjungan panjang ke rumah sakit. Langit kelam membayangi bangunan megah itu, dan suara gemuruh jauh dari aksi demonstrasi yang terus berlangsung, terasa seperti ancaman yang tak pernah benar-benar pergi.Mereka melangkah masuk ke kamar utama. Sulistyo melempar jasnya ke kursi dan duduk di tepi ranjang, matanya menatap kosong ke depan, pikirannya seolah terperangkap dalam sesuatu yang tak terlihat. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan."Duduklah." Suaranya terdengar datar, namun perintah itu penuh kuasa, membuat Aisyah tanpa sadar menuruti dengan patuh. Ia duduk di samping suaminya, tangannya mengepal erat di atas pangkuannya, sementara perasaan tertekan membungkus tubuhnya seperti rantai yang tak terlihat.Sulistyo memutar tubuhnya sedikit, jemarinya yang besar dan dingin menyentuh kepala Aisyah, mengusapnya dengan sentuhan yang tampak lembut namun penuh pe
Pintu kamar terbuka perlahan, engselnya berderit seperti jeritan pelan yang menyeruak ke dalam keheningan. Sulistyo melangkah masuk dengan langkah tenang namun penuh kekuasaan, bayangannya yang panjang melintasi dinding seperti sosok kegelapan yang merayap mendekati mangsanya. Aisyah, yang sebelumnya tengah memegang ponselnya dengan tangan gemetar, dengan cepat menyembunyikan perangkat itu di bawah bantal dan membaringkan diri di ranjang. Matanya terpejam rapat, napasnya ditahan, seolah tidur adalah satu-satunya pelindung dari bencana yang berdiri di ambang pintu.Sulistyo mendekat, duduk di tepi ranjang, dan tangannya yang dingin terulur, mengusap rambut Aisyah dengan gerakan yang, di permukaan, tampak penuh kasih. Namun sentuhan itu bagaikan rantai besi yang melilit leher, menahan kebebasannya."Apa kau sudah memeriksanya?" Suaranya rendah, penuh tekanan yang terpendam. Setiap kata menembus jantung seperti pisau kecil yang perlahan menusuk. "Apa kau sudah hamil?"
Komentar-komentar di komunitas media sosial terus bergulir tanpa henti seperti arus sungai yang liar, semakin deras dan panas seiring dengan berlalunya siang. Aisyah terbaring diam di tempat tidur, cahaya ponsel memantul di wajahnya yang pucat. Jemarinya menggulir layar, matanya terpaku pada setiap kata yang muncul—setiap kalimat adalah ledakan kecil yang menghantam jiwanya, mengoyak rasa tenang yang berusaha ia pertahankan.“Tapi kau lihat sendiri apa yang terjadi pada orang-orang yang menentang Sulistyo, kan? Orang-orang sekelas Nursyid saja terancam bangkrut karena berani melawannya. Apalagi orang kecil seperti kita-kita ini?”Aisyah menelan ludah, telinganya seakan mendengar gema ketakutan yang diucapkan oleh pengguna anonim di layar.“Itu benar! Apa yang bisa kita lakukan? Lihat saja para pendemo kemarin! Dua orang mati, dan jika Sulistyo tidak berbelas kasihan, mungkin lebih banyak lagi yang akan tumbang!”“Berbelas kasihan?” pikir Aisyah de
Kolom komentar di media sosial yang selama ini menjadi arena bagi suara-suara terpendam kini dipenuhi gelombang kesedihan dan kemarahan. Ratusan pesan memenuhi layar, membentuk aliran panjang yang tak henti-hentinya bergerak, mencerminkan hati dan pikiran rakyat yang mendidih."Itu sangat mengerikan!""Benar juga, Aisyah ke mana ya? Dia sudah tidak terlihat lagi di TV atau media sosial mana pun."Setiap pesan seolah-olah menjadi sumbu yang membakar api kepedihan dan kepedulian. Mereka berbicara satu sama lain, menggema dengan rasa ingin tahu yang berbalut kecemasan."Pertanyaan bodoh! Pastinya dia sudah ditahan Sulistyo karena hampir membuatnya dihukum mati.""Aisyah yang malang… Dia hanya ingin membuka mata rakyat, menunjukkan keburukan Sulistyo. Tapi apa daya? Lawannya adalah monster yang menguasai segalanya."Nama Aisyah disebut-sebut dengan penuh kasih dan simpati, seakan-akan dia adalah simbol perjuangan yang terlupakan namu
Aisyah terbangun dari tidur siangnya dengan hati yang gelisah. Udara dalam kamar terasa berat, seolah sesak oleh rahasia dan ketakutan yang tak terlihat. Tangannya terjulur meraih ponsel di meja samping tempat tidur. Dengan jantung yang berdetak cepat, ia membuka layar dan langsung menelusuri beranda media sosial yang dipenuhi berita dan komentar panas tentang Sulistyo.Berita utama yang terpampang di layar membuat matanya melebar. “Tragedi Berdarah: Dua Mahasiswa Gugur di Tangan Presiden Sulistyo.” Setiap kata terasa seperti pukulan keras yang menghantam dadanya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur emosi yang berkecamuk, meski jauh di lubuk hati, ia sudah tahu bahwa hal seperti ini akan terjadi.Komentar-komentar dari netizen mengalir deras seperti arus sungai yang tak terbendung, penuh dengan kemarahan dan ketakutan:“Sulistyo benar-benar mengerikan! Dia membunuh dua orang mahasiswa!”“Apa dia sungguh manusia? Dia lebih seperti monste
Meja makan di aula megah itu dipenuhi makanan mewah, setiap piring tersaji dengan detail sempurna. Para pelayan bergerak seperti bayangan, menyajikan hidangan dengan penuh kehormatan. Di sekitar mereka, pejabat tinggi dan orang-orang berpengaruh bercakap-cakap, membicarakan nasib rakyat yang bagi mereka hanyalah angka-angka di atas kertas.Aisyah duduk dengan tenang di sisi Sulistyo, matanya memandang lurus ke depan, tapi pikirannya melayang jauh dari hiruk-pikuk. Orang-orang berlalu-lalang, wajah-wajah yang penuh tipu daya dan senyum palsu yang memuja kekuasaan. Sesekali ia menangkap mata yang menatapnya dengan iri, wajah-wajah wanita yang ingin berada di posisinya. Mereka tidak tahu. Mereka hanya melihat kemewahan dan kemuliaan, bukan rantai tak terlihat yang membelenggu jiwa.Sulistyo menoleh, menatap Aisyah dengan senyum yang tampak hangat, meski ada sesuatu yang dingin dan menguasai di balik matanya. Tangannya terulur, menyibakkan rambut Aisyah dengan lembut,
Sulistyo berdiri di tengah tempat yang dipenuhi teriakan dan jeritan mahasiswa. Tangannya terangkat perlahan, dan dari telapak tangannya, asap hitam mulai merayap keluar, bergerak dengan kehendak yang menyerupai makhluk hidup. Asap itu menyelubungi pintu-pintu dan jendela, menutup semua jalur keluar. Suasana yang sudah mencekam berubah menjadi horor murni."Cepat keluar!" teriaknya, suaranya bergema seperti guruh di langit malam. Mata gelapnya bersinar penuh kebencian. "Jangan membuatku berubah pikiran!"Dengan satu gerakan tegas, asap hitam itu surut, membuka jalan bagi para mahasiswa yang sudah pucat pasi. Mereka berlarian, berhamburan keluar seperti kawanan domba yang diterkam serigala. Tangisan dan teriakan ketakutan mereka menggema, menyayat udara malam yang dingin. Beberapa jatuh tersungkur, sementara yang lain mendorong tanpa ampun demi menyelamatkan nyawa sendiri.Di luar, kamera-kamera televisi tetap menyala, menangkap setiap momen dengan sempurna
Setelah prosesi pelantikan Sulistyo sebagai presiden dan Prasetya sebagai wakil presiden usai, gemuruh tepuk tangan memenuhi istana. Suara riuh itu memantul di dinding-dinding megah, membentuk simfoni kepalsuan yang memekakkan telinga. Para pejabat, tamu undangan, dan tokoh-tokoh penting berdiri dengan senyum penuh sanjungan, meski sebagian besar dari mereka menelan ketakutan yang tak mampu disembunyikan di balik topeng mereka.Di luar gerbang istana, barisan mahasiswa yang dulunya berdiri tegak dengan semangat perjuangan kini tertunduk lesu. Mata mereka kosong, menyimpan trauma dari kekejaman yang baru saja mereka saksikan. Dua dari mereka telah tergeletak tak bernyawa—korban terbaru dari tangan besi Sulistyo, presiden yang kini memegang kendali penuh atas kehidupan mereka. Suara perlawanan yang dulu membakar, kini sirna. Yang tersisa hanya rasa takut yang menggerogoti jiwa.Sulistyo menatap mereka. Senyum puas terpampang di wajahnya, sebuah senyuman yang lebih me