"Apa yang kau lakukan, Sulistyo?!" suara Jatmiko memecah ketegangan, menancap seperti pedang tajam yang menusuk udara. Tatapannya penuh kemarahan, matanya menyorotkan wibawa seorang pria yang terbiasa memimpin. "Kau membuat ibumu takut! Kau lupa, Sulistyo? Dia ibumu! Tak peduli apa pun yang terjadi, kau tidak boleh membantah atau melawan!"
Sulistyo tidak bergeming. Tatapannya yang dingin dan penuh ketidakpedulian membuat atmosfer semakin mencekam. Ia memandang lurus ke arah Jatmiko, lalu dengan suara rendah yang menahan bara api, ia bertanya, "Apa kedatangan kalian berdua hanya untuk mengusikku? Untuk menyulut api di hatiku, lalu menuduhku yang membuatnya menyala? Siapa yang lebih dulu memulai, aku atau Ibu?"Suasana menegang hingga terasa menggantung di udara. Aisyah yang masih duduk di pangkuan Sulistyo menunduk semakin dalam. Ketakutan mencengkeram hatinya seperti belenggu yang tak terlihat. Tubuhnya gemetar, dan bibirnya yang pecah bergetar ketika dia mencoba bSulistyo kembali menutup pintu kamar dengan suara yang berat, suara kunci yang berputar menjadi tanda bahwa dunia Aisyah telah tertutup rapat dari dunia luar. Ia merasa telah melindunginya—mengurungnya di tempat yang ia anggap aman dari semua yang bisa menyakitinya. Namun bagi Aisyah, kamar dingin itu tak lebih dari sangkar yang merampas kebebasan dan harapan kecil untuk menghirup udara bebas. Di dalam ruang sempit dan gelap itu, dia hanyalah burung tanpa sayap, bersembunyi di balik jeruji yang terbuat dari kepemilikan dan obsesi.Sulistyo melangkah meninggalkan kamar, pintu terkunci di belakangnya seolah mengunci juga nuraninya yang sudah lama menghilang. Langkahnya yang santai bergema di sepanjang lorong yang berhiaskan kekuasaan dan kehampaan, membawa dirinya menuju ruang presiden yang kini menjadi singgasananya.Dia duduk di kursi besar, tubuhnya bersandar dengan penuh percaya diri, tangannya menggenggam sandaran kursi seolah dunia ada dalam genggamannya. Tidak
Nursyid terduduk dengan tatapan kosong di ruang kerjanya yang megah namun terasa semakin mencekik. Kertas-kertas laporan berserakan di sekitarnya, seolah menjadi bukti nyata betapa cepat segalanya merosot ke jurang kehancuran. Ia meremas rambutnya dengan tangan yang gemetar, mendesah panjang seakan setiap helaan napas mencuri sisa kekuatannya.“Ini benar-benar tidak normal!” gumamnya dengan suara serak. “Apa yang harus kulakukan sekarang?”Kemarahan yang lama tertahan akhirnya meledak. Dengan satu pukulan keras, ia menghantam meja di depannya. Dentuman kayu bergema, melukai keheningan ruangan. Ia mengatupkan rahangnya, giginya berderak saat ia menahan umpatan yang ingin keluar.“Sulistyo, kau iblis sialan!” desisnya. “Tak ada pilihan lagi selain menjilatmu! Hanya itu... hanya itu satu-satunya jalan!”Tangannya meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. Jemarinya menggantung di atas layar, ragu dan penuh kebencian pada dirinya sendiri. “Harga diri
Setelah beberapa saat hening, Nursyid akhirnya membuka suara dengan nada yang hampir berbisik, penuh kehati-hatian. "Omong-omong, apa aku boleh tahu... tentang keadaan Aisyah?" Sulistyo mengangkat sebelah alis, matanya menyipit penuh kecurigaan. "Kenapa kau menanyakan istriku?" suaranya mengeras seperti ancaman tersembunyi. "Apa yang sebenarnya kau inginkan darinya?" Nursyid mencoba tertawa kecil, tetapi suaranya goyah. "Bukan seperti itu... Maksudku... Aisyah sudah aku anggap seperti adikku sendiri. Kita sering bertemu di acara-acara resmi... bermain peran... berbincang seperti—" Sulistyo menyela tajam sebelum Nursyid bisa menyelesaikan kalimatnya. "Adik, atau sekutu?" Keringat dingin mulai mengalir di pelipis Nursyid. Tenggorokannya tercekat. "T-tentu saja... hanya sebagai saudara. Tidak lebih..." Sulistyo membiarkan keheningan menggantung di antara mereka, menikmati rasa takut
"Tolong! Siapa pun! Tolong aku!”Teriakan memilukan menggema di sebuah aula besar yang gelap dan sepi dalam istana negara. Suara tangisan seorang gadis muda berusia 19 tahun merobek keheningan malam, memohon belas kasihan yang tak kunjung datang. Tubuhnya tergeletak tak berdaya, mencoba melawan kekuatan seorang pria yang memaksanya. Di atasnya, wajah dingin Sulistyo Nugroho—calon wakil presiden yang segera dilantik—tak menunjukkan penyesalan sedikit pun.Dia tersenyum sinis di tengah jeritan itu, seolah menikmati kekuasaannya yang tak tergoyahkan. Di sisi lain, gadis itu menggigil, air matanya bercampur rasa sakit dan kehinaan yang tak dapat ia ungkapkan. Tidak ada saksi, hanya dinding-dinding dingin yang membisu di aula megah itu.---Sejak dua minggu setelah kejadian itu, Aisyah terbaring diam di kamar kecilnya. Tubuhnya terasa remuk, bukan hanya karena luka fisik, tetapi juga rasa jijik dan hina yang menusuk batinnya. Ia menatap langit-langit kamar dengan mata sembab, air matanya t
Tiga hari kemudian, Aisyah duduk di depan meja rias, wajahnya dingin seperti porselen. Beberapa MUA sibuk merapikan riasannya, namun suasana di ruangan itu terasa berat, penuh ketegangan yang tak terlihat. Hanya suara lembut kuas bedak yang berbisik di udara, menemani keheningan yang menggantung. "Wah, calon istri wakil presiden kita memang luar biasa cantik! Tidak heran kalau calon wakil presiden yang katanya dingin itu bisa jatuh hati. Rupanya pengibar bendera tidak hanya ahli mengibarkan bendera, tapi juga perasaan pria seperti seorang calon wakil presiden!" ujar salah satu MUA yang tampaknya berusaha mencairkan suasana. Aisyah meliriknya sekilas dari balik cermin, senyum tipis terukir di bibirnya. Namun, itu bukan senyum ramah, melainkan senyuman yang dingin dan penuh ketidaksenangan. Ekspresinya cukup untuk membuat orang di sekitarnya merasa kecil. "Fokus saja merias," tegur seorang MUA lain, menyenggol rekannya pelan. MUA yang cerewet itu mendengus kecil, tetapi segera me
Malam pertama setelah pesta pernikahan itu terasa seperti neraka bagi Aisyah. Ia duduk di depan cermin besar, berusaha melepas konde yang terasa seperti belenggu di kepalanya. Gerakannya lambat, hampir tanpa tenaga. Wajahnya memucat, menahan rasa lelah dan kehinaan yang menghimpit.Sulistyo berdiri di sudut ruangan, tangan terlipat di dada, matanya mengawasi Aisyah seperti seekor elang. Tatapannya tajam, dipenuhi kebencian yang tak berusaha ia sembunyikan.Aisyah tahu, pria itu tidak berniat menyembunyikan rasa muaknya terhadap dirinya. Namun, ia hanya bisa diam, tangannya gemetar saat mencoba membuka sanggul yang sudah membuat kepalanya nyeri. "Apalagi yang dia mau dariku?" batinnya, tapi ia tak punya keberanian untuk berkata sepatah kata pun.Sulistyo akhirnya angkat bicara, suaranya tajam menusuk. "Ini semua salahmu. Jangan bertingkah seperti korban."Aisyah terhenti sejenak, tapi tak berani berbalik. Ia hanya memejamkan matanya rapat-rapat. "Korban? Aku memang korban... Semua oran
Pagi itu, langkah berat terdengar mendekati kamar Aisyah. Pintu terbuka dengan kasar, dan Ratri, ibu Sulistyo, masuk dengan tatapan tajam. Tanpa mengatakan apapun, ia menarik selimut yang menutupi tubuh Aisyah dengan gerakan penuh emosi.“Jam segini masih tidur? Bangun!” bentaknya, suaranya menggema di ruangan sempit itu.Aisyah membuka mata perlahan, tubuhnya terasa remuk. Wajahnya yang memar tampak lesu, dan nafasnya masih tersengal akibat malam yang panjang. “Aku sudah bangun sejak jam tiga tadi,” gumamnya lirih.“Lalu kenapa kembali tidur? Cepat bangun! Kau pikir hidupmu di sini untuk bermalas-malasan?” Ratri menarik tangan Aisyah dengan kasar, membuat tubuhnya limbung.Aisyah berusaha duduk, menahan rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuh. Wajahnya tanpa ekspresi, hanya tatapan dingin yang ia berikan. “Apa lagi?” tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.“Kau itu sudah jadi istri! Cepat ke dapur dan siapkan sarapan untuk suamimu!” perintah Ratri, nadanya penuh otoritas.Aisyah m
Aisyah duduk di atas ranjang rumah sakit, mengenakan pakaian pasien yang longgar. Wajahnya datar, matanya malas menatap orang-orang di sekelilingnya. Ratri berdiri di depan dokter, raut wajahnya tampak khawatir—atau lebih tepatnya, pura-pura khawatir.“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Ratri dengan nada yang dibuat cemas.Dokter wanita itu tersenyum tipis, mencoba menciptakan suasana tenang. “Ananda Aisyah tidak mengalami keguguran,” jawabnya tenang.Aisyah mendesah pelan, pandangannya beralih pada dokter. “Kalau begitu, kenapa bagian bawah tubuh saya mengeluarkan begitu banyak darah?” tanyanya, nadanya terdengar santai, seolah rasa sakit yang dirasakannya tak berarti apa-apa.Dokter memperhatikan Aisyah sejenak sebelum menjawab dengan profesional, “Pendarahan itu bukan karena keguguran. Melainkan karena luka robek di dinding vagina akibat hubungan seksual yang terlalu kasar.”Ruangan itu langsung hening. Semua mata kini beralih pada Sulistyo, yang berdiri di pojok ruangan. Wajahnya t
Setelah beberapa saat hening, Nursyid akhirnya membuka suara dengan nada yang hampir berbisik, penuh kehati-hatian. "Omong-omong, apa aku boleh tahu... tentang keadaan Aisyah?" Sulistyo mengangkat sebelah alis, matanya menyipit penuh kecurigaan. "Kenapa kau menanyakan istriku?" suaranya mengeras seperti ancaman tersembunyi. "Apa yang sebenarnya kau inginkan darinya?" Nursyid mencoba tertawa kecil, tetapi suaranya goyah. "Bukan seperti itu... Maksudku... Aisyah sudah aku anggap seperti adikku sendiri. Kita sering bertemu di acara-acara resmi... bermain peran... berbincang seperti—" Sulistyo menyela tajam sebelum Nursyid bisa menyelesaikan kalimatnya. "Adik, atau sekutu?" Keringat dingin mulai mengalir di pelipis Nursyid. Tenggorokannya tercekat. "T-tentu saja... hanya sebagai saudara. Tidak lebih..." Sulistyo membiarkan keheningan menggantung di antara mereka, menikmati rasa takut
Nursyid terduduk dengan tatapan kosong di ruang kerjanya yang megah namun terasa semakin mencekik. Kertas-kertas laporan berserakan di sekitarnya, seolah menjadi bukti nyata betapa cepat segalanya merosot ke jurang kehancuran. Ia meremas rambutnya dengan tangan yang gemetar, mendesah panjang seakan setiap helaan napas mencuri sisa kekuatannya.“Ini benar-benar tidak normal!” gumamnya dengan suara serak. “Apa yang harus kulakukan sekarang?”Kemarahan yang lama tertahan akhirnya meledak. Dengan satu pukulan keras, ia menghantam meja di depannya. Dentuman kayu bergema, melukai keheningan ruangan. Ia mengatupkan rahangnya, giginya berderak saat ia menahan umpatan yang ingin keluar.“Sulistyo, kau iblis sialan!” desisnya. “Tak ada pilihan lagi selain menjilatmu! Hanya itu... hanya itu satu-satunya jalan!”Tangannya meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. Jemarinya menggantung di atas layar, ragu dan penuh kebencian pada dirinya sendiri. “Harga diri
Sulistyo kembali menutup pintu kamar dengan suara yang berat, suara kunci yang berputar menjadi tanda bahwa dunia Aisyah telah tertutup rapat dari dunia luar. Ia merasa telah melindunginya—mengurungnya di tempat yang ia anggap aman dari semua yang bisa menyakitinya. Namun bagi Aisyah, kamar dingin itu tak lebih dari sangkar yang merampas kebebasan dan harapan kecil untuk menghirup udara bebas. Di dalam ruang sempit dan gelap itu, dia hanyalah burung tanpa sayap, bersembunyi di balik jeruji yang terbuat dari kepemilikan dan obsesi.Sulistyo melangkah meninggalkan kamar, pintu terkunci di belakangnya seolah mengunci juga nuraninya yang sudah lama menghilang. Langkahnya yang santai bergema di sepanjang lorong yang berhiaskan kekuasaan dan kehampaan, membawa dirinya menuju ruang presiden yang kini menjadi singgasananya.Dia duduk di kursi besar, tubuhnya bersandar dengan penuh percaya diri, tangannya menggenggam sandaran kursi seolah dunia ada dalam genggamannya. Tidak
"Apa yang kau lakukan, Sulistyo?!" suara Jatmiko memecah ketegangan, menancap seperti pedang tajam yang menusuk udara. Tatapannya penuh kemarahan, matanya menyorotkan wibawa seorang pria yang terbiasa memimpin. "Kau membuat ibumu takut! Kau lupa, Sulistyo? Dia ibumu! Tak peduli apa pun yang terjadi, kau tidak boleh membantah atau melawan!"Sulistyo tidak bergeming. Tatapannya yang dingin dan penuh ketidakpedulian membuat atmosfer semakin mencekam. Ia memandang lurus ke arah Jatmiko, lalu dengan suara rendah yang menahan bara api, ia bertanya, "Apa kedatangan kalian berdua hanya untuk mengusikku? Untuk menyulut api di hatiku, lalu menuduhku yang membuatnya menyala? Siapa yang lebih dulu memulai, aku atau Ibu?"Suasana menegang hingga terasa menggantung di udara. Aisyah yang masih duduk di pangkuan Sulistyo menunduk semakin dalam. Ketakutan mencengkeram hatinya seperti belenggu yang tak terlihat. Tubuhnya gemetar, dan bibirnya yang pecah bergetar ketika dia mencoba b
Ratri mendengus sinis, memutar bola matanya dengan malas. "Wanita tidak berguna itu... Harusnya kau bunuh saja! Lempar dia ke laut, biar hilang tanpa jejak. Dia hanya beban untuk keluarga ini!" Nada suaranya bergetar dengan kemarahan yang terpendam, seperti bara api yang siap menyulut kebencian lebih besar.Sulistyo mendengar hinaan ibunya dengan senyum yang kian melebar, namun matanya berkilat gelap, penuh gairah akan kekuasaan yang telah dia raih. Dia tertawa pelan, suara itu bagai bayangan kematian yang menyelusup pelan-pelan ke dalam ruangan. "Siapa bilang? Aisyah..." Dia menarik napas, seolah mengingat kenangan yang manis sekaligus kejam. "Dulu, dia memang seperti duri di dalam dagingku. Wanita keras kepala yang tidak tahu tempatnya. Tapi sekarang..."Dia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, memelototi ibunya dengan tatapan penuh kemenangan. "Sekarang, dia adalah wanita yang paling tunduk dan patuh yang pernah ada. Ketakutannya adalah kunci, kelemahannya menj
Sulistyo duduk santai di sofa ruang keluarga, tetapi matanya penuh waspada, mengamati setiap sudut ruangan seperti raja yang baru saja merebut tahtanya. Cahaya matahari yang masuk melalui celah tirai terasa dingin, tak mampu menembus aura suram yang melingkupinya. Dia tidak perlu memanggil keluarganya. Dia tahu—seperti serigala mencium darah—mereka akan datang sendiri, penuh rasa ingin tahu yang menyala-nyala.Tak butuh waktu lama. Langkah kaki terdengar mendekat, lalu pintu terbuka lebar. Jatmiko dan Ratri, kedua orang tuanya, masuk dengan ekspresi penuh kewaspadaan. Di belakang mereka, Prasetya, adik bungsunya yang sekarang memimpin partai besar, mengikuti dengan raut wajah setengah penasaran, setengah cemas. Mereka duduk dengan rapi, seperti para hakim yang siap mengadili."Ayah dengar," Jatmiko memulai, suaranya dalam dan tegas, meski bibirnya tampak bergetar, "kau mendapatkan kekuatan... semacam asap hitam misterius. Itu hanya rumor, kan? Sesuatu yang dilebih-lebihkan? Atau... ba
“Kakakmu itu.…” Sulistyo bergumam pelan, seolah berbicara dengan bayangannya sendiri, sementara senyuman licik terlukis di bibirnya. “Kalau dibiarkan, dia bisa jadi ancaman besar untukku.” Suaranya datar, tetapi penuh dengan nada ancaman yang membuat udara di ruangan terasa semakin dingin dan mencekam.Mata Aisyah membelalak. Napasnya tersentak, dadanya terasa remuk. Ia langsung menggeleng keras dengan ketakutan yang nyata, memohon dengan segenap jiwa yang tersisa. “Tidak! Jangan, aku mohon!” suaranya pecah penuh kepanikan. “Kau ... Kau sudah berjanji! Kau berjanji tidak akan menyakiti keluargaku selama aku menuruti semua keinginanmu!”Sulistyo membungkuk, mendekatkan wajahnya ke wajah Aisyah yang pucat. Tangannya mencengkeram dagu Aisyah dengan kasar, memaksa mata mereka bertemu. Cengkeramannya begitu kuat hingga Aisyah merasa tulang rahangnya berdenyut sakit. “Benarkah aku pernah berkata seperti itu?” Suaranya rendah, nyaris berbisik, tetapi penuh racun.
Ponsel di meja bergetar, nyaring, memenuhi ruang dengan dering yang menggema seperti dentuman bel kematian yang tidak terhindarkan. Nama Anisa muncul di layar, berkedip-kedip seolah mengundang harapan yang tak pernah benar-benar hadir dalam hidup Aisyah. Jemarinya gemetar saat mencoba meraih ponsel itu. Namun, tangan besar Sulistyo dengan cepat menangkap pergelangan tangannya, menghentikan gerakannya seakan mengunci nasib yang sudah diputuskan."Tidak boleh!" tegas Sulistyo dengan nada rendah yang penuh ancaman.Aisyah menatapnya dengan pandangan memohon. Matanya berkaca-kaca, bening seperti cermin yang memantulkan rasa takut dan ketidakberdayaan. "Ayolah…." Suaranya pecah, hampir seperti bisikan. "Aku hanya ingin bicara dengan kakakku sebentar saja. Aku janji tidak akan lama, dan aku tidak akan membicarakan apa pun tentangmu … Aku bersumpah!"Sulistyo tersenyum miring, senyum yang tidak membawa kehangatan tetapi ketakutan yang semakin menusuk. Ia mengusap
Aisyah memejamkan mata, ragu-ragu namun perlahan mendekatkan wajahnya ke arah Sulistyo. Udara di antara mereka seolah membeku, penuh ketegangan yang menggigit. Napas keduanya bertemu dalam hembusan lembut yang membakar kulit, menggema di dalam kepala Aisyah dengan nyeri yang tak bisa dijelaskan. Ia bisa merasakan detak jantungnya menggila, sementara rasa takut dan pasrah bercampur menjadi satu, menghantamnya dengan kekuatan yang membuat tubuhnya kaku.Sulistyo tersenyum penuh kemenangan. Dalam benaknya, ketundukan Aisyah adalah puncak dari segala kesenangan. Tanpa menunggu lebih lama, tangannya yang besar dan kasar melesat ke belakang kepala Aisyah, menariknya dengan keras hingga bibir mereka bertemu dalam ciuman yang intens dan penuh dominasi. Tidak ada kelembutan, hanya kerakusan yang menguasai. Bibirnya menghujam tanpa ampun, menuntut lebih dan lebih, seakan ingin menyerap habis jiwa istrinya yang gemetar di dalam genggamannya.Aisyah menahan napas, tubuhnya mem