Aisyah berjalan perlahan menuju dapur, niatnya hanya ingin mengisi energi setelah menghabiskan pagi di perpustakaan bersama Mahendra. Mereka membahas ekonomi dan kebijakan moneter hingga Mahendra harus berangkat ke Bank Sentral pukul delapan pagi. Langkah Aisyah terhenti ketika samar-samar terdengar percakapan dari ruang tamu. Ia menoleh ke arah suara itu, lalu mengintip melalui celah pintu.
Sulistyo duduk bersama kedua orang tuanya, Ratri dan mantan presiden, ditemani seorang gadis muda yang tak bisa diabaikan pesonanya. Gadis itu mengenakan pakaian tradisional Dwipantara yang sempurna membingkai keanggunannya. Aisyah menyipitkan mata, rasa ingin tahunya terpicu meski ia tahu dirinya tak seharusnya peduli."Siapa lagi wanita itu?" gumam Aisyah dalam hati. Ia mencoba mendengar lebih jelas, menajamkan pendengarannya."Jadi, Nak, bagaimana? Kau pasti setuju menikah dengan Anindya, kan?" tanya Ratri dengan semangat menggebu, suaranya penuh harapan.AAisyah duduk di sudut perpustakaan, dikelilingi deretan buku tebal. Tangannya dengan tenang membolak-balik halaman buku yang sedang dibacanya, sementara musik lembut mengalun melalui earphone bluetooth yang terpasang di telinganya. Suasana terasa damai, seolah dunia luar tidak berpengaruh pada ketenangan yang ia ciptakan sendiri.Namun, kedamaian itu segera terganggu oleh langkah-langkah tergesa-gesa yang mendekat. Mila dan Misa, pelayan yang sudah seperti teman baginya, masuk dengan napas tersengal-sengal."Nona!" panggil mereka bersamaan, wajah mereka menyiratkan kekhawatiran yang mendalam.Aisyah melepas earphone dengan perlahan, menatap mereka dengan ekspresi datar. "Ada apa?" tanyanya santai, seolah tidak ingin terburu-buru menghadapi apapun masalah yang dibawa kedua pelayan itu."Apa Nona belum mengetahuinya?" Mila membuka pembicaraan, namun sebelum ia melanjutkan, Misa menyambung dengan nada lebih panik."Tuan Sulistyo... Dia..."
Seminggu kemudian, suasana di lokasi shooting dipenuhi antisipasi. Semua mata tertuju pada dua sosok wanita yang berdiri di tengah panggung. Anindya, dengan anggun mengenakan gaun tradisional, tampak memukau seperti seorang bangsawan sejati. Sementara itu, Aisyah mengenakan pakaian modern yang kasual, berdiri dengan sikap santai namun penuh percaya diri."Baiklah," Nursyid, sang sutradara, membuka briefing dengan suara lantang, "Kalian berdua akan memainkan peran dalam konsep modern versus tradisional. Ceritanya, kalian adalah dua wanita yang terjebak dalam dunia yang berbeda. Satu menjadi permaisuri kerajaan Dwipantara yang anggun, dan satu lagi adalah gadis modern yang bertransmigrasi ke tubuh seorang selir. Jadi, siapa yang akan menjadi permaisuri dan siapa yang akan menjadi selir?"Anindya melirik Aisyah dengan pandangan penuh arti. Di dalam hatinya, ia merasa tidak ada kompetisi di sini—tentu saja ia lebih cocok menjadi permaisuri. "Aku adalah calon permaisuri
Panggung mulai dipersiapkan dengan detail. Sebuah ranjang besar dengan seprai yang terlihat sedikit berantakan menjadi pusat perhatian, di sekelilingnya terdapat bantal-bantal berserakan, serta meja kecil yang dipenuhi berbagai camilan. Cahaya lampu redup menciptakan suasana kamar yang nyaman, namun sekaligus penuh kekacauan."Baiklah," ucap Nursyid dengan nada tegas namun bersemangat, menatap seluruh kru dan pemeran. "Adegan pertama akan berlangsung di kamar selir!"Lampu sorot perlahan menyala, menyoroti Aisyah yang sudah berada di atas panggung. Dengan santai, ia berbaring di atas ranjang, mengambil beberapa camilan, dan memakannya dengan ekspresi bosan. Aktingnya sebagai seorang gadis modern yang terjebak dalam tubuh selir tampak begitu alami dan meyakinkan."Dunia macam apa ini?" keluh Aisyah, sambil menggigit camilan. "Tidak ada AC, tidak ada ponsel, dan tidak ada Wi-Fi. Membosankan sekali!" Ia mendengus, melempar bantal ke udara.Namun, sua
Setelah akting yang melelahkan di acara yang diselenggarakan Nursyid untuk mempromosikan produk LighGlow cosmetics, Anindya akhirnya kembali ke kamarnya. Ia menjatuhkan diri di atas ranjang yang empuk, tetapi rasa lelah fisik tidak mampu meredam kegelisahan dan amarah yang berkecamuk di dalam hatinya. Tatapan matanya kosong menatap langit-langit, sementara suara hatinya terus bergemuruh."Anak itu benar-benar meresahkan!" gumam Anindya dengan nada geram, tangannya mengepal kuat hingga kuku-kukunya hampir menembus telapak tangannya. "Dia membantai habis-habisan peranku! Apa yang dia pikirkan, mempermalukan aku seperti itu?"Rasa frustasi membuatnya bangkit dengan kasar dari ranjang. Ia meraih ponselnya yang tergeletak di meja samping, berharap menemukan pelipur lara di antara komentar-komentar para penggemarnya di media sosial. Dengan cepat, ia membuka aplikasi favoritnya, dan benar saja—kolom komentarnya dipenuhi pujian."Kak Anindya sangat keren! Meskipun
Keesokan harinya, panggung megah yang dipenuhi dengan ornamen kerajaan kembali dihiasi oleh ketiga pemerannya—Nursyid, Aisyah, dan Anindya. Kamera siaran langsung mulai merekam, menangkap momen ketika Nursyid, dengan penuh wibawa, berdiri di tengah panggung sebagai raja yang bijaksana. Suaranya menggema dengan nada serius namun tenang, membawa suasana yang segera menyita perhatian penonton.“Baiklah, istri-istriku tercinta,” katanya dengan nada mendalam, “bagaimana hasil rencana kalian untuk melawan negara seberang? Apakah persiapan kita sudah matang?”Anindya, yang memerankan permaisuri, melangkah maju dengan anggun. Wajahnya yang dihiasi senyum tipis menyembunyikan kelelahan luar biasa yang membayang di matanya. Ia berjongkok dengan penuh hormat, menyerahkan sebuah gulungan yang terlihat kuno ke tangan Nursyid.“Ini, yang mulia,” katanya lembut, suaranya penuh kesopanan.Nursyid menerima gulungan itu dengan kedua tangannya, mengangkatnya tinggi-
Setelah syuting berakhir, malam menyelimuti studio dengan keheningan yang kontras dengan keramaian beberapa jam sebelumnya. Anindya sudah lebih dulu pulang, meninggalkan lokasi dengan wajah lelah tapi penuh semangat untuk melanjutkan usahanya mengumpulkan vote. Sementara itu, Aisyah baru saja melangkah keluar dari studio, menghirup udara malam yang sejuk. Namun, langkahnya terhenti saat melihat sosok Nursyid yang berdiri di parkiran, terkekeh kecil sambil menatap ponselnya. Cahaya layar ponsel memantulkan kilatan matre di wajah pria itu, membuat Aisyah mendekat dengan rasa penasaran.“Banyak dapat uang, ya?” tanyanya dengan nada santai, namun terselip senyum nakal yang membuat Nursyid menoleh.Nursyid menatap Aisyah dengan senyum sombong, seperti seorang raja yang baru saja menaklukkan kerajaan lain. “Tentu saja!” jawabnya, suaranya penuh kebanggaan. “Sistem vote itu benar-benar ide jenius! Rekeningku dibanjiri uang. Aku kaya, Aisyah! Semakin kaya!”Aisyah
Di dalam kamar mewah dengan lampu-lampu hias yang memancarkan kehangatan, Anindya duduk di sofa empuknya, dikelilingi oleh perangkat makeup, kartu-kartu bank, dan ponsel yang tak pernah lepas dari tangannya. Suasana malam yang seharusnya menenangkan berubah menjadi ajang strategi pribadi yang penuh ketegangan. Dengan penuh semangat, jari-jarinya terus mengklik layar, memastikan setiap transaksi berjalan mulus untuk membeli produk LightGlow Cosmetics."Semuanya harus sempurna," gumamnya, wajahnya penuh tekad. Namun, di balik keanggunan geraknya, keringat mulai mengalir di pelipisnya. Ia tidak sekadar membeli untuk dirinya sendiri. Beberapa penggemarnya yang setia sudah diberi uang agar turut membantu vote untuk dirinya. Anindya tahu, memenangkan hati penggemar adalah kunci kemenangan dalam kompetisi ini.Namun, tiba-tiba, tangannya terhenti. Layar ponselnya memunculkan angka yang membuat matanya membelalak. Saldo rekeningnya… mendekati nol!"Hah? Apa-apaan
Panggung kembali dipenuhi nuansa megah ala kerajaan, lengkap dengan pernak-pernik yang membuat suasana terasa hidup. Gemerlap lampu berwarna emas menerangi setiap sudut, menambah aura dramatis pada momen penting itu. Di tengah-tengah panggung, berdiri Nursyid dengan pakaian kebesaran seorang raja, auranya penuh wibawa. Dalam genggamannya, sebuah gulungan keputusan yang akan menentukan senjata mana yang akan digunakan untuk menghadapi negara seberang."Istri-istriku…" Nursyid membuka suaranya, tegas namun penuh karisma. Ia melayangkan pandangannya ke arah Anindya dan Aisyah, kedua wanita yang berdiri di sisinya. "Kalian berdua adalah wanita hebat. Aku bangga pada kalian. Kalian telah mempersembahkan ide-ide luar biasa untuk masa depan kerajaan ini. Di tanganku sekarang ada hasil keputusan dari rapat para petinggi dan suara rakyat. Pilihan senjata untuk perang melawan negeri seberang akan segera diumumkan."Ia mengangkat gulungan itu tinggi-tinggi, membuat semua mata
Sulistyo melangkah masuk ke kamar dengan wajah penuh percaya diri. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Aisyah duduk meringkuk di sudut ranjang, tubuhnya gemetar hebat. Wajahnya tersembunyi di balik bantal yang ia tekan erat-erat ke kepalanya, seolah mencoba memblokir sesuatu yang tak terlihat. Sesekali, isakan kecil terdengar dari balik bantal itu. Matanya menyipit, bingung dan sedikit terganggu. Dalam hitungan detik, dia berlari menghampiri Aisyah, lututnya berlutut di samping ranjang. Dengan lembut, tangannya menarik bantal dari wajah istrinya. "Ada apa, sayang? Kenapa menangis?" Wajah Aisyah basah oleh air mata, matanya sembab dan penuh ketakutan. Suaranya bergetar saat ia berbicara. "Dari tadi… Aku terus mendengar suara tembakan dan teriakan orang-orang." Ia menggigit bibir bawahnya, suaranya semakin lirih. "Aku tidak berani melihat ke jendela. Apa yang terjadi di luar sana?" Sulistyo terdiam sejenak, menyusun kata-kata dalam pikirannya. Kemudian, dengan suara yang mene
Sulistyo berdiri angkuh di atas balkon istana negara, tubuhnya dibalut setelan formal yang memancarkan kekuasaan. Matanya menatap ke bawah dengan pandangan tajam penuh kepuasan, seolah dunia ini adalah panggung kecil yang ia kendalikan sepenuhnya. Udara malam yang dingin menyapu wajahnya, namun tak mampu mengusir kehangatan memabukkan dari rasa kemenangan yang memenuhi dirinya."Damai sekali…" gumamnya pelan, tapi penuh arogansi. Sebuah senyum licik mengembang di wajahnya. "Memang tidak ada yang tidak bisa diselesaikan dengan uang."Ia berbalik, langkahnya perlahan namun penuh wibawa. Namun, saat punggungnya baru saja meninggalkan pandangan dari balkon, suara kerumunan mulai terdengar dari kejauhan. Raungan protes yang membakar udara malam bergema seperti guntur. Sulistyo berhenti di tengah langkah, mendengarkan dengan tenang, lalu kembali ke tepi balkon, kali ini dengan alis sedikit mengernyit.Di bawah sana, gelombang manusia mulai berkumpul di gerbang i
Malam itu, suasana di rumah Anisa sangat sunyi. Angin malam bertiup lembut, menggoyangkan tirai jendela di ruang tamu tempat ia duduk sendiri, hanya ditemani oleh cahaya televisi yang menampilkan berita nasional. Adik-adiknya sudah terlelap di ranjang, tubuh kecil mereka bersandar dengan damai, tidak menyadari betapa resah hati kakak mereka.Anisa memeluk lututnya, matanya menatap layar televisi dengan raut penuh kebencian yang ia coba tahan agar tidak meledak. Lagi-lagi, layar kaca itu dipenuhi dengan berita selebriti yang sama sekali tidak penting. Perdebatan soal drama percintaan artis yang dipoles sedemikian rupa memenuhi setiap segmen, menggantikan pemberitaan luar negeri yang sebelumnya sempat membahas kebobrokan sistem pemerintahan di Dwipantara.Pemberitaan itu hanya bertahan sejenak, seperti embun pagi yang menguap sebelum sempat menyentuh tanah. Anisa tahu alasannya. "Tch! Pasti televisi sudah disogok pemerintah lagi!" gumamnya dengan suara pelan, meluapk
Keesokan harinya, layar-layar televisi di seluruh penjuru negeri dipenuhi berita yang sama: "GDP Dwipantara Mengalami Penurunan Tajam, Negara Terancam Krisis Ekonomi." Gambar-gambar grafik ekonomi yang menukik tajam ke bawah terpampang jelas, diselingi laporan dari para analis ekonomi lokal dan internasional."Rendahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan pajak yang melambung tinggi telah melumpuhkan perekonomian nasional," ucap salah satu pembawa berita dengan nada serius. "UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat kini bertumbangan satu per satu, tak mampu bertahan di tengah himpitan ekonomi."Rekaman jalanan yang sepi dari aktivitas jual beli ditampilkan, diikuti visual mall-mall besar yang kosong melompong, dengan hanya segelintir orang yang terlihat berjalan cepat, sekadar untuk membeli kebutuhan pokok."Masyarakat Dwipantara kini bekerja tanpa henti, bagaikan kuda, hanya untuk mengisi perut mereka sendiri," lanjut pembawa berita, suaranya pen
Aisyah berbaring di ranjang dengan tubuh yang terasa seolah terkunci. Di sebelahnya, Sulistyo bersandar santai, dengan senyum puas menghiasi wajahnya. Cahaya dari televisi menerangi kamar yang megah namun terasa sesak bagi Aisyah. Film romantis yang sedang diputar menambah ironi dalam hatinya, karena adegan-adegan penuh cinta itu jauh dari apa yang ia rasakan sekarang."Aku kurang suka film romantis," ucap Aisyah akhirnya, mencoba terdengar selembut mungkin agar tidak memicu amarah suaminya. Ia menyandarkan kepalanya di lengan Sulistyo, memasang senyum kecil yang dipaksakan. "Boleh ganti dengan film action atau thriller?" nada manjanya terasa aneh di telinganya sendiri, tetapi ia harus terus memainkan peran ini.Sulistyo menoleh ke arahnya, matanya yang tajam memerhatikan Aisyah seolah sedang membaca pikirannya. Ia terdiam beberapa detik, membuat suasana di antara mereka menjadi tegang. "Tapi, film seperti itu temanya berat," katanya akhirnya, suaranya rendah namun
Aisyah duduk di atas ranjangnya yang dingin, memegangi kepala dengan kedua tangannya. Napasnya berat, penuh rasa frustrasi yang sulit ia tahan. Matanya berkaca-kaca saat kata-kata itu akhirnya keluar dari bibirnya dalam bisikan getir. "Bagaimana ini? Aku sudah hamil… Aku benar-benar mengandung anak dari tirani itu."Dengan gemetar, ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran ranjang, kedua tangannya perlahan bergerak mengusap perutnya yang masih rata. Sentuhan itu terasa asing, seperti menghubungkan dirinya dengan sesuatu yang sekaligus membangkitkan cinta sekaligus kebencian. "Aku harus melahirkannya," gumamnya pelan. "Harus tetap melahirkannya, meskipun kemungkinan besar dia akan mewarisi tahta ayahnya sebagai presiden KKN."Aisyah mendongak, menatap kosong ke langit-langit kamar. "Tapi aku berjanji… sebagai ibunya, aku akan mendidiknya dengan benar. Kalau bisa… aku akan membuatnya menjadi senjata untuk melawan ayahnya sendiri." Matanya menyipit, penuh tekad. Ia menga
Sulistyo duduk di tepi ranjang, menatap perut Aisyah yang mulai membesar. Tangannya terulur, dengan lembut mengusap perut itu seolah mencari kehangatan dari kehidupan yang tumbuh di dalamnya."Jika sudah lahir, ingin diberi nama apa bayi kita?" tanyanya dengan suara yang terdengar tenang, namun mata tajamnya tetap memancarkan dominasi.Aisyah menoleh pelan, menatapnya dengan mata yang lelah. Air mukanya penuh kebingungan dan ketidakpastian. "Entahlah…" jawabnya, suaranya hampir seperti bisikan.Sulistyo tersenyum kecil, seolah menemukan sesuatu yang menghibur di balik sikap Aisyah yang bingung. "Bagaimana dengan nama seperti Kusumo?" tanyanya, suaranya terdengar penuh kebanggaan.Namun, Aisyah hanya menggeleng pelan. "Kita belum tahu yang lahir adalah anak perempuan atau anak laki-laki."Sejenak, suasana menjadi sunyi. Wajah Sulistyo yang sebelumnya terlihat tenang tiba-tiba menggelap. Matanya menyipit, dan rahangnya mengeras saat dia men
Sulistyo memandang Aisyah dengan cemas saat ia menggenggam tubuh istrinya yang terasa lemah di pelukannya. Dalam diam, ia membawa Aisyah menuju kamar mereka. Langkahnya mantap, namun di balik ekspresi dingin yang biasa terpancar, ada ketegangan yang sulit disembunyikan.Setelah membuka pintu kamar, Sulistyo membaringkan Aisyah di atas ranjang dengan hati-hati, seperti memegang barang paling rapuh di dunia. Pandangannya tidak lepas dari wajah Aisyah yang terlihat pucat, namun tetap memancarkan kelembutan. "Aisyah, apa kau baik-baik saja? Kau tidak merasa sakit hati dengan ucapan ibu kan?"Aisyah, yang tubuhnya masih terasa lelah, hanya menggeleng pelan. Suaranya terdengar kecil, nyaris berbisik. "Tidak masalah, aku sudah biasa."Namun bagi Sulistyo, jawaban itu justru menambah perih di hatinya. Wajahnya mengeras, tetapi jemarinya tetap lembut saat menggenggam tangan Aisyah. "Jangan terlalu dipikirkan!" katanya dengan nada tegas, nyaris seperti perintah. "Ka
Dua minggu berlalu sejak peristiwa terakhir, dan kini Aisyah duduk diam di atas ranjang, tangannya gemetar memegang test pack kecil di tangannya. Dua garis merah mencolok tertera di sana, menandakan sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya. Kehamilan.Pandangannya kabur oleh air mata yang mulai menggenang, meski ia tak tahu apakah air mata itu lahir dari rasa senang, takut, atau bahkan keputusasaan. Ada kebahagiaan kecil yang menyelinap di sudut hatinya—setidaknya, Sulistyo tidak akan memaksanya lagi untuk segera hamil. Tapi di saat yang sama, ia merasa belenggu di hidupnya kini bertambah erat. Dengan kehamilan ini, kebebasan yang nyaris tak ada sebelumnya kini hilang sepenuhnya.Aisyah cepat-cepat menyembunyikan test pack itu di bawah bantal ketika mendengar langkah kaki mendekat dari luar kamar. Suara langkah itu, meski terdengar tenang, selalu membawa ketegangan di hatinya. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Sulistyo yang tersenyum lebar sambil me