Sementara di tempat lain, Mayra sudah mulai bekerja di perusahaan Revan. Dia merubah identitasnya menjadi Bunga. Dia memulai aktivitas dan berbaur dengan teman-teman seperti biasanya. Saat hendak ke kantin dia mendengar beberapa karyawan sedang membicarakan Revan."Pestanya tadi malam meriah banget ya," ucap karyawan lain memulai percakapan."Ya jelaslah, semuanya horang kaya pasti pestanya mewah," timpal karyawan lain.Mayra terus menyimak percakapan karyawan itu demi mendapatkan informasi."Dengar-dengar istrinya Pak Revan lagi hamil ya, wahh topcer banget tuh Pak Revan sekali tembak udah isi lagi." Terdengar gelak tawa para karyawan. Telinga Mayra panas mendengar kebahagiaan Revan."Iya si Anjani itu beruntung banget ya dapat Pak Revan. Katanya dulu Pak Revan dijebak pakai obat perangsang lalu meniduri Anjani, atau jangan-jangan itu cuma alibi Anjani saja buat nutupin kalau dia sendiri yang menjebak Pak Revan?" ucap karyawan lain berargumen."Huss jangan menggiring opini, kita ngga
"Sayang, kamu kok tiba-tiba datang? Ini lho Papa sama aku rencananya mau ngajak kamu ke psikiater. Mau ya?" tanya Revan lembut."Nggak ah aku kan nggak sakit jiwa. Kalian ada-ada aja deh!" ujar Anjani sambil berlalu ke dapur.Revan dan Agung saling berpandangan. Sepertinya akan sedikit sulit membujuk Anjani karena dia pandai menyembunyikan sesuatu.***Seminggu setelah pesta pernikahan, Revan mengajak Anjani untuk memeriksakan kandungan ke dokter."Dek, nanti siang kita ke Dokter buat USG yuk. Aku ingin tahu perkembangan anak kita.""Ayo, Mas aku juga ingin melihat Dedek," jawab Anjani saat mengantar Revan ke depan.Siang harinya, Anjani meluncur ke perusahaan Revan dengan diantar sopir. Dia langsung menuju ke ruangan Revan begitu sampai di perusahaan."Selamat siang Bu," sapa beberapa karyawan yang berpapasan dengan Anjani."Siang juga," jawab Anjani. Senyumnya
Mila menghela nafasnya, siap tidak siap dia harus menceritakan lagi masa lalu yang sudah dia kubur."Sebenarnya kamu punya saudara kembar, Nak! Kami memberinya nama Afandi."DegggAnjani tersentak dengan satu rahasia lagi yang baru diutarakan mamanya."Apa? Lalu dia sekarang di mana, Ma?" tanya Anjani. Dia benar-benar tidak mengira jika ternyata dia masih punya saudara kembar."Kami belum bisa menemukannya, Nak. Entah apakah dia masih hidup atau tidak. Papamu masih terus mengerahkan orang untuk mencarinya. Mereka terlalu kejam memisahkan Mama dengan anak-anak Mama," jawab Nurma sendu."Ma, kenapa mereka jahat sama kita, Ma? Apa salah kita sama mereka? Anjani nggak bisa membayangkan bagaimana nasib Afandi di luar sana, Ma!" ucap Anjani seraya meneteskan air mata. Revan sendiri juga cukup kaget dengan kabar yang baru dia dengar. Revan mengelus punggung Anjani seraya menenangkannya.
Dia segera ke luar dari tempat acara berlangsung. Di saat bersamaan Valdi juga berpamitan karena ada urusan mendadak. "Terima kasih atas kehadirannya ya Val," tutur Anjani."Sama-sama Anjani, semoga anak kalian menjadi anak yang sholeh sholeha. Aku pamit dulu." Setelah Valdi pergi dari situ, Arya mengutarakan kejanggalannya pada Agung."Pa, kenapa aku merasa teman Anjani itu tadi mirip sama Papa ya?" "Iya, Papa juga merasa begitu Ar. Apa jangan-jangan dia kembaran Anjani?" gumam Agung berspekulasi."Arya akan segera menyelidikinya, Pa."Saat mereka sedang melanjutkan acara, tiba-tiba ada seorang warga mengabarkan jika tamu yang baru saja pulang dari kediaman Agung mengalami kecelakaan di jalan depan kompleks. Dengan sigap Arya dan Revan menyusul mereka.Tanpa mereka sadari, Anjani tiba-tiba merasakan sakit di tubuhnya."Ma, kenapa tiba-tiba rasanya sakit sekali Ma?" keluh Anjani kesakitan.Nurma yang panik segera menyuruh Agung untuk menelepon dokter. Untung saja para tamu sudah mu
"Benar, Pa. Kasihan Valdi, aku tidak sanggup melihat Valdi tergolek tak berdaya," sambung Revan menimpali."Baiklah, Mama dan Papa akan cek golongan darah sekarang!" jawab Agung cepat."Terima kasih Ma, Pa!" ucap Revan dan Arya."Terima kasih Tuan sudah bersedia menolong anak kami!" ucap Seno."Sama-sama Tuan!" Mereka berdua segera melakukan cek golongan darah bersama suster. Tak berapa lama mereka ke luar dari ruangan."Bagaimana hasilnya, Pa?" tanya Revan penuh harap."Golongan darah Papa cocok dengan Valdi, Van.""Alkhamdulillah," ucap mereka serempak.Akhirnya Agung segera melakukan transfusi darah. Diam-diam, Agung juga sekalian meminta perawat untuk melakukan tes DNA dengan Valdi. Setelah selesai melakukan donor darah, mereka langsung pamit pada orang tua Valdi karena tidak bisa meninggalkan Anjani terlalu lama begitu juga Revan dan Arya.***
Melihat Valdi mulai membuka mata membuat Anjani kegirangan. Dia segera memanggil ibunya yang tengah duduk di sofa."Ma, sini Ma cepat. Valdi sudah sadar," ucap Anjani."Benarkah, sebentar Mama panggil Dokter dulu." Nurma segera memencet tombol yang menghubungkannya dengan dokter."Dok, tolong segera ke ruangan VVIP sekarang!" perintah Nurma.Sementara Lita dan Ira yang baru saja masuk juga terlihat bahagia setelah melihat Valdi siuman."Nak, akhirnya kamu sadar juga. Mana yang sakit, Nak?" tanya Ira beruntun."Semuanya sakit Ma." Valdi melihat ke arah Lita yang masih terlihat sedih. "Anak kecil, kamu kapan pulangnya?" "Aku baru sampai belum lama ini Kak. Kakak kenapa bisa sampai kayak gini sih? Aku takut Kak Valdi kenapa-kenapa.""Ya namanya juga musibah Dek mana bisa dihindari. Doakan saja supaya Kakak cepat pulih ya," ucap Valdi.Dokter yang datang segera memeriksa keada
Alex mengepalkan tangannya dengan erat. Sebagai kepala rumah tangga dia merasa istrinya sudah kelewatan."Kamu tidak boleh pergi ke mana pun dan harus tetap di rumah, Ma! seru Alex."Siapa kamu sampai berani melarangku?" jawab Rina tak kalah sengit."Aku masih suamimu!" "Jangan lupa kalau sebentar lagi kita akan bercerai. Aku tidak sudi terlalu lama kau bodohi, Lex. Sudahlah, menyingkir dari hadapanku. Jangan halangi jalanku!""Apa masih kurang semua yang aku berikan selama ini, Ma? Aku juga tidak melalaikan kewajibanku sebagai seorang suami kepadamu. Tapi kenapa hatimu begitu kerasnya ingin berpisah denganku?" tanya Alex mulai melunak."Tanyakan pada dirimu sendiri Lex, apakah aku akan baik-baik saja saat melihat suamiku mencumbu wanita lain di belakangku selama bertahun lamanya?" Rina menghapus air matanya dengan kasar. Pertahanan Rina runtuh sudah, dia yang sudah berjanji tidak akan menangisi Ales lagi nyatanya masih terus mengeluarkan air matanya kala mengingat pengkhianatan Ale
Valdi yang sedang berbaring di ranjangnya menatap adiknya yang tengah duduk di sampingnya. "Kamu kesambet apa kok sampai bicara seperti itu? Sampai kapan pun kamu akan tetap jadi adik kecilnya Kakak, Lita. Udahlah nggak usah mikir macam-macam," ucap Valdi menenangkan. "Aku takut Kakak akan pergi dari kami," sambung Lita. Dia menunduk, air matanya menggenang membasahi pelupuk mata. Dia tak bisa lagi menyembunyikan kesedihan dan kekhawatirannya di hadapan Valdi. "Kamu kenapa sih Dek kok melow gitu? Kakak salah bicara ya? Atau lagi PMS? Kalau gitu Kakak minta maaf sama kamu," ucap Valdi memohon maaf. "Kak, saat Kak Valdi sakit kemarin Mama bilang sama Lita kalau ternyata Kak Valdi bukan kakak kandungnya Lita. Lita takut kalau sampai Kakak menemukan orang tua kandung Kakak, Kak Valdi bakal tinggalin kami," ucap Lita tersedu-sedu. Valdi sendiri kaget dengan kenyataan yang baru saja Lita utarakan. Di saat bersamaan, Ira masuk ke kamar Valdi untuk mengantar makanan heran melihat anak p