Bab 3.
Kayvi membukakan pintu untuk Ester, dia membungkuk, lalu menjulurkan tangannya.
"Thanks, ma bodyguard."
Kayvi mendelik membuat Ester tertawa. Tangannya ditarik paksa untuk mengikut.
"Kamu ingin aku bertemu dengan calon mertuaku?" tanya Kayvi.
"Cih." Ester mendecih, dia memasang wajah kesal, berbalik dengan bibir yang berkedut tertahan dan membuka pintu. "Papa!" panggilnya.
"Papa di sini."
"Lihat, siapa yang datang?"
"Siapa?"
Ester bergeser bersaman dengan pria tua itu muncul, terkejut melihat Kayvi yang tertawa.
"Kayvi!"
"Tuan Sergio!"
Keduanya berpelukan, melompat-lompat girang seperti anak kecil yang baru dibelikan mainan. Mereka pastinya sangat senang dipertemukan kembali.
"WOW, nak Kayvi kamu sangat tinggi sekarang."
"Dan papa semakin tua."
Keduanya tertawa lepas, lalu kembali berpelukan.
"Ester, bawakan minum untuk menantu papa!"
"Terima kasih, Mertua."
Ester semakin menggeleng, dia masuk ke kamar untuk meletakkan tasnya. Segera saja dia ke dapur membiarkan Kayvi dan Tuan Sergio berbincang. Setelah selesai, ia segera membawa minuman pada keduanya.
"Terima kasih, calon istri."
Ester mendelik, dia memilih untuk masuk ke kamar sebelum ia digoda, karena pipinya mungkin sudah memerah sekarang.
•
Drrrtd ... Drrrtd ... Drrrtd.
"Kayvi, ponsel kamu bunyi."
Kayvi langsung berdiri, membuka sepatu boot yang ia pakai karena membantu Tuan Sergio bercocok tanam.
"Pa, sepertinya aku harus pulang sekarang."
"Iya-iya. Maaf, papa tidak bisa mengantarmu."
"Semangat, Pa!"
"Sering-sering mampir ke sini."
"Pasti, Pa!"
Kayvi meraih ponselnya dan langsung menempelkan di daun telinganya, menjepitnya dengan bahu sementara tangannya sudah sibuk memakai sepatu.
"Iya, Keysa tunggu di sana. Aku segera datang, jangan kemana-mana, Keysa mengerti?" Kayvi meraih tasnya, ia terburu-buru mencium pipi Ester dan berlari keluar, meninggalkan gadis itu yang terdiam membeku.
Ia segera melajukan mobilnya, mengoceh tak jelas karena jalan sudah mulai macet. Untung saja ia masih bisa menyelip hingga akhirnya bisa sampai. Kayvi segera turun menghampiri Keysa yang terlihat menunggunya.
"Kayvi akhirnya datang."
Kayvi menggaruk tengkuknya canggung. "M-maaf, Kayvi tadi—"
"Iya, Keysa ngerti, kok. Ayo pulang!"
Kayvi membuka pintu, lari ke kursi kemudi, langsung melajukan mobil. "Keysa tidak papa?" tanyanya sedikit khawatir.
Keysa menggeleng dengan senyum kecil. "Keysa nggak papa tuh, baik-baik aja, masih semangat juga. Kenapa emang?"
Kayvi menggeleng, menarik tangan Keysa dan memberikan usapan.
"Nggak papa Kayvi, Keysa baik-baik aja, kok."
"Jalan pasti macet, Keysa tidur aja, ya."
Kayvi memelankan laju mobilnya, meraih bantal leher, memberikannya pada Keysa. Keysa memakainya, mencari posisi nyamannya, matanya menatap sayu ke luar lalu mulai terpejam dan akhirnya terlelap.
•"Key."
Keysa melenguh, bergerak gelisah dengan mata yang masih terpejam.
"Biarkan aku tidur."Kayvi memejamkan matanya mendengar suara bergetar Keysa. Dia menarik napasnya, menyalakan mobil lagi lalu putar balik menuju rumahnya yang berada di kawasan rumah Keysa.
Ia memarkirkan mobilnya di garasi dan segera keluar untuk membuka pintu rumah, lalu kembali ke mobil menggendong Keysa keluar. Ia mendorong pintu dengan kaki, menaiki 3 anak tangga menuju kasur dan membaringkan Keysa yang langsung menggeliat memeluk guling—membelakanginya.
Kayvi meletakkan tasnya, melirik Keysa yang terus mengeluarkan erangan seperti anak anjing membuatnya benar-benar tidak tenang. Ia memilih turun lagi, segera membuka lemari es, mengambil bahan dan mulai memasak dengan wajah serius.
5 menit kemudian.
Kayvi menaruh nasi goreng yang ia masak di atas piring, meletakkannya di meja. Diliriknya Keysa yang masih tidur nyenyak. Kakinya melangkah menaiki tangga, tetapi berhenti di anak tangga kedua. Kayvi kembali berbalik, lalu ia menggeleng dan berbalik lagi menaiki tangga. Ada apa sebenarnya?
Kayvi duduk di tepi kasurnya, ragu untuk membangunkan Keysa. Gadis itu terlihat benar-benar nyenyak memeluk guling dan terus mengeluarkan erangan. Meski ragu, ia tetap menepuk bahu Keysa.
"Keysa, makan dulu."
Keysa melenguh, semakin memeluk guling.
"Bangun, hey, makan dulu nanti maag-nya kambuh lagi."
Keysa menggeram malas, akhirnya dia membuka matanya. "Kayvi, ini jam berapa?"
"19:37, Key."
Keysa langsung membelalak, segera saja dia berdiri. Niatnya ingin pergi, tetapi tangannya ditahan.
"Keysa buru-buru."
"Buru-buru ke mana?" tanya Kayvi.
"Keysa ada urusan."
"Urusan apa?" desak Kayvi kesal.
"Kay—"
"Makan dulu!"
Keysa berdecak, dia duduk di kursi dan langsung memakan nasi goreng dengan terburu-buru.
"Pelan-pelan makannya!"
Keysa mengangguk, tetapi tetap makan dengan terburu-buru sampai sebuah tangan menahan sendoknya.
"Pelan-pelan, Keysa!"
Keysa mengangguk lagi, mulai makan dengan pelan karena Kayvi terus melihatnya.
"Urusan apa?"
Keysa tak menjawab, sibuk mengunyah dan mengaduk nasi goreng.
"Urusan apa, Keysa?" tanya Kayvi menggertakkan giginya.
"Kayvi—"
"Urusan apa yang tidak boleh aku tahu?"
Drrrtd ... Drrrtd ... Drrrtd.
Kayvi meraih ponselnya, berdecak melihat nama yang tertera di layar. Menunjukkannya pada Keysa karena gadis itu terus melirik ponselnya.
Keysa langsung berdiri, keluar dari rumah Kayvi dan lari menuju rumahnya. Dia meringis memegang perutnya, tetapi ia tetap memaksa untuk sampai dengan cepat. Keysa memperbaiki rambut, seragam dan membersihkan mulutnya, memberanikan diri membuka pintu, lalu masuk ke dalam. Dia menelan ludah saat tatapan tajam langsung tertuju padanya.
"Maaf—"
"Kamu ingin mempermalukan saya?"
Keysa menggeleng hampir membuka suara, tetapi terhenti melihat wanita yang datang dan menghampiri mereka, bergelayut manja di sekitar tangan sang papa membuatnya mengepalkan tangan.
"Sayang, kamu ngapain keluar, hm? Aku, 'kan, udah bilang tunggu di kamar"
"Kangen, aku butuh perhatian."
Keysa berdecih membuatnya langsung mendapat tatapan tajam dari Tuan Jennifer.
"Kamu baru saja berdecih di depan saya?"
Keysa menggeleng.
"Iya, Mas, aku mendengarnya."
Keysa menatap tajam wanita itu yang memasang wajah menyedihkan.
Plak!
"Bersikap sopan pada kekasih saya!"
Keysa mengangguk, alisnya tertaut dengan bibir yang meringis kecil.
"Mas, ayo!"
"Iya, Sayang. Ayo-ayo kita ke kamar."
Keysa hanya menatap kepergian itu, dia segera menaiki tangga, masuk ke dalam kamarnya. Keysa memejamkan matanya, menjatuhkan diri di kasur. Ia memijat keningnya yang mulai sakit. Melirik dress mini yang tersangkut di pintu lemarinya membuat kepalanya kian sakit.
Drrrtd ... Drrrtd ... Drrrtd.
Keysa meraih tasnya untuk mengambil ponsel, dia tersenyum melihat nama pada layar ponselnya. Segera saja, ia menyambungkan panggilan dan meletakkan ponselnya di samping telinga. Senyumnya semakin lebar dan berulang kali berputar di kasur menjawab setiap pertanyaan Kayvi—seperti sudah makan atau minum vitamin.
"Kayvi," lirih Keysa memanggil setelah pembicaraan mereka terhenti.
"Iya, kenapa?" sahut dari seberang.
"Tadi Kayvi main ke mana sama Ester?"
"Mampir ke rumah Ester, nggak main."
Keysa mengangguk, beralih menatap langit-langit kamar dengan senyum kecut.
"Kenapa emangnya?"
"Nggak papa."
"Oke, aku tutup, ya."
Keysa berdeham, kepalanya malah semakin sakit saat telpon sudah terputus.
Drrrtd ... Drrrtd ... Drrrtd.
Keysa dengan semangat lagi melihat siapa yang menelpon, senyum yang awalnya mengembang seketika mengerut melihat nomor tidak di kenal. Dengan ragu, ia menyambungkan panggilan dan menempelkan ponsel pada daun telinganya. "Ini dengan siapa?"
"Ini aku, Sayang, Georgemu."
•
00.23
Keysa meraih hoodie-nya, membuka lemari mengambil sebuah kotak dari sana.
Sarung tangan.
Shower cap.
Tali.
Kain putih panjang.
Pisau.
Keysa memasukkan semuanya ke dalam kantong hoodie-nya dengan senyum miring.
"Karena Tuan Jennifer yang terhormat tidak mengancam nyawa Kayvi." Ia menatap pantulan wajahnya, matanya berubah menjadi gelap dan seringai kecil. "Hidup Tuan George akan berakhir sampai di sini!"
Keysa memakai tudung hoodie-nya lalu menuruni tangga, melirik sofa di mana seorang wanita dan pria sedang bermesraan di sana. Segera ia memalingkan wajahnya, lalu keluar, kakinya melangkah dengan cepat menuju sebuah mobil yang terparkir di sana. Keysa masuk, memaksakan senyumnya melihat pria itu.
"Selamat pagi, Tuan George."
Ia membuka tudung hoodie-nya, Keysa langsung menerima ciuman kasar pada lehernya. Dengan kasar pula ia mendorong tubuh itu, menyuruh Tuan George agar menyetir. Namun, pria tua itu malah semakin mencium leher dan mulai meraba pahanya dengan kasar.
"Tuan ingin mendapat kepuasan, 'kan?"
Tuan George berhenti dan menatap Keysa dengan gelisah.
"Saya akan berikan jika kita segera pergi sekarang."
"Baiklah, sesuai keinginan kamu, Sayang."
Mobil mulai melaju.
Keysa menatap keluar, menahan diri untuk tak menepis tangan yang meraba pahanya dengan kasar. Bibirnya menyunggingkan senyum dan matanya berubah sendu saat melewati rumah yang sangat ingin ia tempati setiap harinya.
"Kayvi."
Nama itu ia lirihkan dengan suara bergetar dan penuh harap. Keluar dari pekarangan rumahnya, ia menatap ke depan dengan tatapan tajam.
"Belok kiri, Tuan."
"Untuk apa?"
"Tuan tahu, saya meminum obat yang diberikan oleh Tuan Jennifer dan entah kenapa saya merasa sangat panas dan ...." Keysa dengan nakal menjalankan jari-jarinya di paha Tuan George yang semakin gelisah.
Tuan George tanpa pikir panjang lagi langsung berbelok mencari tempat.
Gelap dan sepi.
"Keysa—"
"Stttsss, diam, Tuan George. Aku yang memuaskan, Tuan. Bukan Tuan yang memuaskan saya. Diam dan nikmati saja pelayanan saya."
Tuan George semakin menelan ludahnya.
"Tuan jangan banyak bertanya, saya sedang mempersiapkan diri. Okay?"
Tuan George mengangguk pasti.
Keysa memakai pembungkus rambutnya lalu sarung tangan, dia mencondongkan diri pada Tuan George yang langsung mengeram. Ia berdecih, mengambil kain panjang dan mengikat tangan Tuan George dengan sangat kuat.
"Biarkan saya memberikan pelayanan saya, Tuan. Anda tidak akan menyesal sudah memberikan dana pada perusahaan papa saya."
Keysa mengambil tali, tertunduk dengan sengaja di selangkangan Tuan George lalu mengikat kaki pria tua itu.
"Saya benar-benar akan memberikan anda kepuasan, Tuan George."
Keysa mengambil sarung tangan dan memasukkannya dengan paksa ke dalam mulut Tuan George yang sudah mulai takut. Ia tersenyum miring, mengambil benda terakhir dari hoodie-nya.
Pisau.
Keysa tersenyum sinis, menggoyangkan pisau itu pada paha Tuan George yang sudah semakin takut dan berusaha untuk lepas. Ia tersenyum miring, menusuk paha Tuan George dengan gigi yang menggertak lalu mencabut pisau itu.
"Cup, cup, ini baru permainan pertama, Tuan. Kenapa sudah banyak yang keluar?" Keysa tertawa menggesek ujung pisau pada pipi Tuan George yang semakin takut.
"Anda ingin saya puaskan, 'kan?"
"Argh!"
Keysa semakin tertawa, menusuk perut Tuan George dan menarik pisaunya lagi. Menusuk-nusuk di tempat yang sama sementara tangannya yang lain menjambak rambut Tuan George.
"Sialan!"
Terakhir, Keysa menusukkan pisau itu pada dada kiri Tuan George yang langsung tidak bergerak. Ia mencabut pisaunya, membuka ikatan dan menarik sapu tangan dari mulut Tuan George.
"Jangan pernah berurusan dengan iblis!"
Keysa keluar, menutup pintu mobil dengan kencang. Ia berlari dengan langkah ringan, tertawa keras melewati jembatan. Keysa membuka sarung tangan dan penutup kepalanya, merobeknya dengan pisau, membuang ke sungai. Dia semakin tertawa.
"FUCK YOU, GEORGE!"
Drrrtd ... Drrrtd ... Drrrtd. Albi menggeram kesal, menggerakkan tangannya meraih ponsel lalu menerima panggilan yang masuk. "Kalian sudah menemukan kelemahan Keysa?" tanya dari seberang. Albi dengan malas membuka matanya mendengar pertanyaan itu."Belum, Pa." "Aish, kenapa kalian sangat lama untuk misi ini? Jangan sampai kalian mengidolakan anak sialan itu!" Albi hanya berdeham, menggaruk pipinya dengan mata yang setengah terbuka. "Lalu di mana Aletta?" "Sedang bersiap ke sekolah," jawab Albi malas. "Katakan untuk menelpon papa, papa sangat merindukan dia." Albi berdeham lagi dan melempar ponselnya dengan malas, dia kembali memejamkan matanya. Tok, tok, tok. Tidak ada jawaban. Tok, tok, tok
"Stavy, Stava, kak Ester datang," ucap seorang wanita. Dua anak kecil itu langsung berlari meninggalkan pekerjaan, mereka terdiam melihat seseorang yang berdiri di samping sang kakak. "Papa Kayvi!" Kayvi tertawa mendengar panggilan itu, berjongkok merentangkan tangannya dan kedua gadis kecil itu langsung menubruknya. "Papa Kayvi sudah kembali lagi!" Kayvi semakin tertawa, berdiri menggendong kedua gadis kecil disisi kanan kirinya, mencium mereka dengan gemas membuat gadis kecil itu tertawa geli. "Papa Kayvi ke mana aja? Stavy sama Stava nungguin Papa pulang," keduanya cemberut. "Maafin papa ya, Sayang. Papa cari uang di sini," ucap Kayvi dengan senyum kecil. Ketiganya
Terlihat bermesraan dengan seorang pria, Keysa Jennifer ternyata sudah memiliki pacar sejak lama. "Kita harus tulis apa Let?" "Ini aja, Keysa Jennifer terlibat hubungan dengan seorang pria yang mesum dan sering—" "Ya!" teriak Albi kesal, hampir melayangkan pukulan pada gadis di depannya itu. "Apa? Lo tanya pendapat gue, 'kan?" "Tapi gak itu juga, cowok ini, 'kan, gue, Let!" geram Albi. "Ya, tapikan mukanya bukan lo." "Tetap aja ...." Albi seketika tersenyum dan mulai mengetik. Aletta di sampingnya hanya diam, membaca ketikan Albi membuatnya tersenyum puas. "Gue setuju!" "Siapa dulu dong yang punya ide?"
"Siapa yang telpon?"Keysa menoleh, tersenyum melihat Kayvi yang sudah berganti pakaian lebih santai."Keysa, siapa yang telpon tadi?" tanya Kayvi lagi."Ah, Albi.""Ngapain nelpon?" Kayvi duduk di tepi bed, menatap Keysa dengan wajah kesal."Cuma nanya kenapa Keysa gak sekolah.""Terus Keysa jawab apa? Keysa bilang lagi di rumah sakit?"Keysa langsung menggeleng membuat kepalanya sakit."Cih, Keysa juga ngapain ngangkat telpon dia? Udah tau dia yang buat—""Kayvi, mereka baik kok," lirih Keysa."Baik apanya? Mereka tau Keysa model dan seharusnya mereka gak bawa Keysa ke tempat seperti itu." kesal Kayvi."Tapi mereka jagain—""Mereka jagain Keysa dari orang-orang yang ada di sana, t
"Keysa, ayo makan sayang."Keysa yang baru turun dari kamarnya mengerjap mendengar perkataan itu, matanya menatap Ny. Mira di meja makan sedang menuangkan air mineral ke gelas."Kok, bengong? Ayo makan!"Keysa tersadar dan mengangguk kecil, dengan ragu ia melangkah menuju meja makan dan duduk. Masih dengan wajah bingung melihat sepiring nasi goreng di hadapannya. Bunyi kursi yang bergeser menyadarkannya lagi."Ayo dimakan."Keysa masih ragu, tetapi tetap menurut. Ia memegang sendok dan mulai menyuap ke dalam mulutnya."Enak?"Keysa tersenyum dan mengangguk kecil."Itu mama yang bikin khusus buat putri semata wayang mama."
"Abas."Kayvi menoleh—melihat siapa yang memanggil, ia langsung menarik Ester masuk ke sebuah ruangan.Gelap dan pengap.Ester melihat sekelilingnya lalu menatap Kayvi yang hanya mengedikkan bahunya."Tidak ada tempat selain ini, kecuali kamu ingin Rayhan melihat kita," ucap Kayvi.Ester mengangguk cepat, mengambil duduk di atas meja menatap sang kekasih yang tersenyum padanya."Aku sudah punya pekerjaan untukmu."Keningnya berkerut sementara Kayvi malah semakin tersenyum. "Pekerjaan apa?""Model."Ester langsung turun dengan mata yang membelak. "Aku akan membunuhmu jika bermain-main dengan cita-citaku!"
"Keysa, ikut saya."Keysa yang baru turun dari kamarnya menatap Ny. Mira dengan bingung, ia tetap menurut mengikuti sang mama keluar dari rumah. "Ke mana, Ma?""Kantor."Keysa menghentikan langkahnya tepat di samping mobil."Cepat masuk!" perintah Ny. Mira."Aku harus sekolah.""Saya menyuruhmu sekolah?" tanya Ny. Mira dengan mata yang melotot.Keysa terdiam, tangannya terkepal di balik roknya."Pekerjaan lebih penting dari sekolah, cepat masuk!""Tapi, Ma—""Kamu pilih ikut saya atau pergi ke sekolah tapi jangan harap pulang sekolah nanti kamu bisa melihat Kayvi lagi!"Keysa semakin mengepalkan tangannya dan membuka pintu mobil."Key, tunggu."Suara itu menghentikannya, Ke
"Let, ngomong gih sama Anet."Aletta mendelik kesal, hampir memukul Albi yang mendorongnya dengan paksa, tetapi memilih menahannya. Ia menggeser pintu kaca terbuka, mengambil duduk di samping sang kakak yang sedang menenggelamkan kaki di dalam air kolam. Anetta hanya melirik lalu mengalihkan pandangannya lagi."Net, lo marah ya?"Anetta menaikkan alisnya dan menggeleng. "Kenapa gue harus marah?""Karena kita gak ngomong dulu sama lo sebelum nyusun rencana."Anetta menggeleng lagi."Net, coba deh cerita sama gue. Gue bakal berusaha ngerti kenapa lo gak kayak biasanya."Anetta diam. Ia hanya menatap lurus ke depan dengan kaki yang ia goyangkan."Anet?"