Bab 109 Isi tas Tante Aura membuatku tak mengerti. Kenapa ada foto Reyhan, calon suamiku. "Ma. Mama!" Kupanggil mama dari dalam kamar. Aku segera melangkah ke arah mama setelah mama menjawab panggilan. "Ada apa Intan?" tanya Mama nampak tergesa-gesa. Kedua tangan tampak basah dan keringat membasahi dahinya. Aku menceritakan apa yang terjadi tadi. Memberitahu tentang foto Reyhan di tas kecil Tante Aura. "Apa kamu tak bertanya dengannya?" "Tentu saja tidak. Aku segera membuang muka dan berpura-pura tak melihatnya. Tapi, aku yakin kalau Tante Aura kenal dengan Reyhan." "Dari mana Aura dapat foto Reyhan. Kamu harus hati-hati dengan wanita itu. Ia itu berlidah palsu. Ingat itu Intan?" Aku hanya menganggukkan kepala. Mama benar aku harus waspada. Jangan sampai pernikahanku dengan Reyhan akan berakhir di tengah jalan. Bisa jadi janda lagi aku. "Lebih baik kita makan. Mama masak kesukaan kamu. Ayo!" "Baru sarapan tadi?""Ini Sudan siang. Kamu saja tak sadar. Ayo!" Mama menarik leng
Bab 110 Aku bergeming dengan tatapan yang tak jauh dari dua manusia berlainan jenis kelamin berbeda. Mereka nampak memberikan pendapat masing-masing. Kulanjukan langkah ini ketika mereka terdiam dan membuang muka. "Serly." Kupanggil sahabatku hingga wajahnya cantik menoleh dengan capat. "Intan. Kamu ngapain di sini?" Aku mengulum senyum menyapanya dan melirik pria berkemeja yang terlihat salah tingkah. Ia adalah karyawanku di perusahaan warisan papa yang dulu pernah dikelolah Ilham, Hadi namanya. "Ibu Intan. Selamat sore," sapanya ramah. Umurnya lebih muda dari Serly tapi mereka tampak serasi. Aku baru menyadari kalau sekilas wajah mereka mirip. Kata orang wajah mirip biasanya akan jodoh. "Kamu dan dia pancaran?" bisikku ketika aku dan Serly pergi menelusuri pantai. Sedangkan Om Arga dan Hadi duduk menikmati es kelapa mereka. Entah apa yang mereka bicarakan. Pembicaraan lelaki hanya mereka yang mengerti. "Ehm, maaf." "Loh, kok maaf. Memangnya kamu salah apa sama aku?" Kuhent
Bab 111Hingga suara pecahan terdengar di dekat kami. Aku mendorong tubuh Rey dan menoleh ke arah suara. Mataku terbelalak begitu juga Rey. "Maaf Mba Intan. Saya menganggu," sapa seorang pria yang tinggal di samping rumahku. "Eh, gak kok. Ada apa Pak?" Tetangga sebelah ingin mengambil obeng yang tertinggal. Aku lupa untuk mengembalikannya. "Maaf Mba Intan. Malam-malam ambil obeng." "Gak apa, Pak. Saya lupa membalikkannya. Terima kasih, Pak. Mohon maaf." "Iya, gak apa. Permisi Mba, Mas." Aku dan Rey terkekeh pelan. Malu sekali kami ketahuan berciuman. "Kamu sih gak lihat tempat." Kupukul dada bidang Rey. Ia menangkap tanganku. "Lanjutin dong," goda Rey hingga wajahku bagaikan kepiting rebus. "Kamu nakal Rey!" Rey hendak menciumku tapi aku tahan. "Nanti kalau sudah halal. Kamu bisa melakukan apa saja yang kamu mau.""Tentu saja. Aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan baik itu." Rey memeluk tubuh ini, nyaman sangat nyaman. "Aku enggan berjauhan denganmu. Tetapi, pekerjaan men
Bab 112 Suara rem mendadak terdengar dengan kencang hingga telingaku sakit. Seseorang di hadapan kami menghentikan laju mobil ini. "Turun!" teriaknya mengetuk pintu belakang. "Turun!" "Mama, Bayu takut." Bayu yang tadi terlelap kini terbangun akibat suara ketukan di luar. Kuusap wajah dan menciumnya. "Pa, langsung tekan kuncinya." "Baik, Bu." "Intan, hati-hati." "Mama jangan khawatir. Intan bisa, kok." Hanya ada satu pemuda yang menghadang kami. Ini masih siang nekad sekali pemuda ini. Kutarik napas agar keluar dan menutup pintu dengan cepat. Mama langsung menahan kembali kunci di dalam mobil hingga terdengar kunci diaktifkan kembali. "Sial! Dikunci!" teriak pria lain baru tiba mendekati kami. "Ada apa?" Melipat tangan di dada. Mengingat wajah mereka satu persatu agar aku tak salah mengenalinya. "Serahkan mobil!" "Kalian mau mobilku?" tanyaku menatap remeh mereka. Biarkan saja mereka kesal. "Buka pintunya!" teriak pemuda lain. "Nekad kalian!" Tangan kekar pemuda ber
Bab 113"Hai, Intan," sapanya sok kenal sok dekat. "Mau apa?" Menaikan salah satu alisku. Ia terkekeh, suara yang paling aku benci darinya. Tante Aura duduk tanpa dipersilakan. Ia menatap sekeliling ruanganku. "Bagus juga tempatnya. Aku gak nyangka kalau keponakanku sekaya ini." "Tumben datang ada apa?" "Ck, kamu itu sama orang tua gak ada sopannya." Aku menahan kesal dalam dada. Menarik napas dalam dan menghembuskan perlahan. "Tante mau minum apa?" tanyaku berubah pertanyaan. Berbasa-basi mungkin itu yang diinginkan Tante Aura. "Whisky." Menaikan salah satu alisnya. "Maaf, di sini bukan bar. Tante pasti tahu akan hal itu. Ini kantor, tempat bekerja." "Tante sering ke kantor. Mereka punya minuman itu hanya kamu saja tak punya." Kutatap wanita itu nyalang. Hal yang paling menyebalkan berhadapan dengannya. Apakah ibu kandungku juga merasakan sama seperti aku atau mereka akur. "Mungkin Tante ke kantor peminum berat." "Asal kamu tahu. Papa mertuamu memiliki banyak koleksi min
Tatapanku nyalang. Aku melihat mobil terparkir yang sangat kukenal. Apakah ia berada di sini. kulangkahkan kaki menuju pintu rumah Om Arga. Suara itu terdengar tak asing. apakah benar ia telah Kembali. "Adel!" panggilku dengan suara lantang. Kupeluk tubuh mungil sahabatku yang telah pergi lama. Aku begitu rindu dengan keceriaannya. Ia berdiri di depan pintu. "Bu Bos!" "Hush, aku bukan bos kamu lagi." Menjitak kepalanya pelan. Kami berpelukan erat hingga sosok Om Arga tak dianggap. "Kalian mau sampai kapan di situ. Ayo masuk. Om sudah lapar."Kami terkekeh dan masuk ke dalam saling merangkul. Adel adalah sepupu Rey artinya ia juga akan menjadi saudaraku. "Nyonya Rey mau makan apa?" tanya Adel sok perhatian. "Aku bisa ambil sendiri." Kukibaskan tangan ke udara. Adel begitu manis berkata demikian. "Bu Bos gak asik." Ia terkekeh dan mengambil nasi hingga segunung. "Astaga, Adel. Sejak kapan porsimu berubah menjadi kuli?" Adel mengaruk kepala. Ia tampak malu. "Sejak datang ke Ind
Bab 115 Langkah aku berhenti ketika melihat punggung pria yang sangat aku kenal. Kusentuh bahu kekarnya dan pria itu menoleh perlahan. Senyum menyapa hendak terlontar, mungkin cahaya remang-remang menghalangi pandangannya. Hingga salah satu pintu toilet terbuka mengeluarkan cahaya lampu sangat terang. "In-intan." Wajah Mas Ilham tampak terkejut mungkin ia tak menyangka kalau bertemu aku di tempat ini yaitu klub. Mas Ilham mengenakan seragam biru tua. Dari atas hingga celana panjang. Pria itu membawa sapu dan pengki. Keadaan ekonominya memang tak seperti dulu kalau saja mas Ilham mau berusaha untuk melamar ke perusahaan lain. Tapi, entah mengapa pria itu tak melakukan hal tersebut. "Kamu sama siapa ke sini?" tanyanya menunduk kepala. Mungkin ia malu bertemu aku apalagi pekerjaan seperti ini. Tidak, aku malah pernah melihatnya berjualan di pinggir jalan malah pernah memungut barang rongsok hanya saja aku memilih diam. "Sama Adel dan Serly. Mas kerja di sini?" "Iya, baru bebera
Bab 116 Adel mengambil ponsel dalam tas, ia melangkah lebih dekat lagi. Ku ikuti sahabatku itu. Adel merekam kejadian Lisa yang diserang oleh wanita bertubuh tambun. Ada juga beberapa wanita lainnya. Sedangkan pria kencan Lisa duduk gelisah. Tak ada pembelaan dari pria itu. "Dasar pelakor! Kecil-kecil jadi pelakor!" Menarik rambut Lisa kasar. Plak! Plak! Lisa mengusap pipinya yang sejak tadi dihajar oleh wanita yang diduga istri sah pria yang kini menjadi kekasihnya. "Mas, tolong aku!" Lisa menjulurkan tangan tetapi ia tak mendapat pembelaan sedikitpun. Selingkuhan tapi takut sama istri. Sungguh lucu sekali mereka. Aku hanya menyaksikan sambil terkekeh pelan. Biarkah Adel yang melakukan rencana selanjutnya. Aku cukup menonton dan tertawa. "Kamu juga Pa! Berani selingkuh di belakang Mama!" "Ma, dia goda Papa duluan. Lihatlah penampilannya." "Mas, aku tak melakukan itu. Bohong Tante!" Lisa tampak mengelak. Aku tak tahu siapa yang lebih dulu mengoda. Tapi, lihat dari penampilan
Aku menatap langit begitu cerah, begitu juga suasana pagi ini. Wanita berkebaya putih dengan hijab senada duduk di samping pria yang akan menghalalkannya. Suara bayi menangis berada di sampingku. Bayi itu milik Lisa. Lisa telah melahirkan seorang anak perempuan. Bayi mungil berwajah mirip dengan ibunya. "Mungkin dia haus," ucapku mengusap kepala mungil bayi berusia dua bulan..Wanita yang dipercaya menjaga anak Lisa segera mengambil susu dalam botol. Susu itu bukan susu kaleng atau susu sapi. Tetapi, susu asli dari ibunya langsung yang diambil dan disimpan dalam lemari pendingin. Bayi mungil itu langsung menyedot ASI dalam botol dot dengan cepat. "Kasihan, haus ya." Gemas sekali melihat anak itu. Kuusap perut yang semakin membesar. Sebentar lagi anak ini juga lahir. Tinggal menunggu waktu yang tepat. Ijab kabul mulai di lontarkan. Mas Bro telah memenuhi keinginan Lisa. Ia telah belajar salat dan mengaji. Di hadapan Lisa melantunkan ayat suci Al-Quran. Lisa menerima Mas Bro se
Bab 142 "Mas ngapain di situ?" Aku menoleh ke arah belakang, Rita datang menghampiriku. Ia duduk di samping sambil ikut menikmati keindahan malam. "Bagus pemandangannya." "Tadi acaranya meriah banget, ya. Pengantinnya juga cantik dan serasi.""Iya, Intan selalu cantik," pujiku tanpa menyadari perkataan yang terlontar. "Oh, pantesan dari tadi kamu itu lihatin Intan terus ternyata belum move on!" Rita bertolak pinggang. Ia menjewer telingaku hingga hampir terlepas. "Aduh! Aduh! Sakit Rita!" "Kamu tadi bilang cantik." "Intan perempuan pasti cantik masa aku bilang ganteng. Gak lucu kan?" Rita melepaskan tarikannya dari telingaku. Aku mengusap pelan telinga yang kini terlihat memerah. "Kamu itu cemburu aja. Kamu juga cantik, kok. Gak kalah sama Intan." "Apanya cantik. Boro-boro beli skincare, serum atau pelembab. Pakai bedak sama lipstik aja sudah bersyukur." "Kamu gak pakai bedak juga masih cantik." "Gombal! Mana ada?" "Ada, buktinya kamu." Aku mencolek dagu Rita. Bagaimanap
Bab 141 Setelah aku menganti pakaian. Aku menghampiri putraku di dalam kamar. Jari mungil Bayu menari di atas buku gambar. Memberikan warna yang tepat dan sesuai. "Bayu sedang apa?" tanyaku lembut dan bersahabat. "Mewarnai," ucap anakku polos. Aku menatap hasil gambar anakku. Ia pandai menggambar dan melukis. Hobi baru saat ini. "Siapa yang mengajari kamu?" "Papa." Kuusap lembut surai anakku. Aroma shampo sejak dulu masih sama dan tak berubah. "Bayu, tadi dipanggil Om Rey kok begitu?" Aku mulai bertanya perlahan mungkin ada hubungannya dengan mimpi Bayu kala itu. Ia mengatakan kalau aku tak boleh menikah. "Om Rey akan ambil mama dari Bayu," ucap anakku polos. Tangannya tak berhenti mewarnai. Aku mengernyit heran, apakah ada orang yang berbicara hal tidak-tidak dengannya."Gak mungkin. Kamu anak Mama. Gak ada yang bisa memisahkan kita." Bayu duduk dan menyilangkan kaki. Tatapan polosnya membuatku semakin gemas. "Dulu Papa nikah lagi dan pergi meninggalkan Bayu. Ia memilih T
Bab 140 Kami mengikuti Om Leo bersama gadis muda. Ia tampak seperti anak kuliahan. Usianya sekitar dua puluh tahun. Om Leo tampak mengusap paha gadis yang mengenakan rok mini itu. Suara manja terdengar di bibirnya. Aku pastikan kalau hasrat Om Leo sedang naik. Mata yang pernah aku lihat ketika ia melihat bagian sensitifku. "Bagaimana aku makan makanan ini kalau pakai masker?" keluh Rey yang sejak tadi menatap makanannya. "Pindah duduk di sini. Mereka tak akan bisa melihat wajahmu." Rey mengikuti apa yang aku sarankan, pria itu makan dengan lahap. Aku mencegah kepalanya agar tak menoleh ke arah Om Leo. "Makan saja jangan tengok-tengok." "Calon istriku luar biasa," pujinya menatapku. Kami memilih duduk di dekat pot besar jadi tubuh Rey tertutup tanaman itu. Om Leo juga tak menyadari kehadiran kami di sini. Rey sudah selesai dengan makanannya. Aku meminta pelayan untuk membungkusnya saja. Segera membayar tagihan restauran dan bangkit dari duduk. "Papa masih di dalam kenapa kita
Bab 139Kaki Rey sudah lebih baik, aku selalu menemaninya ke mana saja. Serly sudah pulang ke Indonesia. Sedangkan Tante Aura masih ada urusan di negara ini.Adel sudah kembali ke rumahnya. Aku bahagia melihat keadaan Bundanya Adel. Ia masih mengingatku tak seperti dulu. Ganggu jiwanya sudah sembuh. Adel dan Om Arga saling bekerja sama untuk merawatnya. Mereka Keluarga yang kompak apalagi On Arga mampu menjadi sosok ayah untuk Adel. "Kalau kita sudah menikah kamu mau anak berapa?" tanya Rey ketika kami berjalan-jalan ke taman. Suasana dan cuaca hari ini sangat mendukung kami untuk menikmati keindahan negara Singapura. Rey, masih mengunakan kursi roda. "Nikah aja belum sudah tanya mau anak berapa?" "Ya, namanya rencana masa depan. Jadi harus di perkirakan." "Memangnya kamu sanggup berapa?" Kehentikan langkah di depan air mancur. Aku berdiri tepat di hadapan Rey, kuangkat dagu ke arah pemuda itu. "Kamu mau ronde berapa?" godanya mengerlingkan mata. "Nakal!" Kujewer telinganya p
Bab 138 Aku dan Serly telah berada di bandara Singapura. Reyhan dan teamnya berada di sini. Kami berjalan menuju hotel Reyhan. Sengaja aku tak menghubungi pria itu untuk memberikan sedikit surprise. Langkahku lebih cepat sebelumnya, Serly tampak kelelahan. "Haduh, pelan-pelan bisa gak si Bu Bos?" "Eh, ini udah pelan. Kamu aja pakai sepatu tinggi begitu. Apa gak lelah?" "Ini sepatu pemberian pacarku jadi aku pakai biar ia senang." "Dasar bucin. Kita ini jalan-jalan jauh bukan ke mall atau ke cafe." "Lebih bucin lagi terbang ke luar negeri demi sang kekasih." Aku hanya tertawa pelan, kita berdua memang sama-sama bucin. Kulangkahkan kaki memasuki sebuah hotel mewah. Hotel bintang lima memiliki keindahan yang tak bisa ditandingi. Pemandangan luar biasa bagi para wisatawan. Singapura memiliki ciri khas keindahan sendiri. "Kita akan ke mana?" tanya Serly mengandeng tanganku. "Kita ke kamar hotelnya.""Memang kamu tahu tempatnya?" "Ya ampun, tentu saja tahu. Ayo kita tanya resep
Bab 137 Aku dan Serly menghampiri pria pengkhianat di perusahaanku. Sebelum pria itu kabur aku telah memberikan jebakan untuknya. Kubuat dana di perusahaan berkembang pesat. Ia pasti tahu akan hal itu karena pegawai yang mengkhianatiku berada di bagian keuangan. Lagi-lagi ia melakukan pengeluaran tak terduga. Bukti ini nyata dan bisa menjadi barang bukti. "Apa yang tejadi dengan keuangan perusahaan ini? Bagaimana bisa menurun drastis begini. Padahal pemasukan berjalan seperti biasa." Kuletakkan berkas yang dibuat oleh pria itu. Pria yang sejak tadi tampak gelisah. "Memang seperti itu keadaan perusahaan kita." "Gak mungkin." Kulipat tangan di dada menatap pengkhianatan perusahaan. Wajah pria berusia empat lima tahun duduk di depanku. Ia tak sanggup menatapku. "Mengapa ada pengeluaran yang tak aku mengerti di sini!" Kutunjuk berkas keuangan bulan ini. "Oh, itu untuk keperluan perusahaan ini." "Gak mungkin kepentingan perusahaan sebanyak tiga puluh juta. Coba katakan padaku un
Bab 136 Ku injak rem dengan cepat. Seorang wanita merentangkan tangan di depan kendaraan roda empat milikku. Untung saja kakiku segera menginjak rem dengan capat. Seorang gadis berdiri menatap manik aku. Aku kenal wajah itu. Ia adalah Lisa, adik Rita. "Tolong aku! Tolong!" Aku melihat pria yang berada di club. Ia mengejar Lisa dengan tatapan marah. Kubuka pintu mobil dan Lisa segera masuk ke dalam. Wajah Lisa tampak pucat. Aku menginjak gas dengan cepat hingga mobilku melanju meninggalkan pria yng masih mengejar Lisa. "Cepat Mba! Cepat!" Suara teriakkan Lisa membuatku terkejut. Pria itu masih mengejar kami. Kulihat dia dari kaca spion kembali ke mobilnya. "Mba Intan, cepatan! Tolong aku!" "Tenang Lisa. Kasih aku ketenangan." Lisa diam dan hanya terisak. Aku tahu ia memiliki masalah yang tak rumit. Wajah Lisa menoleh ke arah belakang. Mobil yang dikendarai pria itu berada di belakangku. Ku injak lagi gas lebih kencang agar pria itu tak dapat mengejar mobilku. Semua mobil y
Bab 135 Senyum menyeringai terlihat jelas. Mba Nita tersenyum sinis menatapku penuh arti. "Tanda tangan saja!" "Aku gak bisa, Mba. Aku gak bisa."Sebagai seorang ibu aku tak bisa melakukan hal itu. Aku tak ingin hidupku jauh dari anak. Pikiran mereka licik dan tak berbobot. Aku akui klo diri ini juga pernah melakukan hal licik dan jahat. "Lalu kamu ingin menjadi istri suamiku selama begitu. Jangan mimpi. Mas Bromo hanya memiliki istri satu yaitu aku. Hanya aku." Aku menundukkan kepala dan menatap Mas Bro sejenak. Kenapa pria tua itu berubah ketika berada di samping istri pertamanya. "Mas, aku ini seorang Ibu. Tak ingin jauh dari anakku." Aku memang jahat dan licik tapi aku juga akan menjadi seorang ibu. "Lebih baik tanda tangan saja. Kamu masih muda. Kamu masih memiliki jalan panjang. Kami akan merawatnya." Ucapan Mas Bro terdengar bijak. Apakah ia bisa dipercaya atau hanya berpura-pura saja. Sedangkan di belakang mba Nita ucapannya begitu manis. Pria itu begitu sayang kepad