Tahun 1810.
Suara pedang yang saling menyentuh dan bertabrakan satu sama lain. Suara daging segar yang terbelah oleh tajamnya pedang. Suara berisik teriakan banyak prajurit yang siap mati, prajurit yang kesakitan dan prajurit yang berharap pada kemenangan terdengar di kedua telinga Hyang(1) Yuda(2). Pemandangan yang sama dan suara yang sama sudah dilihat dan didengar Hyang Yuda selama kurang lebih lima ratus tahun lamanya. Dari puncak gunung di dekat tempat terjadinya perang, Hyang Yuda hanya duduk diam sembari memperhatikan bagaimana jalannya perang yang sedang terjadi.
(1)Hyang dalam bahasa sansekerta memiliki arti Dewa.
(2)Yuda dalam bahasa sansekerta memiliki arti Perang.
Di sampingnya, duduk Hyang Marana(3) dan Hyang Tarangga(4) yang sedang mencatat jumlah kematian yang datang dan takdir manusia yang akan bertahan hidup. Hyang Marana menghitung jumlah manusia yang satu persatu mati sejak dimulainya perang dan kini hitungannya sudah mencapai angka 500 atma(5). Sedangkan Hyang Tarangga sedang membaca buku besar miliknya dan dengan cepat menandai nama – nama manusia yang memiliki takdir mati di dalam perang dan hidup setelah perang berakhir.
(3)Marana dalam bahasa sansekerta memiliki arti mati.
(4)Tarangga dalam bahasa sansekerta memiliki arti Bintang.
(5) Atma dalam bahasa sasnsekerta memiliki arti jiwa.
Hyang Yuda hanya bisa mendesah panjang ke langit melihat dua rekan kerjanya yang sejak tadi sibuk bekerja sementara dirinya hanya duduk, diam dan melihat jalannya perang.
“Hyang Tarangga, Hyang Marana. . .” panggil Hyang Yuda ketika melirik dua rekannya yang sibuk dengan tugas – tugasnya.
“Ehm. . .” jawab Hyang Tarangga.
“Ya?” jawab Hyang Marana.
Dua rekannya itu menjawab tanpa melihat ke arah Hyang Yuda sedikit pun.
“Menurut kalian pihak siapa yang akan menang dalam perang ini?” tanya Hyang Yuda.
Hyang Tarangga menggelengkan kepalanya dan memberikan jawabannya tanpa melihat sedikit pun ke arah Hyang Yuda yang duduk di sampingnya. “Kenapa kamu ingin tahu Hyang Yuda?”
Hyang Marana menganggukkan kepalanya mendengar jawaban Hyang Tarangga.
“Ya, kenapa kamu ingin tahu Hyang Yuda?” sambung Hyang Marana.
“Hanya penasaran saja. . .”
Hyang Yuda menggaruk kepalanya dan mendesah untuk kedua kalinya. Pertanyaan yang diajukannya gagal membuat dua rekannya yang sibuk dengan pekerjaan mengalihkan pandangannya.
Awalnya. . . bagi Hyang Yuda pekerjaan yang diterimanya menjadi Dewa Perang adalah pekerjaan yang menyenangkan. Meski tidak memiliki ingatan masa lalu, Hyang Yuda yang dulunya adalah manusia yang hidup di Janaloka(6) adalah seorang panglima kerajaan. Jadi melihat perang adalah sesuatu yang membuat Hyang Yuda merasa senang. Begitulah awalnya.
(6)Janaloka dalam bahasa sansekerta memiliki arti dunia. Dunia tempat manusia tinggal.
Namun semakin lama melihat perang, Hyang Yuda semakin merasa perang adalah sesuatu yang membuat bosan. Meski perang berakhir, akan selalu ada perang lain yang dimulai. Korban yang jumlahnya tidak sedikit terus menerus berjatuhan. Bau amis dari darah manusia di tempat terjadinya perang terkadang membuat Hyang Yuda merasa mual dan ingin muntah. Beberapa manusia yang mati terkadang berada dalam kondisi yang tidak bisa dikenali oleh Hyang Yuda karena tubuhnya yang hancur dan kondisi wajahnya yang rusak. Karena itulah setiap kali perang berlangsung Hyang Yuda setidaknya harus ditemani oleh Hyang Tarangga yang memiliki kemampuan mengenali manusia meski hanya tersisa bagian jarinya sekalipun.
“Ingin kuberitahu akhir dari perang ini?” tanya Hyang Tarangga masih sibuk dengan buku besar miliknya.
Hyang Yuda menggelengkan kepalanya. “Tidak perlu, bukankah Hyang Tarangga sendiri yang bilang bahwa perang ini adalah perang yang cukup singkat yang terjadi selama sepuluh tahun ke depan?”
Hyang Tarangga menganggukkan kepalanya. “Ya, ini salah satu dari tiga perang singkat yang terjadi di Janaloka dalam sepuluh tahun ke depan.”
“Meski begitu. . . kamu bilang ini adalah perang yang terjadi cukup singkat di sepuluh tahun ke depan, nyatanya di tempat lain masih terjadi perang yang belum terlihat bagaimana akhirnya. . .” sambung Hyang Marana. “Hasil yang dikirimkan oleh bayanganku di tempat lain terjadinya perang sudah mencatat banyak ratusan atma yang siap di kirim ke Sadyapara(7).
(7)Sadyapara dalam bahasa sansekerta memiliki arti alam baka.
Hyang Yuda menganggukkan kepalanya. “Sepertinya perang Fulani di Nigeria(8) akan terhenti untuk sesaat. Bayanganku di sana melihat perang mulai berakhir meski tidak sepenuhnya berakhir. Tapi seperti yang kamu baca dalam buku besar milikmu, Hyang Tarangga bahwa perang itu akan berakhir di tahun ini.”
(8) Perang Fulani di Nigeria terjadi pada tahun 1804 – 1810.
Hyang Tarangga menganggukkan kepalanya menjawab ucapan Hyang Yuda. “Kamu benar, perang itu akan berakhir di tahun ini. Satu pekerjaan kita sedikit berkurang, meski di tahun berikutnya akan terjadi perang yang lainnya.”
Hyang Yuda menghembuskan napas panjang ucapan dari Hyang Tarangga mengenai perang yang tidak akan berakhir.
“Saat ini kita dan bayangan kita sedang berjaga di sembilan lokasi perang yang terjadi di Janaloka. Satu perang yang akan berakhir yakni perang Fulani di Nigeria. Dua perang yang berlangsung sejak tahun 1804, satu perang yang dimulai tahun 1809 dan lima perang yang dimulai di tahun ini, tahun 1810(9). Semua perang ini adalah perang besar yang terjadi dan akan memakan banyak korban nantinya. Belum termasuk perang – perang kecil yang mungkin tidak memakan korban atau hanya menewaskan satu, dua atma saja.”
(9) Perang yang dimaksud oleh Hyang Yuda adalah sebagai berikut Perang Rusia – Persia (1804 – 1813), Perang Hitam (1804 – 1835), Perang kemerdekaan Bolivia (1809 – 1825), Perang kemerdekaan Colombia (1810 – 1819), Perang kemerdekaan Argentina (1810 – 1816), Perang Inggris – Belanda di Jawa (1810 – 1811), Perang Punjab (1810 – 1820), Perang kemerdekaan Meksiko (1810 – 1821).
“Ada apa denganmu akhir – akhir ini?” tanya Hyang Marana masih sibuk mencatat jumlah atma yang siap pergi ke Sadyapara.
“Tidakkah kamu menyadari hembusan napas panjangnya, Hyang Marana?” sambung Hyang Tarangga.
“Apa yang terjadi pada Hyang Yuda?”
Kali ini Hyang Marana menolehkan kepalanya ke arah Hyang Yuda dan menghentikan tugasnya untuk sementara.
“Hyang Yuda merasa bosan. . .” jelas Hyang Tarangga.
“Bosan?” tanya Hyang Marana dengan raut wajah tidak percaya. Dengan cepat, Hyang Marana melanjutkan pekerjaannya lagi dan mulai melanjutkan hitungannya yang sempat terhenti. Masih dengan menghitung, Hyang Marana bertanya lagi, “Apa yang membuatmu bosan, Hyang Yuda? Bukankah di antara semua Hyang, kamulah yang selalu bersemangat dalam melihat perang?”
Hyang Yuda yang masih duduk dengan mata menatap ke arah jalannya perang memberikan jawaban untuk pertanyaan Hyang Marana.
“Beberapa perang yang terjadi sudah tidak begitu menarik lagi. Beberapa alasan perang terjadi pun juga sudah seringkali terjadi. Taktik yang ada dalam perang pun selalu kutebak dengan mudah, bahkan hanya dengan melihat beberapa kali aku sudah bisa dengan mudah menebak pihak siapa yang akan jadi pemenang dalam perang nantinya. Yang tersisa hanyalah rasa bosan ketika melihat perang yang tidak pernah berhenti terjadi. Rasa muak melihat korban yang berjatuhan dengan bau darah amis di sepanjang lokasi perang. Rasa lelah dan sakit yang sama seperti yang dirasakan oleh banyak prajurit dalam perang. Dan rasa putus asa dari harapan banyak orang, baik prajurit atau rakyat yang mengharapkan kedamaian yang akan datang dan perang yang akan terhenti.”
Hyang Marana melirik ke arah Hyang Yuda dan mencibir, “Di antara semua dewa yang ada hanya kamulah dewa yang paling muda. Usiamu baru lima ratus tahun dan kamu sudah merasakan bosan. Aku dan Hyang Tarangga bahkan hidup sudah sejak ribuan tahun lamanya dan kami bahkan sama sekali tidak mengeluh apalagi merasa bosan.”
Hyang Tarangga tersenyum mendengar jawaban yang diberikan Hyang Marana kepada Hyang Yuda. Hyang Tarangga sudah terbiasa dengan sikap Hyang Marana yang terkadang dengan mudahnya mengatakan apa yang ada dalam pikirannya tanpa memikirkan kondisi dari subjek yang berbicara dengannya. Dan karena sifatnya itu, Hyang Marana dengan mudahnya memicu pertikaian di antara para Hyang.
Hyang Tarangga menghentikan tugasnya untuk sementara dan menoleh ke arah Hyang Yuda. Dengan menepuk bahu Hyang Yuda, Hyang Tarangga dengan bijak berbicara pada Hyang Yuda.
“Saat ini. . . mungkin Hyang Yuda merasa bosan karena melihat perang yang tiada habisnya terus terjadi. Tapi. . . suatu saat, perang – perang yang terjadi juga pasti memiliki akhir. Manusia pasti akan merasakan lelah dan bosan, sama seperti yang Hyang Yuda rasakan saat ini dan perang akan berhenti terjadi. Saat itu terjadi nanti, Hyang Yuda mungkin tidak lagi melihat perang dan mungkin akan menganggur selamanya. . .”
Setelah menyelesaikan ucapannya, Hyang Tarangga kembali menyibukkan dirinya dengan buku besar miliknya dan mencatat takdir manusia. Sedangkan Hyang Yuda yang sempat merasa bosan, mendengar kata menganggur selamanya dari mulut Hyang Tarangga segera menghilangkan rasa bosannya dan memfokuskan pandangannya ke arah peperangan yang sedang terjadi.
Hyang Yuda yang baru saja memfokuskan pandangannya ke arah perang di hadapannya, kini justru perang di hadapannya itu perlahan mulai usai. Kelelahan yang teramat sangat dan titik kemenangan yang tidak terlihat di antara kedua belah pihak, membuat dua pihak yang berperang memutuskan untuk mundur di saat yang bersamaan.“Sial. . .” umpat Hyang Marana dengan kesal secara tiba – tiba.Umpatan Hyang Marana itu berhasil membuat Hyang Tarangga yang fokus dengan pekerjaannya mengalihkan perhatiannya sejenak. “Ada apa, Hyang Marana?” tanya Hyang Tarangga.“Hyang Yuda. . .” teriak Hyang Marana masih dengan rasa kesalnya. “Karena rasa bosanmu, apa kamu tidak melihat dua Durbiksa(1) yang baru saja melarikan diri?”(1)Durbiksa dalam bahasa sansekerta berarti iblis.Hyang Marana berteriak dan membentak Hyang Yuda dengan penuh amarah sembari menunju
Hyang Yuda menghentikan langkahnya yang hendak melayang pergi dan memastikan lagi pendengarannya yang mendengar suara teriakan seorang gadis manusia dari tempatnya berada.“Kumohon. . . siapapun tolong aku. . .”Teriakan itu terdengar lagi oleh Hyang Yuda untuk kedua kalinya.Haruskah aku menolongnya?Hyang Yuda bertanya dalam pikirannya sendiri.Tidak. . . itu tidak perlu. Pasti akan ada manusia yang lewat yang akan menolongnya.Hyang Yuda menjawab sendiri pertanyaan yang baru saja ditanyakannya kepada dirinya sendiri.Untuk meyakinkan dirinya sendiri, Hyang Yuda menunggu selama beberapa waktu untuk memastikan bahwa akan ada manusia yang lewat dan memberikan pertolongan kepada gadis manusia itu. Namun setelah lima kali teriakan permintaan tolong dari gadis itu, Hyang Yuda tidak menemukan satu manusiapun yang lewat yang akan memberikan pertolongan kepada gadis manusia itu. De
Setelah menyelesaikan percakapan mereka, gadis manusia itu mempersilakan Hyang Yuda untuk masuk ke dalam rumahnya yang sederhana. Begitu masuk ke dalam rumah gadis manusia itu, Hyang Yuda benar – benar terkejut melihat bagian dalam dari rumah itu. Rumah itu sedikit lebih baik di bagian dalamnya dari pada yang terlihat dari luar. Ruangan di dalam rumah terasa hangat dan bersih. Beberapa perkakas dan perabotan yang dimiliki gadis itu terawat dengan baik. Meski ukuran rumah tidak besar, tapi Hyang Yuda melihat semua yang dibutuhkan gadis itu ada di dalam rumah itu.“Duduklah di sana, Tuan yang baik hati. . .” Gadis manusia itu menunjuk ke arah kursi besar di sudut ruangan di dekat pintu masuk rumah miliknya. “Tuan bisa menunggu di sana sembari saya memasak makan malam untuk kita berdua.”Hyang Yuda menuruti ucapan gadis manusia itu dan duduk manis di kursi besar yang ada di sudut ruangan itu. Sembari menunggu, Hyang Yuda terkadang
Dinginnya angin malam di Janaloka yang berembus membuat Hyang Yudi yang terbiasa hidup nyaman di Amaraloka sedikit kesulitan untuk tidur. Tapi, bukan hanya itu saja alasan Hyang Yuda tidak bisa memejamkan matanya. Sesuatu di luar sana, di tengah kegelapan malam mengganggu Hyang Yuda yang berniat untuk tidur.Dalam embusan angin malam yang dingin, Hyang Yuda mencium bau darah yang memuakkan dan membuat jijik Hyang Yuda. Awalnya, Hyang Yuda berniat untuk membiarkan hal itu begitu saja. Namun semakin lama, bau darah yang memuakkan itu semakin menusuk indra penciuman Hyang Yuda dan membuat Hyang Yuda semakin terganggu karena perasaan jijiknya. Mau tidak mau, Hyang Yuda akhirnya memilih bangun dan bangkit dari tempatnya berusaha untuk tertidur.Hyang Yuda kemudian membuka pintu rumah gadis manusia itu dan berjalan keluar di tengah gelapnya malam di Janaloka. Sebelum pergi meninggalkan rumah gadis manusia itu, Hyang Yuda memasangAwarana Catra(1) di sekitar
Setelah berusaha memberikan sugesti kepada dirinya sendiri, Hyang Yuda kini mulai bisa menahan rasa mualnya lagi dan fokus mendengarkan saluran komunikasi dengan Amaraloka yang dibukanya. “Hyang Madyapada. . .” panggil Hyang Yuda melalui saluran komunikasi. [Aku di sini. . . apa yang ingin Hyang Yuda tanyakan padaku?] Hyang Madyapada menjawab panggilan dari Hyang Yuda. “Bisakah aku bertanya, apa mungkin Hyang Madyapada mengetahui tentang Nagendra yang sedang memakan banyak manusia di sekitar tempatku berada?” tanya Hyang Yuda. [Tunggu sebentar, biarkan aku melacak lokasi tempat Hyang Yudaberasa saat ini.] Hyang Madyapada dengan kemampuan khusus miliknya mulai melacak lokasi di mana Hyang Yuda berada. Sementara Hyang Madyapada sedang sibuk melacak lokasi, Hyang Tarangga berbicara dalam saluran komunikasinya. [Sejak siang tadi, ke mana saja Hyang Yuda pergi?] “Bisakah Hyang Tarang
Di Amaraloka yang tenang. . .Sangkar Kausala tiba – tiba muncul di tengah – tengah aula Amaraloka dan membuat beberapa beberapa Raksaka(1) yang berjaga terkejut. (1)Raksaka dalam bahasa sansekerta berarti Penjaga.Sangkar kausala yang tiba dengan Nagendra di dalamnya, kemudian berteriak dengan kencang memanggil nama Hyang Marana.“Hyang Marana yang terhormat. . . aku, Sangkar Kausala pusaka dari Hyang Yuda datang mengantarkan hewan peliharaanmu. . .”Teriakan Sangkar Kausala yangbenar – benar kencang berhasil menarik perhatianbeberapa Hyang yang terjaga akhirnya datang ke aula Amaraloka. Dari pintu gerbang Aula Amaraloka terlihat kedatangan Hyang Tarangga, Hyang Baruna, Hyang Byomanthara(2), Hyang Samirana, Hyang Amarabhawana dan terakhir Hyang Marana. (2)Byomanthara dalam bahasa sansekerta berarti
Setelah makan pagi bersama dengan Sasadara, Hyang Yuda kemudian mengucapkan terima kasih kepada Sasadara dan berpamitan pergi. “Jaga dirimu, Sasadara. Seorang gadis tinggal seorang diri di tempat yang jauh dari pemukiman dan dekat dengan hutan. . . itu pasti sangatlah berat,” ucap Hyang Yuda sebelum pergi. Sasadara menggelengkan kepalanya dan menjawab, “Hidup seorang diri di pinggir hutan akan lebih mudah bagi saya dan juga banyak orang daripada saya harus tinggal di desa dan membuat banyak orang di desa kesusahan.” Hyang Yuda mengerutkan alisnya dan memandang heran ke arah Sasadara, “Apa maksudnya dengan itu?” Sasadara tersenyum melihat ke arah Hyang Yuda, “Jika kita berjodoh dan bertemu lagi, saya akan menceritakan hal ini kepada Tuan. Bagaimana menurut Tuan?” Hyang Yuda tersenyum mendengar ucapan bijak dari Sasarada kepada dirinya. “Baiklah, jika kita berjodoh dan bertemu lagi. . .” jawab Hyang Yuda.
Hyang Tarangga yang baru saja kembali dari tanah Girilaya kini berdiri di depan Hyang Amarabhawana di aula Amaraloka. Dengan menggunakan saluran komunikasi pribadi, Hyang Amarabhawana meminta Hyang Tarangga untuk segera menemuinya ketika tiba di Amaraloka. Dengan menahan rasa mualnya yang belum hilang sejak melihat kondisi Girilaya yang menjadi tempat pesta makan besar Nagendra, Hyang Tarangga menguatkan dirinya berdiri menghadap Hyang Amarabhawana. “Hyang Tarangga. . .” panggil Hyang Amarabhawana ketika melihat kedatangan Hyang Tarangga. “Ya, saya di sini, Hyang Amarabhawana.” “Maafkan ketidaksabaranku karenameminta Hyang Tarangga segera datang menemuiku setelah pekerjaan Hyang Tarangga yang berat pagi ini.” “Tidak, Hyang Amarabhawana. Sudah menjadi tugas saya mencatat semua atma dan manusia di Janaloka,” jawab Hyang Tarangga dengan sopan dan merendah. “Aku meminta Hyang Tarangga datang kemari karena ada se
“Begitulah kisah cinta dan kisah perjuangan dari Rakryan Tumenggung Sena dan Pawestri Manohara. Setelah terpisah oleh kematian, setelah melewati tiga kehidupan penuh ujian dan penantian yang panjang, Rakryan Tumenggung Sena dan Pawestri Manohara akhirnya bersatu kembali di Amaraloka.” “Benarkah begitu Paman?” tanya anak laki – laki dari lima anak laki – laki yang mendengarkan kisah dari pendongeng bernama Rangga. “Benar.” “Lalu apakah kerajaan dan Maharaja melupakan Rakryan Tumenggung Sena dan Pawestri Manohara?” tanya satu dari empat anak perempuan yang juga ikut mendengar kisah dari pendongeng bernama Rangga. “Maharaja tidak melupakan adik kesayangannya, Manohara. Hanya saja kisah cinta mereka kemudian terkubur bersama dengan kematian seluruh saksi dari kejadian yang membunuh RakryanTumenggung Sena dan Pawestri Manohara. Semua saksi dalam kejadian itu menyimpan rahasia itu sebagai bentuk sumpah setia kepada Maharaja dan
Hyang Yuda berdiri di depan gerbang Sadyapara menunggu pratiwimba milik Hyang Marana datang membawa atma dari Isvara yang merupakan reinkarnasi keempat dari Manohara. Dengan gugup, Hyang yuda berdiri menunggu sementara Hyang Tarangga yang berdiri menemani di sampingnya tampak begitu tenang seperti biasanya. “Tenanglah, Hyang Yuda.” Hyang Tarangga berusaha menenangkan Hyang Yuda yang begitu gugup bahkan lebih gugup ketika harus memimpin perang. “Kenapa pratiwimba milik Hyang Marana lama sekali, Hyang Tarangga?” Hyang Yuda berkata dengan raut wajah yang sudah tidak lagi bisa menahan rasa sabarnya. “Manusia yang mati hari ini berjumlah ratusan dan belum lagi yang mati di sisi lainnya di Janaloka. Tugas Hyang Marana begitu banyak, jadi tunggulah dengan sabar,Hyang Yuda. Atma dari Isvara tidak akan menghilang.” Tidak lama kemudian dari gerbang masuk Sadyapara, Hyang Yuda melihat kedata
Sepuluh tahun kemudian. Tahun 1945. Isvara kini telah tumbuh menjadi gadis yang cantik dengan karakter dan kepribadian yang baik. Dengan keluarganya yang merupakan keluarga bangsawan, tidak sulit bagi Isvara untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi untuk masa depannya kelak. Isvara yang sudah memiliki kecerdasan yang cukup tinggi sejak masih kecil mengenyam pendidikan di Sakolah Raden Dewi(1) dan lulus di usianya yang masih muda. (1)Sakolah Raden Dewi adalah sekolah yang didirikan oleh Dewi Sartika pada tahun 1904 dengan nama sekolah istri atau sekolah untuk perempuan di Bandung. Sekolah ini mengalami perubahan nama beberapa kali sebelum akhirnya pada tahun 1929 berubah nama menjadi Sakolah Raden Dewi. Hyang Yuda yang melihat pertumbuhan Isvara merasa begitu senang karena Isvara memiliki kehidupan yang benar – benar membuatnya bahagia. Hyang Yuda
Tahun 1925 Hyang Yuda menghela napas panjang ketika mendapati dirinya harus bertugas hanya berdua dengan Hyang Marana. Mendengar helaan napas panjang dari Hyang Yuda, Hyang Marana melirik dengan tajam ke arah Hyang Yuda dan berkata, “Aku mendengar helaan napas panjang itu, Hyang Yuda. Apakah begitu membosankannya bagi Hyang Yuda untuk bekerja bersama denganku?” Hyang Yuda dengan cepat berusaha tersenyum mendengar omelan dari Hyang Marana yang mendengar helaan napas panjangnya dan menjawab pertanyaan dari Hyang Marana, “Tidak, Hyang Marana.” “Kalau begitu berhentilah menghela napas panjang karena bukan hanya Hyang Yuda saja yang merasa sebal. Aku pun juga merasakan hal yang sama. . . Akan lebih baik jika Hyang Tarangga ada di sini menjadi penengah di antara kita berdua. . .” Hyang Yuda menganggukkan kepalanya mendengar ucapan Hyang Marana. Untuk pertama kalinya dalam 600 tahun keh
Seratus tahun kemudian. . . Selama seratus tahun, Hyang Yuda melakukan semua pekerjaan yang dimilikinya dengan giat. Dari pergi melihat jalannya perang bersama dengan Hyang Marana dan Hyang Tarangga, kemudian pergi bersama dengan Hyang Marana dalam menjemput banyak atma manusia yang tewas karena serangan wabah dan sesekali membantu pekerjaan para Hyang lainnya ketika Hyang Yuda sebagai Hyang Ruksa melepas panah Sanghara Gandhewa dan membuat kiamat kecil datang ke Janaloka. Pada tahun 1815, Sanghara Gandhewa yang dilepaskan oleh Hyang Yuda membuat Tambora Giri(1) meletus dan mengakibatkan banyak manusia yang tewas. Hyang Marana dan Hyang Tarangga benar – benardibuat bekerja keras ketika Sanghara Gandhewa milik Hyang Ruksa dilepas ke Janaloka. Tidak hanya itu saja akibat dari letusan Tambora Giri yang sangat dahsyat, tsunami datang di beberapa titik di Janaloka dan mengakibatkan ribuan manusia kehilangan nyawanya. Akibat l
Mendengar ucapanku, sosok hitam dengan wujud wanita itu kemudian memasang wajah murka kepadaku. Tangannya mengepal berusaha merusak selubung pelindung yang dibuat Hyang Yuda sebelum hilang kesadarannya. Tatapan matanya menyala seakan berusaha membakarku dengan amarahnya. Beruntungnya aku,berkat selubung itu aku berhasil menyelamatkan diri dan berjalan menjauh dari sosokhitam dengan wujud wanita itu. Menyadari aku yang perlahan berusaha pergi, sosokhitam dengan wujud wanita itu kemudian memanggil senjata miliknya yakni sabit besar berwarna hitam yang pernah aku lihat ketika sosok itu menyerang Hyang Yuda dan berusaha menghancurkan selubung yang melindungiku. Entah itu beruntung atau mungkin kekuatan Hyang Yuda lebih kuat darinya, selubung itu masih melindungiku dan membuat usaha sosok itu berakhir dengan kegagalan. “Sial. . .” Sosok itu mengumpat kesal ke arahku sembari melempar tatapan tajam penuh amarah kepad
Pertemuanku dengan Hyang Yuda benar – benar berjalan mulus sesuai dengan rencana yang dibuat oleh sosok itu. Dengan jantung yang berdetak kencang, aku berusaha keras menyembunyikan rona merah di wajahku dan suara detak jantungku yang bahagia melihat kedatangan Hyang Yuda tepat di hadapanku. Aku tahu hanya diriku seorang yang dapat mengingat kehidupan lama Hyang Yuda sebagai Sena. Tapi dengan hanya itu saja, akuyang hidup berteman dengan kesepian dan kehilangan semua harapanku sejak kematian bibiku akhirnya memiliki sebuah harapan lagi. Meski Hyang Yuda melupakan jati diri dan identitasku di masa lalu, meski Hyang Yuda tidak mengingat janji dan cinta di antaraSena dan Pawestri Manohara, aku akan membuat Hyang Yuda kembali menyukaiku seperti yang pernah terjadi antara Sena dan Pawestri Manohara di masa lalu. Itulah yang aku harapkan. Hyang Yuda membantuku dengan menggendongku di punggungnya yang hangat, membawaku kembali ke rumah s
Adegan demi adegan dengan cepat berputar di dalam benakku. Adegan yang memutar segala kenangan milik Pawestri Manohara bersama dengan Rakryan Tumenggung Sena dari pertemuan pertama, waktu – waktu yang dihabiskan oleh Pawestri Manohara bersama dengan Sena sewaktu menjadi pengawal pribadinya, permintaan Pawestri Manohara kepada Maharajamengenai pernikahannya, kemudian pesta pernikahan antara Pawestri Manohara, kehamilan Pawestri Manohara hingga terakhir kematian mengenaskan yang dialami oleh Manohara dan Rakryan Tumenggung Sena sebagai suaminya. Semua adegan berputar dengan cepat dalam waktu singkat seakan tumpah di dalam benakku. Begitu pemutaran adegan itu berakhir, air mataku tanpa kusadari jatuh dan membasahi wajahku. Sementara aku menghapus air mata di wajahku, sosok gelap di hadapanku kemudian mengangkat telapak tangannya dari keningku, menghentikan pemutaran adegan di dalam benakku. “Apa yang baru saja aku lihat ini?” tanyaku masih dengan mengh
Hyang Yuda akhirnya mengerti. Hyang Yuda akhirnya memahami alasan dari Sasarada yang memiliki kemampuan untuk melihat sosoknya sebagai Dewa. Kemampuan itu seakan menjadi jawaban dari keinginan dua reinkarnasi Manohara sebelumnya yakni Anindya dan Samanta. Harapan itu didengar oleh berkah milik Hyang Yuda yang sejak awal juga ingin kembali pada Tuannya. Berkah itu membuat dua reinkarnasi dari Manohara menyimpan perasaan yang dalam dari Manohara untuk suaminya, Sena yang tidak lain adalah Hyang Yuda. Berkah itu jugamembuat Samanta dapat melihat beberapa kenangan miliknya di kehidupannya sebagai Manohara dalam bentuk mimpi. Seperti ucapan Hyang Tarangga pada Hyang Yuda, reinkarnasi Manohara terlindungi dari makhluk – makhluk tak kasat mata yang berniat mengganggunya. Namun dalam ucapan Hyang Tarangga pada Hyang Yuda itu ada sebuah kesalahan kecil yang harusnya menjadi peringatan untuk Hyang Yuda. Hyang Yuda juga termasuk ke dalam makhluk