Setelah makan pagi bersama dengan Sasadara, Hyang Yuda kemudian mengucapkan terima kasih kepada Sasadara dan berpamitan pergi.
“Jaga dirimu, Sasadara. Seorang gadis tinggal seorang diri di tempat yang jauh dari pemukiman dan dekat dengan hutan. . . itu pasti sangatlah berat,” ucap Hyang Yuda sebelum pergi.
Sasadara menggelengkan kepalanya dan menjawab, “Hidup seorang diri di pinggir hutan akan lebih mudah bagi saya dan juga banyak orang daripada saya harus tinggal di desa dan membuat banyak orang di desa kesusahan.”
Hyang Yuda mengerutkan alisnya dan memandang heran ke arah Sasadara, “Apa maksudnya dengan itu?”
Sasadara tersenyum melihat ke arah Hyang Yuda, “Jika kita berjodoh dan bertemu lagi, saya akan menceritakan hal ini kepada Tuan. Bagaimana menurut Tuan?”
Hyang Yuda tersenyum mendengar ucapan bijak dari Sasarada kepada dirinya.
“Baiklah, jika kita berjodoh dan bertemu lagi. . .” jawab Hyang Yuda.
Hyang Yuda kemudian berjalan pergi meninggalkan area rumah Sasarada yang sederhana. Begitu berjalan sedikit jauh dan melihat bahwa Sasarada tidak mengikutinya, Hyang Yuda melepaskan Alesyan yang digunakannya untuk menyamar dan dalam sekejap mata kembali ke Amarloka.
Begitu tiba di Amaraloka, Hyang Yuda terkejut melihat keadaan Amaraloka yang sedikit lebih berantakan dari biasanya. Merasa ada sesuatu yang tidak beres, Hyang Yuda bertanya kepada satu Raksaka yang berdiri tidak jauh dari tempatnya tiba.
“Ada apa ini?” tanya Hyang Yuda kepada satu Raksaka di dekatnya.
“Itu. . . ah, selamat datang Hyang Yuda. . .”
Menyadari siapa yang sedang berbicara padanya, Raksaka itu menundukkan kepalanya memberi hormat kepada Hyang Yuda.
“Ada apa sebenarnya ini?” tanya Hyang Yuda lagi.
“Itu. . . ulah Nagendra yang mengamuk tadi. Kami para Raksaka masih belum selesai membersihkan dan menata kembali Amaraloka karena ulah Nagendra.”
Mendengar jawaban dari Raksaka di depannya, senyuman segera terbentuk di sudut kiri bibir Hyang Yuda. Untuk sesaat, Hyang Yuda kemudian teringat dengan pesan Hyang Tarangga melalui saluran komunikasi tadi.
Jadi. . . benar – benar seperti yang aku harapkan.
Hyang Yuda tertawa kecil dan bertanya lagi kepada Raksaka di depannya, “Jadi, bagaimana akhirnya? Bagaimana akhirnya Nagendra itu bisa dihentikan?”
Raksaka itu menundukkan kepalanya lagi dan menjawab pertanyaan Hyang Yuda, “Hyang Amarabhawana turun tangan dan dengan menggunakan Bajrasani(1) miliknya untuk membuat Nagendra itu lemas dan tidak sadarkan diri.”
(1)Bajrasani dalam bahasa sansketa berarti petir.
“Bajrasani. . .” Hyang Yuda menggelengkan kepalanya dengan tersenyum kecil. “Hanya satu ekor Nagendra saja harus membuat Bajrasani bertindak, apakah para Hyang yang lain tidak ada yang bisa menghentikan satu ekor Nagendra itu?”
Raksaka menggelengkan kepalanya sebelum memberikan jawaban dari pertanyaan Hyang Yuda. “Tidak ada, Hyang Yuda. Begitu Sangkar Kausala menghilang dan kembali ke gudang Amaraloka, semua Hyang yang ada di aula Amaraloka kebingungan. Semua Hyang selain Hyang Tarangga dan Hyang Amarabhawana, memanggil senjata pusaka mereka. Namun bukannya menghentikan Nagendra, senjata pusaka yang digunakan oleh para Hyang justru menghancurkan pintu utama Aula Amaraloka dan membuat Nagendra keluar dari aula. Karena hal itu pula, kerusakan yang diakibatkan oleh Nagendra semakin meluas dan memaksa Hyang Amarabhawana memanggil Bajrasani, senjata pusaka miliknya.”
Hyang Yuda tertawa keras mendengar penjelasan dari Raksaka yang ada di hadapannya dan berkata, “Andai saja aku di sini dan bisa melihat kejadian itu, pasti benar – benar menyenangkan melihat para Hyang yang kalang kabut hanya karena satu Nagendra saja.”
Sebuah suara kencang terdengar dari Aula Amaraloka yang memanggil nama Hyang Yuda dan membuat kesenangan yang dirasakan oleh Hyang Yuda dalam sekejap menghilang.
“Hyang Yuda. . . harap segera datang ke Aula Amaraloka untuk melapor.”
Dari suaranya yang kencang dan dahsyat, Hyang Yuda dapat mengenali pemilik suara yang sedang mencari – cari keberadaannya saat ini. Suara itu adalah suara milik Hyang Amarabhawana. Hyang Yuda sangat yakin, Hyang Amarabhawana sedang mencari – cari dirinya menunggu laporan penting yang harus segera disampaikannya.
“Baiklah. . .” kata Hyang Yuda kepada Raksaka yang menemaninya berbicara sejak kedatangannya ke Amaraloka, “aku harus pergi dulu sebelum Hyang Amarabhawana membuat getaran kencang dengan suara miliknya itu.”
Raksaka itu menundukkan kepalanya memberi hormat kepada Hyang Yuda yang mulai berjalan pergi menuju ke Aula Amaraloka.
Dengan menggunakan kemampuannya sebagai dewa Amaraloka, Hyang Yuda berpindah tempat dan dalam sekejap mata sudah berdiri di depan meja besar Hyang Amarabhawana.
“Hyang Amarabhawana. . .” sapa Hyang Yuda dengan menundukkan kepalanya dengan tujuan memberi hormat.
“Hyang Yuda. . . akhirnya Hyang Yuda kembali juga ke Amaraloka,” kata Hyang Amarabhawana ketika menyadari keberadaan Hyang Yuda di depan meja kerjanya.
“Ya, saya telah kembali, Hyang Amarabhawana,” jawab Hyang Yuda masih dengan menundukkan kepalanya.
Hyang Amarabhawana menatap Hyang Yuda yang masih menundukkan kepalanya dan memberi perintah kepada Hyang Yuda untuk mengangkat kepalanya.
Sesuai dengan perintah Hyang Amarabhawana, Hyang Yuda mengangkat kepalanya dan menatap ke arah Hyang Amarabhawana.
“Ceritakan padaku bagaimana cara Hyang Yuda menangkap Nagendra itu? Apakah Hyang Yuda mengalami kesulitan saat menangkapnya?”
“Tidak, Hyang Amarabhawana. . .” jawab Hyang Yuda. “Saya tidak merasa kesulitan sedikit pun.”
“Bagaimana cara Hyang Yuda menangkapnya?”
“Dengan menggunakan pusaka milik saya, Saharsa Buntala, Hyang Amarabhawana.”
“Hanya itu saja?” tanya Hyang Amarabhawana dengan wajah tidak percaya.
“Ya, hanya itu saja Hyang Amarabhawana.”
Mendengar jawaban yang diberikan oleh Hyang Yuda, Hyang Amarabhawana memberi tepuk tangan kepada Hyang Yuda sebagai bentuk pujian dan rasa bangganya.
“Kamu tahu Hyang Yuda, beberapa Hyang yang berada di Aula Amaraloka ketika sangkar milik Hyang Yuda datang bersama dengan Nagendra di dalamnya, tidak ada yang bisa menghentikan Nagendra itu dengan mudah. Dan Hyang Yuda baru saja mengatakan Hyang Yuda menangkapnya dengan mudah hanya dengan menggunakan Saharsa Buntala milik Hyang Yuda?”
“Apakah jawaban yang saya berikan tidak tepat, Hyang Amarabhawana?” tanya Hyang Yuda ragu – ragu.
“Tidak. . . tidak. Justru aku sedang memuji Hyang Yuda. Aku terkejut Hyang Yuda menangkap Nagendra dengan mudahnya sementara beberapa Hyang yang ada di sini justru membuat banyak kekacauan di saat berusaha menangkap Nagendra.”
Hyang Amarabhawana bertepuk tangan lagi sebagai bentuk pujian kepada Hyang Yuda.
“Terima kasih atas pujian dari Hyang Amarabhawana. Benar – benar sebuah kehormatan bisa menerima pujian dari Hyang Amarabhawana.” Hyang Yuda berkata dengan merendah.
Raut wajah Hyang Amarabhawana perlahan berubah menjadi serius dan Hyang Yuda melihat dengan jelas perubahan raut wajah Hyang Amarabhawa di hadapannya.
Seperti yang diperkirakan oleh Hyang Yuda, Hyang Amarabhawana kemudian mengajukan pertanyaan yang lebih serius dari pertanyaan sebelumnya.
“Bagaimana Hyang Yuda bisa menemukan Nagendra yang memanfaatkan Girilaya ketika para Hyang lain dan bahkan Hyang Madyapada tidak mengetahuinya?”
Hyang Yuda menelan ludahnya dan mulai menceritakan setiap rincian kejadian yang membawanya kepada Nagendra yang sedang melakukan pesta makan besar dengan memanfaatkan Girilaya. Hyang Yuda bahkan tidak menutupi pertemuannya dengan gadis manusia bernama Sasarada di Janaloka.
“Jadi. . . karena Hyang Yuda ingin menebus kesalahan, Hyang Yuda dengan terpaksa mengantarkan gadis manusia itu kembali ke rumahnya dan berakhir dengan terpaksa juga menginap di rumah gadis manusia itu?” tanya Hyang Amarabhawana memastikan pernyataan dari Hyang Yuda.
“Ya, Hyang Amarabhawana. . .”
“Karena itu pula, Hyang Yuda dapat mencium bau darah manusia yang telah dimakan oleh Nagendra yang terbawa oleh angin. . .” kata Hyang Amarabhawana lagi untuk memastikan pertanyaan Hyang Yuda.
“Ya, Hyang Amarabhawana. Begitulah ceritanya, karena merasa tidak pernah mendengar Nagendra yang tinggal di tanah itu dengan terpaksa saya membuka saluran komunikasi di seluruh Amaraloka.”
“Bagus sekali. . . Hyang Yuda melakukan tugas dengan sangat baik. Setidaknya Hyang Yuda sudah mengurangi nyawa manusia yang akan melayang dan akan menjadi korban keganasan Nagendra. Saat ini, Hyang Tarangga dan Hyang Marana juga sudah pergi ke tanah itu dan membersihkan semua Atma yang terjebak di tanah itu. Takutnya jika membiarkan Atma dari korban Nagendra lebih lama lagi, tanah itu mungkin tidak lagi menjadi Girilaya dengan aura suci melainkan berubah menjadi aura gelap yang justru memancing banyak Mara.”
Mendengar kata Mara diucapkan oleh Hyang Amarabhawana, Hyang Yuda kemudian teringat dengan interogasinya kepada Nagendra sebelum mengirim Nagendra ke Amaraloka.
“Hyang Amarabhawana. . .” panggil Hyang Yuda dengan sopan.
“Ya?”
“Ada yang ingin saya tanyakan. . .”
“Katakan. . .”
“Sebelum mengirim Nagendra ke Amaraloka semalam, saya mengiterogasi Nagendra dan menayakan padanya bagaimana dia bisa mengetahui tentang tanah suci itu. . .”
“Lalu, jawaban apa yang Hyang Yuda terima?” tanya Hyang Amarabhawana.
“Nagendra mengetahui tanah itu dari seorang Mara, bukan sekedar Mara biasa tapi Nagendra menyebutnya dengan Mahamara. Apakah Hyang Amarabhawana mengetahui siapa Mahamara yang dimaksud oleh Nagendra?”
Hyang Amarabhawana terdiam dan berpikir sejenak sebelum mengajukan pertanyaan kepada Hyang Yuda, “Hyang Yuda yakin itu yang dikatakan oleh Nagendra?”
Hyang Yuda menganggukkan kepalanya dan menjawab, “Saya yakin. Saya bahkan menggunakan Bares Katana milik saya untuk memastikan kebenaran dari ucapan Nagendra. Sayangnya, Nagendra tidak mengingat bagaimana rupa dari Mahamara yang dia maksud. Bukankah ini sesuatu yang janggal, Hyang Amarabhawana?”
Hyang Amarabhawana terdiam untuk sejenak lagi dan menimbang – nimbang di depan Hyang Yuda sembari mengetukkan jarinya beberapa kali ke meja kerjanya.
Setelah menunggu selama beberapa saat, Hyang Yuda kemudian menerima perintah dari Hyang Amarabhawana. Sebelum mengatakan perintahnya, Hyang Amarabhawana meminta Hyang Yuda untuk mendekat ke sisinya dan kemudian berkata dengan nada yang lirih di dekat telinga Hyang Yuda, “Untuk sementara. . . tolong rahasiakan ini dari semua Hyang yang ada di Amaraloka. Sebelum aku mendapat kepastiannya, jangan sampai para Hyang di Amaraloka mengetahui hal ini. Apakah Hyang Yuda bisa melakukannya?”
“Baiklah, saya mengerti.”
“Hyang Yuda bisa pergi. Beristirahatlah, Hyang Yuda sudah bekerja dengan keras semalam. . .”
“Terima kasih, Hyang Amarabhawana.”
Setelah mengatakan hal itu, Hyang Yuda berjalan pergi meninggalkan Aula Amaraloka dan kembali ke ruangan pribadi miliknya.
Hyang Tarangga yang baru saja kembali dari tanah Girilaya kini berdiri di depan Hyang Amarabhawana di aula Amaraloka. Dengan menggunakan saluran komunikasi pribadi, Hyang Amarabhawana meminta Hyang Tarangga untuk segera menemuinya ketika tiba di Amaraloka. Dengan menahan rasa mualnya yang belum hilang sejak melihat kondisi Girilaya yang menjadi tempat pesta makan besar Nagendra, Hyang Tarangga menguatkan dirinya berdiri menghadap Hyang Amarabhawana. “Hyang Tarangga. . .” panggil Hyang Amarabhawana ketika melihat kedatangan Hyang Tarangga. “Ya, saya di sini, Hyang Amarabhawana.” “Maafkan ketidaksabaranku karenameminta Hyang Tarangga segera datang menemuiku setelah pekerjaan Hyang Tarangga yang berat pagi ini.” “Tidak, Hyang Amarabhawana. Sudah menjadi tugas saya mencatat semua atma dan manusia di Janaloka,” jawab Hyang Tarangga dengan sopan dan merendah. “Aku meminta Hyang Tarangga datang kemari karena ada se
Setelah memberikan tugas khusus kepada Hyang Yuda, Hyang Amarabhawana kemudian membagi para Hyang menjadi beberapa kelompok. Kelompok pertama terdiri dari Hyang Tarangga dan Hyang Byomanthara bertugas menjaga Amaraloka dan memantau situasi dari semua kelompok dari Amaraloka. Jika diperlukan, Hyang Tarangga dan Hyang Byomanthara dapat melancarkan serangan dari Amaraloka untuk membantu kelompok yang terdesak. Kelompok kedua terdiri dari Hyang Manasija dan Hyang Samirana yang bertugas untuk mengatasi kelompok Baluka. Kelompok ketiga terdiri dari Hyang Baruna dan Hyang Warsa yang bertugas untuk mengatasi Rase. Kelompok ketiga terdiri dari Hyang Marana dan Hyang Madyapada yang bertugas mengatasi Saradula dan terakhir Hyang Amarabhawana yang akan seorang diri mengatasi kelompok Nagendra. Sementara itu, Hyang Yuda akan berkeliling ke seluruh Janaloka untuk memberi bantuan kepada setiap kelompok sembari mencari dalang di balik serangan ini.
“Terima kasih banyak atas bantuan Hyang Yuda. . .” ucap Hyang Manasija masih dengan membantai sisa pasukan Baluka di hadapannya. “Tidak perlu berterima kasih, Hyang Manasija. Aku sebagai Dewa Perang yang Agung dari Amaraloka sudah menjadi tugasku untuk maju ketika perang terjadi. . .” jawab Hyang Yuda dengan sedikit merendah. Hyang Manasija tersenyum mendengar jawaban Hyang Yuda. “Terima kasih, Hyang Yuda. Setelah ini, Hyang Yuda bisa meninggalkan kami dan membantu kelompok yang lain. . .” tambah Hyang Samirana. “Hyang Samirana yakin bisa mengatasinya sisanya?” tanya Hyang Yuda sedikit ragu karena melihat Hyang Manasija dan Hyang Samirana yang sedikit kelelahan. Hyang Yuda sedikit merasa ragu untuk meninggalkan Hyang Manasija dan Hyang Samirana, terutama Hyang Manasija yang sudah lama tidak berurusan dengan perang dan hanya sibuk mengatur perjodohan manusia di Janaloka. “Kami berdua baik – baik saja.
Sementara itu di Amaraloka. . . “Hyang Tarangga. . .” panggil Hyang Byomanthara.Hyang Tarangga yang sedang sibuk membantu kelompok Hyang Manasija dan Hyang Samirana mengalihkan pandangannya untuk sejenak untuk menjawab panggilan Hyang Byomanthara.“Ada apa, Hyang Byomanthara?” tanya Hyang Tarangga.“Lihatlah. . . Hyang Yuda bertukar tempat dengan Hyang Amarabhawana. Hyang Yuda menggantikan posisi Hyang Amarabhawana untuk menghadapi pasukan Nagendra seorang diri,” jelas Hyang Byomanthara dengan wajah terkejutnya yang penuh dengan rasa kagum.Hyang Tarangga melirik melihat apa yang sedang diperlihatkan oleh Hyang Byomanthara padanya menggunakan Awalokana miliknya.Hyang Tarangga, Hyang Byomanthara, Hyang Basanta, Hyang Amarabhawana dan Hyang Manasija memiliki kemampuan yang sama yang tidak dimiliki oleh para Hyang yang lain. Kemampuan yang disebut Awaloka
Hyang Tarangga kembali ke posisinya dengan membawa Sangkar Kausala di tangannya. Melalui Awalokana miliknya, Hyang Tarangga mengawasi jalannya pertarungan antara Hyang Yuda dan pasukan Ashura. Baru sesaat Hyang Tarangga meninggalkan Hyang Yuda untuk mengambil Sangkar Kausala, namun situasi yang dihadapi Hyang Yuda sekarang sudah lebih buruk dari sebelumnya. Dengan jelas. . . Hyang Tarangga melihat Hyang Yuda sudah benar – benar kelelahan. Tenaga milik Hyang Yuda sudah nyaris terkuras habis sementara pasukan Ashura di hadapannya terus berdatangan seakan tidak pernah habis. Hyang Tarangga beberapa kali mengirimkan Handaru Nara miliknya namun bantuan itu tidak bisa menghentikan langkah Ashura yang terus maju dan mendesak Hyang Yuda. Sekali lagi. . . dan untuk terakhir kalinya, Hyang Tarangga menghubungi Hyang Amarabhawana melalui saluran komunikasi khusus yang dibukanya. “Bagaimana Hyang Amarabhawana? Apakah bisa segera memberi bantuan kepada H
Hyang Yuda membuka kedua matanya dan dengan samar – samar mengenali tempatnya saat ini berbaring. Hyang Yuda mengutuki dirinya sendiri karena justru datang ke tempat yang paling ingin dihindarinya. Selama lima ratus tahun lamanya, kurasa bukan hanya satu tempat saja aku pernah memasang Awarana Catra milikku. Tapi kenapa dari sekian banyak tempat, justru tempat ini yang didatangi Sangkar Kausala ketika berusaha menyelamatkanku?Setelah berbicara sendiri di dalam kepalanya, Hyang Yuda mencoba bangkit dari posisi terbaringnya. Namun sekujur tubuhnya masih merasakan rasa sakit yang luar biasa dan beberapa bagian tubuhnya bahkan merasa perih akibat luka – luka bekas pertarungannya.“Tuan sudah bangun?”Suara yang tidak asing di telinga Hyang Yuda, itu membuat Hyang Yuda yang berusaha bangun terkejut dan langsung menolehkan kepalanya melihat ke arah pemilik suara itu. Hyang Yuda melihat pemilik suara itu berla
Dengan terpaksa, Hyang Yuda akhirnya menghabiskan dua hari waktunya dengan tinggal di rumah Sasarada.Hari pertama di rumah Sasarada, Hyang Yuda ikut pergi bersama dengan Sasarada mencari tanaman obatdan berburu di sekitar hutan tempat tinggal Sasarada. Hyang Yuda yang sudah mengembalikan separuh lebih tenaganya kini dengan mudah memasang Awarana Catra miliknya ketika pergi bersama dengan Sasarada.Sepanjang perjalanan mencari tanaman dan berburu, Hyang Yuda berulang kali berkata dalam pikirannya karena rasa kesal dan malu yang dirasakannya saat bersama Sasarada. Aku. . . Hyang Yuda, Dewa Perang yang Agung dari Amaraloka kini harus pergi berburu kelinci dan rusa di hutan yang sebelumnya tak pernah kulakukan di Amaraloka hanya untuk makan. Pekerjaan kecil ini sebenarnya sangat mudah dilakukan jika aku menggunakan senjata pusaka milikku dan kemampuan lain yang kumiliki. Tapi. . . saat ini, aku berdiri di depan ma
Benar saja seperti yang dikatakan oleh Sasarada, Hyang Yuda dan Sasarada belum juga tiba di rumah ketika malam mulai datang. Keterlambatan itu disebabkan oleh Hyang Yuda yang terlalu banyak menghabiskan waktu di pasar mempelajari manusia di Janaloka dan mendengar cerita Sasarada tentang kehidupannya.Sasarada menarik lengan Hyang Yuda dan memaksanya untuk berjalan sedikit lebih cepat mengimbangi langkahnya.Sementara itu, Hyang Yuda yang sudah berusaha mempercepat langkah kakinya harus beberapa kali nyaris terjatuh dan terpeleset karena belum begitu menghafal jalanan sepertinya halnya Sasarada.Hyang Yuda merasakan beberapa bagian di kakinya perih akibat luka – luka yang tidak sengaja dibuatnya ketika berusaha mengimbangi langkah kaki Sasarada yang semakin gelap semakin cepat. Andai saja aku bisa menggunakan kemampuan Gaganacara milikku, pasti rasa perih di kakiku saat ini tidak perlu kurasakan. Gadis ini.
“Begitulah kisah cinta dan kisah perjuangan dari Rakryan Tumenggung Sena dan Pawestri Manohara. Setelah terpisah oleh kematian, setelah melewati tiga kehidupan penuh ujian dan penantian yang panjang, Rakryan Tumenggung Sena dan Pawestri Manohara akhirnya bersatu kembali di Amaraloka.” “Benarkah begitu Paman?” tanya anak laki – laki dari lima anak laki – laki yang mendengarkan kisah dari pendongeng bernama Rangga. “Benar.” “Lalu apakah kerajaan dan Maharaja melupakan Rakryan Tumenggung Sena dan Pawestri Manohara?” tanya satu dari empat anak perempuan yang juga ikut mendengar kisah dari pendongeng bernama Rangga. “Maharaja tidak melupakan adik kesayangannya, Manohara. Hanya saja kisah cinta mereka kemudian terkubur bersama dengan kematian seluruh saksi dari kejadian yang membunuh RakryanTumenggung Sena dan Pawestri Manohara. Semua saksi dalam kejadian itu menyimpan rahasia itu sebagai bentuk sumpah setia kepada Maharaja dan
Hyang Yuda berdiri di depan gerbang Sadyapara menunggu pratiwimba milik Hyang Marana datang membawa atma dari Isvara yang merupakan reinkarnasi keempat dari Manohara. Dengan gugup, Hyang yuda berdiri menunggu sementara Hyang Tarangga yang berdiri menemani di sampingnya tampak begitu tenang seperti biasanya. “Tenanglah, Hyang Yuda.” Hyang Tarangga berusaha menenangkan Hyang Yuda yang begitu gugup bahkan lebih gugup ketika harus memimpin perang. “Kenapa pratiwimba milik Hyang Marana lama sekali, Hyang Tarangga?” Hyang Yuda berkata dengan raut wajah yang sudah tidak lagi bisa menahan rasa sabarnya. “Manusia yang mati hari ini berjumlah ratusan dan belum lagi yang mati di sisi lainnya di Janaloka. Tugas Hyang Marana begitu banyak, jadi tunggulah dengan sabar,Hyang Yuda. Atma dari Isvara tidak akan menghilang.” Tidak lama kemudian dari gerbang masuk Sadyapara, Hyang Yuda melihat kedata
Sepuluh tahun kemudian. Tahun 1945. Isvara kini telah tumbuh menjadi gadis yang cantik dengan karakter dan kepribadian yang baik. Dengan keluarganya yang merupakan keluarga bangsawan, tidak sulit bagi Isvara untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi untuk masa depannya kelak. Isvara yang sudah memiliki kecerdasan yang cukup tinggi sejak masih kecil mengenyam pendidikan di Sakolah Raden Dewi(1) dan lulus di usianya yang masih muda. (1)Sakolah Raden Dewi adalah sekolah yang didirikan oleh Dewi Sartika pada tahun 1904 dengan nama sekolah istri atau sekolah untuk perempuan di Bandung. Sekolah ini mengalami perubahan nama beberapa kali sebelum akhirnya pada tahun 1929 berubah nama menjadi Sakolah Raden Dewi. Hyang Yuda yang melihat pertumbuhan Isvara merasa begitu senang karena Isvara memiliki kehidupan yang benar – benar membuatnya bahagia. Hyang Yuda
Tahun 1925 Hyang Yuda menghela napas panjang ketika mendapati dirinya harus bertugas hanya berdua dengan Hyang Marana. Mendengar helaan napas panjang dari Hyang Yuda, Hyang Marana melirik dengan tajam ke arah Hyang Yuda dan berkata, “Aku mendengar helaan napas panjang itu, Hyang Yuda. Apakah begitu membosankannya bagi Hyang Yuda untuk bekerja bersama denganku?” Hyang Yuda dengan cepat berusaha tersenyum mendengar omelan dari Hyang Marana yang mendengar helaan napas panjangnya dan menjawab pertanyaan dari Hyang Marana, “Tidak, Hyang Marana.” “Kalau begitu berhentilah menghela napas panjang karena bukan hanya Hyang Yuda saja yang merasa sebal. Aku pun juga merasakan hal yang sama. . . Akan lebih baik jika Hyang Tarangga ada di sini menjadi penengah di antara kita berdua. . .” Hyang Yuda menganggukkan kepalanya mendengar ucapan Hyang Marana. Untuk pertama kalinya dalam 600 tahun keh
Seratus tahun kemudian. . . Selama seratus tahun, Hyang Yuda melakukan semua pekerjaan yang dimilikinya dengan giat. Dari pergi melihat jalannya perang bersama dengan Hyang Marana dan Hyang Tarangga, kemudian pergi bersama dengan Hyang Marana dalam menjemput banyak atma manusia yang tewas karena serangan wabah dan sesekali membantu pekerjaan para Hyang lainnya ketika Hyang Yuda sebagai Hyang Ruksa melepas panah Sanghara Gandhewa dan membuat kiamat kecil datang ke Janaloka. Pada tahun 1815, Sanghara Gandhewa yang dilepaskan oleh Hyang Yuda membuat Tambora Giri(1) meletus dan mengakibatkan banyak manusia yang tewas. Hyang Marana dan Hyang Tarangga benar – benardibuat bekerja keras ketika Sanghara Gandhewa milik Hyang Ruksa dilepas ke Janaloka. Tidak hanya itu saja akibat dari letusan Tambora Giri yang sangat dahsyat, tsunami datang di beberapa titik di Janaloka dan mengakibatkan ribuan manusia kehilangan nyawanya. Akibat l
Mendengar ucapanku, sosok hitam dengan wujud wanita itu kemudian memasang wajah murka kepadaku. Tangannya mengepal berusaha merusak selubung pelindung yang dibuat Hyang Yuda sebelum hilang kesadarannya. Tatapan matanya menyala seakan berusaha membakarku dengan amarahnya. Beruntungnya aku,berkat selubung itu aku berhasil menyelamatkan diri dan berjalan menjauh dari sosokhitam dengan wujud wanita itu. Menyadari aku yang perlahan berusaha pergi, sosokhitam dengan wujud wanita itu kemudian memanggil senjata miliknya yakni sabit besar berwarna hitam yang pernah aku lihat ketika sosok itu menyerang Hyang Yuda dan berusaha menghancurkan selubung yang melindungiku. Entah itu beruntung atau mungkin kekuatan Hyang Yuda lebih kuat darinya, selubung itu masih melindungiku dan membuat usaha sosok itu berakhir dengan kegagalan. “Sial. . .” Sosok itu mengumpat kesal ke arahku sembari melempar tatapan tajam penuh amarah kepad
Pertemuanku dengan Hyang Yuda benar – benar berjalan mulus sesuai dengan rencana yang dibuat oleh sosok itu. Dengan jantung yang berdetak kencang, aku berusaha keras menyembunyikan rona merah di wajahku dan suara detak jantungku yang bahagia melihat kedatangan Hyang Yuda tepat di hadapanku. Aku tahu hanya diriku seorang yang dapat mengingat kehidupan lama Hyang Yuda sebagai Sena. Tapi dengan hanya itu saja, akuyang hidup berteman dengan kesepian dan kehilangan semua harapanku sejak kematian bibiku akhirnya memiliki sebuah harapan lagi. Meski Hyang Yuda melupakan jati diri dan identitasku di masa lalu, meski Hyang Yuda tidak mengingat janji dan cinta di antaraSena dan Pawestri Manohara, aku akan membuat Hyang Yuda kembali menyukaiku seperti yang pernah terjadi antara Sena dan Pawestri Manohara di masa lalu. Itulah yang aku harapkan. Hyang Yuda membantuku dengan menggendongku di punggungnya yang hangat, membawaku kembali ke rumah s
Adegan demi adegan dengan cepat berputar di dalam benakku. Adegan yang memutar segala kenangan milik Pawestri Manohara bersama dengan Rakryan Tumenggung Sena dari pertemuan pertama, waktu – waktu yang dihabiskan oleh Pawestri Manohara bersama dengan Sena sewaktu menjadi pengawal pribadinya, permintaan Pawestri Manohara kepada Maharajamengenai pernikahannya, kemudian pesta pernikahan antara Pawestri Manohara, kehamilan Pawestri Manohara hingga terakhir kematian mengenaskan yang dialami oleh Manohara dan Rakryan Tumenggung Sena sebagai suaminya. Semua adegan berputar dengan cepat dalam waktu singkat seakan tumpah di dalam benakku. Begitu pemutaran adegan itu berakhir, air mataku tanpa kusadari jatuh dan membasahi wajahku. Sementara aku menghapus air mata di wajahku, sosok gelap di hadapanku kemudian mengangkat telapak tangannya dari keningku, menghentikan pemutaran adegan di dalam benakku. “Apa yang baru saja aku lihat ini?” tanyaku masih dengan mengh
Hyang Yuda akhirnya mengerti. Hyang Yuda akhirnya memahami alasan dari Sasarada yang memiliki kemampuan untuk melihat sosoknya sebagai Dewa. Kemampuan itu seakan menjadi jawaban dari keinginan dua reinkarnasi Manohara sebelumnya yakni Anindya dan Samanta. Harapan itu didengar oleh berkah milik Hyang Yuda yang sejak awal juga ingin kembali pada Tuannya. Berkah itu membuat dua reinkarnasi dari Manohara menyimpan perasaan yang dalam dari Manohara untuk suaminya, Sena yang tidak lain adalah Hyang Yuda. Berkah itu jugamembuat Samanta dapat melihat beberapa kenangan miliknya di kehidupannya sebagai Manohara dalam bentuk mimpi. Seperti ucapan Hyang Tarangga pada Hyang Yuda, reinkarnasi Manohara terlindungi dari makhluk – makhluk tak kasat mata yang berniat mengganggunya. Namun dalam ucapan Hyang Tarangga pada Hyang Yuda itu ada sebuah kesalahan kecil yang harusnya menjadi peringatan untuk Hyang Yuda. Hyang Yuda juga termasuk ke dalam makhluk