"Jadi, kau tidak ingat sama sekali apa yang sudah kalian lakukan kemarin malam di dalam kamar?" Barret bertanya dengan rasa ingin tahu yang semakin bertambah besar.
"Aku tidak ingat. Kau boleh percaya ataupun tidak jawabanku. Terserah padamu saja."
"Aku tidak percaya. Walaupun, aku mabuk. Aku masih ingat bagaimana aku dan Aldora menghabiskan malam panas. Dia yang mengerang dengan suara seksi p--"
"Bisakah kau jangan menceritakan secara detail? Itu adalah privasi kita. Kau tidak bisa membukanya kepada orang lain, tanpa ada persetujuan dariku dahulu. Mengerti?"
Barret mengangguk dengan gerakan santai dan memperlebar senyuman ke arah sang kekasih guna menanggapi permintaan dari wanita itu. Ia juga mengedipkan mata.
Barret tak akan melakukan rayuan apa pun untuk menenangkan Aldora yang sedang kesal. Kekasihnya tak benar-benar marah. Dari raut wajah tampak jelas menunjukkan rasa malu. Ada semburat warna merah pada kedua pipi. Hanya suara Aldora saja yang terdengar seperti kesal. Memiliki perbedaan ekspresi wanita itu. Ia bisa mengenali baik.
"Okay, Sayang. Akan aku tutup mulutku."
Barret lantas mengalihkan pandangannya ke sosok sang adik, Synda. Sebentar saja. Ia cepat memindahkan atensi pada Alexander. Barret pun seketika mengeluarkan tawanya. Disebabkan oleh aksi dilakukan Alexander. Barret tiba-tiba saja mendapatkan ide untuk mengerjai mantan kekasih adiknya itu. Dan, Synda akan menjadi candaannya juga.
"Ceritakan saja kepada kami apa yang sudah kalian lakukan. Jangan pernah merasa malu atau sungkan. Terutama kau, Adikku," ujar Barret dengan santai sembari menyeringai ke arah Synda. Sengaja dilakukan olehnya.
"Apa yang kau bicarakan? Aku dan dia tidak melakukan apa-apa yang muncul di dalam pikiran kotormu." Synda spontan meninggikan nada suara, akibat kesal.
"Jangan berpura-pura padaku. Kenapa kau tidak jujur saja, Adikku? Kita adalah saudara, aku akan dengan senang hati mendengarkan semua keluh kesahmu."
Synda menggerutu. Kian jengkel akan sikap ditunjukkan kakaknya. "Aku tidak akan mau berbagi cerita apa pun denganmu! Kau biasanya suka bermulut besar."
"Baiklah, kalau begitu. Tapi, soal hubunganmu dengan Alexander pengecualian bagaimana?"
"Kau senang sekali untuk ikut campur masalahku. Apa maumu?" Synda kembali menaikkan intonasi.
Synda menajamkan tatapan dan membuat ekspresi wajahnya sedatar mungkin untuk memerlihatkan kepada sang kakak bahwa ia benar-benar sedang kesal. Pertanyaan yang dilontarkan tidak dianggap sebagai guyon belaka. Terlebih, berkaitan dengan mantan kekasihmya. Tak akan pernah main-main. Ia bahkan enggan membahas Alexander.
Bukan karena menaruh kebencian pada pria itu. Hanya saja membahas masa lalu tidak menyenangkan untuknya. Mengingat, ada beberapa hal tentang Alexander yang masih belum mampu dihilangkan hingga kini.
Terutama, kenangan manis yang pernah di antara mereka terjadi. Membekas menerus pada lubuk hati terdalam dan pikirannya. Meski, semua sudah berupaya untuk ia lupakan. Nyatanya, tidak mudah seperti yang diinginkan. Masih kerap berputar di dalam kepalanya sebagai memori-memori indah. Menyebalkan memang jika logika sudah bermain. Tetapi, perasaan memiliki peranan tersendiri yang tak bisa diabaikan.
"Apa mauku? Hmm. Aku ingin kau dan Alex kembali menjadi kekasih. Kalian sangatlah cocok satu sama lain. Percaya padaku."
Synda menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Lebih ditajamkan tatapan ke sang kakak. Ia kian emosi mendengar bagaimana Barret begitu percaya diri menyampaikan pendapat tentang hubungannya dengan Alexander.
"Kau juga masih sayang dia bukan, Adikku? Ayolah, kembali padanya. Aku mendukung."
"Aku tidak mau." Synda menjawab tegas.
"Hahah. Jangan begitu. Lagipula, kau dan Alex akan terlibat kerja sama. Kalian akan jadi lebih sering berinteraksi dan bertemu. Bisa saja kalian bercinta setiap mal--"
Synda tak membiarkan sang kakak untuk melanjutkan ucapan. Sudah dibungkamnya menggunakan tangan kanan mulut Barret supaya kakak sulungnya mau berhenti ria berceloteh. Ia juga memberikan remasan di bagian lengan kiri Barret cukup kuat.
Dilakukan sebentar saja. Bagaimana pun juga dirinya bukanlah tipe orang yang suka menyiksa saudara sendiri. Tidak akan juga melampiaskan kekesalannya berlebihan dengan kekerasan fisik yang menyakitkan.
"Aku tidak mau menangani kerja sama apa pun dengan dia. Kau jangan memaksaku."
Barret menyeringai lebar sembari ditatapnya sang adik dengan pancaran kedua mata yang memancarkan sorot mengejek. "Kau yakin tidak mau menjalankan tugas?"
"Baiklah. Kau akan segera diberhentikan dari perusahaan. Apakah kau setuju, Synda? Jika kau tidak bekerja lagi, kesempatanmu untuk menyaingiku akan hilang, Adikku."
Synda mengalami rasa kantuk yang sangat berat. Kedua kelopak matanya susah untuk dibuka. Namun, tak berarti ia dapat dengan mudah terlelap dan juga bermimpi indah.Pikiran terus bekerja. Sejumlah hal menyita kepala sehingga menimbulkan rasa pusing. Efek yang tidak bagus bagi dirinya. Synda sudah berupaya tidak mempermasalahkan, tetapi ia tetap saja gagal dalam melakukan."Wajahmu pucat. Apa kau kurang tidur?"Synda langsung mengangkat kepala yang ia letakkan di atas meja makan. Lantas secara cepat mengangguk sembari menatap sosok Aldora Adams. Wanita itu memang selalu bisa memahami apa yang tengah ia alami.Dari waktu ke waktu dekat dengan kekasih sang kakak, membuat Synda menganggap Aldora sebagai teman baik. Jika ada masalah ia tak akan terbebani untuk menceritakan kepada wanita itu. Aldora akan memberikan solusi dan saran yang banyak cocok baginya."Kau benar. Aku kurang tidur. Hanya tiga jam saja, aku benar-benar tidur nyenyak dan untukku masih kura
"Apa lagi maumu? Sudah aku bilang aku tidak mau!" seru Synda dengan intonasi tinggi, setelah mengangkat teleponnya."Kau jangan menjanjikan kepadaku berbagai hal yang manis. Aku tidak akan mengubah keputusanku, Barret!"Synda langsung menjauhkan handphone dari telinga, ketika bentakan sang kakak dari seberang sana. Bukan berarti dirinya merasa takut. Hanya menghindari indera pendengaran jadi terganggu. Beberapa detik kemudian, kembali ponselnya ditempelkan di telinga. Celotehan sang kakak belum selesai."Kau pikir kau saja yang emosi? Aku juga! Kau jangan mengatakan aku seorang pembangkang. Aku tidak suka kau tuduh macam-macam." Synda ikut mengeraskan suaranya."Kau yang menangani proyek dia! Jangan menyuruhku! Tidak akan pernah mau aku melakukannya. Camkan!"Tanpa menunggu jawaban dan reaksi sang kakak, ditutup telepon secara sepihak. Lantas, pengaturan napas diterapkan untuk segera m
Alexander sudah sangat merasakan aura kemarahan Synda semakin besar yang sedang berjalan di sampingnya dengan tangan mereka saling menggenggam. Lebih tepat, dirinya begitu kencang menautkan jemari ke jari-jari wanita itu.Diawal, saat masuk ke dalam lift, Synda menunjukkan penolakan keras. Masih tidak mau menuruni perintahnya untuk pergi ke apartemen guna mendiskusikan pekerjaan.Synda bahkan nyaris kabur, namun berhasil dihentikan dengan pembicaraan mengarah pada ancaman tentang akan dicabut posisi cukup tinggi wanita itu dari perusahaan.Hampir lima menit berlalu, Synda pun hanya diam. Tidak memerlihatkan perlawanan apa pun lagi. Wanita itu bahkan tak menolak saat tangan mereka ditautkan olehnya.Tidak ada juga reaksi yang berlebihan, sekan sentuhan yang ia berikan biasa saja. Tak seistimewa dulu. Ya, ketika masih menjadi pasangan kekasih, Synda sangatlah senang jika dirinya menggenggam dengan erat tangan wanita itu.Synda akan tersenyum lebar. Kedua
"Kenapa tidak menjawab, Sayang? Kau pasti sudah tahu apa yang akan terjadi kepad--"Synda menjatuhkan kasar tangan mantan kekasihnya dari bahu. Lalu, didorong pria itu menjauh sehingga mereka jadi berjarak, walau memang tidak sampai lima meter. Tetapi, penghindaran kontak fisik sudah dirasanya cukup supaya tak menimbulkan sensasi aneh bagi dirinya yang meresahkan."Aku tidak mau tahu bagaimana?" Synda pun sengaja membalas dengan kalimatnya yang terkesan menantang. Suara tegasMatanya yang masih mendelik tajam terus diarahkan ke Alexander yang menyeringai dengan tatapan sarat akan kejahilan. Dari pancaran sepasang mata pria itu, mampu untuk ditangkapnya arti kejujuran. Memiliki kaitan akan apa yang Alexander sampaikan."Kau harus mau tahu, Sayang. Kau tidak akan bisa bersikap tidak peduli."Terus terang ucapan tersebut membuat ketenangannya semakin terkikis. Tentu ada sugesti untuk diri sendiri agar tidak mudah memercayai ucapan pria itu. Terlebih b
Seringaian Alexander tampak semakin puas, tentu dirinya menebak karena jawaban yang telah ia luncurkan. Synda pun mengutuk di dalam hati akan balasan dilontarkannya.Jika dipikirkan ulang kembali, terutama dari nada bicaranya, memanglah menunjukkan antusiasme tinggi akan apa yang Alexander hendak lakukan. Seakan juga menginginkan pria itu dengan hasrat tidak terbendung.Dan, pantas saja Alexander memerlihatkan reaksi begitu senang. Sepasang mata mantan kekasihnya itu juga memancarkan semakin nyata kebanggaan. Tentu, sorot tantangan turut bertambah, memandang dirinya."Kau mengatakan apa tadi, Sayang? Tidak terlalu jelas aku dengar. Bisa kau ulangi?"Synda menggeleng cepat. Ekspresinya tetap dibuat datar. Dan, dipilih melakukan upaya untuk menjauhkan badan dari kungkungan Alexander. Usahanya tak berjalan baik. Pria itu justru mengeratkan rengkuhan. Peluang untuk melepaskan bertambah kecil.Synda memutuskan menjalankan rencana kedua yang dirasa akan
"Haahhh, masih ada dua lagi," gumam Synda dengan embusan napasnya yang panjang.Setelah memutuskan untuk bergabung di perusahaan, Synda selalu mengisi hari-hari kerjanya dengan kerumitan. Begitu banyak dokumen yang harus diperiksa, dikoreksi, dan bahkan dibuat ulang sesekali juga.Isi kepala sudah pasti terkuras dikarenakan memang membutuhkan cara berpikir yang keras, terlebih ketika menangani dan juga menuntaskan urusan beberapa proyek besar diberikan oleh sang ayah kepadanya.Synda hanya akan mempunyai tujuan serta konsentrasi untuk menyelesaikan dengan hasil terbaik yang bisa dilakukannya. Sudah menjadi kewajiban bagi Synda. Ia harus bisa membuktikan diri bahwa memang memiliki potensi dan kemampuan dalam berbisnis."Sayang, apa yang sedang kau kerjakan?"Synda pun langsung bangun dari kursi kerja tengah ditempati mendengar suara dan juga sosok sang ayah. Dengan langkah kaki cukup cepat, Synda berjalan ke arah sofa. Di mana, ayahnya sedang ingin
Synda semakin kehilangan konsentrasinya dalam bekerja karena durasi keberadaan di apartemen Alexander yang bertambah. Hampir dua jam lamanya. Hanya sendirian.Entah kapan dirinya bisa pergi, belum dapat diprediksi dengan tepat, sebab harus menunggu mantan kekasihnya itu kembali ke apartemen terlebih dahulu. Belum pasti.Synda pun merutuki kejengkelan dirinya yang sudah beri izin pria itu meninggalkan apartemen karena tidak ingin dekat lama-lama dengan Alexander. Namun, menjadi bumerang baginya juga. Tidak dipikirkannya secara matang.Tak ada hal bisa dilakukan, selain menanti sampai sang mantan kekasih kembali. Harusnya, ia senang. Tentram dalam menyelesaikan tugasnya tanpa ada gangguan. Tetapi, justru konsentrasi semakin mengalami perpecahan di dalam kepala.Penyebab utama karena kembali terbangunnya memori kebersamaan dengan Alexander yang pernah dilalui, ketika mereka masih menjadi pasangan kekasih. Terutama, tentang percintaan panas yang kerap dilakuk
"Hei,Dad. Maaf, aku terlambat datang.Dadtidak lama menungguku bukan di sini?"Synda melemparkan tatapan sangat tajam ke sosok saudara sulungnya yang baru saja membuka pintu ruang kerja ayah mereka. Reaksi diperoleh dari Barret hanya berupa senyum tidak bersalah. Dan, hal tersebut sukses membuat Synda semakin kesal."Tidak lama.Dadtahu alasanmu terlambat karena apa kali ini. Dad akan memahami.""Dadmemang sangat memahamiku. Dan, apakah Dad sudah mengatakan pada adikku tentang proyek yang harus ditanganinya?""Benarkah,Dad? Wow, berita sangat bagus. Trims, Dad.""SudahDadberi tahu. Proyek akan berjalan sesuai rencana.Dadyakin adikmu dapat menangani dengan baik. Jika kau tidak ingin dikalahkan. Kau juga harus bekerja keras."Synda langsung membalas tatapan Barret dengan senyuman bangga yang terkesan juga sedikit angkuh. Memang sengaja untuk diperlihatkan agar saudara sulungnya it
"Hmm, harus aku perjelas lagi.""Kau ingin memperjelas tentang apa?" tanya Synda dengan nada canggung. Kian tidak nyaman. Namun, tetap tersenyum lebar.Sikap yang dirasanya harus ditunjukkan di hadapan Maxel agar tak menimbulkan rasa curiga. Bagaimana pun, hubungan di antara mereka sebagai teman menjadi prioritas.Ya, terlepas dengan apa yang hendak pria itu sampaikan. Synda yakin akan menyangkut hal-hal lebih pribadi. Namun, belum mampu untuk diterka-terka. Lebih baik menunggu.Pergantian detik demi detik terasa lama juga bagi Synda dengan belumnya diungkap oleh Maxel keinginan pria itu. Ia semakin gugup. Kurang percaya diri bisa menjawab dengan tepat atau sesuai yang dikehendaki Maxel."Ada apa, Synda? Kau kenapa?"Digelengkan kepala secara cepat. "Aku tidak apa-apa. Seharusnya aku yang bertanya se--""Aku suka kau, Synda. Aku mencintaimu."Maxel merasakan debaran jantungnya yang meningkat. Reaksi sangat wajar karena ia baru
Alexander langsung keluar dari kamarnya karena mendengar bel apartemen berbunyi. Menandakan tamu-tamu yang ditunggunya sudah datang. Hampir satu jam menanti.Dilangkahkan kaki dengan santai, tak perlu membukakan pintu. Baik, Synda maupun Barret sudah mengetahui sandi apartemen. Ia hanya perlu menyambut mereka berdua di ruang tamu. Beberapa meter lagi dicapai.Alexander pun memasang senyuman lebar pada wajah. Memang terlihat seperti sebuah seringai. Akan dipamerkan nanti ke Synda. Ia sudah terbayang bagaimana reaksi wanita itu, ekspresi kesal dan delikan mata."Hai, Kawan. Aku datang sendiri."Alexander spontan lebih membelalak akibat tak melihat sosok mantan kekasihnya. "Kau sendiri? Di mana Synda? Apa yang terjadi?""Hahaha. Kau kaget sekali, Kawan."Alexander tidak menjawab. Memilih duduk di sofa. Namun, tak dipindahkan pandangan dari Barret yang mendekatinya. Ia akan menunggu jawaban tanpa harus bertanya lagi. Barret pasti akan buka
"Hei,Dad. Maaf, aku terlambat datang.Dadtidak lama menungguku bukan di sini?"Synda melemparkan tatapan sangat tajam ke sosok saudara sulungnya yang baru saja membuka pintu ruang kerja ayah mereka. Reaksi diperoleh dari Barret hanya berupa senyum tidak bersalah. Dan, hal tersebut sukses membuat Synda semakin kesal."Tidak lama.Dadtahu alasanmu terlambat karena apa kali ini. Dad akan memahami.""Dadmemang sangat memahamiku. Dan, apakah Dad sudah mengatakan pada adikku tentang proyek yang harus ditanganinya?""Benarkah,Dad? Wow, berita sangat bagus. Trims, Dad.""SudahDadberi tahu. Proyek akan berjalan sesuai rencana.Dadyakin adikmu dapat menangani dengan baik. Jika kau tidak ingin dikalahkan. Kau juga harus bekerja keras."Synda langsung membalas tatapan Barret dengan senyuman bangga yang terkesan juga sedikit angkuh. Memang sengaja untuk diperlihatkan agar saudara sulungnya it
Synda semakin kehilangan konsentrasinya dalam bekerja karena durasi keberadaan di apartemen Alexander yang bertambah. Hampir dua jam lamanya. Hanya sendirian.Entah kapan dirinya bisa pergi, belum dapat diprediksi dengan tepat, sebab harus menunggu mantan kekasihnya itu kembali ke apartemen terlebih dahulu. Belum pasti.Synda pun merutuki kejengkelan dirinya yang sudah beri izin pria itu meninggalkan apartemen karena tidak ingin dekat lama-lama dengan Alexander. Namun, menjadi bumerang baginya juga. Tidak dipikirkannya secara matang.Tak ada hal bisa dilakukan, selain menanti sampai sang mantan kekasih kembali. Harusnya, ia senang. Tentram dalam menyelesaikan tugasnya tanpa ada gangguan. Tetapi, justru konsentrasi semakin mengalami perpecahan di dalam kepala.Penyebab utama karena kembali terbangunnya memori kebersamaan dengan Alexander yang pernah dilalui, ketika mereka masih menjadi pasangan kekasih. Terutama, tentang percintaan panas yang kerap dilakuk
"Haahhh, masih ada dua lagi," gumam Synda dengan embusan napasnya yang panjang.Setelah memutuskan untuk bergabung di perusahaan, Synda selalu mengisi hari-hari kerjanya dengan kerumitan. Begitu banyak dokumen yang harus diperiksa, dikoreksi, dan bahkan dibuat ulang sesekali juga.Isi kepala sudah pasti terkuras dikarenakan memang membutuhkan cara berpikir yang keras, terlebih ketika menangani dan juga menuntaskan urusan beberapa proyek besar diberikan oleh sang ayah kepadanya.Synda hanya akan mempunyai tujuan serta konsentrasi untuk menyelesaikan dengan hasil terbaik yang bisa dilakukannya. Sudah menjadi kewajiban bagi Synda. Ia harus bisa membuktikan diri bahwa memang memiliki potensi dan kemampuan dalam berbisnis."Sayang, apa yang sedang kau kerjakan?"Synda pun langsung bangun dari kursi kerja tengah ditempati mendengar suara dan juga sosok sang ayah. Dengan langkah kaki cukup cepat, Synda berjalan ke arah sofa. Di mana, ayahnya sedang ingin
Seringaian Alexander tampak semakin puas, tentu dirinya menebak karena jawaban yang telah ia luncurkan. Synda pun mengutuk di dalam hati akan balasan dilontarkannya.Jika dipikirkan ulang kembali, terutama dari nada bicaranya, memanglah menunjukkan antusiasme tinggi akan apa yang Alexander hendak lakukan. Seakan juga menginginkan pria itu dengan hasrat tidak terbendung.Dan, pantas saja Alexander memerlihatkan reaksi begitu senang. Sepasang mata mantan kekasihnya itu juga memancarkan semakin nyata kebanggaan. Tentu, sorot tantangan turut bertambah, memandang dirinya."Kau mengatakan apa tadi, Sayang? Tidak terlalu jelas aku dengar. Bisa kau ulangi?"Synda menggeleng cepat. Ekspresinya tetap dibuat datar. Dan, dipilih melakukan upaya untuk menjauhkan badan dari kungkungan Alexander. Usahanya tak berjalan baik. Pria itu justru mengeratkan rengkuhan. Peluang untuk melepaskan bertambah kecil.Synda memutuskan menjalankan rencana kedua yang dirasa akan
"Kenapa tidak menjawab, Sayang? Kau pasti sudah tahu apa yang akan terjadi kepad--"Synda menjatuhkan kasar tangan mantan kekasihnya dari bahu. Lalu, didorong pria itu menjauh sehingga mereka jadi berjarak, walau memang tidak sampai lima meter. Tetapi, penghindaran kontak fisik sudah dirasanya cukup supaya tak menimbulkan sensasi aneh bagi dirinya yang meresahkan."Aku tidak mau tahu bagaimana?" Synda pun sengaja membalas dengan kalimatnya yang terkesan menantang. Suara tegasMatanya yang masih mendelik tajam terus diarahkan ke Alexander yang menyeringai dengan tatapan sarat akan kejahilan. Dari pancaran sepasang mata pria itu, mampu untuk ditangkapnya arti kejujuran. Memiliki kaitan akan apa yang Alexander sampaikan."Kau harus mau tahu, Sayang. Kau tidak akan bisa bersikap tidak peduli."Terus terang ucapan tersebut membuat ketenangannya semakin terkikis. Tentu ada sugesti untuk diri sendiri agar tidak mudah memercayai ucapan pria itu. Terlebih b
Alexander sudah sangat merasakan aura kemarahan Synda semakin besar yang sedang berjalan di sampingnya dengan tangan mereka saling menggenggam. Lebih tepat, dirinya begitu kencang menautkan jemari ke jari-jari wanita itu.Diawal, saat masuk ke dalam lift, Synda menunjukkan penolakan keras. Masih tidak mau menuruni perintahnya untuk pergi ke apartemen guna mendiskusikan pekerjaan.Synda bahkan nyaris kabur, namun berhasil dihentikan dengan pembicaraan mengarah pada ancaman tentang akan dicabut posisi cukup tinggi wanita itu dari perusahaan.Hampir lima menit berlalu, Synda pun hanya diam. Tidak memerlihatkan perlawanan apa pun lagi. Wanita itu bahkan tak menolak saat tangan mereka ditautkan olehnya.Tidak ada juga reaksi yang berlebihan, sekan sentuhan yang ia berikan biasa saja. Tak seistimewa dulu. Ya, ketika masih menjadi pasangan kekasih, Synda sangatlah senang jika dirinya menggenggam dengan erat tangan wanita itu.Synda akan tersenyum lebar. Kedua
"Apa lagi maumu? Sudah aku bilang aku tidak mau!" seru Synda dengan intonasi tinggi, setelah mengangkat teleponnya."Kau jangan menjanjikan kepadaku berbagai hal yang manis. Aku tidak akan mengubah keputusanku, Barret!"Synda langsung menjauhkan handphone dari telinga, ketika bentakan sang kakak dari seberang sana. Bukan berarti dirinya merasa takut. Hanya menghindari indera pendengaran jadi terganggu. Beberapa detik kemudian, kembali ponselnya ditempelkan di telinga. Celotehan sang kakak belum selesai."Kau pikir kau saja yang emosi? Aku juga! Kau jangan mengatakan aku seorang pembangkang. Aku tidak suka kau tuduh macam-macam." Synda ikut mengeraskan suaranya."Kau yang menangani proyek dia! Jangan menyuruhku! Tidak akan pernah mau aku melakukannya. Camkan!"Tanpa menunggu jawaban dan reaksi sang kakak, ditutup telepon secara sepihak. Lantas, pengaturan napas diterapkan untuk segera m