Seringaian Alexander tampak semakin puas, tentu dirinya menebak karena jawaban yang telah ia luncurkan. Synda pun mengutuk di dalam hati akan balasan dilontarkannya.
Jika dipikirkan ulang kembali, terutama dari nada bicaranya, memanglah menunjukkan antusiasme tinggi akan apa yang Alexander hendak lakukan. Seakan juga menginginkan pria itu dengan hasrat tidak terbendung.
Dan, pantas saja Alexander memerlihatkan reaksi begitu senang. Sepasang mata mantan kekasihnya itu juga memancarkan semakin nyata kebanggaan. Tentu, sorot tantangan turut bertambah, memandang dirinya.
"Kau mengatakan apa tadi, Sayang? Tidak terlalu jelas aku dengar. Bisa kau ulangi?"
Synda menggeleng cepat. Ekspresinya tetap dibuat datar. Dan, dipilih melakukan upaya untuk menjauhkan badan dari kungkungan Alexander. Usahanya tak berjalan baik. Pria itu justru mengeratkan rengkuhan. Peluang untuk melepaskan bertambah kecil.
Synda memutuskan menjalankan rencana kedua yang dirasa akan
"Haahhh, masih ada dua lagi," gumam Synda dengan embusan napasnya yang panjang.Setelah memutuskan untuk bergabung di perusahaan, Synda selalu mengisi hari-hari kerjanya dengan kerumitan. Begitu banyak dokumen yang harus diperiksa, dikoreksi, dan bahkan dibuat ulang sesekali juga.Isi kepala sudah pasti terkuras dikarenakan memang membutuhkan cara berpikir yang keras, terlebih ketika menangani dan juga menuntaskan urusan beberapa proyek besar diberikan oleh sang ayah kepadanya.Synda hanya akan mempunyai tujuan serta konsentrasi untuk menyelesaikan dengan hasil terbaik yang bisa dilakukannya. Sudah menjadi kewajiban bagi Synda. Ia harus bisa membuktikan diri bahwa memang memiliki potensi dan kemampuan dalam berbisnis."Sayang, apa yang sedang kau kerjakan?"Synda pun langsung bangun dari kursi kerja tengah ditempati mendengar suara dan juga sosok sang ayah. Dengan langkah kaki cukup cepat, Synda berjalan ke arah sofa. Di mana, ayahnya sedang ingin
Synda semakin kehilangan konsentrasinya dalam bekerja karena durasi keberadaan di apartemen Alexander yang bertambah. Hampir dua jam lamanya. Hanya sendirian.Entah kapan dirinya bisa pergi, belum dapat diprediksi dengan tepat, sebab harus menunggu mantan kekasihnya itu kembali ke apartemen terlebih dahulu. Belum pasti.Synda pun merutuki kejengkelan dirinya yang sudah beri izin pria itu meninggalkan apartemen karena tidak ingin dekat lama-lama dengan Alexander. Namun, menjadi bumerang baginya juga. Tidak dipikirkannya secara matang.Tak ada hal bisa dilakukan, selain menanti sampai sang mantan kekasih kembali. Harusnya, ia senang. Tentram dalam menyelesaikan tugasnya tanpa ada gangguan. Tetapi, justru konsentrasi semakin mengalami perpecahan di dalam kepala.Penyebab utama karena kembali terbangunnya memori kebersamaan dengan Alexander yang pernah dilalui, ketika mereka masih menjadi pasangan kekasih. Terutama, tentang percintaan panas yang kerap dilakuk
"Hei,Dad. Maaf, aku terlambat datang.Dadtidak lama menungguku bukan di sini?"Synda melemparkan tatapan sangat tajam ke sosok saudara sulungnya yang baru saja membuka pintu ruang kerja ayah mereka. Reaksi diperoleh dari Barret hanya berupa senyum tidak bersalah. Dan, hal tersebut sukses membuat Synda semakin kesal."Tidak lama.Dadtahu alasanmu terlambat karena apa kali ini. Dad akan memahami.""Dadmemang sangat memahamiku. Dan, apakah Dad sudah mengatakan pada adikku tentang proyek yang harus ditanganinya?""Benarkah,Dad? Wow, berita sangat bagus. Trims, Dad.""SudahDadberi tahu. Proyek akan berjalan sesuai rencana.Dadyakin adikmu dapat menangani dengan baik. Jika kau tidak ingin dikalahkan. Kau juga harus bekerja keras."Synda langsung membalas tatapan Barret dengan senyuman bangga yang terkesan juga sedikit angkuh. Memang sengaja untuk diperlihatkan agar saudara sulungnya it
Alexander langsung keluar dari kamarnya karena mendengar bel apartemen berbunyi. Menandakan tamu-tamu yang ditunggunya sudah datang. Hampir satu jam menanti.Dilangkahkan kaki dengan santai, tak perlu membukakan pintu. Baik, Synda maupun Barret sudah mengetahui sandi apartemen. Ia hanya perlu menyambut mereka berdua di ruang tamu. Beberapa meter lagi dicapai.Alexander pun memasang senyuman lebar pada wajah. Memang terlihat seperti sebuah seringai. Akan dipamerkan nanti ke Synda. Ia sudah terbayang bagaimana reaksi wanita itu, ekspresi kesal dan delikan mata."Hai, Kawan. Aku datang sendiri."Alexander spontan lebih membelalak akibat tak melihat sosok mantan kekasihnya. "Kau sendiri? Di mana Synda? Apa yang terjadi?""Hahaha. Kau kaget sekali, Kawan."Alexander tidak menjawab. Memilih duduk di sofa. Namun, tak dipindahkan pandangan dari Barret yang mendekatinya. Ia akan menunggu jawaban tanpa harus bertanya lagi. Barret pasti akan buka
"Hmm, harus aku perjelas lagi.""Kau ingin memperjelas tentang apa?" tanya Synda dengan nada canggung. Kian tidak nyaman. Namun, tetap tersenyum lebar.Sikap yang dirasanya harus ditunjukkan di hadapan Maxel agar tak menimbulkan rasa curiga. Bagaimana pun, hubungan di antara mereka sebagai teman menjadi prioritas.Ya, terlepas dengan apa yang hendak pria itu sampaikan. Synda yakin akan menyangkut hal-hal lebih pribadi. Namun, belum mampu untuk diterka-terka. Lebih baik menunggu.Pergantian detik demi detik terasa lama juga bagi Synda dengan belumnya diungkap oleh Maxel keinginan pria itu. Ia semakin gugup. Kurang percaya diri bisa menjawab dengan tepat atau sesuai yang dikehendaki Maxel."Ada apa, Synda? Kau kenapa?"Digelengkan kepala secara cepat. "Aku tidak apa-apa. Seharusnya aku yang bertanya se--""Aku suka kau, Synda. Aku mencintaimu."Maxel merasakan debaran jantungnya yang meningkat. Reaksi sangat wajar karena ia baru
"Kau pasti lelah, ya? Maaf, kau harus ke sini, setelah bekerja. Harusnya aku membujuk Barret, tapi kau sudah tahu sendiri dia keras kepala. Tidak akan bisa mendengarkan apa yang aku katakan atau saran aku berikan."Synda Sydney menggeleng pelan. Tawanya turut terlolos karena gaya bicara dari Aldora Adams yang lucu, kekasih hati sang kakak. Raut kesal wanita itu tampak jelas di wajah. Namun, Synda justru merasa terhibur."Tenang saja, Aldora. Aku tidak apa-apa ke sini," jawabnya dengan lembut. Senyuman yang lebar dipatrinya. "Aku bisa beristirahat nanti. Aku juga tidak terlalu lelah hari ini."Selepas menjawab, Synda sudah tidak lagi memusatkan pandangan pada sosok Aldora. Ia pun memandang kembali lurus ke depan. Sedangkan, kedua kakinya masih melangkah dengan anggun menuju ke teras belakang rumah mewah kakak sulung laki-lakinya.Tangan kanan dan kiri memegang dua buah kantong plastik yang berisi beberapa jenis makanan siap saji diminta Barret Sydney."Ada
"Kau sudah makan atau belum?"Synda menggeleng pelan. Namun, tak ingin memberi respons imbuhan lewat kata-kata untuk pertanyaan yang dilontarkan sang kakak. Synda yakin jika sudah bisa dipahami oleh saudara sulungnya itu, walau dirinya tak menjawab dengan jelas atau detail."Kenapa tidak cicipi ayam dan pasta, jika kau belum makan? Nanti kau bisa sakit. Dapat berpengaruh untukku juga. Pekerjaan akan dilimpahkan kepadaku, saat kau sakit."Synda memilih meneguk wine yang tersisa banyak di dalam gelasnya, dibandingkan ia harus meladeni Barret Sydney yang sedang mabuk. Ia bisa memaklumi jika sang kakak akan lebih banyak mengoceh, ketika sudah dipengaruhi oleh minuman beralkohol.Suasana hatinya juga tengah tak baik akibat harus berada di satu tempat dengan mantan kekasihnya. Benar, mereka masih duduk di teras belakang. Dirinya, sang kakak, Aldora, dan Alexander. Hanya berempat saja."Ayolah, Adikku. Kau harus makan. Apa kau tahu? Tubuhmu semakin kurus
"Aku bisa berjalan sendiri. Kepalaku tidak terlalu pusing. Jadi, kau tidak perlu jug--"Synda segera menangkap tubuh Alexander yang baru beberapa detik lalu dilepaskan dari pegangannya. Ia tidak ingin sampai pria itu terjatuh ke lantai. Walau, bukan masalah yang mudah juga menghadapi penolakan pria itu untuk diantarkan ke dalam kamar.Dirinya pun cukup keberatan. Namun, tidak mungkin mengingkari janji yang sudah ia buat pada Aldora Adams. Synda menepati apa yang sudah dikatakan. Dan, diabaikan status di antara dirinya dan Alexander."Lepaskan aku. Tadi, sudah aku bilang jika aku bisa ke dalam sendiri. Kau bisa pe--""Bisakah kau jangan terus bersikap seolah kau tetap kuat? Kau mabuk. Kau tidak akan bisa berjalan sendiri ke kamar dengan baik. Kau hanya perlu diam," potong Synda cepat."Jika kau terus menolak bantuanku. Paling kau akan sering terjatuh ke bawah dan kau pasti mencium lantai," imbuh wanita itu.Kemudian, dihelanya napas. Ia berupaya ta
"Hmm, harus aku perjelas lagi.""Kau ingin memperjelas tentang apa?" tanya Synda dengan nada canggung. Kian tidak nyaman. Namun, tetap tersenyum lebar.Sikap yang dirasanya harus ditunjukkan di hadapan Maxel agar tak menimbulkan rasa curiga. Bagaimana pun, hubungan di antara mereka sebagai teman menjadi prioritas.Ya, terlepas dengan apa yang hendak pria itu sampaikan. Synda yakin akan menyangkut hal-hal lebih pribadi. Namun, belum mampu untuk diterka-terka. Lebih baik menunggu.Pergantian detik demi detik terasa lama juga bagi Synda dengan belumnya diungkap oleh Maxel keinginan pria itu. Ia semakin gugup. Kurang percaya diri bisa menjawab dengan tepat atau sesuai yang dikehendaki Maxel."Ada apa, Synda? Kau kenapa?"Digelengkan kepala secara cepat. "Aku tidak apa-apa. Seharusnya aku yang bertanya se--""Aku suka kau, Synda. Aku mencintaimu."Maxel merasakan debaran jantungnya yang meningkat. Reaksi sangat wajar karena ia baru
Alexander langsung keluar dari kamarnya karena mendengar bel apartemen berbunyi. Menandakan tamu-tamu yang ditunggunya sudah datang. Hampir satu jam menanti.Dilangkahkan kaki dengan santai, tak perlu membukakan pintu. Baik, Synda maupun Barret sudah mengetahui sandi apartemen. Ia hanya perlu menyambut mereka berdua di ruang tamu. Beberapa meter lagi dicapai.Alexander pun memasang senyuman lebar pada wajah. Memang terlihat seperti sebuah seringai. Akan dipamerkan nanti ke Synda. Ia sudah terbayang bagaimana reaksi wanita itu, ekspresi kesal dan delikan mata."Hai, Kawan. Aku datang sendiri."Alexander spontan lebih membelalak akibat tak melihat sosok mantan kekasihnya. "Kau sendiri? Di mana Synda? Apa yang terjadi?""Hahaha. Kau kaget sekali, Kawan."Alexander tidak menjawab. Memilih duduk di sofa. Namun, tak dipindahkan pandangan dari Barret yang mendekatinya. Ia akan menunggu jawaban tanpa harus bertanya lagi. Barret pasti akan buka
"Hei,Dad. Maaf, aku terlambat datang.Dadtidak lama menungguku bukan di sini?"Synda melemparkan tatapan sangat tajam ke sosok saudara sulungnya yang baru saja membuka pintu ruang kerja ayah mereka. Reaksi diperoleh dari Barret hanya berupa senyum tidak bersalah. Dan, hal tersebut sukses membuat Synda semakin kesal."Tidak lama.Dadtahu alasanmu terlambat karena apa kali ini. Dad akan memahami.""Dadmemang sangat memahamiku. Dan, apakah Dad sudah mengatakan pada adikku tentang proyek yang harus ditanganinya?""Benarkah,Dad? Wow, berita sangat bagus. Trims, Dad.""SudahDadberi tahu. Proyek akan berjalan sesuai rencana.Dadyakin adikmu dapat menangani dengan baik. Jika kau tidak ingin dikalahkan. Kau juga harus bekerja keras."Synda langsung membalas tatapan Barret dengan senyuman bangga yang terkesan juga sedikit angkuh. Memang sengaja untuk diperlihatkan agar saudara sulungnya it
Synda semakin kehilangan konsentrasinya dalam bekerja karena durasi keberadaan di apartemen Alexander yang bertambah. Hampir dua jam lamanya. Hanya sendirian.Entah kapan dirinya bisa pergi, belum dapat diprediksi dengan tepat, sebab harus menunggu mantan kekasihnya itu kembali ke apartemen terlebih dahulu. Belum pasti.Synda pun merutuki kejengkelan dirinya yang sudah beri izin pria itu meninggalkan apartemen karena tidak ingin dekat lama-lama dengan Alexander. Namun, menjadi bumerang baginya juga. Tidak dipikirkannya secara matang.Tak ada hal bisa dilakukan, selain menanti sampai sang mantan kekasih kembali. Harusnya, ia senang. Tentram dalam menyelesaikan tugasnya tanpa ada gangguan. Tetapi, justru konsentrasi semakin mengalami perpecahan di dalam kepala.Penyebab utama karena kembali terbangunnya memori kebersamaan dengan Alexander yang pernah dilalui, ketika mereka masih menjadi pasangan kekasih. Terutama, tentang percintaan panas yang kerap dilakuk
"Haahhh, masih ada dua lagi," gumam Synda dengan embusan napasnya yang panjang.Setelah memutuskan untuk bergabung di perusahaan, Synda selalu mengisi hari-hari kerjanya dengan kerumitan. Begitu banyak dokumen yang harus diperiksa, dikoreksi, dan bahkan dibuat ulang sesekali juga.Isi kepala sudah pasti terkuras dikarenakan memang membutuhkan cara berpikir yang keras, terlebih ketika menangani dan juga menuntaskan urusan beberapa proyek besar diberikan oleh sang ayah kepadanya.Synda hanya akan mempunyai tujuan serta konsentrasi untuk menyelesaikan dengan hasil terbaik yang bisa dilakukannya. Sudah menjadi kewajiban bagi Synda. Ia harus bisa membuktikan diri bahwa memang memiliki potensi dan kemampuan dalam berbisnis."Sayang, apa yang sedang kau kerjakan?"Synda pun langsung bangun dari kursi kerja tengah ditempati mendengar suara dan juga sosok sang ayah. Dengan langkah kaki cukup cepat, Synda berjalan ke arah sofa. Di mana, ayahnya sedang ingin
Seringaian Alexander tampak semakin puas, tentu dirinya menebak karena jawaban yang telah ia luncurkan. Synda pun mengutuk di dalam hati akan balasan dilontarkannya.Jika dipikirkan ulang kembali, terutama dari nada bicaranya, memanglah menunjukkan antusiasme tinggi akan apa yang Alexander hendak lakukan. Seakan juga menginginkan pria itu dengan hasrat tidak terbendung.Dan, pantas saja Alexander memerlihatkan reaksi begitu senang. Sepasang mata mantan kekasihnya itu juga memancarkan semakin nyata kebanggaan. Tentu, sorot tantangan turut bertambah, memandang dirinya."Kau mengatakan apa tadi, Sayang? Tidak terlalu jelas aku dengar. Bisa kau ulangi?"Synda menggeleng cepat. Ekspresinya tetap dibuat datar. Dan, dipilih melakukan upaya untuk menjauhkan badan dari kungkungan Alexander. Usahanya tak berjalan baik. Pria itu justru mengeratkan rengkuhan. Peluang untuk melepaskan bertambah kecil.Synda memutuskan menjalankan rencana kedua yang dirasa akan
"Kenapa tidak menjawab, Sayang? Kau pasti sudah tahu apa yang akan terjadi kepad--"Synda menjatuhkan kasar tangan mantan kekasihnya dari bahu. Lalu, didorong pria itu menjauh sehingga mereka jadi berjarak, walau memang tidak sampai lima meter. Tetapi, penghindaran kontak fisik sudah dirasanya cukup supaya tak menimbulkan sensasi aneh bagi dirinya yang meresahkan."Aku tidak mau tahu bagaimana?" Synda pun sengaja membalas dengan kalimatnya yang terkesan menantang. Suara tegasMatanya yang masih mendelik tajam terus diarahkan ke Alexander yang menyeringai dengan tatapan sarat akan kejahilan. Dari pancaran sepasang mata pria itu, mampu untuk ditangkapnya arti kejujuran. Memiliki kaitan akan apa yang Alexander sampaikan."Kau harus mau tahu, Sayang. Kau tidak akan bisa bersikap tidak peduli."Terus terang ucapan tersebut membuat ketenangannya semakin terkikis. Tentu ada sugesti untuk diri sendiri agar tidak mudah memercayai ucapan pria itu. Terlebih b
Alexander sudah sangat merasakan aura kemarahan Synda semakin besar yang sedang berjalan di sampingnya dengan tangan mereka saling menggenggam. Lebih tepat, dirinya begitu kencang menautkan jemari ke jari-jari wanita itu.Diawal, saat masuk ke dalam lift, Synda menunjukkan penolakan keras. Masih tidak mau menuruni perintahnya untuk pergi ke apartemen guna mendiskusikan pekerjaan.Synda bahkan nyaris kabur, namun berhasil dihentikan dengan pembicaraan mengarah pada ancaman tentang akan dicabut posisi cukup tinggi wanita itu dari perusahaan.Hampir lima menit berlalu, Synda pun hanya diam. Tidak memerlihatkan perlawanan apa pun lagi. Wanita itu bahkan tak menolak saat tangan mereka ditautkan olehnya.Tidak ada juga reaksi yang berlebihan, sekan sentuhan yang ia berikan biasa saja. Tak seistimewa dulu. Ya, ketika masih menjadi pasangan kekasih, Synda sangatlah senang jika dirinya menggenggam dengan erat tangan wanita itu.Synda akan tersenyum lebar. Kedua
"Apa lagi maumu? Sudah aku bilang aku tidak mau!" seru Synda dengan intonasi tinggi, setelah mengangkat teleponnya."Kau jangan menjanjikan kepadaku berbagai hal yang manis. Aku tidak akan mengubah keputusanku, Barret!"Synda langsung menjauhkan handphone dari telinga, ketika bentakan sang kakak dari seberang sana. Bukan berarti dirinya merasa takut. Hanya menghindari indera pendengaran jadi terganggu. Beberapa detik kemudian, kembali ponselnya ditempelkan di telinga. Celotehan sang kakak belum selesai."Kau pikir kau saja yang emosi? Aku juga! Kau jangan mengatakan aku seorang pembangkang. Aku tidak suka kau tuduh macam-macam." Synda ikut mengeraskan suaranya."Kau yang menangani proyek dia! Jangan menyuruhku! Tidak akan pernah mau aku melakukannya. Camkan!"Tanpa menunggu jawaban dan reaksi sang kakak, ditutup telepon secara sepihak. Lantas, pengaturan napas diterapkan untuk segera m