Bunyi rem mobil berdecit tajam di halaman mansion yang luas. Seorang pria setengah baya dengan jas putih turun terburu-buru, membawa tas medis. Lucas menyambutnya dengan wajah serius.“Dia kehilangan banyak darah. Aku tidak tahu berapa parahnya,” ucap Lucas cepat.Dokter itu mengangguk, mengikuti Lucas masuk ke dalam mansion.Di dalam kamar, Sahira membuka matanya perlahan. Cahaya lampu kristal yang menggantung di langit-langit kamar megah membuat pandangannya sedikit kabur. Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari di mana dia berada. Ini bukan ruang bawah tanah lagi. Tempat ini jauh lebih nyaman, dengan ranjang empuk dan selimut sutra yang membalut tubuhnya.Dia menoleh ke sekeliling, tak ada siapapun di sana.“Di mana Michael? Ah, susahlah lupakan. Aku harus segera pergi.”Namun, dia tidak punya waktu untuk beristirahat.Sahira mencoba bangun, tapi rasa sakit langsung menghantam perutnya. Dia mengerang pelan, menggigit bibir agar tidak mengeluarkan suara. Tangannya meraba ke ba
BRAK!Jonathan membuka pintu dengan kasar, langsung membawa tubuh Sahira yang pingsan ke dalam rumah mewahnya.Napasnya memburu, rasa panik menguasai dirinya saat melihat darah masih merembes dari selangkangan Sahira, membasahi jok mobil dan kini mulai mengotori lantai rumahnya.Michael kurang ajar, bisa-bisanya dia berbuat hal keji pada adiknya. Jonathan berpikir, Michael memang telah memperkosa adiknya dengan brutal sehingga mengalami pendarahan.“Panggil dokter sekarang juga!” teriaknya pada salah satu pelayan.Tanpa membuang waktu, Jonathan membaringkan Sahira di atas ranjang mewahnya. Kedua tangannya masih berlumuran darah Sahira, tapi dia tidak peduli. Matanya tertuju pada wajah pucat adiknya yang tampak begitu lemah, seperti sehelai kertas yang siap diterbangkan angin.“Jasmine, bangun ... Bertahanlah sayang,” bisiknya, meskipun dia tahu Sahira tidak akan mendengar.“Awas saja, pria bajingan itu akan kubalas karena telah memperkosamu dengan kejam.”Detik demi detik berlalu sepe
Jonathan berdiri di samping ranjang, menatap adiknya yang masih terbaring tanpa kesadaran. Wajah Sahira pucat, bibirnya kering, dan napasnya pelan. Selimut tebal membungkus tubuhnya, tetapi jejak pendarahan masih tersisa di kain sprei putih.Dokter Fedrian memeriksa perut Sahira dengan penuh perhatian. Setelah beberapa saat, pria itu menarik napas lega dan melepaskan sarung tangannya."Janinnya selamat," katanya akhirnya. "Meskipun mengalami pendarahan hebat, bayi ini sangat kuat. Tapi Sahira harus mendapat perawatan intensif. Dia butuh istirahat total dan tidak boleh mengalami tekanan."Jonathan, yang sejak tadi berdiri diam dengan tangan terkepal, akhirnya berbicara dengan suara dingin."Kalau begitu, buang bayi itu."Ruangan seketika menjadi hening.Fedrian menoleh dengan kening berkerut. "Apa maksudmu?""Aku ingin kau menggugurkan kandungannya," ulang Jonathan, lebih tegas. "Aku tidak sudi adikku mengandung anak Michael."Hah?Fedrian menatapnya tak percaya. "Tuan Jonathan, ini bu
Sahira terbangun dengan napas terengah. Ada rasa sakit luar biasa di perutnya yang membuatnya meringis. Kepalanya terasa berat, pandangannya masih sedikit kabur, tetapi perlahan-lahan ia mulai mengenali sekelilingnya.Dinding putih. Bau khas rumah sakit. Jarum infus yang menusuk punggung tangannya. Suara monitor detak jantung berdenging samar.Dia berada di rumah sakit.Matanya bergerak ke samping, mendapati Jonathan duduk di kursi di sebelah ranjangnya. Pria itu tertidur dengan kepala bersandar di tangan, wajahnya terlihat letih, seolah telah menjaga Sahira semalaman.Sahira mencoba bergerak, tetapi nyeri di perutnya semakin menusuk, membuatnya meringis dan mengerang pelan. “Akhh!”Gerakannya yang kecil cukup untuk membuat Jonathan terjaga.Pria itu langsung menatap Sahira dengan mata yang masih mengantuk, tetapi begitu menyadari adiknya sudah sadar, ekspresinya berubah menjadi lega.“Kau sudah bangun …,” suaranya serak. Dia segera bangkit dari kursinya, mendekat, memegang tangan Sa
Michael duduk di kursi besar di ruang kantornya, kepalanya menunduk, telapak tangannya menekan pelipis. Keringat dingin mengalir di dahinya meskipun ruangan ini ber-AC. Mimpi buruk tadi terus berputar dalam pikirannya. Gambaran Sahira yang tersiksa, matanya yang penuh ketakutan, jeritan kesakitannya—semua itu masih terpatri jelas.“Akhh, ada apa denganku?”Dia mencoba mengabaikannya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu hanya mimpi. Tapi hatinya tetap gelisah. Ada sesuatu yang tidak beres.Michael menggertakkan giginya. “Lucas!” serunya lantang.Tak berselang lama ....Pintu terbuka, dan Lucas masuk dengan ekspresi datar. “Ada apa, Bos?”Michael menatapnya tajam. “Cari tahu tentang Sahira. Aku ingin tahu dia sekarang ada di mana dan dalam kondisi seperti apa.”Lucas mengernyit. “Jonathan pasti menyembunyikannya dengan sangat baik.”“Aku tidak peduli! Gunakan semua cara yang ada. Suap, ancam, atau apa pun. Aku ingin laporan sebelum malam ini.”Lucas mengangguk sebelum pergi. Mi
Beberapa hari kemudian ....Sahira masih berusaha menghapus bayangan Michael dari pikirannya. Luka yang pria itu tinggalkan masih terlalu dalam, tapi dia sadar, dia tidak bisa terus hidup dalam dendam dan rasa sakit.Di tengah pergulatan batinnya, Adrian datang kembali.“Selamat pagi.”Pria itu muncul dengan senyum hangatnya, tatapannya penuh perhatian seperti sebelumnya. Dia tidak bertanya apa pun tentang masa lalu, tidak menyinggung soal Michael atau kejadian yang menimpa Sahira. Dia hanya ada di sana, seolah mengatakan bahwa dia siap menjadi tempat berlindung bagi wanita itu.Sahira sempat terdiam saat Adrian menggenggam tangannya dengan lembut. Rasanya berbeda—tidak ada ketegangan atau rasa takut seperti saat bersama Michael."Aku senang kau sudah lebih baik," ucap Adrian, suaranya penuh ketulusan.Sahira mengangguk pelan. "Terima kasih sudah datang."Adrian tersenyum. "Aku akan selalu datang untukmu."Di kejauhan, Jonathan memperhatikan interaksi itu. Bibirnya melengkung membentu
Beberapa menit yang lalu ...Di dalam kamar yang remang-remang, Sahira terlonjak saat suara ledakan menggema dari kejauhan, menggetarkan kaca jendela. Detik berikutnya, pintu kamar terbuka dengan kasar, menampilkan sosok Jonathan yang masuk dengan langkah tergesa-gesa. Wajahnya menegang, matanya dipenuhi kemarahan dan kewaspadaan.“Kau harus pergi dari sini,” ucapnya tanpa basa-basi. “Aku sudah menyiapkan jet pribadi untuk membawamu ke tempat aman.”Sahira memicingkan mata, mencoba memahami situasi di tengah rasa sakit yang masih menggerogoti tubuhnya. “Apa yang terjadi?” tanyanya, meski firasat buruk sudah menjalari benaknya.Jonathan mengatupkan rahangnya erat, seolah menahan emosi yang siap meledak. “Michael datang menyerang.”Deg!Darah Sahira seakan berhenti mengalir. Kedua tangannya mengepal di atas selimut, dan dalam sekejap, api dendamnya menyala lebih besar. “Kurang ajar pria brengsek itu!” desisnya, rahangnya menegang. “Aku masih belum pulih, dan dia ingin berperang?”Jonath
“Sial! Dia melarikan diri!”“Tidak! Dia tak boleh pergi, sebelum mati!”Jonathan tidak akan membiarkan Michael kabur kali ini.Dalam waktu singkat setelah pria itu menghilang dalam kepulan asap, Jonathan menggerakkan pasukannya untuk mengepung seluruh area. Tidak ada celah untuk melarikan diri. Michael terjebak di dalam perangkap yang telah disiapkan Jonathan dengan cermat.Jonathan berdiri di tengah-tengah halaman yang kini dipenuhi asap yang perlahan memudar. Mata tajamnya menyapu sekeliling, mencari sosok Michael."Sialan!" gumamnya pelan, lalu mengaktifkan alat komunikasi di telinganya. "Periksa semua sudut. Jangan biarkan dia keluar dari sini hidup-hidup."Dari berbagai sudut, anak buah Jonathan mulai bergerak, menyisir area yang dikelilingi oleh dinding tinggi dan gerbang besi yang kini telah dikunci. Tidak ada jalan keluar.Tapi Jonathan tidak tahu satu hal—Michael sudah memperhitungkan ini.Dan dia sudah menyiapkan perangkapnya sendiri.*Di dalam sebuah bangunan kosong di ha
Langit malam memayungi kota dengan kelam yang pekat. Awan gelap menggantung, seolah turut merasakan badai yang sedang berkecamuk di dada Michael. Hujan turun rintik-rintik, membasahi jalanan aspal yang licin dan gelap. Namun tak satu pun dari semua itu mampu meredam amarah dan keputusasaan yang mendidih dalam diri pria itu. Dengan napas memburu, Michael memasuki mobil sport hitamnya. Tangannya gemetar saat memutar kunci, tapi begitu mesin meraung, ia langsung menginjak pedal gas sekuat tenaga. Mobil itu melesat di jalanan, memekikkan suara beringas yang seolah mencerminkan isi kepalanya yang penuh amarah. "Bodoh ... Bodoh ...!" desisnya pada dirinya sendiri. Matanya memerah, bukan hanya karena kelelahan, tapi karena sesak yang menghantam dadanya seperti palu godam. Ucapan Sahira terus terngiang di kepalanya. "Aku menolak lamaranmu ..." Kalimat itu terputar berulang kali, menusuk hatinya seperti belati tumpul. Telepon genggamnya bergetar, berdering tak henti-henti. Nama Lucas
Langit gelap tanpa bintang. Udara malam cukup dingin, namun suasana di sekitar apartemen eksklusif itu tetap tenang. Tidak banyak yang tahu kalau Alexa J, investor terkemuka, tinggal di sana.Semuanya serba rahasia. Termasuk keberadaan seorang pria tak dikenal yang kini berdiri di halaman depan gedung itu … hanya mengenakan jubah mandi hotel, dengan dada terbuka, dan rambut acak-acakan karena angin malam.Tangannya memegang seikat bunga mawar merah. Satu sisi jubahnya melorot, tapi dia tidak peduli.Michael Nathaniel.Dengan mata penuh tekad dan sedikit lingkar hitam karena kurang tidur, ia mendongak ke arah jendela lantai tiga dan mulai berteriak.“Sahira!”Hening. Hanya suara angin dan deru AC luar ruangan.Michael coba lagi. Kali ini lebih keras. “SAHIRA ALEXANDER! AKU TAHU KAU ADA DI DALAM!”Beberapa lampu tetangga menyala. Tirai bergeser. Seekor kucing melompat dari balkon ke balkon. Tapi tidak ada Sahira.Sampai akhirnya …Jendela di lantai tiga terbuka perlahan. Sosok berambut
Keesokan hari.Lorong menuju ruang kerja CEO ALX Group sunyi, hanya diisi suara sepatu hak tinggi Sahira yang menghentak lantai marmer. Wajahnya dingin. Pandangannya tajam. Tapi langkahnya terhenti begitu melihat sesuatu yang tak pernah dia duga.Michael berdiri di depan pintu ruangannya. Bersama seorang pria dari divisi IT. Di tangan Michael, terlihat amplop cokelat yang baru saja diterima si staf—dengan jelas: uang suap.Sahira tak berkata apa-apa. Ia hanya melangkah cepat, mengambil dokumen dari map yang digenggamnya, lalu ... BRUK!Melemparkannya tepat ke wajah Michael.“Apa-apaan ini?!” Suaranya menggema. Semua staf yang lewat menoleh, hening, menahan napas.Michael menatapnya kaget. “Sahira—”“Kau pikir aku ini apa? Masih pelacur di matamu?!” Suaranya bergetar, penuh kemarahan dan luka.Michael mengangkat tangan. “Itu bukan—dengarkan aku dulu—”“Tidak ada yang perlu didengarkan!” bentak Sahira. “Kau menyuap stafku untuk mengakses ruanganku. Kau melanggar privasi dan integritas
Michael tidak membuang waktu. Begitu Sahira memberikan batas sepuluh menit, dia langsung bangkit dari kursinya. Tanpa berkata apa pun, dia melangkah ke sisi meja tempat Sahira duduk, lalu berlutut satu lutut di lantai marmer mengilap restoran itu. Beberapa tamu langsung menoleh.“Yang pertama,” bisiknya sambil menatap mata Sahira dari bawah, “aku akan menyingkirkan semua ego dan harga diriku. Aku bukan CEO malam ini. Aku cuma pria yang jatuh cinta. Dan tidak tahu bagaimana caranya berhenti.”Sahira menyipitkan mata, pura-pura tidak terganggu, tetapi tangan yang memegang gelasnya sedikit gemetar.Uh ...Michael mengambil tangan Sahira perlahan, membaliknya, lalu mengecup punggung tangan itu sejenak.Cup!“Yang kedua … aku bersedia menanggung rasa malu, ejekan, bahkan ditertawakan publik, asal kau melihatku sekali lagi dengan mata yang sama seperti dulu.”“Aku ... tidak bisa.”“Kamu pasti bisa sayang.”Tiba-tiba, suasana restoran menjadi hening. Seseorang entah dari mana mengambil pons
Baru saja Sahira mengembuskan napas lega, mencoba menenangkan degup jantungnya yang belum stabil setelah kejadian barusan, ponselnya tiba-tiba bergetar di atas meja.Getarannya memantul di permukaan kayu, menimbulkan bunyi yang cukup nyaring di tengah kesunyian ruangan.Dengan enggan, Sahira meraih ponsel itu, berharap hanya pesan biasa dari tim marketing atau pengingat rapat sore ini. Tapi begitu layarnya menyala, matanya langsung menyipit, rahangnya mengeras.[Michael: Mau makan malam denganku?]Sahira mendengus kesal. “Kurang ajar!” gumamnya sembari melempar ponsel itu kembali ke meja. Perangkat itu memantul ringan lalu mendarat di atas tumpukan kertas, nyaris jatuh ke lantai.Michael benar-benar mencari gara-gara. Seolah kejadian tadi belum cukup mengacaukan pikirannya, kini pria itu mencoba bermain manis dengan nada genit lewat pesan singkat?Dasar pria licik. Menyusup lewat pintu depan, dan sekarang mencoba masuk lewat sisi hati?Sahira berdiri, memijit pelipis dengan tangan kan
Beberapa hari setelah insiden malam kemarin, pagi ini kabar buruk menghantam meja rapat Michael tanpa ampun. Selembar surat elektronik berjudul, [Termination of Partnership Agreement] muncul di inbox-nya, lengkap dengan kop resmi ALX Group. Napasnya tercekat saat ia membaca baris demi barisnya: "With regret, ALX Group hereby terminates all existing contracts and agreements with Horison steel, effective immediately.…" (Dengan penyesalan, ALX Group dengan ini mengakhiri semua kontrak dan perjanjian yang ada dengan Horison Steel, efektif segera.)Michael meneguk kopi hangat yang baru saja disajikan Olivia. Cangkir itu bergetar di tangannya—seolah meniru getaran hebat dalam dadanya. Uhuk!Ia tersedak, menyemburkan beberapa tetes kopi ke meja. Olivia, yang kebetulan berdiri di sampingnya dengan nampan serbet, terkejut.“Maaf, Tuan .…” bisiknya gugup, matanya menatap Michael yang kini wajahnya memerah oleh amarah dan rasa cemas.Michael menepuk meja—suara dentuman menggelegar. “Tidak,” gu
Beberapa jam kemudian.Langit mulai menggelap. Gedung tempat konferensi dijaga ketat, dilingkari garis polisi, dan masih dipenuhi suara sirene serta petugas yang lalu lalang. Beberapa tamu VIP dievakuasi ke hotel-hotel aman, media masih menyebarkan berita soal ledakan misterius, dan publik mulai berspekulasi—apakah ini serangan teror, atau percobaan pembunuhan politik-bisnis.Michael duduk di ruang tunggu yang dibuat darurat di dalam mobil lapis baja. Luka di pelipisnya telah diperban, tapi luka di hatinya, rasa cemas, amarah, dan rasa frustrasi—jauh lebih dalam.Lucas kembali dengan ponsel di tangan, wajahnya tegang. “Bos … kita baru saja dapat kabar.”Michael menoleh cepat. “Apa? Sahira?”Lucas mengangguk. “Iya. Dia … dia sudah pergi. Setengah jam yang lalu. Pakai pesawat pribadinya.”Michael diam sejenak. Matanya menyipit, napasnya tertahan.“Apa?”“Dia pergi, Bos,” ulang Lucas. “Tanpa pesan. Tanpa pamit. Tanpa penjelasan.”Michael mendengus keras, matanya memerah oleh emosi. “Bre
Michael menatap para hadirin, senyumnya tipis namun karismatik, cukup untuk membius siapa pun yang melihat. Suara sorak-sorai menyambutnya, pujian dari pengusaha lintas negara, bahkan beberapa investor dari luar negeri yang duduk di barisan depan tampak antusias dengan kehadirannya.“Terima kasih atas sambutannya,” ucap Michael, suaranya dalam dan tegas. “Merupakan kehormatan bagi saya bisa berdiri di sini … bersama kalian semua, orang-orang yang berani mengambil risiko, orang-orang yang mengubah ketidakmungkinan menjadi peluang, dan orang-orang yang memegang masa depan industri di tangan mereka.”Suara tepuk tangan kembali terdengar, membahana dan membuat suasana pertemuan menjadi lebih hangat. Tapi tak satu pun dari semua itu menyentuh Sahira.Dia hanya diam di kursinya, wajahnya tenang tapi hatinya bergetar. Setiap kata yang keluar dari mulut Michael terasa seperti belati yang menyingkap luka lama—luka yang bahkan belum sepenuhnya sembuh. Dan pria itu ... pria yang berdiri dengan
Angin malam menerpa wajah Michael yang pucat, membuat rambutnya sedikit berantakan. Ia berdiri di balkon kamarnya yang menghadap ke laut, satu tangan menyandarkan tubuhnya pada pagar besi, sementara tangan lainnya memegang gelas kristal berisi bourbon yang nyaris kosong. Di hadapannya, ombak bergulung pelan diterpa cahaya bulan, seolah ikut menyaksikan kegundahan hati seorang pria yang selama ini dikenal tak terkalahkan di dunia bisnis.Matanya kosong menatap lautan yang luas. Setiap tegukan alkohol membakar tenggorokannya, tapi rasa itu tak sebanding dengan perih di dadanya.Wajah Sahira atau Alexa terus terbayang dalam pikirannya. Tangisannya. Tatapan bencinya. Kata-kata penolakannya yang dingin saat dia mencoba menyentuhnya tadi sore.Michael menenggak sisa minumannya dan menaruh gelas itu di atas meja kecil di samping kursi rotan.Tak!Pintu balkon terbuka perlahan. Suara langkah kaki berat menggema dari belakangnya. David muncul, membawa selembar map dan ekspresi serius seperti