Setelah selesai belanja, Michael mengajak Sahira ke sebuah restoran mewah di pinggir pantai. Tempat itu dipenuhi kursi-kursi kayu elegan dengan pemandangan laut biru yang membentang luas. Angin sepoi-sepoi membuat suasana semakin nyaman, dan suara deburan ombak menambah kesan damai.Michael memilih meja di area VIP—sebuah gazebo eksklusif yang sedikit terpisah dari tamu lainnya.Sahira mengangkat alis. “Kita duduk di sini?”Michael menatapnya santai. “Tentu saja.”Sahira mendesah. “Kenapa harus tempat mahal begini? Makan di warung pinggir jalan juga enak.”Michael menoleh dengan ekspresi tidak percaya. “Kau serius?”“Tentu saja.” Sahira tersenyum puas. “Makan di warung lebih santai, kan?”Michael hanya menghela napas panjang dan menyerahkan menu pada Sahira. “Baiklah, pesan apa saja yang kau suka.”Sahira membuka menu dan mulai membaca daftar makanan yang penuh dengan hidangan mewah seperti lobster panggang, steak wagyu, hingga kaviar. Matanya sedikit menyipit melihat harganya.“Uh …
Sahira membuka pintu dengan tangan sedikit gemetar, napasnya tertahan. Namun, begitu melihat sosok yang berdiri di depannya, tubuhnya langsung melemas.Pak Michael!Dia menatapnya dengan ekspresi santai, seolah tidak menyadari betapa tegangnya Sahira sejak tadi.“Kenapa lama sekali membukanya, sayang?” ujar Michael dengan nada menggoda.Sahira tidak menjawab. Dia buru-buru menarik Michael masuk, lalu menutup pintu dengan cepat lalu menguncinya.Ceklek!Michael mengangkat alis. “Buru-buru sekali. Sepertinya kau sangat tidak sabar, hm?”Sahira terperanjat. “Bu-bukan! Aku hanya takut ada yang melihat Bapak masuk ke kamarku.”Michael menatapnya, lalu tertawa kecil. “Panggil aku Mike saja. Malam ini kita tidak sedang dalam suasana kerja.”Entah apa yang terjadi pada Michael, padahal panggilang 'Mike' dikhususkan untuk keluarga dan orang terdekatnya saja. Kali ini, Michael ingin Sahira memanggil nama Itu di malam spesial mereka.Sahira hanya menelan ludah.Michael melangkah mendekat, membua
Sahira menggigit bibir saat Michael memainkan m!liknya di tengah kepanikan yang melanda.Tak berselang lama, terdengar suara Dita berjalan menjauh. Baru lah Sahira bisa bernapas lega.Eh!“Ahh, Pak, mau apa?” pekik Sahira saat Michael membenamkan wajahnya pada anu-nya.“Emmhh ....” Sahira melenguh saat benda basah bermain di sana. Dia mengg!git bibir kuat-kuat, wajahnya mendongak, sebelah tangannya mencengkram kuat rambut Michael.“Ah, pak, hentikan!”“Aduhhh! Ahhh ....”Lidah Michael terus menari-nari di bawah sana, memutar-mutar, mengorek dan menyedot cairan memewnya.Tak ada rasa jijik, karena rasanya manis dan sedikit asin, tapi Michael suka.“Pak, ughh ... aku tak tahan ... ahhh lebih cepat.”“Oughh, Pak Michael. Aku ... aku mau keluar, Pak.” Sahira terus mer4cau, merasakan gelombang h4srat yang semakin melanda. Anu-nya terus berkedut, tanda sesuatu yang sangat nikm4t tengah dia rasakan. Michael terus melakukan aksinya, kedua tangannya juga meremas dua bukit kembar Sahira dengan
Sahira berdiri di bawah pancuran, membiarkan air hangat mengalir di tubuhnya. Ia berharap bisa menenangkan pikirannya, tapi bayangan tentang semalam terus berputar di kepalanya.“Emmhh ....”Sahira mengusap lehernya sendiri, sambil memejamkan mata. Membayangkan bahwa Michael sedang mencumbuinya.Sial, kenapa rasanya seperti nyata.Dia mengulanginya lagi, mengambil sabun cair lalu menggosokkan ke seluruh badan. Saat menyentuh dua balon miliknya, Sahira mendesis, dia membayangkan Michael yang begitu bern4fsu saat memainkan benda itu.Ahh ... mendadak, tubuhnya terasa panas. Padahal, sentuhan dia sendiri tapi terasa nyata.Sahira terus memejamkan mata, sambil memainkan busa sabun di area dadanya. Dia terus mendesis, sentuhan Michael semalam tak pernah lari dari pikirannya.Ia terus memejamkan mata, meremas dan mendesah kecil di bawah air shower yang mengalir. Sahira membayangkan kembali tatapan Michael, sentuhannya, dan suara lembut pria itu yang masih terngiang di telinganya.'Aneh, lag
Sahira membeku sejenak saat merasakan sentuhan di pundaknya. Jantungnya berdegup lebih cepat, entah karena terkejut atau karena instingnya mengatakan bahwa kehadiran orang ini akan membawa masalah.Saat menoleh, matanya langsung bertemu dengan sepasang mata abu-abu yang begitu familiar. “Sergio!”Tatapan tajam itu memancarkan rasa percaya diri yang khas.Pria itu tersenyum tipis, sudut bibirnya tertarik senyum yang selalu membuat banyak wanita terpikat. Tapi bagi Sahira, senyuman itu hanya membuatnya merasa tak nyaman.“Lepaskan!”Sahira segera menepis tangan Sergio dari pundaknya, membuat pria itu mengangkat alis dengan ekspresi terkejut, lalu akhirnya terkekeh pelan.“Masih galak seperti biasa, ya?” ujarnya, sambil menggoda.Sahira membuang pandangannya ke arah lain, menahan diri agar tidak terbawa emosi.“Apa kabarmu?” Sergio bertanya, dengan nada santai seolah mereka adalah dua teman lama yang baru bertemu kembali setelah sekian lama.Sahira tetap diam, tidak menjawab. Ia tidak i
Matahari mulai meredup di ufuk barat, menyelimuti vila dengan semburat jingga yang menenangkan. Dari jendela kamarnya, Michael menatap ke arah pantai sebentar sebelum kembali menyiapkan dirinya untuk bertemu dengan klien. Ia merapikan kemeja biru navy yang membentuk tubuh tegapnya, sementara dasinya dibiarkan sedikit longgar untuk memberikan kesan santai.Sementara itu, Sahira berdiri di dekat ranjang, memperhatikannya dengan alis sedikit berkerut.“Anda mau ke mana, Pak?” tanyanya sambil melipat kedua tangannya di depan dada.Michael meliriknya sekilas sambil memasukkan dompet dan ponsel ke dalam saku celana. “Bertemu klien sebentar.”Sahira mengangguk paham. “Baiklah, tunggu sebentar. Aku akan bersiap-siap.” Ia berbalik, bersiap mengambil tasnya, tetapi langkahnya terhenti saat mendengar ucapan Michael, “Kau istirahat saja, tidak perlu ikut.”Sahira mengerutkan kening, merasa tak nyaman dengan keputusan itu. “Aku tak enak dengan yang lain. Mereka kan tahu aku sekretaris Bapak, tapi
Di balik tembok batu yang membatasi restoran dengan area kolam, Karin mengepalkan tangannya erat. Wajahnya merah padam, karena amarah yang membakar dadanya. Rencananya untuk mempermalukan Sahira justru berbalik arah.Awalnya, ia hanya ingin membuat perempuan itu terlihat bodoh di depan para tamu restoran. Dengan sengaja, menyenggol Sahira cukup keras agar jatuh ke dalam kolam, membayangkan bagaimana orang-orang akan menertawakannya. Namun, yang terjadi malah jauh di luar dugaannya.“Hisshh, mana aku tau kalo dia tak bisa berenang.”Sergio, pria yang selama ini tak pernah terlalu peduli pada perempuan mana pun, justru melompat tanpa ragu untuk menyelamatkan Sahira. Dan yang lebih membuat Karin geram, perhatian Michael pada Sahira setelah kejadian pasti berlebihan.Ia menggigit bibirnya, matanya menatap tajam ke arah mereka.*Di sisi lain, Sahira masih duduk di tepi kolam, tubuhnya gemetar karena kedinginan. Bajunya basah kuyup, menempel di kulitnya, sehingga memperlihatkan svsvnya yan
Malam hari.Di dalam vila, Sergio berdiri di depan cermin, memastikan penampilannya sempurna. Kemeja putih lengan panjang yang digulung hingga siku membalut tubuh atletisnya dengan pas. Ia mengenakan celana chino gelap dan sepatu kulit yang memberi kesan kasual tapi tetap elegan. Rambutnya yang biasanya acak-acakan kini tertata sedikit lebih rapi.Sergio menyunggingkan senyum puas. Ia tahu betul bahwa pesonanya sudah cukup kuat, tapi malam ini, dia ingin lebih dari sekadar memikat Sahira. Ingin membuat perempuan itu mengingat malam ini sebagai sesuatu yang istimewa.Sergio melirik ke arah jam di pergelangan tangannya. 30 menit lagi waktu makan malam mereka.Tanpa ragu, ia mengambil ponselnya dan mengirim pesan singkat.[Jangan lupa, 30 menit lagi di meja nomor 9. Aku tidak suka menunggu.]Sergio tersenyum kecil saat menekan tombol kirim.Sahira pasti akan terkejut menerima pesannya. Bagaimana mungkin dia mendapatkan nomor teleponnya?Mudah saja. Saat perjalanan ke luar kota kemarin, S
Michael menatap para hadirin, senyumnya tipis namun karismatik, cukup untuk membius siapa pun yang melihat. Suara sorak-sorai menyambutnya, pujian dari pengusaha lintas negara, bahkan beberapa investor dari luar negeri yang duduk di barisan depan tampak antusias dengan kehadirannya.“Terima kasih atas sambutannya,” ucap Michael, suaranya dalam dan tegas. “Merupakan kehormatan bagi saya bisa berdiri di sini … bersama kalian semua, orang-orang yang berani mengambil risiko, orang-orang yang mengubah ketidakmungkinan menjadi peluang, dan orang-orang yang memegang masa depan industri di tangan mereka.”Suara tepuk tangan kembali terdengar, membahana dan membuat suasana pertemuan menjadi lebih hangat. Tapi tak satu pun dari semua itu menyentuh Sahira.Dia hanya diam di kursinya, wajahnya tenang tapi hatinya bergetar. Setiap kata yang keluar dari mulut Michael terasa seperti belati yang menyingkap luka lama—luka yang bahkan belum sepenuhnya sembuh. Dan pria itu ... pria yang berdiri dengan
Angin malam menerpa wajah Michael yang pucat, membuat rambutnya sedikit berantakan. Ia berdiri di balkon kamarnya yang menghadap ke laut, satu tangan menyandarkan tubuhnya pada pagar besi, sementara tangan lainnya memegang gelas kristal berisi bourbon yang nyaris kosong. Di hadapannya, ombak bergulung pelan diterpa cahaya bulan, seolah ikut menyaksikan kegundahan hati seorang pria yang selama ini dikenal tak terkalahkan di dunia bisnis.Matanya kosong menatap lautan yang luas. Setiap tegukan alkohol membakar tenggorokannya, tapi rasa itu tak sebanding dengan perih di dadanya.Wajah Sahira atau Alexa terus terbayang dalam pikirannya. Tangisannya. Tatapan bencinya. Kata-kata penolakannya yang dingin saat dia mencoba menyentuhnya tadi sore.Michael menenggak sisa minumannya dan menaruh gelas itu di atas meja kecil di samping kursi rotan.Tak!Pintu balkon terbuka perlahan. Suara langkah kaki berat menggema dari belakangnya. David muncul, membawa selembar map dan ekspresi serius seperti
Deg!“Sa-Sahira?”Suara Michael tertahan di tenggorokan. Pandangan mereka bertabrakan dalam hitungan detik—detik yang terasa abadi. Mata Sahira membulat saat mengenali siapa yang berlari ke arahnya.“Sahira Awass!”Satu detik sebelum ombak menyapu tubuhnya, Michael menerjang, membungkus tubuh Sahira dalam pelukannya dan menggulingkan mereka berdua menjauh dari gelombang.“Akhhhh!”Bruusshh!!Air menghantam pasir tempat Sahira berbaring sebelumnya, membasahi seluruh area dan meninggalkan jejak basah yang mengerikan.Tubuh mereka jatuh di pasir yang lembut tapi dingin, berguling dua kali sebelum berhenti.Michael berada di atas Sahira, tangannya menyangga tubuhnya agar tak terhimpit. Napas mereka memburu. Jantung mereka berlomba. Mata mereka bertemu.Waktu seolah berhenti.Sahira terdiam. Wajah Michael hanya beberapa sentimeter dari wajahnya. Tetesan air menuruni pelipis pria itu, membuat rambutnya yang basah menempel di dahi. Mata cokelat itu menatapnya dalam-dalam, bukan dengan kemara
Brak!Pintu kamar hotel terbuka dengan keras, menghentak suasana hening yang mendominasi ruangan. Michael yang sedang duduk di sofa langsung menoleh dengan refleks. Tangannya yang sedari tadi memijat pelipis berhenti seketika. Pandangannya menangkap sosok Lucas yang berdiri di ambang pintu, napasnya memburu, wajahnya penuh ketegangan, dan kemejanya sedikit kusut karena terburu-buru.“Bos!” serunya, suaranya nyaring memecah ruangan. “Apa yang barusan terjadi di ruang rapat?”Michael tak menjawab. Hanya memejamkan mata pelan, bersandar ke belakang, membiarkan udara dingin dari pendingin ruangan menyelimuti tubuhnya yang masih dibalut jas hitam elegan. Jas itu mungkin masih tampak sempurna, tapi isi kepalanya sebaliknya. Berantakan. Kacau. Dahinya masih berdenyut hebat, denyutan yang tak hanya datang dari stres pekerjaan, tapi dari emosi yang nyaris meledak saat dia berdiri diam di depan semua investor—tak berkutik di bawah serangan Alexa.Lucas melangkah masuk, kali ini dengan langkah b
Malam ini, Michael tetap berada di sisi Alexa—atau lebih tepatnya, Sahira. Setelah berbulan-bulan meyakini bahwa wanita itu telah tiada, kini dia ada di sini, di hadapannya. Perasaan yang berkecamuk dalam dadanya sulit diungkapkan dengan kata-kata. Kelegaan, kebingungan, kesedihan, dan juga kemarahan bercampur menjadi satu.Dia menatap wajah wanita yang terlelap dalam tidurnya. Wajah yang dulu begitu ia cintai, kini kembali hadir dengan sedikit perbedaan. Namun, di balik semua perubahan itu, Michael tahu bahwa dia adalah Sahira. Jasmine Alexander, wanita yang telah menghancurkan hatinya sekaligus yang paling ia rindukan.Michael meraup wajahnya sendiri, matanya memerah. Dadanya sesak dengan emosi yang sulit dikendalikan. Bagaimana mungkin ini terjadi? Bagaimana mungkin dia masih hidup setelah kecelakaan jet yang begitu tragis? Selama ini, Michael telah mencoba melupakan, membangun kembali kehidupannya, tetapi luka itu tetap menganga di dalam hatinya. Dan kini, luka itu kembali terb
Michael meraih dagu Alexa dengan lembut, jarinya menyentuh kulit halus wanita itu, mencoba mengangkat wajahnya agar dia bisa menatapnya lebih jelas. Matanya mencari—mencari sesuatu yang tersembunyi di balik tatapan sayu Alexa yang menghindar.“Siapa kakakmu?” tanyanya lagi, suaranya terdengar serak, namun tegas. Pertanyaan itu keluar bukan hanya karena rasa penasaran, tapi karena dorongan kuat untuk memahami luka yang tersembunyi di balik sikap dingin wanita itu.Namun, Alexa tetap bungkam. Dia tidak berkata apa-apa. Tak ada protes, tak ada bantahan. Kepalanya justru jatuh pelan ke bahu Michael. Tubuhnya lunglai, seperti kehilangan daya hidup, seperti jiwanya telah pergi jauh, meninggalkan raga yang lelah. Michael terdiam, tubuhnya mematung beberapa detik. Helaan napasnya yang berat menyuarakan kegundahan yang tak mampu diungkapkan dengan kata-kata. Dia menatap wajah Alexa dengan sorot mata yang penuh keraguan dan kebingungan. Pikirannya berputar, mencoba menyusun keping-keping yang b
Pagi hari.Alexa duduk di meja makan luar ruangan, menikmati sarapannya dalam keheningan. Angin sepoi-sepoi berhembus dari laut, membawa aroma asin yang khas. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama.“Selamat pagi, Alexa.”Ughk!Alexa hampir tersedak. Dia mendongak dan mendapati Michael sudah duduk di kursi di seberangnya dengan senyum miring yang membuat darahnya mendidih.“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya ketus.Michael menyandarkan punggungnya dengan santai, mengambil secangkir kopi yang telah disiapkan pelayan.“Sarapan, tentu saja. Pulau ini bukan milikmu saja, kan?” ucapnya dengan nada main-main.Alexa mendengus kesal dan memilih mengabaikannya. Namun, ketenangannya kembali terusik saat Michael bersandar lebih dekat dan berbisik pelan.“Kau kelihatan lelah, sayang. Semalam tidak bisa tidur, ya? Kenapa? Masih terngiang-ngiang kejadian panas itu?”“Sialan kau Michael!”“Kamu tidak perlu repot-repot menyabotase cctv, karena aku ingat semuanya. Em ... kau mau lagi sayang?
Setelah rapat berakhir, Alexa langsung bergegas keluar dari ruang konferensi. Langkahnya cepat, hampir seperti melarikan diri. Dia tidak ingin berlama-lama di ruangan itu, apalagi dengan tatapan penuh arti yang Michael berikan sepanjang pertemuan tadi.Albert sudah menunggunya di luar. Begitu melihat Alexa, dia langsung mendekat.“Nona, Anda baik-baik saja?” tanyanya pelan.Alexa mengangguk, meskipun pikirannya masih berantakan. “Aku ingin kembali ke kamar.”Albert paham dan segera berjalan di sampingnya, mengawal Alexa keluar dari gedung utama resort mewah tempat konferensi diadakan. Udara sore di pulau pribadi ini cukup hangat, tetapi hembusan angin laut membuat suasana lebih nyaman.Mereka berjalan di sepanjang jalur batu yang dikelilingi taman tropis menuju hotel eksklusif yang disediakan untuk para investor papan atas. Alexa tidak menyadari betapa tergesa-gesanya langkahnya hingga suara berat menghentikannya.“Alexa?”Langkahnya terhenti.Darahnya langsung berdesir.Dia mengenali
“Ugh, Ya Tuhan ....”Refleks, Alexa menepis tangan pria itu dengan kasar.“Pak Michael, akhh!” teriaknya tanpa berpikir.Ruangan seketika sunyi.Semua kepala menoleh ke arahnya, ekspresi mereka penuh tanya.Alexa langsung membeku, menyadari kesalahannya.Michael, yang sejak tadi duduk tenang, kini perlahan menoleh padanya. Bibir pria itu melengkung dalam senyuman tipis, matanya menyala dengan kesenangan yang terselubung.“Ya, Nona Alexa,” suara pria yang sedang mempresentasikan bisnis di depan memecah kesunyian. “Ada yang ingin Anda sampaikan mengenai hal ini?”Deg!Alexa merasakan jantungnya mencelos.Sial!Bagaimana dia harus menjelaskan ini?Tatapan Michael semakin menantang, seolah menikmati situasi ini. Alexa bisa melihat betapa pria itu menahan tawa, menikmati kekacauan yang baru saja dia buat sendiri.Sialan, sialan, sialan!Alexa menarik napas dalam, berusaha mengendalikan ekspresi wajahnya.“Tidak, saya hanya …” dia berdeham, melirik sekilas ke Michael yang kini bersandar san