Matahari mulai meredup di ufuk barat, menyelimuti vila dengan semburat jingga yang menenangkan. Dari jendela kamarnya, Michael menatap ke arah pantai sebentar sebelum kembali menyiapkan dirinya untuk bertemu dengan klien. Ia merapikan kemeja biru navy yang membentuk tubuh tegapnya, sementara dasinya dibiarkan sedikit longgar untuk memberikan kesan santai.Sementara itu, Sahira berdiri di dekat ranjang, memperhatikannya dengan alis sedikit berkerut.“Anda mau ke mana, Pak?” tanyanya sambil melipat kedua tangannya di depan dada.Michael meliriknya sekilas sambil memasukkan dompet dan ponsel ke dalam saku celana. “Bertemu klien sebentar.”Sahira mengangguk paham. “Baiklah, tunggu sebentar. Aku akan bersiap-siap.” Ia berbalik, bersiap mengambil tasnya, tetapi langkahnya terhenti saat mendengar ucapan Michael, “Kau istirahat saja, tidak perlu ikut.”Sahira mengerutkan kening, merasa tak nyaman dengan keputusan itu. “Aku tak enak dengan yang lain. Mereka kan tahu aku sekretaris Bapak, tapi
Di balik tembok batu yang membatasi restoran dengan area kolam, Karin mengepalkan tangannya erat. Wajahnya merah padam, karena amarah yang membakar dadanya. Rencananya untuk mempermalukan Sahira justru berbalik arah.Awalnya, ia hanya ingin membuat perempuan itu terlihat bodoh di depan para tamu restoran. Dengan sengaja, menyenggol Sahira cukup keras agar jatuh ke dalam kolam, membayangkan bagaimana orang-orang akan menertawakannya. Namun, yang terjadi malah jauh di luar dugaannya.“Hisshh, mana aku tau kalo dia tak bisa berenang.”Sergio, pria yang selama ini tak pernah terlalu peduli pada perempuan mana pun, justru melompat tanpa ragu untuk menyelamatkan Sahira. Dan yang lebih membuat Karin geram, perhatian Michael pada Sahira setelah kejadian pasti berlebihan.Ia menggigit bibirnya, matanya menatap tajam ke arah mereka.*Di sisi lain, Sahira masih duduk di tepi kolam, tubuhnya gemetar karena kedinginan. Bajunya basah kuyup, menempel di kulitnya, sehingga memperlihatkan svsvnya yan
Malam hari.Di dalam vila, Sergio berdiri di depan cermin, memastikan penampilannya sempurna. Kemeja putih lengan panjang yang digulung hingga siku membalut tubuh atletisnya dengan pas. Ia mengenakan celana chino gelap dan sepatu kulit yang memberi kesan kasual tapi tetap elegan. Rambutnya yang biasanya acak-acakan kini tertata sedikit lebih rapi.Sergio menyunggingkan senyum puas. Ia tahu betul bahwa pesonanya sudah cukup kuat, tapi malam ini, dia ingin lebih dari sekadar memikat Sahira. Ingin membuat perempuan itu mengingat malam ini sebagai sesuatu yang istimewa.Sergio melirik ke arah jam di pergelangan tangannya. 30 menit lagi waktu makan malam mereka.Tanpa ragu, ia mengambil ponselnya dan mengirim pesan singkat.[Jangan lupa, 30 menit lagi di meja nomor 9. Aku tidak suka menunggu.]Sergio tersenyum kecil saat menekan tombol kirim.Sahira pasti akan terkejut menerima pesannya. Bagaimana mungkin dia mendapatkan nomor teleponnya?Mudah saja. Saat perjalanan ke luar kota kemarin, S
Perpaduan antara milik Michael dan Sahira terdengar, suara lenguh dan desahan mereka mengiringi permainan. Sahira mencengkr4m bantal di depannya. Posisinya sedang menung-ging dengan Michael di belakangnya sedang memaju mundurkan pinggul.“Akkkkhhhh Paaakkkk!” tubuhnya mengejang, cairan bening keluar dari sela nganu-nya. Michael mempercepat gerakan dan ikut menyemburkan benih-benih Michael junior.Seketika keduanya ambruk di ranjang. Michael segera mencabut miliknya dan ikut berbaring di samping Sahira.Sahira langsung memejamkan mata, tubuhnya lemas, dengan napas yang tersengal-sengal.“Ah, Pak, aku lelah ...”“Istirahatlah Sayang ....”Michael menarik selimut, lalu menutupi tubuhnya dan tubuh Sahira yang polos.***Pagi Hari.Sahira menggeliat pelan di atas ranjang, matanya masih terpejam saat merasakan cahaya matahari menerobos masuk melalui celah tirai. Tubuhnya terasa sedikit pegal, dan ada perasaan aneh yang menggelayuti pikirannya.Tetesan air dingin mengenai wajahnya, membuatny
Setelah tertunda tadi, acara dilanjutkan kembali.Jonathan duduk dengan santai di kursinya, dengan sorot matanya tetap tajam, menusuk ke arah Michael yang duduk di seberangnya. Di belakangnya, beberapa pengawal berseragam hitam berdiri tegap, menunjukkan bahwa pria itu tidak datang sendirian. Kehadirannya jelas bukan sekadar kunjungan biasa.Michael berusaha mempertahankan ketenangannya, meskipun dia tau, Jonathan tidak akan membiarkan rapat ini berjalan dengan mudah.Pembicaraan mulai berlanjut. Seorang pengusaha senior dari sektor perhotelan berdiri dan mulai berbicara dengan penuh wibawa, membahas potensi kerja sama dan strategi bisnis di masa depan. Ruangan kembali dipenuhi suara perbincangan serius, hingga akhirnya sesi tanya jawab dimulai.“Baiklah, apakah ada yang ingin mengemukakan pendapat atau menambahkan sesuatu?” tanya moderator yang memimpin rapat.Michael, yang sudah mempersiapkan jawabannya, dengan sigap mengangkat tangan. Namun sbelum sempat bicara, tiba-tiba ...“Saya
Di dalam kamar.Sahira duduk di tepi ranjang, tatapannya kosong menatap lantai. Pikirannya masih teringat dengan kejadian barusan.Kenapa Sergio bertanya seperti itu?“Hati-hati, Hira. Aku bukan orang yang mudah dibohongi.”Sahira menggigit bibirnya, mencoba mengusir perasaan gelisah yang terus mengusik pikirannya. Semakin dia mengabaikannya, semakin kuat rasa takut itu menghantui.Tanpa sadar, ia menghela napas berat.Lalu, tak berselang lama ...Kriek!Suara pintu terbuka membuatnya tersentak.Sahira menoleh cepat.Di sana sosok Michael berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan alis sedikit berkerut.“Kamu kenapa?” tanyanya, berjalan masuk dan menutup pintu di belakangnya.Sahira menggeleng cepat, menundukkan kepala. “Aku tidak apa-apa, Pak."”Michael menatapnya lekat, seolah tidak percaya dengan jawaban itu.“Kamu terlihat gelisah, ada masalah?” gumamnya, lalu duduk di tepi ranjang, tak jauh dari Sahira. “Apa ada sesuatu yang terjadi tanpa ku ketahui?”Sahira menggigit bibirnya. T
Sahira merasa jantungnya hampir meledak.Sergio masih berdiri terlalu dekat, tatapannya tajam, seolah menikmati setiap detik kepanikan yang terlukis jelas di wajahnya.Sahira menggigit bibirnya, mencoba menenangkan diri. Ia harus segera mengusir pria ini sebelum semuanya semakin kacau.“Sergio, tolong pergi,” ucapnya, suaranya hampir seperti bisikan.Pria itu tidak bergerak.Alih-alih menuruti permintaan Sahira, ia justru menyandarkan satu tangannya di pagar balkon, mengunci tubuh Sahira dalam ruang sempit.“Kenapa?” tanyanya pelan. Senyuman miring masih menghiasi wajahnya. “Kau takut?”Sahira menatapnya dengan waspada. “Aku tidak takut.”Sergio terkekeh kecil. “Benarkah?”“Tapi kau harus pergi.”“Apa alasannya?”Sahira mengerjapkan mata.Sergio semakin mencondongkan tubuhnya, mengurangi jarak mereka hingga hanya beberapa inci.“Kenapa aku harus pergi, hm? Kau takut seseorang melihat kita? Atau ... kau takut dirimu sendiri?”“Aku—”Sebelum Sahira bisa mengatakan sesuatu, tiba-tiba ...
Sahira berdiri di depan pintu kamar Michael dengan sedikit gelisah. Panggilan pria itu datang secara mendadak, membuatnya tak sempat mempersiapkan diri. Jantungnya berdebar saat ia mengetuk pintu.Tok! Tok! Tok!“Permisi, Pak, Anda memanggilku?Tak butuh waktu lama, suara Michael terdengar dari dalam.“Masuk.”Sahira membuka pintu perlahan, lalu masuk dengan langkah hati-hati. Matanya langsung menangkap sosok pria itu yang berdiri di dekat jendela, membelakanginya. Michael tampak sedang mengamati pemandangan di luar dengan ekspresi yang sulit ditebak.“Pak, ada apa memanggilku?” Sahira mencoba terdengar biasa saja.Michael berbalik perlahan. Matanya bertemu dengan mata Sahira, dan saat itu juga wanita itu menyadari ada sesuatu yang berbeda.Pria itu terlihat lebih dingin.Biasanya, Michael selalu menyambutnya dengan senyum tipis atau tatapan penuh arti. Tapi kali ini? Tidak ada senyum, tidak ada sorot lembut di matanya.Hanya datar.Dingin.Sahira langsung merasa tidak nyaman.Michael
“Siapa kamu?” tanya Evelyn menatap Sahira dengan tajam.“A-aku sekretaris Pak Michael, Nyonya Bos.”“Kenapa kamu tidak menyambutku?” Evelyn merasa terhina saat salah satu pegawai putranya tak menghormati dirinya.“Maaf, Nyonya, tadi aku hanya mengikuti perintah Pak Michael untuk tidak melakukan apapun.”“Wah ... kurang ajar sekali dirimu, ya. Ongkang-ongkang kaki di perusahaan anakku.”Sahira menunduk dalam-dalam. Ia bisa merasakan tatapan tajam Evelyn menelisiknya dari atas hingga bawah, seolah menelanjangi harga dirinya di depan semua orang.Evelyn menyipitkan mata, lalu mendekat selangkah, ekspresi wajahnya berubah seketika—seakan-akan ada sesuatu yang baru ia sadari. Sudut bibirnya melengkung ke atas dalam seringai penuh ejekan.“Kok bisa putraku itu mempekerjakan pembantu menjadi sekretaris?”Hening. Suasana kantor mendadak sunyi, hanya desisan kecil dari beberapa karyawan yang tak bisa menahan keterkejutan mereka.Sahira mengangkat kepala, matanya melebar. “Pembantu?” gumamnya
Sinar matahari yang hangat menembus jendela besar kamar, menyinari wajah Sahira yang masih terlelap dalam pelukan Michael. Pria itu sudah terjaga sejak beberapa menit yang lalu, tetapi dia enggan bergerak. Melihat Sahira tidur dengan wajah damai membuatnya merasa tenang.Namun, akhirnya dia memutuskan untuk membangunkan wanita itu. Dengan lembut, dia menyelipkan jemarinya ke rambut Sahira, menyibakkan beberapa helai yang jatuh ke wajahnya.“Sayang, bangun,” bisiknya.Sahira menggeliat pelan, “Engghh ... aku masih ngantuk, Mike.”“Ya sudah, kalau begitu tidur saja.”Sahira tersenyum, kemudian memejamkan mata kembali. Tak lama kemudian ...“Ughh!“ dia menggigit bibir saat sebuah tangan masuk ke dalam piyamanya.Sahira lekas membuka mata, kemudian menyingkirkan tangan Michael dari anu-nya.“Aku bangun, ternyata ini sudah siang.”“Permisi, Pak ...” Sahira segera menyingkap selimut, dan pergi menuju kamar mandi.Michael terkekeh, melihat wanitanya yang tiba-tiba saja berubah pikiran. Takut
Pintu utama tiba-tiba terbuka dengan kasar.Brakk!!Sahira terlonjak, jantungnya hampir melompat keluar karena terkejut. Michael dengan refleks menariknya ke belakang, bersiap menghadapi siapa pun yang masuk.Namun, yang muncul adalah David, wajahnya terlihat sangat cemas dan napasnya juga memburu.“Boss! Ini gawat!” serunya sambil berjalan cepat ke arah Michael.Michael mengerutkan kening. “Apa yang terjadi?”David melirik sekilas ke arah Sahira, seolah ragu untuk berbicara di depannya.Michael mendesah. “Katakan saja.”“Ada kiriman bom di jalan utama dekat mansion. Kita harus segera bertindak sebelum terlambat!”Deg!Sahira menahan napas, membelalak kaget. “B-Bom?”Michael mengumpat pelan. Rahangnya menegang, lalu menoleh ke arah Sahira yang masih terlihat kebingungan.“Sahira, dengarkan aku baik-baik.” Michael menggenggam bahu gadis itu dengan kedua tangannya. “Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan menangani ini. Tapi aku ingin kamu tetap aman di sini.”Sahira menatapnya dengan cemas
Michael menginjak rem dengan kasar di depan gedung apartemen Sahira. Mobilnya berhenti mendadak, ban mengeluarkan suara mencicit tajam di aspal. Detak jantungnya berdegup kencang, bukan karena kecepatan yang barusan ia tempuh, tapi karena ketakutan yang mulai merayapi pikirannya.Tanpa membuang waktu, ia melepas sabuk pengaman, membuka pintu, dan melangkah dengan tergesa ke dalam gedung.Saat tiba di lobi, dia menyapu pandangan ke sekeliling. Tidak ada tanda-tanda ibunya. Itu pertanda baik.Dia bergegas menuju lift, menekan tombol dengan tidak sabar. Namun, lift masih berada di lantai atas.“Sial,” gumamnya.Tanpa pikir panjang, Michael berlari menaiki tangga darurat dua anak tangga sekaligus. Nafasnya memburu, tapi dia tidak peduli. Yang terpenting adalah sampai ke Sahira sebelum ibunya.Setelah beberapa menit akhirnya dia tiba di depan pintu apartemen Sahira. Michael tidak mengetuk, langsung memutar kenop pintu yang memang tidak terkunci dan masuk ke dalam dengan cepat.Sahira yang
Karin duduk di sofa apartemennya dengan tubuh yang terasa lelah. Perjalanan dari Pulau Hidden Gem benar-benar menguras energinya, tapi bukan itu yang paling mengganggunya. Rasa cemburu yang menggerogoti hatinya jauh lebih menyakitkan daripada kelelahan fisik.Dia menyesap kopi hangat yang baru saja dibuat, mencoba menenangkan pikirannya. Matanya menatap kosong ke jendela, memperhatikan pemandangan kota yang bising di siang hari.Dia tertawa kecil, sambil menatap layar ponselnya. Membayangkan Sahira ketakutan, apalgi sampai tak bisa tidur dengan nyenyak. Wanita itu pasti merasa terancam, berpikir ada seseorang yang mengawasinya. Tiba-tiba ....BRAK!Pintu apartemennya terbuka lebar dengan kasar.Karin tersentak, nyaris menjatuhkan cangkir kopinya. Matanya melebar saat melihat siapa yang berdiri di ambang pintu.Pria itu berdiri di sana dengan wajah gelap, matanya menyala penuh amarah. Rahangnya mengeras, memperlihatkan betapa marahnya dia saat ini.Namun, alih-alih panik, Karin justru
“Si-siapa kamu?!”Tak lama kemudian ...TING!Ponselnya berbunyi lagi.[Sahira, buka pintunya. Aku antar makanan.] David.Hufftt!“Syukurlah itu Pak David, aku sangat takut sekali.”Sahira menepuk dahinya sendiri saat sadar, kalau lampu apartemen mati karena memang sedang ada perbaikan. Jantungnya yang sempat berdetak kencang mulai tenang, meskipun rasa takutnya belum sepenuhnya hilang.Kriet.Pintu terbuka.David berdiri di sana dengan kantong makanan di tangan. “Kenapa wajahmu pucat begitu?” tanyanya heran.Sahira menelan ludah, lalu menggeleng pelan. “Eng ... cu-cuma kaget aja.”“Oh, ini makanan untukmu. Bos yang mengirimkannya.”“Terima kasih.”Sahira segera menutup pintu dan menguncinya.Dia berpikir.Kalau semuanya cuma kebetulan ... lalu siapa yang mengirim pesan tadi?Namun, dia berusaha mengabaikan semuanya.“Mungkin aku cuma capek dan terlalu paranoid,” pikirnya.Sahira meletakkan kantong makanan di meja dapur, membuka isinya sekilas, lalu memutuskan untuk langsung tidur. Ra
Setelah menempuh perjalanan selama tiga jam yang terasa begitu panjang, jet pribadi yang ditumpangi Michael, Sahira, dan Lucas akhirnya mendarat di landasan rahasia. Mesin pesawat perlahan meredup, tetapi rasa tegang di dalam kabin tidak berkurang sedikit pun.Michael menghela napas dalam-dalam, mencoba meredakan pikirannya yang masih cemas. Matanya tajam menatap ke luar jendela, memastikan semuanya aman sebelum akhirnya berdiri dari kursinya.Lucas bangkit lebih dulu, membuka pintu pesawat dan menuruni tangga dengan sigap. Beberapa anak buah kepercayaan Michael sudah berdiri menunggu di landasan. Mereka semua berpakaian serba hitam, wajah mereka serius dan waspada.Michael turun dengan langkah cepat, matanya langsung menyapu seluruh area. Dia tidak peduli dengan udara dingin yang menusuk kulitnya saat malam mulai menjelang. Yang ada di pikirannya hanya satu hal ... Sergio.“Di mana Sergio?” tanyanya tegas.Beberapa anak buahnya menunduk, tidak berani menatap langsung ke arah Michael.
Jonathan berdiri di tepi balkon villa pribadinya di Pulau Hidden Gem, menatap laut lepas yang bergelombang di bawah langit senja. Angin berembus kencang, tapi itu tak cukup untuk meredam amarah yang berkobar di dalam dirinya.Tiba-tiba ...BRAK!Sebuah gelas kaca melayang dari tangannya, menghantam dinding dan pecah berkeping-keping di lantai.“KALIAN SEMUA BODOH!” suaranya menggema di dalam ruangan, membuat semua anak buahnya terdiam, tak berani mengangkat kepala.Beberapa pria berbadan kekar berdiri di hadapannya, kepalanya tertunduk merasa takut. Salah satu dari mereka, Diego, maju dengan wajah pucat. “Bos, kami sudah berusaha mengejar mereka, tapi Michael terlalu cepat. Lucas juga menutup semua akses ke pelabuhan. Kami kehilangan jejak mereka sebelum bisa menghentikannya.”Jonathan menggeram, meninju meja kayu di depannya hingga benda itu bergoyang keras.BUGH!“Kalian tahu berapa banyak uang yang telah aku keluarkan untuk memastikan mereka tak bisa kabur? Dan kalian malah membia
BRAK!Michael membuka pintu kamar Sahira dengan tergesa-gesa.“Sahira, cepat kemasi barang-barangmu, sekarang!”Sahira yang sedang duduk di tepi ranjang menoleh dengan kaget. “Apa? Kenapa mendadak sekali?”“Jangan banyak tanya. Kita harus pergi dalam 30 menit.”Nada suaranya Michael yang tegas, membuat Sahira mengangguk dan segera berdiri. Ia membuka lemari, mengambil pakaian dan memasukkannya ke koper tanpa banyak berpikir. Tangannya gemetar sedikit, merasakan ada sesuatu yang tidak beres.“Ya, Tuhan ... tolong selamatkan kami, apapun yang terjadi.”Sahira masih menatap Michael dengan sorot mata bingung. Tangannya menggenggam koper dengan erat, mencoba memahami situasi yang tiba-tiba berubah drastis.“Pak Michael, bisa tolong jelaskan apa yang sebenarnya terjadi?” tanyanya dengan suara sedikit bergetar.Michael tidak segera menjawab. Ia menatap wanita di hadapannya dengan mata sendu. Sesaat, hanya kesunyian yang mengisi ruangan. Sahira bisa merasakan hawa dingin yang menyelimuti pria