Di dalam kamar.Sahira duduk di tepi ranjang, tatapannya kosong menatap lantai. Pikirannya masih teringat dengan kejadian barusan.Kenapa Sergio bertanya seperti itu?“Hati-hati, Hira. Aku bukan orang yang mudah dibohongi.”Sahira menggigit bibirnya, mencoba mengusir perasaan gelisah yang terus mengusik pikirannya. Semakin dia mengabaikannya, semakin kuat rasa takut itu menghantui.Tanpa sadar, ia menghela napas berat.Lalu, tak berselang lama ...Kriek!Suara pintu terbuka membuatnya tersentak.Sahira menoleh cepat.Di sana sosok Michael berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan alis sedikit berkerut.“Kamu kenapa?” tanyanya, berjalan masuk dan menutup pintu di belakangnya.Sahira menggeleng cepat, menundukkan kepala. “Aku tidak apa-apa, Pak."”Michael menatapnya lekat, seolah tidak percaya dengan jawaban itu.“Kamu terlihat gelisah, ada masalah?” gumamnya, lalu duduk di tepi ranjang, tak jauh dari Sahira. “Apa ada sesuatu yang terjadi tanpa ku ketahui?”Sahira menggigit bibirnya. T
Sahira merasa jantungnya hampir meledak.Sergio masih berdiri terlalu dekat, tatapannya tajam, seolah menikmati setiap detik kepanikan yang terlukis jelas di wajahnya.Sahira menggigit bibirnya, mencoba menenangkan diri. Ia harus segera mengusir pria ini sebelum semuanya semakin kacau.“Sergio, tolong pergi,” ucapnya, suaranya hampir seperti bisikan.Pria itu tidak bergerak.Alih-alih menuruti permintaan Sahira, ia justru menyandarkan satu tangannya di pagar balkon, mengunci tubuh Sahira dalam ruang sempit.“Kenapa?” tanyanya pelan. Senyuman miring masih menghiasi wajahnya. “Kau takut?”Sahira menatapnya dengan waspada. “Aku tidak takut.”Sergio terkekeh kecil. “Benarkah?”“Tapi kau harus pergi.”“Apa alasannya?”Sahira mengerjapkan mata.Sergio semakin mencondongkan tubuhnya, mengurangi jarak mereka hingga hanya beberapa inci.“Kenapa aku harus pergi, hm? Kau takut seseorang melihat kita? Atau ... kau takut dirimu sendiri?”“Aku—”Sebelum Sahira bisa mengatakan sesuatu, tiba-tiba ...
Sahira berdiri di depan pintu kamar Michael dengan sedikit gelisah. Panggilan pria itu datang secara mendadak, membuatnya tak sempat mempersiapkan diri. Jantungnya berdebar saat ia mengetuk pintu.Tok! Tok! Tok!“Permisi, Pak, Anda memanggilku?Tak butuh waktu lama, suara Michael terdengar dari dalam.“Masuk.”Sahira membuka pintu perlahan, lalu masuk dengan langkah hati-hati. Matanya langsung menangkap sosok pria itu yang berdiri di dekat jendela, membelakanginya. Michael tampak sedang mengamati pemandangan di luar dengan ekspresi yang sulit ditebak.“Pak, ada apa memanggilku?” Sahira mencoba terdengar biasa saja.Michael berbalik perlahan. Matanya bertemu dengan mata Sahira, dan saat itu juga wanita itu menyadari ada sesuatu yang berbeda.Pria itu terlihat lebih dingin.Biasanya, Michael selalu menyambutnya dengan senyum tipis atau tatapan penuh arti. Tapi kali ini? Tidak ada senyum, tidak ada sorot lembut di matanya.Hanya datar.Dingin.Sahira langsung merasa tidak nyaman.Michael
Suasana pesta terus berlanjut dengan gemerlap cahaya dan alunan musik klasik yang lembut. Namun, di sudut ruangan, Jonathan masih belum mengalihkan pandangannya dari sosok Sahira yang kini tengah berdiri di dekat salah satu meja hidangan, tampak gelisah di antara para tamu yang asing baginya.Karin melirik Jonathan dari ekor matanya, lalu meletakkan gelas anggurnya di meja terdekat. “Jangan katakan kau tertarik padanya.”Jonathan menyeringai kecil, sudut bibirnya terangkat tipis. “Tertarik?” gumamnya, lalu mengangkat bahu santai. “Mungkin.”Karin mendesah. “Kau tahu dia milik Michael.”Jonathan menoleh ke arah wanita itu, matanya menyala penuh intrik. “Dan sejak kapan aku peduli tentang apa yang menjadi milik Michael?”Karin mendecak pelan, tapi tidak berkata apa-apa lagi. Saat Jonathan tertarik pada sesuatu, maka pria itu tidak akan mudah menyerah. Dan itu menguntungkannya juga, Sahira akan tersingkir tanpa harus mengotori tangannya.“Kalau ku tahu begini, sudah kuberitahu dia dari k
Jonathan menyaksikan pertengkaran kecil antara Michael dan Sergio dengan ekspresi senang. Ia mengangkat gelas sampanyenya dan tertawa kecil, menarik perhatian wanita di sebelahnya.“Kakak beradik menyukai wanita yang sama? Ah, aku jadi sangat penasaran padanya, seberapa indah tubuhnya saat kutelanjangi?” gumamnya sambil mengamati reaksi Michael yang begitu posesif terhadap Sahira.Sementara, pesta kembali berjalan dengan normal setelah ketegangan yang sempat terjadi di lantai dansa. Musik kembali mengalun, orang-orang melanjutkan obrolan dan tarian mereka, seolah tidak ada insiden yang terjadi.Michael, seperti biasa, segera tenggelam dalam percakapan dengan para rekan bisnisnya. Pria itu terlalu sibuk berdiskusi tentang peluang investasi dan proyek baru, sampai tidak menyadari bahwa Sahira mulai melangkah menjauh.Sahira merasa dadanya masih berdebar kencang. Insiden dengan Sergio barusan membuat emosinya kacau. Ia perlu sesuatu untuk menenangkan diri.Maka, dia berjalan ke arah meja
Michael berdiri di sana dengan rahang mengeras, tangan kanannya masih mengepal setelah melayangkan pukulan tadi.“Mau kau bawa ke mana dia, bajingan!” suara Michael rendah, penuh amarah.Jonathan menyeringai kecil, meskipun pundaknya masih terasa sakit. “Oh? Akhirnya kau sadar juga?”Michael tak menjawab. Dengan sigap, ia menarik Sahira dari pelukan Jonathan, menggendongnya tanpa ragu. Wanita itu tampak lemah, wajahnya pucat dengan napas yang tersengal.Tatapan Michael tajam menusuk. “Jangan pernah sentuh dia lagi.”Lalu, tanpa membuang waktu, ia berbalik dan berjalan cepat menuju kamarnya. Sementara, Jonathan hanya menatap kepergiannya dengan ekspresi penuh arti.“Ini belum selesai, Michael Nathaniel. Aku akan berikan kejutan untukmu. Hahaha.”Setibanya di dalam kamar, Michael segera membaringkan Sahira di tempat tidur. Ia menepuk pipi wanita itu pelan.“Sahira, bangun,” panggilnya cemas.Namun, wanita itu tetap terpejam. Napasnya berat, dahinya mulai berkeringat.Michael semakin pan
Tok! Tok! Tok!Pintu kamar diketuk dengan ketukan yang cukup keras. Michael yang masih mengenakan bathrobe berjalan ke arah pintu dengan langkah malas.“Siapa yang datang sepagi ini? Hufft!”Dia baru saja menikmati momen indah bersama Sahira setelah malam yang panjang dan melelahkan, tetapi seseorang berani mengganggunya pagi-pagi begini.Kriet!Pintu terbuka, Lucas yang berdiri di depan pintu langsung terbelalak. Matanya menangkap jejak merah yang tersebar di leher dan dada Michael. Luka-luka kecil bekas gigitan dan cakaran terlihat jelas, seolah menjadi bukti malam penuh gairah dan kenikmatan baru saja dilalui bosnya.Michael mengangkat alis melihat ekspresi Lucas yang terlalu banyak berpikir. “Ada apa?” tanyanya datar.Lucas berdeham, berusaha mengabaikan pemandangan di hadapannya. “Ada yang ingin aku bicarakan, Bos.”Michael melirik ke dalam, di mana Sahira masih duduk di atas ranjang dengan rambut berantakan. Tubuhnya masih polos dengan selimut yang menutupinya, wajahnya masih
BRAK!Michael membuka pintu kamar Sahira dengan tergesa-gesa.“Sahira, cepat kemasi barang-barangmu, sekarang!”Sahira yang sedang duduk di tepi ranjang menoleh dengan kaget. “Apa? Kenapa mendadak sekali?”“Jangan banyak tanya. Kita harus pergi dalam 30 menit.”Nada suaranya Michael yang tegas, membuat Sahira mengangguk dan segera berdiri. Ia membuka lemari, mengambil pakaian dan memasukkannya ke koper tanpa banyak berpikir. Tangannya gemetar sedikit, merasakan ada sesuatu yang tidak beres.“Ya, Tuhan ... tolong selamatkan kami, apapun yang terjadi.”Sahira masih menatap Michael dengan sorot mata bingung. Tangannya menggenggam koper dengan erat, mencoba memahami situasi yang tiba-tiba berubah drastis.“Pak Michael, bisa tolong jelaskan apa yang sebenarnya terjadi?” tanyanya dengan suara sedikit bergetar.Michael tidak segera menjawab. Ia menatap wanita di hadapannya dengan mata sendu. Sesaat, hanya kesunyian yang mengisi ruangan. Sahira bisa merasakan hawa dingin yang menyelimuti pria
Langit malam memayungi kota dengan kelam yang pekat. Awan gelap menggantung, seolah turut merasakan badai yang sedang berkecamuk di dada Michael. Hujan turun rintik-rintik, membasahi jalanan aspal yang licin dan gelap. Namun tak satu pun dari semua itu mampu meredam amarah dan keputusasaan yang mendidih dalam diri pria itu. Dengan napas memburu, Michael memasuki mobil sport hitamnya. Tangannya gemetar saat memutar kunci, tapi begitu mesin meraung, ia langsung menginjak pedal gas sekuat tenaga. Mobil itu melesat di jalanan, memekikkan suara beringas yang seolah mencerminkan isi kepalanya yang penuh amarah. "Bodoh ... Bodoh ...!" desisnya pada dirinya sendiri. Matanya memerah, bukan hanya karena kelelahan, tapi karena sesak yang menghantam dadanya seperti palu godam. Ucapan Sahira terus terngiang di kepalanya. "Aku menolak lamaranmu ..." Kalimat itu terputar berulang kali, menusuk hatinya seperti belati tumpul. Telepon genggamnya bergetar, berdering tak henti-henti. Nama Lucas
Langit gelap tanpa bintang. Udara malam cukup dingin, namun suasana di sekitar apartemen eksklusif itu tetap tenang. Tidak banyak yang tahu kalau Alexa J, investor terkemuka, tinggal di sana.Semuanya serba rahasia. Termasuk keberadaan seorang pria tak dikenal yang kini berdiri di halaman depan gedung itu … hanya mengenakan jubah mandi hotel, dengan dada terbuka, dan rambut acak-acakan karena angin malam.Tangannya memegang seikat bunga mawar merah. Satu sisi jubahnya melorot, tapi dia tidak peduli.Michael Nathaniel.Dengan mata penuh tekad dan sedikit lingkar hitam karena kurang tidur, ia mendongak ke arah jendela lantai tiga dan mulai berteriak.“Sahira!”Hening. Hanya suara angin dan deru AC luar ruangan.Michael coba lagi. Kali ini lebih keras. “SAHIRA ALEXANDER! AKU TAHU KAU ADA DI DALAM!”Beberapa lampu tetangga menyala. Tirai bergeser. Seekor kucing melompat dari balkon ke balkon. Tapi tidak ada Sahira.Sampai akhirnya …Jendela di lantai tiga terbuka perlahan. Sosok berambut
Keesokan hari.Lorong menuju ruang kerja CEO ALX Group sunyi, hanya diisi suara sepatu hak tinggi Sahira yang menghentak lantai marmer. Wajahnya dingin. Pandangannya tajam. Tapi langkahnya terhenti begitu melihat sesuatu yang tak pernah dia duga.Michael berdiri di depan pintu ruangannya. Bersama seorang pria dari divisi IT. Di tangan Michael, terlihat amplop cokelat yang baru saja diterima si staf—dengan jelas: uang suap.Sahira tak berkata apa-apa. Ia hanya melangkah cepat, mengambil dokumen dari map yang digenggamnya, lalu ... BRUK!Melemparkannya tepat ke wajah Michael.“Apa-apaan ini?!” Suaranya menggema. Semua staf yang lewat menoleh, hening, menahan napas.Michael menatapnya kaget. “Sahira—”“Kau pikir aku ini apa? Masih pelacur di matamu?!” Suaranya bergetar, penuh kemarahan dan luka.Michael mengangkat tangan. “Itu bukan—dengarkan aku dulu—”“Tidak ada yang perlu didengarkan!” bentak Sahira. “Kau menyuap stafku untuk mengakses ruanganku. Kau melanggar privasi dan integritas
Michael tidak membuang waktu. Begitu Sahira memberikan batas sepuluh menit, dia langsung bangkit dari kursinya. Tanpa berkata apa pun, dia melangkah ke sisi meja tempat Sahira duduk, lalu berlutut satu lutut di lantai marmer mengilap restoran itu. Beberapa tamu langsung menoleh.“Yang pertama,” bisiknya sambil menatap mata Sahira dari bawah, “aku akan menyingkirkan semua ego dan harga diriku. Aku bukan CEO malam ini. Aku cuma pria yang jatuh cinta. Dan tidak tahu bagaimana caranya berhenti.”Sahira menyipitkan mata, pura-pura tidak terganggu, tetapi tangan yang memegang gelasnya sedikit gemetar.Uh ...Michael mengambil tangan Sahira perlahan, membaliknya, lalu mengecup punggung tangan itu sejenak.Cup!“Yang kedua … aku bersedia menanggung rasa malu, ejekan, bahkan ditertawakan publik, asal kau melihatku sekali lagi dengan mata yang sama seperti dulu.”“Aku ... tidak bisa.”“Kamu pasti bisa sayang.”Tiba-tiba, suasana restoran menjadi hening. Seseorang entah dari mana mengambil pons
Baru saja Sahira mengembuskan napas lega, mencoba menenangkan degup jantungnya yang belum stabil setelah kejadian barusan, ponselnya tiba-tiba bergetar di atas meja.Getarannya memantul di permukaan kayu, menimbulkan bunyi yang cukup nyaring di tengah kesunyian ruangan.Dengan enggan, Sahira meraih ponsel itu, berharap hanya pesan biasa dari tim marketing atau pengingat rapat sore ini. Tapi begitu layarnya menyala, matanya langsung menyipit, rahangnya mengeras.[Michael: Mau makan malam denganku?]Sahira mendengus kesal. “Kurang ajar!” gumamnya sembari melempar ponsel itu kembali ke meja. Perangkat itu memantul ringan lalu mendarat di atas tumpukan kertas, nyaris jatuh ke lantai.Michael benar-benar mencari gara-gara. Seolah kejadian tadi belum cukup mengacaukan pikirannya, kini pria itu mencoba bermain manis dengan nada genit lewat pesan singkat?Dasar pria licik. Menyusup lewat pintu depan, dan sekarang mencoba masuk lewat sisi hati?Sahira berdiri, memijit pelipis dengan tangan kan
Beberapa hari setelah insiden malam kemarin, pagi ini kabar buruk menghantam meja rapat Michael tanpa ampun. Selembar surat elektronik berjudul, [Termination of Partnership Agreement] muncul di inbox-nya, lengkap dengan kop resmi ALX Group. Napasnya tercekat saat ia membaca baris demi barisnya: "With regret, ALX Group hereby terminates all existing contracts and agreements with Horison steel, effective immediately.…" (Dengan penyesalan, ALX Group dengan ini mengakhiri semua kontrak dan perjanjian yang ada dengan Horison Steel, efektif segera.)Michael meneguk kopi hangat yang baru saja disajikan Olivia. Cangkir itu bergetar di tangannya—seolah meniru getaran hebat dalam dadanya. Uhuk!Ia tersedak, menyemburkan beberapa tetes kopi ke meja. Olivia, yang kebetulan berdiri di sampingnya dengan nampan serbet, terkejut.“Maaf, Tuan .…” bisiknya gugup, matanya menatap Michael yang kini wajahnya memerah oleh amarah dan rasa cemas.Michael menepuk meja—suara dentuman menggelegar. “Tidak,” gu
Beberapa jam kemudian.Langit mulai menggelap. Gedung tempat konferensi dijaga ketat, dilingkari garis polisi, dan masih dipenuhi suara sirene serta petugas yang lalu lalang. Beberapa tamu VIP dievakuasi ke hotel-hotel aman, media masih menyebarkan berita soal ledakan misterius, dan publik mulai berspekulasi—apakah ini serangan teror, atau percobaan pembunuhan politik-bisnis.Michael duduk di ruang tunggu yang dibuat darurat di dalam mobil lapis baja. Luka di pelipisnya telah diperban, tapi luka di hatinya, rasa cemas, amarah, dan rasa frustrasi—jauh lebih dalam.Lucas kembali dengan ponsel di tangan, wajahnya tegang. “Bos … kita baru saja dapat kabar.”Michael menoleh cepat. “Apa? Sahira?”Lucas mengangguk. “Iya. Dia … dia sudah pergi. Setengah jam yang lalu. Pakai pesawat pribadinya.”Michael diam sejenak. Matanya menyipit, napasnya tertahan.“Apa?”“Dia pergi, Bos,” ulang Lucas. “Tanpa pesan. Tanpa pamit. Tanpa penjelasan.”Michael mendengus keras, matanya memerah oleh emosi. “Bre
Michael menatap para hadirin, senyumnya tipis namun karismatik, cukup untuk membius siapa pun yang melihat. Suara sorak-sorai menyambutnya, pujian dari pengusaha lintas negara, bahkan beberapa investor dari luar negeri yang duduk di barisan depan tampak antusias dengan kehadirannya.“Terima kasih atas sambutannya,” ucap Michael, suaranya dalam dan tegas. “Merupakan kehormatan bagi saya bisa berdiri di sini … bersama kalian semua, orang-orang yang berani mengambil risiko, orang-orang yang mengubah ketidakmungkinan menjadi peluang, dan orang-orang yang memegang masa depan industri di tangan mereka.”Suara tepuk tangan kembali terdengar, membahana dan membuat suasana pertemuan menjadi lebih hangat. Tapi tak satu pun dari semua itu menyentuh Sahira.Dia hanya diam di kursinya, wajahnya tenang tapi hatinya bergetar. Setiap kata yang keluar dari mulut Michael terasa seperti belati yang menyingkap luka lama—luka yang bahkan belum sepenuhnya sembuh. Dan pria itu ... pria yang berdiri dengan
Angin malam menerpa wajah Michael yang pucat, membuat rambutnya sedikit berantakan. Ia berdiri di balkon kamarnya yang menghadap ke laut, satu tangan menyandarkan tubuhnya pada pagar besi, sementara tangan lainnya memegang gelas kristal berisi bourbon yang nyaris kosong. Di hadapannya, ombak bergulung pelan diterpa cahaya bulan, seolah ikut menyaksikan kegundahan hati seorang pria yang selama ini dikenal tak terkalahkan di dunia bisnis.Matanya kosong menatap lautan yang luas. Setiap tegukan alkohol membakar tenggorokannya, tapi rasa itu tak sebanding dengan perih di dadanya.Wajah Sahira atau Alexa terus terbayang dalam pikirannya. Tangisannya. Tatapan bencinya. Kata-kata penolakannya yang dingin saat dia mencoba menyentuhnya tadi sore.Michael menenggak sisa minumannya dan menaruh gelas itu di atas meja kecil di samping kursi rotan.Tak!Pintu balkon terbuka perlahan. Suara langkah kaki berat menggema dari belakangnya. David muncul, membawa selembar map dan ekspresi serius seperti