Beberapa Hari Kemudian.Di kantor 'Horisson Steel' Beberapa pegawai berlalu-lalang dengan dokumen di tangan, suara telepon yang berdering dan keyboard yang ditekan dengan cepat menciptakan latar belakang khas sebuah perusahaan yang sedang sibuk.Di dalam ruangannya, Sahira sedang fokus mengerjakan laporan di depan laptopnya. Dia menggigit bibir bawahnya tanpa sadar, jari-jarinya mengetik cepat di keyboard.Sahira memang tak mengerti, tapi soal ketik mengetik, itu sangat mudah baginya.Tak berselang lama ...TING!Sebuah pesan masuk, seketika fokusnya buyar. Dia segera melihatnya.Michael, [Buatkan aku kopi.]Sahira mengerutkan kening. [Hah? Buat sendiri, Pak.]Michael, [Aku bosan.]Sahira mendengus pelan, lalu membalas, [Lalu? Apa hubungannya dengan kopi?]Michael, [Aku bosan dan ingin kamu ke sini dengan membawa kopi.]Sahira menatap layar ponselnya dengan ekspresi tak percaya. Pria itu ini benar-benar ... uh![Aku sedang kerja, Pak Bos.]Michael, [Aku juga sedang kerja. Tapi aku but
Sahira masih terpaku di kursinya, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya.Pulau Hidden Gem.Besok.Dua minggu sudah berlalu.Tangannya sedikit gemetar saat meletakkan cangkir kopi ke meja. Kepalanya terasa pening, napasnya sedikit tidak beraturan.“Oh, Tuhan ...” gumamnya pelan.Suasana kantor tetap berjalan seperti biasa, tak ada yang menyadari kepanikannya. Namun, tiba-tiba, langkah sepatu terdengar mendekat.Sahira reflek mengangkat wajahnya, dan langsung berdiri.Pak Michael!Pria itu berjalan dengan santai ke arahnya, tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Tatapannya tajam, seolah bisa melihat langsung ke dalam pikirannya yang sedang kacau.Michael berhenti di depan Sahira, pria itu mencondongkan tubuhnya sedikit.“Sebentar lagi, Sayang ...,” bisiknya pelan, suaranya dalam dan menggoda.Sahira terkesiap, tubuhnya menegang.Michael tersenyum miring, lalu dengan santai mengangkat tangan dan—Ngek!Dia meremas pelan pant*t Sahira, membuat Sahira terlonjak kaget. Matanya me
Langit cerah membentang luas, membiaskan warna biru yang hampir menyatu dengan lautan. Kapal pesiar mulai bergerak meninggalkan dermaga, membawa para tamu VIP menuju Pulau Hidden Gem.Sahira berdiri di dek atas kapal, tangannya berpegangan pada pagar besi, memandang ombak yang berkilauan diterpa cahaya matahari. Angin laut berhembus lembut, menggoyangkan rambutnya yang terurai.“Ini ... indah sekali.”Dia tak pernah menyangka bisa menaiki kapal mewah seperti ini. Kapal pesiar ini lebih dari sekadar alat transportasi, ini seperti dunia kecil yang mengapung di atas air. Kolam renang biru jernih, restoran dengan dekorasi elegan, dan bahkan pusat perbelanjaan kecil di dalamnya membuatnya serasa berada di hotel bintang lima.“Setidaknya, di sini aku bisa menikmati sedikit kebebasan.”Tanpa Michael ataupun Karin yang mengawasi setiap gerak-geriknya, Sahira merasa bisa bernapas lega.Dia memejamkan mata sejenak, membiarkan angin laut membelai wajahnya. Mungkin, ini bukan ide yang buruk. Seti
Sahira menepis kasar tangan Lucas.“Jangan sentuh aku!” suaranya terdengar tajam.Lucas terdiam, matanya membelalak sejenak karena tidak menyangka reaksi itu. Namun, dia tidak mengatakan apa pun saat Sahira berbalik dan melangkah cepat menuju kamarnya.Setibanya di dalam, dia menutup pintu dengan kencang.BRAK!Napasnya masih sedikit memburu, dia sangat frustrasi. Sahira sangat marah, tapi tak bisa dia luapkan.Apa hak Lucas melarangnya berbicara dengan Sergio? Dia bukan anak kecil, dan Lucas bukan siapa-siapa baginya.Sahira menjatuhkan tubuh ke ranjang, menyandarkan punggung pada bantal, mencoba mengatur emosinya. Namun, tak lama kemudian ...TING!Sebuah pesan masuk.Dari Michael.[Aku sudah sampai lebih cepat. Tak sabar menantimu.]HUH!Sahira mendengus.'Cepat sekali,' batinnya.Perjalanan lautnya kali ini akan memakan waktu sehari semalam, yang berarti besok pagi dia akan tiba di pulau.Tiba-tiba, perasaan tidak nyaman menjalar di dadanya.Dia tidak tahu pasti kenapa, ada sesuat
Pagi hari.Udara di sekitar kapal terasa sejuk, membawa rasa lega bagi Sahira setelah malam yang penuh rasa cemas. Dia berdiri di dekat sisi kapal, memandang ke horizon, mencoba menenangkan pikiran yang masih bergejolak. “Maaf, Hira.”Seketika pecah saat sebuah suara mengagetkannya dari belakang.“Aku tak bermaksud kurang ajar.”Sahira terlonjak, hampir kehilangan keseimbangan. Saat dia menoleh, matanya membelalak melihat Sergio yang berdiri tepat di belakangnya. Pria itu tersenyum sedikit canggung, meski tampak menyesal.Sahira menatapnya tajam, ingin pergi menjauh. Namun sebelum dia bisa melangkah, Sergio sudah lebih dulu menangkap pergelangan tangannya. “Aku tahu aku membuatmu tidak nyaman semalam,” katanya dengan suara rendah. “Aku mabuk, dan aku ... aku minta maaf atas kelakuanku.”Sahira menarik tangannya, mencoba melepaskan diri dari cengkramannya. “Lepaskan aku, Sergio,” ucapnya tegas, meski hatinya sedikit bingung dengan permintaan maaf yang tiba-tiba ini.Belum sempat mela
Sahira menelan ludahnya dengan susah payah. Pikirannya berputar, mencoba memahami situasi yang sedang dihadapinya. Michael dan Sergio saling menatap dalam diam, seolah ada banyak hal yang tak terucapkan di antara mereka.Dan kemudian ...Michael tersenyum.Bukan senyum dingin atau sinis seperti yang biasa Sahira lihat, tapi senyum yang lebih tulus dan … hangat?“Sergio.” Michael akhirnya membuka suara.Jantung Sahira semakin berdebar kencang.“Akhirnya kau sampai juga.”Sergio menyeringai kecil, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Ya, akhirnya tiba, cukup melelahkan Mike.”Sahira menoleh ke arah Michael, menunggu penjelasan. Tapi justru pria itu berbalik padanya dan berkata dengan tenang.“Hira ...”Michael menepuk bahu Sergio dengan santai, “Perkenalkan ... dia Sergio. Adikku.”Gubrak!Sahira membeku di tempat.APAH?!Matanya membesar, kepalanya terasa pening dalam sekejap. Otaknya seolah memproses informasi itu dengan sangat lambat.Adik?Sergio dan Michael … bersaudar
Setelah selesai belanja, Michael mengajak Sahira ke sebuah restoran mewah di pinggir pantai. Tempat itu dipenuhi kursi-kursi kayu elegan dengan pemandangan laut biru yang membentang luas. Angin sepoi-sepoi membuat suasana semakin nyaman, dan suara deburan ombak menambah kesan damai.Michael memilih meja di area VIP—sebuah gazebo eksklusif yang sedikit terpisah dari tamu lainnya.Sahira mengangkat alis. “Kita duduk di sini?”Michael menatapnya santai. “Tentu saja.”Sahira mendesah. “Kenapa harus tempat mahal begini? Makan di warung pinggir jalan juga enak.”Michael menoleh dengan ekspresi tidak percaya. “Kau serius?”“Tentu saja.” Sahira tersenyum puas. “Makan di warung lebih santai, kan?”Michael hanya menghela napas panjang dan menyerahkan menu pada Sahira. “Baiklah, pesan apa saja yang kau suka.”Sahira membuka menu dan mulai membaca daftar makanan yang penuh dengan hidangan mewah seperti lobster panggang, steak wagyu, hingga kaviar. Matanya sedikit menyipit melihat harganya.“Uh …
Sahira membuka pintu dengan tangan sedikit gemetar, napasnya tertahan. Namun, begitu melihat sosok yang berdiri di depannya, tubuhnya langsung melemas.Pak Michael!Dia menatapnya dengan ekspresi santai, seolah tidak menyadari betapa tegangnya Sahira sejak tadi.“Kenapa lama sekali membukanya, sayang?” ujar Michael dengan nada menggoda.Sahira tidak menjawab. Dia buru-buru menarik Michael masuk, lalu menutup pintu dengan cepat lalu menguncinya.Ceklek!Michael mengangkat alis. “Buru-buru sekali. Sepertinya kau sangat tidak sabar, hm?”Sahira terperanjat. “Bu-bukan! Aku hanya takut ada yang melihat Bapak masuk ke kamarku.”Michael menatapnya, lalu tertawa kecil. “Panggil aku Mike saja. Malam ini kita tidak sedang dalam suasana kerja.”Entah apa yang terjadi pada Michael, padahal panggilang 'Mike' dikhususkan untuk keluarga dan orang terdekatnya saja. Kali ini, Michael ingin Sahira memanggil nama Itu di malam spesial mereka.Sahira hanya menelan ludah.Michael melangkah mendekat, membua
Malam ini, Michael tetap berada di sisi Alexa—atau lebih tepatnya, Sahira. Setelah berbulan-bulan meyakini bahwa wanita itu telah tiada, kini dia ada di sini, di hadapannya. Perasaan yang berkecamuk dalam dadanya sulit diungkapkan dengan kata-kata. Kelegaan, kebingungan, kesedihan, dan juga kemarahan bercampur menjadi satu.Dia menatap wajah wanita yang terlelap dalam tidurnya. Wajah yang dulu begitu ia cintai, kini kembali hadir dengan sedikit perbedaan. Namun, di balik semua perubahan itu, Michael tahu bahwa dia adalah Sahira. Jasmine Alexander, wanita yang telah menghancurkan hatinya sekaligus yang paling ia rindukan.Michael meraup wajahnya sendiri, matanya memerah. Dadanya sesak dengan emosi yang sulit dikendalikan. Bagaimana mungkin ini terjadi? Bagaimana mungkin dia masih hidup setelah kecelakaan jet yang begitu tragis? Selama ini, Michael telah mencoba melupakan, membangun kembali kehidupannya, tetapi luka itu tetap menganga di dalam hatinya. Dan kini, luka itu kembali terb
Michael meraih dagu Alexa dengan lembut, jarinya menyentuh kulit halus wanita itu, mencoba mengangkat wajahnya agar dia bisa menatapnya lebih jelas. Matanya mencari—mencari sesuatu yang tersembunyi di balik tatapan sayu Alexa yang menghindar.“Siapa kakakmu?” tanyanya lagi, suaranya terdengar serak, namun tegas. Pertanyaan itu keluar bukan hanya karena rasa penasaran, tapi karena dorongan kuat untuk memahami luka yang tersembunyi di balik sikap dingin wanita itu.Namun, Alexa tetap bungkam. Dia tidak berkata apa-apa. Tak ada protes, tak ada bantahan. Kepalanya justru jatuh pelan ke bahu Michael. Tubuhnya lunglai, seperti kehilangan daya hidup, seperti jiwanya telah pergi jauh, meninggalkan raga yang lelah. Michael terdiam, tubuhnya mematung beberapa detik. Helaan napasnya yang berat menyuarakan kegundahan yang tak mampu diungkapkan dengan kata-kata. Dia menatap wajah Alexa dengan sorot mata yang penuh keraguan dan kebingungan. Pikirannya berputar, mencoba menyusun keping-keping yang b
Pagi hari.Alexa duduk di meja makan luar ruangan, menikmati sarapannya dalam keheningan. Angin sepoi-sepoi berhembus dari laut, membawa aroma asin yang khas. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama.“Selamat pagi, Alexa.”Ughk!Alexa hampir tersedak. Dia mendongak dan mendapati Michael sudah duduk di kursi di seberangnya dengan senyum miring yang membuat darahnya mendidih.“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya ketus.Michael menyandarkan punggungnya dengan santai, mengambil secangkir kopi yang telah disiapkan pelayan.“Sarapan, tentu saja. Pulau ini bukan milikmu saja, kan?” ucapnya dengan nada main-main.Alexa mendengus kesal dan memilih mengabaikannya. Namun, ketenangannya kembali terusik saat Michael bersandar lebih dekat dan berbisik pelan.“Kau kelihatan lelah, sayang. Semalam tidak bisa tidur, ya? Kenapa? Masih terngiang-ngiang kejadian panas itu?”“Sialan kau Michael!”“Kamu tidak perlu repot-repot menyabotase cctv, karena aku ingat semuanya. Em ... kau mau lagi sayang?
Setelah rapat berakhir, Alexa langsung bergegas keluar dari ruang konferensi. Langkahnya cepat, hampir seperti melarikan diri. Dia tidak ingin berlama-lama di ruangan itu, apalagi dengan tatapan penuh arti yang Michael berikan sepanjang pertemuan tadi.Albert sudah menunggunya di luar. Begitu melihat Alexa, dia langsung mendekat.“Nona, Anda baik-baik saja?” tanyanya pelan.Alexa mengangguk, meskipun pikirannya masih berantakan. “Aku ingin kembali ke kamar.”Albert paham dan segera berjalan di sampingnya, mengawal Alexa keluar dari gedung utama resort mewah tempat konferensi diadakan. Udara sore di pulau pribadi ini cukup hangat, tetapi hembusan angin laut membuat suasana lebih nyaman.Mereka berjalan di sepanjang jalur batu yang dikelilingi taman tropis menuju hotel eksklusif yang disediakan untuk para investor papan atas. Alexa tidak menyadari betapa tergesa-gesanya langkahnya hingga suara berat menghentikannya.“Alexa?”Langkahnya terhenti.Darahnya langsung berdesir.Dia mengenali
“Ugh, Ya Tuhan ....”Refleks, Alexa menepis tangan pria itu dengan kasar.“Pak Michael, akhh!” teriaknya tanpa berpikir.Ruangan seketika sunyi.Semua kepala menoleh ke arahnya, ekspresi mereka penuh tanya.Alexa langsung membeku, menyadari kesalahannya.Michael, yang sejak tadi duduk tenang, kini perlahan menoleh padanya. Bibir pria itu melengkung dalam senyuman tipis, matanya menyala dengan kesenangan yang terselubung.“Ya, Nona Alexa,” suara pria yang sedang mempresentasikan bisnis di depan memecah kesunyian. “Ada yang ingin Anda sampaikan mengenai hal ini?”Deg!Alexa merasakan jantungnya mencelos.Sial!Bagaimana dia harus menjelaskan ini?Tatapan Michael semakin menantang, seolah menikmati situasi ini. Alexa bisa melihat betapa pria itu menahan tawa, menikmati kekacauan yang baru saja dia buat sendiri.Sialan, sialan, sialan!Alexa menarik napas dalam, berusaha mengendalikan ekspresi wajahnya.“Tidak, saya hanya …” dia berdeham, melirik sekilas ke Michael yang kini bersandar san
Alexa yang baru saja selesai mengenakan pakaian rapi sontak menegang saat ponselnya bergetar di atas meja rias. Dengan cepat, dia meraihnya dan membaca pesan dari Albert.[Nona, cepatlah. Semua orang sudah berkumpul, hanya kursi Anda yang kosong.]Ah, sial!Alexa melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan kirinya. Dia memang sedikit terlambat, tapi tidak menyangka bahwa dirinya menjadi orang terakhir yang dinanti dalam ruang rapat.Tanpa membuang waktu, dia meraih clutch dan ponselnya, lalu berjalan cepat ke luar kamar hotel. Tumit sepatunya beradu dengan lantai marmer sepanjang lorong, menciptakan suara ketukan ritmis yang seirama dengan debar jantungnya yang sedikit kacau.Bukan karena dia takut terlambat.Tapi karena seseorang ada di dalam sana.Michael ...Pria itu.Alexa menggigit bibir bawahnya. Dia harus bisa mengendalikan ekspresi dan sikapnya. Malam tadi, tidak ada yang terjadi. Tidak ada yang perlu dikenang.Napasnya sedikit memburu saat dia mencapai pintu ruang rapat.
Alexa mengunci pintu kamarnya dengan cepat sebelum menyandarkan tubuhnya ke pintu. Napasnya masih memburu, bukan karena lelah, tetapi karena pikirannya yang penuh dengan kekacauan. Dia menutup matanya, mencoba menenangkan diri, tetapi bayangan semalam terus menghantui pikirannya.Michael. Alkohol. Desahan. Sentuhan panas.Alexa membuka matanya dengan tajam, menolak membiarkan dirinya terhanyut lebih lama dalam kenangan itu. Dengan langkah tergesa, dia berjalan menuju kamar mandi. Begitu sampai di depan cermin besar, dia terdiam.Tangannya perlahan terangkat, mulai melepas gaun yang masih melekat di tubuhnya, lalu menjatuhkannya ke lantai. Dia segera melepaskan semuanya, dan kini ... terlihatlah kulitnya yang penuh jejak merah. Dengan gemetar, Alexa menyentuh jejak kemerahan tersebut.Pandangannya membeku saat dia melihat pantulan dirinya di cermin.Lehernya ...Bahunya ... Dada ... Bahkan perutnya.Penuh dengan tanda merah yang jelas ditinggalkan oleh Michael.Alexa mendengus pelan
Baru saja, dia hendak pergi dari sana tiba-tiba ...“Ahhh ... teruskan, ughh ....”“Ahhh ... Pak Michael!”Terdengar suara jeritan samar dari dalam. Membuat Albert diam mematung. Dari suaranya, dia bisa mendengar dengan jelas bahwa Nona-nya sedang mendesah hebat.Albert mendekat kembali ke kamar Alexa, menempelkan dan telinganya ke pintu.Hening.Tak ada suara apapun.“Aneh ... tadi aku dengar suara Nona?”Albert memutuskan untuk mengetuk pintunya.“Nona ... Anda baik-baik saja di dalam?”Hening.Tak ada sahutan, atau suara desahan seperti tadi.Albert menatap pintu kamar Alexa dengan sorot penuh curiga dan gelisah. Suara desahan yang ia dengar jelas bukan suara biasa—terlalu intim, terlalu menggoda. Dan suara itu ... menyebut nama Pak Michael.Tapi kenapa sekarang justru hening? Tak ada sahutan, tak ada langkah, bahkan tidak juga suara televisi.Setelah beberapa detik berdiri ragu, akhirnya Albert menguatkan diri. Dengan cepat, dia merogoh saku, mengambil kartu cadangan yang biasanya
Di dalam kamar hotel mewah itu, suasana terasa lebih intim. Lampu-lampu temaram memberikan cahaya lembut, sementara suara ombak dari balkon terbuka berpadu dengan napas yang semakin berat.Michael mendorong Alexa perlahan ke dinding, matanya masih terpaku pada wanita itu. Mereka berdua sama-sama mabuk, tapi tidak cukup untuk melupakan apa yang sedang terjadi.Tangan Alexa naik ke dada bidang Michael, jemarinya mengusap lembut permukaan kemeja yang sedikit terbuka. "Kau benar-benar tidak bisa menahan diri, ya?" bisiknya dengan nada menggoda.Michael menyeringai, tangannya terangkat untuk menyelipkan rambut panjang Alexa ke belakang telinga. "Harusnya aku yang bertanya begitu," balasnya, suaranya serak.Mereka saling menatap sejenak, sebelum Michael kembali menunduk, mencium Alexa dengan lebih dalam, lebih menuntut. Alexa membalasnya tanpa ragu, kedua tangannya melingkar di leher pria itu, menariknya lebih dekat.Cup!Eummhh ...Ciuman mereka semakin panas, semakin liar. Michael meraih