Langit cerah membentang luas, membiaskan warna biru yang hampir menyatu dengan lautan. Kapal pesiar mulai bergerak meninggalkan dermaga, membawa para tamu VIP menuju Pulau Hidden Gem.Sahira berdiri di dek atas kapal, tangannya berpegangan pada pagar besi, memandang ombak yang berkilauan diterpa cahaya matahari. Angin laut berhembus lembut, menggoyangkan rambutnya yang terurai.“Ini ... indah sekali.”Dia tak pernah menyangka bisa menaiki kapal mewah seperti ini. Kapal pesiar ini lebih dari sekadar alat transportasi, ini seperti dunia kecil yang mengapung di atas air. Kolam renang biru jernih, restoran dengan dekorasi elegan, dan bahkan pusat perbelanjaan kecil di dalamnya membuatnya serasa berada di hotel bintang lima.“Setidaknya, di sini aku bisa menikmati sedikit kebebasan.”Tanpa Michael ataupun Karin yang mengawasi setiap gerak-geriknya, Sahira merasa bisa bernapas lega.Dia memejamkan mata sejenak, membiarkan angin laut membelai wajahnya. Mungkin, ini bukan ide yang buruk. Seti
Sahira menepis kasar tangan Lucas.“Jangan sentuh aku!” suaranya terdengar tajam.Lucas terdiam, matanya membelalak sejenak karena tidak menyangka reaksi itu. Namun, dia tidak mengatakan apa pun saat Sahira berbalik dan melangkah cepat menuju kamarnya.Setibanya di dalam, dia menutup pintu dengan kencang.BRAK!Napasnya masih sedikit memburu, dia sangat frustrasi. Sahira sangat marah, tapi tak bisa dia luapkan.Apa hak Lucas melarangnya berbicara dengan Sergio? Dia bukan anak kecil, dan Lucas bukan siapa-siapa baginya.Sahira menjatuhkan tubuh ke ranjang, menyandarkan punggung pada bantal, mencoba mengatur emosinya. Namun, tak lama kemudian ...TING!Sebuah pesan masuk.Dari Michael.[Aku sudah sampai lebih cepat. Tak sabar menantimu.]HUH!Sahira mendengus.'Cepat sekali,' batinnya.Perjalanan lautnya kali ini akan memakan waktu sehari semalam, yang berarti besok pagi dia akan tiba di pulau.Tiba-tiba, perasaan tidak nyaman menjalar di dadanya.Dia tidak tahu pasti kenapa, ada sesuat
Pagi hari.Udara di sekitar kapal terasa sejuk, membawa rasa lega bagi Sahira setelah malam yang penuh rasa cemas. Dia berdiri di dekat sisi kapal, memandang ke horizon, mencoba menenangkan pikiran yang masih bergejolak. “Maaf, Hira.”Seketika pecah saat sebuah suara mengagetkannya dari belakang.“Aku tak bermaksud kurang ajar.”Sahira terlonjak, hampir kehilangan keseimbangan. Saat dia menoleh, matanya membelalak melihat Sergio yang berdiri tepat di belakangnya. Pria itu tersenyum sedikit canggung, meski tampak menyesal.Sahira menatapnya tajam, ingin pergi menjauh. Namun sebelum dia bisa melangkah, Sergio sudah lebih dulu menangkap pergelangan tangannya. “Aku tahu aku membuatmu tidak nyaman semalam,” katanya dengan suara rendah. “Aku mabuk, dan aku ... aku minta maaf atas kelakuanku.”Sahira menarik tangannya, mencoba melepaskan diri dari cengkramannya. “Lepaskan aku, Sergio,” ucapnya tegas, meski hatinya sedikit bingung dengan permintaan maaf yang tiba-tiba ini.Belum sempat mela
Sahira menelan ludahnya dengan susah payah. Pikirannya berputar, mencoba memahami situasi yang sedang dihadapinya. Michael dan Sergio saling menatap dalam diam, seolah ada banyak hal yang tak terucapkan di antara mereka.Dan kemudian ...Michael tersenyum.Bukan senyum dingin atau sinis seperti yang biasa Sahira lihat, tapi senyum yang lebih tulus dan … hangat?“Sergio.” Michael akhirnya membuka suara.Jantung Sahira semakin berdebar kencang.“Akhirnya kau sampai juga.”Sergio menyeringai kecil, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Ya, akhirnya tiba, cukup melelahkan Mike.”Sahira menoleh ke arah Michael, menunggu penjelasan. Tapi justru pria itu berbalik padanya dan berkata dengan tenang.“Hira ...”Michael menepuk bahu Sergio dengan santai, “Perkenalkan ... dia Sergio. Adikku.”Gubrak!Sahira membeku di tempat.APAH?!Matanya membesar, kepalanya terasa pening dalam sekejap. Otaknya seolah memproses informasi itu dengan sangat lambat.Adik?Sergio dan Michael … bersaudar
Setelah selesai belanja, Michael mengajak Sahira ke sebuah restoran mewah di pinggir pantai. Tempat itu dipenuhi kursi-kursi kayu elegan dengan pemandangan laut biru yang membentang luas. Angin sepoi-sepoi membuat suasana semakin nyaman, dan suara deburan ombak menambah kesan damai.Michael memilih meja di area VIP—sebuah gazebo eksklusif yang sedikit terpisah dari tamu lainnya.Sahira mengangkat alis. “Kita duduk di sini?”Michael menatapnya santai. “Tentu saja.”Sahira mendesah. “Kenapa harus tempat mahal begini? Makan di warung pinggir jalan juga enak.”Michael menoleh dengan ekspresi tidak percaya. “Kau serius?”“Tentu saja.” Sahira tersenyum puas. “Makan di warung lebih santai, kan?”Michael hanya menghela napas panjang dan menyerahkan menu pada Sahira. “Baiklah, pesan apa saja yang kau suka.”Sahira membuka menu dan mulai membaca daftar makanan yang penuh dengan hidangan mewah seperti lobster panggang, steak wagyu, hingga kaviar. Matanya sedikit menyipit melihat harganya.“Uh …
Sahira membuka pintu dengan tangan sedikit gemetar, napasnya tertahan. Namun, begitu melihat sosok yang berdiri di depannya, tubuhnya langsung melemas.Pak Michael!Dia menatapnya dengan ekspresi santai, seolah tidak menyadari betapa tegangnya Sahira sejak tadi.“Kenapa lama sekali membukanya, sayang?” ujar Michael dengan nada menggoda.Sahira tidak menjawab. Dia buru-buru menarik Michael masuk, lalu menutup pintu dengan cepat lalu menguncinya.Ceklek!Michael mengangkat alis. “Buru-buru sekali. Sepertinya kau sangat tidak sabar, hm?”Sahira terperanjat. “Bu-bukan! Aku hanya takut ada yang melihat Bapak masuk ke kamarku.”Michael menatapnya, lalu tertawa kecil. “Panggil aku Mike saja. Malam ini kita tidak sedang dalam suasana kerja.”Entah apa yang terjadi pada Michael, padahal panggilang 'Mike' dikhususkan untuk keluarga dan orang terdekatnya saja. Kali ini, Michael ingin Sahira memanggil nama Itu di malam spesial mereka.Sahira hanya menelan ludah.Michael melangkah mendekat, membua
Sahira menggigit bibir saat Michael memainkan m!liknya di tengah kepanikan yang melanda.Tak berselang lama, terdengar suara Dita berjalan menjauh. Baru lah Sahira bisa bernapas lega.Eh!“Ahh, Pak, mau apa?” pekik Sahira saat Michael membenamkan wajahnya pada anu-nya.“Emmhh ....” Sahira melenguh saat benda basah bermain di sana. Dia mengg!git bibir kuat-kuat, wajahnya mendongak, sebelah tangannya mencengkram kuat rambut Michael.“Ah, pak, hentikan!”“Aduhhh! Ahhh ....”Lidah Michael terus menari-nari di bawah sana, memutar-mutar, mengorek dan menyedot cairan memewnya.Tak ada rasa jijik, karena rasanya manis dan sedikit asin, tapi Michael suka.“Pak, ughh ... aku tak tahan ... ahhh lebih cepat.”“Oughh, Pak Michael. Aku ... aku mau keluar, Pak.” Sahira terus mer4cau, merasakan gelombang h4srat yang semakin melanda. Anu-nya terus berkedut, tanda sesuatu yang sangat nikm4t tengah dia rasakan. Michael terus melakukan aksinya, kedua tangannya juga meremas dua bukit kembar Sahira dengan
Sahira berdiri di bawah pancuran, membiarkan air hangat mengalir di tubuhnya. Ia berharap bisa menenangkan pikirannya, tapi bayangan tentang semalam terus berputar di kepalanya.“Emmhh ....”Sahira mengusap lehernya sendiri, sambil memejamkan mata. Membayangkan bahwa Michael sedang mencumbuinya.Sial, kenapa rasanya seperti nyata.Dia mengulanginya lagi, mengambil sabun cair lalu menggosokkan ke seluruh badan. Saat menyentuh dua balon miliknya, Sahira mendesis, dia membayangkan Michael yang begitu bern4fsu saat memainkan benda itu.Ahh ... mendadak, tubuhnya terasa panas. Padahal, sentuhan dia sendiri tapi terasa nyata.Sahira terus memejamkan mata, sambil memainkan busa sabun di area dadanya. Dia terus mendesis, sentuhan Michael semalam tak pernah lari dari pikirannya.Ia terus memejamkan mata, meremas dan mendesah kecil di bawah air shower yang mengalir. Sahira membayangkan kembali tatapan Michael, sentuhannya, dan suara lembut pria itu yang masih terngiang di telinganya.'Aneh, lag
“Siapa kamu?” tanya Evelyn menatap Sahira dengan tajam.“A-aku sekretaris Pak Michael, Nyonya Bos.”“Kenapa kamu tidak menyambutku?” Evelyn merasa terhina saat salah satu pegawai putranya tak menghormati dirinya.“Maaf, Nyonya, tadi aku hanya mengikuti perintah Pak Michael untuk tidak melakukan apapun.”“Wah ... kurang ajar sekali dirimu, ya. Ongkang-ongkang kaki di perusahaan anakku.”Sahira menunduk dalam-dalam. Ia bisa merasakan tatapan tajam Evelyn menelisiknya dari atas hingga bawah, seolah menelanjangi harga dirinya di depan semua orang.Evelyn menyipitkan mata, lalu mendekat selangkah, ekspresi wajahnya berubah seketika—seakan-akan ada sesuatu yang baru ia sadari. Sudut bibirnya melengkung ke atas dalam seringai penuh ejekan.“Kok bisa putraku itu mempekerjakan pembantu menjadi sekretaris?”Hening. Suasana kantor mendadak sunyi, hanya desisan kecil dari beberapa karyawan yang tak bisa menahan keterkejutan mereka.Sahira mengangkat kepala, matanya melebar. “Pembantu?” gumamnya
Sinar matahari yang hangat menembus jendela besar kamar, menyinari wajah Sahira yang masih terlelap dalam pelukan Michael. Pria itu sudah terjaga sejak beberapa menit yang lalu, tetapi dia enggan bergerak. Melihat Sahira tidur dengan wajah damai membuatnya merasa tenang.Namun, akhirnya dia memutuskan untuk membangunkan wanita itu. Dengan lembut, dia menyelipkan jemarinya ke rambut Sahira, menyibakkan beberapa helai yang jatuh ke wajahnya.“Sayang, bangun,” bisiknya.Sahira menggeliat pelan, “Engghh ... aku masih ngantuk, Mike.”“Ya sudah, kalau begitu tidur saja.”Sahira tersenyum, kemudian memejamkan mata kembali. Tak lama kemudian ...“Ughh!“ dia menggigit bibir saat sebuah tangan masuk ke dalam piyamanya.Sahira lekas membuka mata, kemudian menyingkirkan tangan Michael dari anu-nya.“Aku bangun, ternyata ini sudah siang.”“Permisi, Pak ...” Sahira segera menyingkap selimut, dan pergi menuju kamar mandi.Michael terkekeh, melihat wanitanya yang tiba-tiba saja berubah pikiran. Takut
Pintu utama tiba-tiba terbuka dengan kasar.Brakk!!Sahira terlonjak, jantungnya hampir melompat keluar karena terkejut. Michael dengan refleks menariknya ke belakang, bersiap menghadapi siapa pun yang masuk.Namun, yang muncul adalah David, wajahnya terlihat sangat cemas dan napasnya juga memburu.“Boss! Ini gawat!” serunya sambil berjalan cepat ke arah Michael.Michael mengerutkan kening. “Apa yang terjadi?”David melirik sekilas ke arah Sahira, seolah ragu untuk berbicara di depannya.Michael mendesah. “Katakan saja.”“Ada kiriman bom di jalan utama dekat mansion. Kita harus segera bertindak sebelum terlambat!”Deg!Sahira menahan napas, membelalak kaget. “B-Bom?”Michael mengumpat pelan. Rahangnya menegang, lalu menoleh ke arah Sahira yang masih terlihat kebingungan.“Sahira, dengarkan aku baik-baik.” Michael menggenggam bahu gadis itu dengan kedua tangannya. “Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan menangani ini. Tapi aku ingin kamu tetap aman di sini.”Sahira menatapnya dengan cemas
Michael menginjak rem dengan kasar di depan gedung apartemen Sahira. Mobilnya berhenti mendadak, ban mengeluarkan suara mencicit tajam di aspal. Detak jantungnya berdegup kencang, bukan karena kecepatan yang barusan ia tempuh, tapi karena ketakutan yang mulai merayapi pikirannya.Tanpa membuang waktu, ia melepas sabuk pengaman, membuka pintu, dan melangkah dengan tergesa ke dalam gedung.Saat tiba di lobi, dia menyapu pandangan ke sekeliling. Tidak ada tanda-tanda ibunya. Itu pertanda baik.Dia bergegas menuju lift, menekan tombol dengan tidak sabar. Namun, lift masih berada di lantai atas.“Sial,” gumamnya.Tanpa pikir panjang, Michael berlari menaiki tangga darurat dua anak tangga sekaligus. Nafasnya memburu, tapi dia tidak peduli. Yang terpenting adalah sampai ke Sahira sebelum ibunya.Setelah beberapa menit akhirnya dia tiba di depan pintu apartemen Sahira. Michael tidak mengetuk, langsung memutar kenop pintu yang memang tidak terkunci dan masuk ke dalam dengan cepat.Sahira yang
Karin duduk di sofa apartemennya dengan tubuh yang terasa lelah. Perjalanan dari Pulau Hidden Gem benar-benar menguras energinya, tapi bukan itu yang paling mengganggunya. Rasa cemburu yang menggerogoti hatinya jauh lebih menyakitkan daripada kelelahan fisik.Dia menyesap kopi hangat yang baru saja dibuat, mencoba menenangkan pikirannya. Matanya menatap kosong ke jendela, memperhatikan pemandangan kota yang bising di siang hari.Dia tertawa kecil, sambil menatap layar ponselnya. Membayangkan Sahira ketakutan, apalgi sampai tak bisa tidur dengan nyenyak. Wanita itu pasti merasa terancam, berpikir ada seseorang yang mengawasinya. Tiba-tiba ....BRAK!Pintu apartemennya terbuka lebar dengan kasar.Karin tersentak, nyaris menjatuhkan cangkir kopinya. Matanya melebar saat melihat siapa yang berdiri di ambang pintu.Pria itu berdiri di sana dengan wajah gelap, matanya menyala penuh amarah. Rahangnya mengeras, memperlihatkan betapa marahnya dia saat ini.Namun, alih-alih panik, Karin justru
“Si-siapa kamu?!”Tak lama kemudian ...TING!Ponselnya berbunyi lagi.[Sahira, buka pintunya. Aku antar makanan.] David.Hufftt!“Syukurlah itu Pak David, aku sangat takut sekali.”Sahira menepuk dahinya sendiri saat sadar, kalau lampu apartemen mati karena memang sedang ada perbaikan. Jantungnya yang sempat berdetak kencang mulai tenang, meskipun rasa takutnya belum sepenuhnya hilang.Kriet.Pintu terbuka.David berdiri di sana dengan kantong makanan di tangan. “Kenapa wajahmu pucat begitu?” tanyanya heran.Sahira menelan ludah, lalu menggeleng pelan. “Eng ... cu-cuma kaget aja.”“Oh, ini makanan untukmu. Bos yang mengirimkannya.”“Terima kasih.”Sahira segera menutup pintu dan menguncinya.Dia berpikir.Kalau semuanya cuma kebetulan ... lalu siapa yang mengirim pesan tadi?Namun, dia berusaha mengabaikan semuanya.“Mungkin aku cuma capek dan terlalu paranoid,” pikirnya.Sahira meletakkan kantong makanan di meja dapur, membuka isinya sekilas, lalu memutuskan untuk langsung tidur. Ra
Setelah menempuh perjalanan selama tiga jam yang terasa begitu panjang, jet pribadi yang ditumpangi Michael, Sahira, dan Lucas akhirnya mendarat di landasan rahasia. Mesin pesawat perlahan meredup, tetapi rasa tegang di dalam kabin tidak berkurang sedikit pun.Michael menghela napas dalam-dalam, mencoba meredakan pikirannya yang masih cemas. Matanya tajam menatap ke luar jendela, memastikan semuanya aman sebelum akhirnya berdiri dari kursinya.Lucas bangkit lebih dulu, membuka pintu pesawat dan menuruni tangga dengan sigap. Beberapa anak buah kepercayaan Michael sudah berdiri menunggu di landasan. Mereka semua berpakaian serba hitam, wajah mereka serius dan waspada.Michael turun dengan langkah cepat, matanya langsung menyapu seluruh area. Dia tidak peduli dengan udara dingin yang menusuk kulitnya saat malam mulai menjelang. Yang ada di pikirannya hanya satu hal ... Sergio.“Di mana Sergio?” tanyanya tegas.Beberapa anak buahnya menunduk, tidak berani menatap langsung ke arah Michael.
Jonathan berdiri di tepi balkon villa pribadinya di Pulau Hidden Gem, menatap laut lepas yang bergelombang di bawah langit senja. Angin berembus kencang, tapi itu tak cukup untuk meredam amarah yang berkobar di dalam dirinya.Tiba-tiba ...BRAK!Sebuah gelas kaca melayang dari tangannya, menghantam dinding dan pecah berkeping-keping di lantai.“KALIAN SEMUA BODOH!” suaranya menggema di dalam ruangan, membuat semua anak buahnya terdiam, tak berani mengangkat kepala.Beberapa pria berbadan kekar berdiri di hadapannya, kepalanya tertunduk merasa takut. Salah satu dari mereka, Diego, maju dengan wajah pucat. “Bos, kami sudah berusaha mengejar mereka, tapi Michael terlalu cepat. Lucas juga menutup semua akses ke pelabuhan. Kami kehilangan jejak mereka sebelum bisa menghentikannya.”Jonathan menggeram, meninju meja kayu di depannya hingga benda itu bergoyang keras.BUGH!“Kalian tahu berapa banyak uang yang telah aku keluarkan untuk memastikan mereka tak bisa kabur? Dan kalian malah membia
BRAK!Michael membuka pintu kamar Sahira dengan tergesa-gesa.“Sahira, cepat kemasi barang-barangmu, sekarang!”Sahira yang sedang duduk di tepi ranjang menoleh dengan kaget. “Apa? Kenapa mendadak sekali?”“Jangan banyak tanya. Kita harus pergi dalam 30 menit.”Nada suaranya Michael yang tegas, membuat Sahira mengangguk dan segera berdiri. Ia membuka lemari, mengambil pakaian dan memasukkannya ke koper tanpa banyak berpikir. Tangannya gemetar sedikit, merasakan ada sesuatu yang tidak beres.“Ya, Tuhan ... tolong selamatkan kami, apapun yang terjadi.”Sahira masih menatap Michael dengan sorot mata bingung. Tangannya menggenggam koper dengan erat, mencoba memahami situasi yang tiba-tiba berubah drastis.“Pak Michael, bisa tolong jelaskan apa yang sebenarnya terjadi?” tanyanya dengan suara sedikit bergetar.Michael tidak segera menjawab. Ia menatap wanita di hadapannya dengan mata sendu. Sesaat, hanya kesunyian yang mengisi ruangan. Sahira bisa merasakan hawa dingin yang menyelimuti pria