3 Hari Kemudian"Kamu harus hati-hati. Karna saat ini ada yang sedang memata-mataimu."Ucap Mbah Rondo. Atika, dan Mbah Rondo sedang berada dikamar rahasia Atika."Siapa Mbah?" Tanya Atika. Ia begitu ingin tau, dan penasaran."Nanti kamu akan tau sendiri. Saya cuma ngingatkan. Jangan sampai kamu mau berhubungan lebih, dengan suamimu itu. Atau kamu akan tau akibatnya. Saya tidak suka denganya, dan saya menyetujui permintaanmu waktu itu, hanya untuk sekedar suka, dan bukan menikah." Jawab Mbah Rondo."Baik, Mbah. Saya tidak akan melanggarnya.""Dan ingat kamar ini hanya untuk, saya. Tidak boleh ada yang masuk selalin kamu. Bisik Mbah Rondo.Setelah Mbah Rondo pergi, Atika segera keluar dari kamar itu. Namun tidak sengaja melihat Diwan yang sedang duduk di sofa ruang tengah Atika.Jantung Atika deg-degan, ia berharap tadi Diwan tidak mendengar obrolanya."Ngapain Mas? kok belum tidur?" Tanya Atika.Diwan hanya diam, ia duduk membelakangi Atika. "Mas! Atika lagi-lagi heran karna tidak ada
Setelah pulang dari kota, Atika merebahkan tubuh, moleknya disofa rumahnya. Sembari menatap langit-langit rumahnya yang sudah selesai sempurna. Ia teringat kepada Dimas. Selama ini ia selalu pandai menyembunyikan rasa sakitnya saat kehilangan Dimas. Namun ia bukan wanita yang terlalu kuat, saat malam hari tiba ia juga sering menangis, dan teringat kepada Dimas. Apalagi saat terahir Dimas menghembuskan nafas terakhirnya dirumah lamanya, dengan cara teragis."Andai saja kamu masih ada nak! kamu sudah bahagia sekarang. Kamu anak baik, dan layak mendapat kasih sayang lebih." Lirih Atika. Tidak terasa buliran beningpun ikut serta menemani kesedihannya.Dari ujung pintu, Diwan menatap kesedihan Atika. Ia sedikit binggung, kenapa Atika pulang-pulang menangis. "Kamu baik-baik saja?" Tanya Diwan."Eh, aku baik-baik saja Mas. Kamu nggak kerja?" Atika mencoba menyapu buliran beningnya."Aku barusan dapet telepon dari kantor. Katanya aku diliburkan 2 hari ini." Ucap Diwan."Ooh, kamu sudah makan?
"Mas. Aku minta maaf ya," Ucap Atika, saat Diwan dan Mail pulang dari Masjid."Untuk apa?" "Untuk yang tadi. Mail kamu tidur y, sudah malam," Ucap Atika."Aku nggak apa-apa kok. Mungkin kamu masih terauma ya," Jawab Diwan. Ia menjatuhkan tubuhnya kesofa.Atika hanya menunduk, sebetulnya buka. Terauma. Melainkan ada sesuatu, yang aneh dan mengerikan saat ia dekat dengan Diwan."Maaf kan aku Mas." Lirih Atika lagi."Aku akan ajari kamu, agar kamu terbiasa. Aku ini laki-laki normal, dan aku ingin memilikimu seutuhnya." Jawab Diwan. Nadanya terlalu datar saat itu."Aku janji Mas. Pelan-pelan akan belajar." Ucap Atika lagi."Oh, ya. Tadi aku lihat Yuni, dan Sandi. Mereka tampak kompak banget, dan kelihatan habis pulang dari sesuatu tempat." Ucap Diwan."Yuni, dan Sandi? bukanya Sandi sudah pergi kekota Mas?" Atika binggung."Ntah, lah! Ada hubungan apa mereka. Mungkin ada hal penting, yang ingin mereka selesaikan."Atika tampak termenung, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Ada apa Sandi,
Atika masih tampak terduduk dilantai kamarnya. Wajahnya murung, dan pucat. Suara lntuman mengaji Mail berhasil membuat ia seperti kerasukan iblis."Jah, tolong kamu suruh ibu sarapan." Ucap Diwan. Ia menyuruh Ijah membawakan sarapan kedalam kamar Atika."Baik, Pak." Ijah segera mengiyakan, dan membawakan sarapan kedalam kamar Atika."Apa yang sedang terjadi kepada Atika? aku benar-benar nggak ngerti. Kenapa ia begitu membenci, suara orang mengaji, dan kenapa sampai bisa seperti itu?" Diwan mengusap-ngusap wajahnya, dengan kasar."Tok, tok, tok." Permisi Pak." Ucap Rasti. "Ada apa?" Jawab Diwan datar."Ini ada kiriman untuk Bu Atika." Rasti memberikan sebuah rantangn yang ia dapat dari seseorang, untuk Atika."Dari siapa?" Tanya Diwan heran."Dari Bu, RT. Katanya rendah daging.""Oh. Iya terimakasih ya." Diwan segera membawa rantangan tingkat 3 itu kedapur."Rendang daging." Ucapnya saat ia membuka rantang itu. Ia sedikit heran karna isi daging rendang nya sangat banyak."Bismillahir
"Kamu kalau bicara nggak usah ngasal. Aku nggak pernah seperti itu! Lebih baik kamu pergi, dan jangan lagi kembali." Bentak Atika. Nada suaranya terdengar jelas, ditelinga Rasti, dan karyawan lainya."Baiklah! aku pergi, tapi aku belum puas kalau kamu tidak mendapatkan pembalasan setimpal." Lirih Daut.Tampaknya Daut sudah benar-banar yakin, dengan tuduhanya. "Ternyata Bu, Atika persugihan?" Ketus Rasti. Yang lain tidak begitu mendengarkan perdebatan Atika, dan Daut. Namun Rasti malah menguping jelas."Nggak usah Fitna, kamu. Kamu mau dipecat, akibat fitnah?" Ucap Dewi."Bukan fitnah! tapi aku sendiri mendengar ucapan mantan suami bu, Atika." Ucap Rasti lagi."Mending lanjut kerja, daripada mengurusin hidup orang," Lirih Dewi. Ia tidak begitu menggubris ucapan Rasti barusan.Sementara Diwan masih berdiri terbengong, dibalik pohon. Ia ingin melangkah pulang namun ragu, akhirnya ia memutuskan pergi kemasjid saja."Aku tidak begitu jelas mendengar obrolan mereka. Apa, yang sedang mereka
Gulai Ari-Ari Untuk anakku"Ketrin. Kamu harus kuat, jangan tidur." Ucap Istri kepala desa, yang bernama Ningrum."Ketrin, bangun jangan tidur. Kita akan bawa kamu kerumah sakit besar dikota." Lirih ibu-ibu, yang lainya."Saya mau suami saya," Ucap Ketrin lemah. Tubuhnya semakin lemah, dan nafasnya hanya tinggal satu, dua saja.Rama, yang baru saja tiba dirumhanya datang dengan sendiri, dan tanpa Mbah Inem. Permisi ada apa ini?" Tanya Rama heran, Karna dirumahnya sudah ramai orang."Bayimu Ram." Ningrum tidak sampai hati mengatakannya."Kenapa bayi saya? Istri saya kenapa? anak saya sudah keluar kan?" Tanya Rama. Semua terdiam, dan tidak menjawab. Mata Rama tertuju kepada sebuah baskom, yang isinya kepala anaknya. Seketika ia berteriak, sehisteris mungkin."Aaaaaaaaakkkkh, apa ini?" Pekik Rama. Airmatanya buyar seketika. Tubuhnya bergetar hebat, dan darahnya seakan terasa dingin."Maafkan aku Mas," Lirih Dara. Ia terduduk lemah, dan ketakutan disudut pojok kamar Ketrin."Aa, yang kam
Suasana dirumah Ketrin begitu ramai, semua keluarga dari pihak, Ketrin, dan suami berdatangan."Kamu ngapain terlalu sok, kepintaran?" Pekik wanita tua, yang usianya sudah memasuki 50 tahun itu. Norma Ibunya Ketrin yaitu, Budenya Dara juga."Maafkan saya bude. Saya cuma mau ngebantu Ketrin," Dara menjawab dengan pelan. Nada bicaranya sangat jelas kalau ia sedang takut."Kamu sudah menghilangkan 2 nyawa sekali Gus." Pekik Wanita tua itu lagi."Sudahlah. Ini semua diluar dugaan. Kita harus ikhlas apapun, yang terjadi. Mungkin Dara hanya ingin membantu Ketrin, namun ia tidak sengaja melakukan kecerobohan itu "Sambung Ayah Ketrin."Tapi dia harus tetap dihukum," Pekik ibu Ketrin, yang bernama Norma itu."Bude. Maafkan aku. Mas, Rama tolong jangan bawa aku kepenjara." Lirih Dara. Ia menagis sejadi-jadinya."Aku tidak tau Ra! apa aku bisa memaafkanmu. Aku cuma memintamu menjaga Ketrin, dan bukan menyuruhmu memaksa Ketrin lahiran."Tapi tadi Ketrin sudah nggak tahan. Bayinya berhenti diteng
Gulai Ari-Ari Untuk anakku#53Atika tampak terus menatap kearah Diwan. Sudah setengah jam didalam kamar, bukanya tidur Diwan malah tampak gelisah. "Mas, kamu kenapa?" Tanya Atika. Saat melihat Diwan merasa gelisah."Mas, cuma kedinginan." Lirih Diwan. "Ya dipakai selimutnya.""Kan selimut Mas, kamu." "Apaan sih, Mas! Atika salah tingkah, mendengar ucapan Diwan."Ayo, nggak ada waktu lagi. Segeralah lakukan," Bisikan Mbah Rondo mulai terdengar ditelinga Atika.Sepertinya Diwan punya firasat tidak enak, buktinya ia malam ini terlalu mengawasi Atika."Sebentar ya Mas, aku kekamar mandi dulu." Ucap Atika. Ia membawa ponselny kedalam kamar, mandinya."Gimana Bu? apa sudah berangkat?" Tanya Dara setelah menerima panggilan dari Atika, diponselnya."Sepertinya saya nggak bisa malam ini. Kamu mau uang lebih nggak? saya akan kasih kamu 50 juta kalau kamu berhasil mengambil ari-ari itu, dari perut sepupumu itu." Ucap Atika."50 juta? serius buk?" Seru Dara. Ia tampak kesenangan saat mendengar