"Jika besok kita mencari Zahra, kepada siapa kita titipkan Remi dan Michelle?" tanya Arsene.
"Aku sarankan kalian titipkan pada sesama Guardian," ujar Nemesis. "Kalian melupakan satu rekan kita yang masih menetap di Girvort."
"Evergreen?" Arsene bersedekap. "Kamu yakin, Monsieur?"
"Kalung mereka percaya, kenapa tidak?"
***
"Hati-hati." Itulah pesan Arsene sebelum melepas kepergianku.
Tentu saja aku waspada. Belum sempat menoleh untuk pamit, mereka telah pergi.
Depan kami, seorang wanita pucat menyapa. "Tuan sudah menunggu kalian."
***
Dahan raksasa membelah jarak antara kami. Tidak ada yang terluka, semua hanya mundur selangkah atau malah terduduk.Evergreen berdiri di depan sementara kami berdiri terpaku.Terlihat jelas dari wajah mereka, jika Evergreen tidak asing lagi. Mereka diam seribu bahasa sambil menunduk, kecuali seorang wanita yang malah menatapnya sinis."Apa maumu?!" seru si wanita pucat dengan kesal. Kalau kuperhatikan, rambutnya cokelat tua sementara matanya kuning. "Kamu menyuruh kami ke sini untuk bu–""Tunduk!" titahnya.Rangkaian sulur mengikat kedua tangan wanita itu lalu menarik paksa ke tanah, yang membuatnya tampak seolah-olah membungkuk.Dia masih saja berani. "Kamu yang–"Dia mendapat teguran dari pria di sampingnya. "Hei, jangan terlalu keras!"Wanita itu diam saja. Aku kenal pria yang ternyata kenalannya, A
Aku terpaku. Tidak tahu harus berbuat apa. Membiarkan darah mereka mengotori lantai dan pakaian. Menyaksikan Evergreen membunuh semua orang selain kamu berdua.Evergreen membunuh mereka dengan pedang bersimbol singa. Benda itu menari selagi memenggal leher dan menusuk jantung mereka. Habis sudah sekitar dua puluh pelayan. Mayat bergelimpangan sementara Kepala Pelayan berdiri dengan gemetar seperti kami.Evergreen terengah-engah di antara mayat pelayannya. Ia melirik Kepala Pelayan. "Aku lelah. Siapkan kasurku!"Wanita malang itu bergegas ke kamar majikannya. Tidak perlu menunggu, dia selesai dan membungkuk hormat ke majikannya."Kasur Anda siap, Tuan."Evergreen melirik kami dan tersenyum. "Ayo, tidur. Jangan begadang!"Tanpa ditanya lagi, aku bergegas ke kamar kosong yang sudah disediakan. Kamar Michelle ada di sebelah kiriku sementara Evergreen tidur di seberang. Tapi, k
"Safar al-Khidir?" Evergreen mengerutkan kening. "Kenapa tidak asing bagiku?""Ia seorang raja dari Aibarab," tutur Nemesis. "Zahra mengaku sebagai putri Kerajaan Zabuz dan Aibarab.""Ah, jadi ada raja dan putri jin di Aibarab?" tanya Evergreen. "Ketahuilah, aku juga sering berurusan dengan jin."Seluruh tatapan tertuju padanya. Hening mencekam, saling lirik, menunggu. Tiada yang berani bersuara."Berurusan dengan jin?" tanya Gill polos."Aku bisa melihat mereka meski tanpa izin," ujar Evergreen."Makhluk macam apa kau?" Nemesis mengangkat sebelah alis."Kamu tidak terlihat seperti sosok yang kauucapkan," timpal Arsene. "Kamu bukan penyihir."Evergreen memutar bola mata, seolah itu sering ditanyakan. "Aku John Evergreen dari Ezilis Selatan. Kehidupan nyata dan gaib tiada bedanya bagiku. Aku dilahirkan di kerajaan yang tak terlihat."
"Akram memberi tahu?" tanya Evergreen memastikan."Ya, dia salah satu teman penaku. Um, seseorang yang memperkenalkannya padaku, dulu sekali," balas Gill terdengar polos. "Dia sempat mengirim surat kalau keluarganya hendak pindah ke Ezilis Utara sebulan sebelum keruntuhan."Evergreen bergumam, suaranya malah terdengar gemetar. "Kenapa ... Dia tidak bilang?""Apa?"Evergreen menarik napas. "Tidak ada. Hanya masalah pribadi."Ia lanjutkan langkah. Kami ikuti dengan bingung. Aku tahu Evergreen pasti berhubungan dengan keluarga Wynter. Reaksinya tadi membuatku yakin ia bisa saja merasa dikhianati oleh mereka. Kendati selamat saat keruntuhan."Kamu kenal keluarga Wynter selain Akram?" tanyaku pada Gill."Aku kenal beberapa," jawabnya. "Tapi, hanya Akram yang paling dekat. Itu pun hanya sebatas teman pena.""Dia sahabat masa kecilmu?"
Aku dilempar ke tempat yang jauh lebih aneh. Tanah luas namun begitu hitam dan lembab. Sekelilingku dipenuhi gundukan tanah dan tulang belulang, belum lagi di bawahnya penuh dengan cacing."Oh, ada Pangeran.""Atau makanan untuk kita berdua.""Ish, Delina! Kita tidak makan manusia.""Tapi, boleh, Delisa. Abi bilang tidak masalah.""Kepalamu! Kalau Abi keberatan, tidak wajib artinya."Aku melihat dua gadis kembali berdiri di depanku dari kejauhan. Keduanya menyeringai dengan wajah imut. Ya, aku berani bilang mereka manis kendati ucapan berbanding terbalik dengan penampilan.Mereka memiliki postur dan penampilan yang sangat mirip ; rambut sepinggang dikepang satu, dengan poni dijepit penjepit rambut berbentuk bulan sabit. Keduanya mengenakan pakaian sama, polos putih dengan rok pendek hitam serta celana panjang hingga menutupi seluruh kaki.
Gill refleks melempar sesuatu ke arahnya.Dur...!Ledakan kecil tadi membuat kepala itu hancur lebur dan menyebar mengotori sekitar. Gill melindungiku dari kekacauan tadi hingga jaketnya ikut kotor.Gill menatapku dengan sorot ngeri. "Gila! Apa itu?!""Apa-apaan?" tanyaku merujuk pada benda yang dilemparnya."Biasa, mainan anak-anak." Gill memamerkan bola-bola kecil mirip petasan. Seingatku, petasan tidak sampai menghancurkan sebuah kepala bahkan sampai bagiannya berpencar ke mana-mana."Kamu ini sebenarnya apa?" tanyaku."Aku Pengalih-Rupa," jelas Gill. "Yah, cukup lemah.""Ti-tidak masalah," balasku spontan. "Kamu baru saja melindungiku dari ... Kepala."Gill bergidik. "Aku benci kepala tanpa badan, atau badan tanpa kepala.""Aku juga," balasku, berniat menenangkannya."Kepala,"
"Setan!" Gill refleks menarikku ke sisinya dan melempar petasannya.Dur! Asap mengepul menutupi pandangan, kami terbatuk beberapa saat sebelum melihat sosok di balik kabut.Gadis cantik ... Mirip dengan si kembar, hanya saja rambutnya hitam dengan sorot mata biru. Dia seperti Akram, namun versi gadis. Berdiri di depan dengan tatapan tajam. Wajahnya kini dipenuhi abu hitam bekas petasan Gill. Aku bahkan ragu jika itu benar-benar petasan."Akram!" seru gadis itu dengan geram."Kamu sendiri yang ngagetin," balas Akram. "Nih, temanku."Gadis itu mendengkus. "Ganteng tapi penakut, percuma!"Kulirik Gill, pemuda itu menatapnya tajam. Dia arahkan telunjuk padanya. "Orang waras mana yang tidak kaget? Kamu yang main hantu dan wajar aku kaget!"Gadis itu memutar bola mata dan bersedekap."Gill, ini adikku, Nisma Ferant Elzalis Wynter," jelas Akram. "Dia seorang necromancer.""Tak heran." Gill mengalihkan pandangan.
Dalam beberapa saat, musuh kami tumbang. Aku dan Gill tercegang melihatnya dengan cepat membabat habis mayat-mayat itu. Tumpukan mayat tentaranya Nisma terkapar dalam keadaan termutilasi. Aroma anyir bercampur tanah tercium jelas. Bagian tubuh dan organ berceceran, belum lagi kotoran membanjiri tanah. Jelas menyakiti hidung. Pria itu hanya berdiri memandang kami di antara jasad musuh, menyarung pedang dengan tenang. Aku mendekat. Bagaimana bisa ia membantai mayat hidup secepat itu? Kulirik tangannya, sebuah pedang penuh daging busuk, tampak sederhana namun mematikan. Warna kulit pria itu sedikit lebih gelap dari kami, sawo matang. Rambut hitam pendek dengan mata merah menyala. Ia jelas pria tertinggi yang pernah kulihat. "Ka ..." Suara Gill bahkan terdengar seperti bisikan, seakan mengenal sosok itu tapi di saat yang sama juga ragu. Dia berdiri jauh di belakang, jela