Ibu Wandi menarik telinga anaknya ke dapur. Karena sayang Siti tidak pernah memarahi Wandi. Apalagi Adrian sering membelanya di depan umum. “Ampun Mak, gue maunya pulang kemarin itu. Tapi ini nih, Adrian minta ditemani. Sebagai sahabat sekaligus teman yang baik, ya gue temani lah,” kilah Wandi.“Busyet, lu gak nyadar dah gue tolong. Udah terserah elu deh. Mak, gue laper. Ada makanan nggak?” Tanpa basa-basi Adrian menggandeng tangan Siti menuju dapur. Dia memang sering memperlakukan Siti, seperti ibunya sendiri. Demikian juga sebaliknya. Mereka semua berkumpul di ruang makan. Meja makan yang terletak di dapur penuh dengan makanan. Siti sengaja menunngu anaknya pulang meskipun Wandi tidak memberitahukan akan pulang ke rumah. Dia suah hafal sekali dengan sifat anaknya jika sudah bersama dengan Adrian. Akan tetapi semenjak peristiwa kemarin hatinya sangat resah. Tidak ingin terjadi sesuatu dengan anak semata wayangnya. “Ada, tuh pada makan dulu sono! Emang ke mana Emak lu? Tumben kaga
Teringat pertanyaan Tina, Wandi menoleh ke arah pojok ruang kelas, di mana Adrian biasanya duduk ngobrol dengan teman-teman sekelasnya. Tidak nampak batang hidung sahabatnya itu. Mulai panik menyerang, karena sebentar lagi pasti guru akan masuk dan memberikan mereka ulangan harian.“Duh, ke mana tuh anak? Bisa-bisanya dia tidak masuk kelas. Mana ponsel gue mati. Lupa nggak di cas semalam,” gumam Wandi sambil jarinya mengetuk bangku yang ada di depannya.“Selamat pagi anak-anak.”Suara khas guru killer yang di takuti semua siswa terdengar keras mengisi seluruh ruang kelas. Semua sontak terdian dan kembali ke tempat duduk masing-masing. Wandi yang masih gelisah dengan tidak hadirnya Adrian, berulangkali melirik ke arah pintu masuk. Namun tidak ada tanda-tanda anak itu masuk ke dalam kelasnya.Tiba-tiba mata Wandi, di kejutkan dengan sosok kucing hitam yang ada di sebelah guru killer yang duduk di meja depan. Sorot tajam dari kucing, mengingatkan dia kan peristiwa di rumah temannya beber
Tina dan Wandi mundur, melihat sorot mata Adrian berubah. Mata merah menyala, bukanlah Adrian yang sesungguhnya. Mereka ketakutan mundur sambil menggengam tangan. Terlihat Adrian menatap tajam ke arah kedua teman yang gemetar ketakutan. Beberapa saat tidak ada yang bicara, hingga suara sepeda motor terdengar melewati ketiga anak itu.“Woii ... minggir nggak kalian ini! Gue mo lewat, ini bukan jalan nenek moyang lu!”Teriakan keras terdengar membuat ketiganya menoleh ke arah suara. Terlihat seorang teman berboncengan mengendarai sepeda motor matic menatap tajam ke arah mereka bertiga.Wandi dan Tina minggir, dan membiarkan sepeda itu lewat tanpa ada yang bicara. Kembali keduanya melihat ke arah Adrian. Keduanya saling berpandangan, Adrian tertunduk kembali wajahnya. Tina memberanikan diri untuk menegur temannya, setelah memberi kode kepada Wandi. Tangannya tetap memegang tangan Wandi yang tersenyum seperti Resodent.“Adrian, lu kenapa? Kita nyari elu dari pagi. Apa yang terjadi?” ceca
Kedua motor melaju dengan kencang, menembus jalan raya Tawangmangu. Suasana sangat ramai saat itu, manum tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Semula Adrian menolak dengan bahas isyarat, kepada Wandi. Tetapi setelah hujan semakin deras, dan jalanan tidak terlihat karena kabut, akhirnya Adrian menghentikan laju sepeda motornya. Sementara, Tina sudah terlebih dahulu berteduh di pinggir jalan, di sebuah rumah kosong.“Waduh ... Tina udah jauh tuh! Bagaimana kalau ada apa-apa dengan dia?” Gumam Wandi sambil melepas helm diletakkan di teras pos kamling.Terdengar suara Adrian terbatuk, membuat Wandi menoleh ke arahnya. Teman baiknya itu, duduk sambil memegang dadanya. Ketakutan mulai melanda diri Wandi, pikiran buruk tentang sesuatu terjadi kepada mereka mulai membayang. Apalagi melihat Adrian semakin sesak sambil memejamkan mata.“Ya Tuhan, lindungilah kami jangan sampai teman gue kena serangan jantung di sini. Gak ada dokter, jauh dari pak Rete, gue gimana dong Tuhan?” ucap Wandi dengan
Mereka berbincang layaknya teman yang sudah kenal lama. Tidak menghiraukan ada banyak binatang melata yang melintas di depannya. Bahkan terkadang ada yang melilit di kaki Hesta dan Tina. Aneh sekali, keduanya tidak terganggu dengan kehadiran binatang-binatang itu. Sesekali Hesta mengambil ular, dan mencuiumnya. Keduanya tidak jijik ataupun ketakutan.“Wwwk ... lu pernah ngisengin cowok ternyata ya?” tawa renyah Hesta mengusik hutan yang sunyi itu.“Iya, gue pernah kunci mereka di kamar mandi sekolah. Mereka menyebalkan, kasih aja tikus dan kecoa. Menjerit semua hahaha ....”“Wwkk ... trus gimana mereka bisa keluar? Gak mungkin tidur di kamar mandi? Bisa mati dong hahaha ....”“Gue udah pesen ama satpam, setelah pulang sekolah. Setelah itu mereka jera, kapok hahaha ....”Saat mereka bercanda, terdengar suara kakek memanggil. Hesta berpura-pura tidak mendengar dan lanjut bercanda dengan Tina. Namun suaranya semakin lama semakin dekat dengan tempatnya. Dan Tina yang menyadari ada orang d
Tina merasakan guncangan pada tubuhnya. Ketakutan yang menyerangnya membuat dia tidak berani membuka mata. Sudah parah jika sesuatu menimpa dirinya meski itu kematian sekalipun. Hanya doa yang dipanjatkan dan permohonan maaf kepada kedua orang tuanya.“Ibu, Ayah ... maafin Tina. Belum bisa jadi anak yang berbakti pada kalian. Mungkin jasad Tina nggak akan kalian temui nanti, udan jadi santapan ular hutan.”Terisak, air matanya keluar deras mengalir seperti sungai. Teringat Wandi, Adrian dan teman-teman sekolahnya.“Selamat tinggal kawan, maafkan segala kesalahanku,” ucapTina sambil memejamkan mata, pasrah dengan keadaan.“Tin, Tina! TIINAA ...!!!”Lamat terdengar suara yang familiar di telinganya. Tetapi Tina tidak ingin membuka mata. Rasanya dia sudah tidak dapat melihat kenyataan, jika dirinya sudah berada di alam baka. Bayangan antara surga dan neraka, seperti cerita gurunya tiga bulan yang lalu.Gurunya pernah bercerita, jika selama di dunia berbuat baik, pasti akan masuk surga.
Bergegas Adrian berjalan ke arah pohon beringin yang sudah ada beberapa orang yang berkerumun. Sementara Wandi dan Tina mengomel tiada hentinya. Mereka sangat kesal dan juga khawatir jika Adrian kembali seperti dulu lagi. Meski demikan, keduanya hanya bisa mengomel lirih tanpa dapat mencegah temannya itu. Apalagi hari sudah menjelang sore, perut lapar dan haus.“Laper nggak lu?” Tanya Wandi kepada Tina yang sedang duduk di atas jok motor.“Heh, pakai nanya lagi. Lu sendiri gimana? Udah laper nggak? Tuh temen lu kurang kerjaan banget sih, ke sana lagi. Mo cari masalah dia.”“Biarin dah, emang udah keblinger tuh anak. Nggak bisa gue nasehatin. Eh ... ingat yang gue omongin kemaren kan? Gimana? Lu kenal ama orang pintar nggak?”Tina menoleh ke arah Wandi, tangannya yang putih mulus menarik telinga Wandi pelan, hingga yang punya tertawa. Mereka sama-sama melepas lelah dengan berdebat canda. Rasa perih yang ada di perutnya menjadi berkurang. Mereka tidak memerdulikan lagi keberadaan Adria
Tepuk tangan dari Adrian membuat keduanya menoleh. Tawa keras keluar dari pemuda kampung itu. Tidak disangka teryata dia sudah dibohongi oleh keduanya. Seperti drama yang sukses tanpa skenario membuat Adrian percaya begitu saja.“Waauu ... hahaha ... sukses membuat gue percaya sejak awal. Kalian memang cocok, bapak sama anak. Emang apa maksudnya bohongi gue? Tidak akan mempan itu. Coba saja kalo mo ajak! Ilmu gue lebih banyak dari kalian hahaha.”Seketika sikap Adrian berubah, matanya menyala merah menatap kedua makhluk yang ada di hadapannya. Terlihat bukan sosok pemuda kampung yang itu yang sesungguhnya. Dia tertawa di sambut angin kencang yang datang secara tiba-tiba. Dua orang yang ada di hadapannya mendadak kabur dan akhirnya menghilang. Suasana sekitar pohon beringin seketika menjadi tenang, dan Adrian masih berdiri tegak di sana.Muncul kakek Hesta dari balik pohon beringin. Menepuk bahu Adrian yang masih menatap tajam ke arah hilangnya dua makhluk laki dan perempuan tadi. Soro