Mereka berbincang layaknya teman yang sudah kenal lama. Tidak menghiraukan ada banyak binatang melata yang melintas di depannya. Bahkan terkadang ada yang melilit di kaki Hesta dan Tina. Aneh sekali, keduanya tidak terganggu dengan kehadiran binatang-binatang itu. Sesekali Hesta mengambil ular, dan mencuiumnya. Keduanya tidak jijik ataupun ketakutan.“Wwwk ... lu pernah ngisengin cowok ternyata ya?” tawa renyah Hesta mengusik hutan yang sunyi itu.“Iya, gue pernah kunci mereka di kamar mandi sekolah. Mereka menyebalkan, kasih aja tikus dan kecoa. Menjerit semua hahaha ....”“Wwkk ... trus gimana mereka bisa keluar? Gak mungkin tidur di kamar mandi? Bisa mati dong hahaha ....”“Gue udah pesen ama satpam, setelah pulang sekolah. Setelah itu mereka jera, kapok hahaha ....”Saat mereka bercanda, terdengar suara kakek memanggil. Hesta berpura-pura tidak mendengar dan lanjut bercanda dengan Tina. Namun suaranya semakin lama semakin dekat dengan tempatnya. Dan Tina yang menyadari ada orang d
Tina merasakan guncangan pada tubuhnya. Ketakutan yang menyerangnya membuat dia tidak berani membuka mata. Sudah parah jika sesuatu menimpa dirinya meski itu kematian sekalipun. Hanya doa yang dipanjatkan dan permohonan maaf kepada kedua orang tuanya.“Ibu, Ayah ... maafin Tina. Belum bisa jadi anak yang berbakti pada kalian. Mungkin jasad Tina nggak akan kalian temui nanti, udan jadi santapan ular hutan.”Terisak, air matanya keluar deras mengalir seperti sungai. Teringat Wandi, Adrian dan teman-teman sekolahnya.“Selamat tinggal kawan, maafkan segala kesalahanku,” ucapTina sambil memejamkan mata, pasrah dengan keadaan.“Tin, Tina! TIINAA ...!!!”Lamat terdengar suara yang familiar di telinganya. Tetapi Tina tidak ingin membuka mata. Rasanya dia sudah tidak dapat melihat kenyataan, jika dirinya sudah berada di alam baka. Bayangan antara surga dan neraka, seperti cerita gurunya tiga bulan yang lalu.Gurunya pernah bercerita, jika selama di dunia berbuat baik, pasti akan masuk surga.
Bergegas Adrian berjalan ke arah pohon beringin yang sudah ada beberapa orang yang berkerumun. Sementara Wandi dan Tina mengomel tiada hentinya. Mereka sangat kesal dan juga khawatir jika Adrian kembali seperti dulu lagi. Meski demikan, keduanya hanya bisa mengomel lirih tanpa dapat mencegah temannya itu. Apalagi hari sudah menjelang sore, perut lapar dan haus.“Laper nggak lu?” Tanya Wandi kepada Tina yang sedang duduk di atas jok motor.“Heh, pakai nanya lagi. Lu sendiri gimana? Udah laper nggak? Tuh temen lu kurang kerjaan banget sih, ke sana lagi. Mo cari masalah dia.”“Biarin dah, emang udah keblinger tuh anak. Nggak bisa gue nasehatin. Eh ... ingat yang gue omongin kemaren kan? Gimana? Lu kenal ama orang pintar nggak?”Tina menoleh ke arah Wandi, tangannya yang putih mulus menarik telinga Wandi pelan, hingga yang punya tertawa. Mereka sama-sama melepas lelah dengan berdebat canda. Rasa perih yang ada di perutnya menjadi berkurang. Mereka tidak memerdulikan lagi keberadaan Adria
Tepuk tangan dari Adrian membuat keduanya menoleh. Tawa keras keluar dari pemuda kampung itu. Tidak disangka teryata dia sudah dibohongi oleh keduanya. Seperti drama yang sukses tanpa skenario membuat Adrian percaya begitu saja.“Waauu ... hahaha ... sukses membuat gue percaya sejak awal. Kalian memang cocok, bapak sama anak. Emang apa maksudnya bohongi gue? Tidak akan mempan itu. Coba saja kalo mo ajak! Ilmu gue lebih banyak dari kalian hahaha.”Seketika sikap Adrian berubah, matanya menyala merah menatap kedua makhluk yang ada di hadapannya. Terlihat bukan sosok pemuda kampung yang itu yang sesungguhnya. Dia tertawa di sambut angin kencang yang datang secara tiba-tiba. Dua orang yang ada di hadapannya mendadak kabur dan akhirnya menghilang. Suasana sekitar pohon beringin seketika menjadi tenang, dan Adrian masih berdiri tegak di sana.Muncul kakek Hesta dari balik pohon beringin. Menepuk bahu Adrian yang masih menatap tajam ke arah hilangnya dua makhluk laki dan perempuan tadi. Soro
Adrian memulangkan wandi terlebih dahulu, tanpa sepatah kata terucap di bibirnya. Membuat temannya heran, namun tidak mampu bertanya. Setelah tiba di rumahnya ia membersihkan diri, dan melahap makanan yang ada di meja dengan rakusnya.“Kenapa perasaan gue gelisah sekali, rasanya ada yang kurang. Tapi apa?” gumamnya sambil merebahkan dirinya di atas ranjang.Ingatannya kembali pada kejadian tadi siang. Mendadak tubuhnya serasa berat dan terbakar. Ia tidak mampu mengendalikan dirinya. Di matanya terlihat bayangan-bayangan hitam memutar mengelilingi pohon beringin. Dua orang Herman dan gadis yang mirib dengan Hesta ketakutan dan menghilang.“Siapa sebenarnya mereka? Mengapa gue jadi bisa melihat makhluk halus itu? Mungkinkah ini ada kaitannya dengan ...? Yaa ... kain itu. Mungkin kain yang ada noda darah itu. Di mana gue taruh? Kenapa amnesia kaya gini?”Adrian bangkit, dan menuju dapur. Hari sudah menjelang malam. Kedua orang tuanya belum juga datang saat ia berusaha mencari kain yang w
Dua orang berbeda alam ini tidak menyadari, jika apa yang sudah mereka lakukan melanggar kodrat. Kilatan petir yang menyambar tidak mereka perdulikan. Mereka terus bercanda hingga lupa waktu dan tidak merasakan lapar.Suasana di sekitar pohon beringin yang sunyi, membuat suara mereka terdengar sangat jelas. Binatang di sekitar yang melintas tidak mereka perdulikan. Sesekali binatang itu, berhenti dan menatap ke arah dua makhluk beda alam itu. Hanya rasa bahagia yang mereka rasakan, hingga beberapa saat waktu berlalu.Merasakan ada yang dingin mengenai wajahnya. Adrian mencoba mengusap, ternyata Wandi yang ada di depannya.“Anjirr ...! Lu ngapain di kamar gue?”Teriaknya saat melihat Wandi sudah berkacak pinggang sambil membawa air di gayung. Sementara tangannya terlihat basah di dekat wajah Adrian.“Heh! Lu sekolah kagak? Emak nyuruh gue ke sini. Mereka udah berangkat, lu susah baget di bangunin dari tadi. Lagian mimpi apa sih, sampe senyun-senyum sendiri?”“Mimpi? Oh iya ... dasar k
Semua teman yang ada di kelas Wandi membuka suara dengan mengolok cowok yang sudah diam mematung sejak tadi. Wandi yang sudah kebal dengan hinaan teman-temannya. Tidak ia memerdulikan dan tidak ditanggapi. Tidak ada perasaan sakit hati sedikitpun, karena sejak kecil hal itu sering ia alami. Bahkan di kampungnya ia pernah diejek saat bermain bersama dengan teman-temannya. Kedua orang tunya sering tidak tega meninggalkan anak mereka semata wayang mendapatkan perlakuan seperti itu. Hingga ia mengenal Adrian, dan dialah yang membelanya saat kedua orang tunya tidak ada di sampingnya.Hanya Adrian yang matanya menyala tajam ke arah semua teman yang sudah menghina Wandi. Demikian juga dengan Tina yang sudah merasa risih dengan ucapan teman-teman sekelasnya. Jantung mereka bergetar hebat menahan rasa marahnya. Keduanya berdiri sejajar dan memegang tangan Wandi, memposisikan anak itu di tengah-tengahnya. Seperti tiga sekawan dan bersaudara, mereka saling berpegangan tangan, sedangkan Wandi ma
Pak guru tidak menanggapi pertanyaan Adrian, melainkan melanjutkan pelajaran dengan membuat soal-soal untuk dikerjakan. Adrian yang tidak tidak menyimak pelajaran sejak awal, tentu gugup dan berusaha mengusik teman yang ada di sekelilingnya. Berbagai cara ia membuat membuat berisik seisi kelas, dengan tingkahnya.“Lu nggak mau contekin gue? Awas lu ya! Gue buat perhitungan nanti di luar!!”“Lu nggak tahu apa yang Pak Guru bilang? Gue gak mau gak dapet nilai, gara-gara elu!” sanggah temannya.Kemudian dia berbalik ke arah Wandi dan Tina yang sedang asyik mengerjakan soal.“Stt ... stt ... Wandi, Tina! Nomer satu!”Tidak ada reaksi dari kedua temannya itu. Dengan kesal Adrian melempar kertas tepat mengenai muka Wandi. Anak yang mempunyai rambut keriting dan tidak tersisir rapi itu terkejut, hingga membuat Tina yang ada di sebelahnya berteriak.“Heh! Apa-apaan sih? Berisik tahu!”teriaknya lirih membuat kelas yang tadinya tenang sekarang gaduh.“Apa! Ada yang lempar gue, sory kalo lu kag
Perlahan-lahan Hesta menampakkan diri dengan wujud aslinya. Sontak kedua remaja tersebut berpelukan dan berteriak dengan keras. “HANTUUUUU ….” “HANTUUUUU ….” Semua penghuni rumah masuk ke kamar Adrian. Badrun yang baru sampai menyerobot lengan kedua orang tua Adrian yang berdiri di depan pintu. Mereka melongo melihat sosok Hesta yang menyeramkan dengan rambut terurai panjang. Tawa keras Hesta memenuhi kamar Adrian hingga orang -orang berlari keluar, tapi naas di depan pintu sudah ada kakek dan bapaknya Hesta yang menghadang mereka. Semua orang yang berada di dalam rumah berhenti dan saling berangkulan. Naluri Adrian merasa dekat dengan sosok menyeramkan yang ada di depannya. Indra penciuman yang tidak asing meski dengan penampakan yang berbeda. dengan hati berdebar, Adrian mendekati sosok yang tadi berada di kasur dan sudah mengikuti mereka hingga ke ruang tamu. “L-lo … lo Hesta bu-bu-kan?” tanya Adrian dengan gugup. “Ya Adrian, ternyata lo masih mengenali gue. Cinta memang inda
Kakek terus berusaha menenangkan Hesta yang gelisah melihat Adrian dan Wandi jatuh dari motor. Hesta terus meronta minta dilepaskan dari cengkeraman belenggu dunia lain dan tidak bisa keluar dari sana. Hingga kakek kewalahan dan memanggil penguasa alam ghaib untuk memberikan peringatan kepada Hesta. “Hesta, jika kamu tidak menurut apa kata kami. Maka dengan terpaksa kami akan mengeluarkan kamu dari dunia kita dan tidak bisa kembali lagi!” bentak penguasa alam ghaib yang sudah kesal dengan tingkah Hesta akhir-akhir ini. Hesta mengerutkan alisnya yang tebal dan hitam. Dia melihat ke arah kakek yang menatap tajam kepadanya. Hal yang tidak diinginkan ketika hati tidak sesuai dengan keadaan. Hesta terdiam tidak berani menatap penguasa alam dedemit yang tampak menyeramkan seolah ingin menghukumnya. Selama hidup di dunia dedemit baru kali ini Hesta membuat ulah dan merepotakan bangsanya sendiri. Dia hanya menuruti egonya untuk bisa bersatu dengan bangsa manusia yang sudah mencuri hatinya.
Wandi menatap Adrian dengan tajam. Tidak percaya jika sahabatnya tetap berhubungan dengan makluk astral tersebut. Janjinya dengan orang tua Adrian tidak akan diingkari, dia akan tetap menjaga Adrian dari makhluk Astral yang selama ini menganggu hidupnya. Balapan motor tetap berlangsung. Sementara Kakek yang yang berada di belakang penonton tetap berdiri mengawasi Adrian dan Wandi yang berada bersebrangan. Remaja itu hanya diam, dia sudah salah tidak bisa menghindar dari Hesta. “Wan, kira-kira jika aku kembali bertemu dengan Hesta, Kakeknya marah tidak?” tanya Adrian. “Lo udah kedanan bener sama Demit itu. Susah ngomong ama, lo. Di mana-mana, bukan hanya kakeknya Demit itu yang marah, tapi orang tua lo juga pasti marah. Lo masih waras, nggak sih?” “Ya … mo gimana lagi … Hestanya yang nemui gue. Masak gue tolak. Adan lo tahu, hawa saat ketemu dia sangat ehem …” kata Adrian sembari memejamkan mata. Pletak “Udah kena guna-guna anak ini. Tidak bisa dibiarkan.” Wandi kemudian menyeret
Selagi Ardi berteriak dari atas tangga, Wandi yang ada di bawah terkejut. Tangan yang memegang tangga menyenggol dan mengakibatkan tangga oleng dan ambruk. Beruntung Ardi memegang tembok bagian atas. Dia tidak terjatuh tapi bergantung di dinding dan celana pendek yang melorot hingga terlihat pantat. “Woii!! Lu malah ketawa, buruan tangan gue udah pegel!” teriak Ardi melihat Wandi tidak segera menolongnya. Dengan menahan tawa, Wandi segera mengambil tangga besi dan menempatkan tepat di sebelah Ardi yang menggantung. Setelah kaki Ardi menginjak tangga, buru-buru memberitahu jika Adrian dalam keadaan seperti orang tidur. Tapi naas belum sempat Ardi melihat kondisi di dalam kamar mandi, pintu terbuka mengarah keluar an menghantam tangga. Otomatis tangga yang menjadi injakan Ardi ambruk lagi dan Adri menggantung di dinding. “Astagahh …! Wandi!! Kalian tega ama guee!!” teriaknya dari atas. Adrian yang baru keluar dari dalam, tidak menghiraukan kehadiran kedua temannya. Membuat Ardi dan W
Adrian membuka mata dan marah karena tubuhnya sudah basah. Dia menatap nanar ke arah Wandi yang berdiri tepat di sebelah kasurnya. Dengan cepat pemuda itu berdiri dan mencengkeram krah bajunya. Tapi belum sempat menarik baju Wandi, seseorang menariknya ke belakang. Jumari dengan cepat menarik tubuh anaknya menjauh dari Wandi.“Kamu ini apa-apa an? Mau berkelahi? Udah ditolongin masih masih tidak sadar,” kata Jumari dari samping anaknya dengan menahan tangan Adrian.“Bapak! Dia sudah menyiram aku dengan air. Kurang ajar benget, tidak sopan. Nih lihat, kasurku basah baju juga basah!” kata Adrian dengan dengan napas memburu.“Duduk!” perintah Jumari menarik Adrian duduk di tepi ranjang yang basah karena air. “Sekarang kamu liat, tuh jam berapa?” tangan Jumari menunjuk ke arah jam yang ada di meja.“Astagahh … itu bener jamnya?”Adrian melongo melihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul 11.00. Itu artinya dia sudah melewatkan waktu untuk bermain balap motor pagi itu. Padahal acara lomb
Sementara di tempat lain, Adrian dan kedua temannya yang kesal akibat ulah Wandi segera pergi dari stan penjual martabak. Mereka menuju ke arah parkiran yang jaraknya agak jauh dari tempat asal berteduh. Niat mereka bertiga hendak meninggalkan Wandi dan Tina, yang sudah curang dan tidak lagi memikirkan teman. Setelah mendapatkan motor dari tukang parrkir, ketiganya bergegas melajukan kendaraan menuju desa tempat tinggal mereka. Sepanjang jalan, baik Adrian dan kedua temannya memaki Wandi yang tidak setia kawan ucapan kotor. Tidak sadar, jika dari arah belakang ada bayangan hitam mengikutinya. Bayangan perempuan dengan rambut panjang menyeringai menatap Adrian dan kedua teman yang melajukan sepeda motor dengan kencang. Hujan gerimis di tengah malam tidak mereka perdulikan, hingga laju kotor berhenti di perbatasan desa. “Yan, gue kog merasa ada yang membuntuti kita,” kata Ardi sambil bersedekap. “Kagak usah mikir yang aneh-aneh. Gue bingung, entar gimana ngomong sama Emaknya Wandi dan
Tiang Stan martabak yang terbuat dari besi, seketika bergoyang. Dua muda-mudi mendadak panik dan saling memeluk. Hidung Tina merasakan bau tidak enak dari Wandi, matanya menunduk melihat celana Wandi yang basah. Seketika Tina mendorong pemuda itu hingga jatuh ke tanah yang basah akibat terkena air hujan. Wandi bersungut, mau marah tidak mungkin dengan ceweknya. Memang dia merasa pantas untuk didorong karena sudah membuat Tina jijik dengannya. Bibir tebal Wandi mengurai senyum sambil meringis menahan ngilu di pantat. Dengan menarahn berat badan dia berusaha berdiri dan mendekat ke Tina yang gemetar melihat sosok di di depan yang menyeramkan. “Sabar, Tin! Gue pasti akan lindungi, Elo. Sory, i-ini celana ….” “U-udah, Wan! Buruan, kita pergi dari sini! Kayaknya emang ….” Wandi segera menarik tangan Tina untuk diajak keluar dari stan penjual martabak. Suasana di luar terlihat sepi, bahkan tidak ada orang yang lalu lalang seperti saat masuk ke stan martabak. Bulu kuduk Wandi dan Tina seke
Adrian yang keluar dari warung soto, merasakan hal yang terasa aneh di sekitarnya. Suasana malam yang ramai terasa sunyi bagi Adrian. Hujan rintik mulai turun membuat ketiga pemuda itu berteduh di bawah stan penjual martabak, yang ada di dekat parkir sepeda motor. Mereka mulai bosan karena Wandi dan Tina tidak juga muncul sementara waktu malam semakin bergulir hingga lebih dari pukul 22.00. Bukan bertambah sepi alun-alun kota, tetapi semaki ramai karena besuk adalah Minggu. Hal ini tentu tidak seperti yang dirasakan ketiga pemuda yang sekarang mulai menghisap rokok untuk menghilangkan kantuk dan jenuh menunggu Wandi yang tidak juga muncul. Sesekali tertawa dengan celoteh murahan gaya anak muda. “Yan, Lo kalau punya cewek lagi tipenya kayak apa?” tanya Ardi menepuk bahu Andrian. Dia ingat betul, jika temannya ini dulu alergi sekali dengan yang namanya cewek, apalagi yang manja seperti Tina. “Lo seperti kagak ngerti gue aja. Lo sendiri mau tipe kayak siapa? Pasti sama kalian berdua,
“Wandi, lo kagak apel ke rumah Tina?” ucap Adrian sambil mengunyah roti jawa rasa singkong di teras rumah.Semenjak kejadian hilangnya Adrian, Wandi semakin dekat dengan Tina. Gadis yang awalnya menyukai Adrian kini berbalik arah, nengok ke temannya karean merasa diabaikan oleh Adrian. Meskipun wajah Wandi pas-pasan, tetapi Tina nyaman jalan bersama dengan Wandi. Keduanya sangat kompak dan sering jalan bersama, hingga melupakan Adrian yang belum punya pasangan.“Lo tadi kayaknya bilang mo pergi ama Emak. Emang mau ke mana? Udah punya gebetan baru, kayaknya?” tanya Wandi mengunyah roti yang rasa singkong dengan lahap.“Suntuk di rumah, apa-apa diawasin terus. Udah kayak satpam 24 jam tuh Emak sama Bapak. Yuk kita ke mana gitu? Ada pasar malem kagak? Mumpung malam minggu, sepi di rumah. Emak ama Bapak, lagi sibuk di kamar.”Wandi tertawa,”Lo makanya cari cewek! Jangan inget demit itu lagi. Yuk, cabut!”Sementara di rumah Adrian terlihat sangat tenang. Kedua orang tuanya membiarkan anak