Dua orang berbeda alam ini tidak menyadari, jika apa yang sudah mereka lakukan melanggar kodrat. Kilatan petir yang menyambar tidak mereka perdulikan. Mereka terus bercanda hingga lupa waktu dan tidak merasakan lapar.Suasana di sekitar pohon beringin yang sunyi, membuat suara mereka terdengar sangat jelas. Binatang di sekitar yang melintas tidak mereka perdulikan. Sesekali binatang itu, berhenti dan menatap ke arah dua makhluk beda alam itu. Hanya rasa bahagia yang mereka rasakan, hingga beberapa saat waktu berlalu.Merasakan ada yang dingin mengenai wajahnya. Adrian mencoba mengusap, ternyata Wandi yang ada di depannya.“Anjirr ...! Lu ngapain di kamar gue?”Teriaknya saat melihat Wandi sudah berkacak pinggang sambil membawa air di gayung. Sementara tangannya terlihat basah di dekat wajah Adrian.“Heh! Lu sekolah kagak? Emak nyuruh gue ke sini. Mereka udah berangkat, lu susah baget di bangunin dari tadi. Lagian mimpi apa sih, sampe senyun-senyum sendiri?”“Mimpi? Oh iya ... dasar k
Semua teman yang ada di kelas Wandi membuka suara dengan mengolok cowok yang sudah diam mematung sejak tadi. Wandi yang sudah kebal dengan hinaan teman-temannya. Tidak ia memerdulikan dan tidak ditanggapi. Tidak ada perasaan sakit hati sedikitpun, karena sejak kecil hal itu sering ia alami. Bahkan di kampungnya ia pernah diejek saat bermain bersama dengan teman-temannya. Kedua orang tunya sering tidak tega meninggalkan anak mereka semata wayang mendapatkan perlakuan seperti itu. Hingga ia mengenal Adrian, dan dialah yang membelanya saat kedua orang tunya tidak ada di sampingnya.Hanya Adrian yang matanya menyala tajam ke arah semua teman yang sudah menghina Wandi. Demikian juga dengan Tina yang sudah merasa risih dengan ucapan teman-teman sekelasnya. Jantung mereka bergetar hebat menahan rasa marahnya. Keduanya berdiri sejajar dan memegang tangan Wandi, memposisikan anak itu di tengah-tengahnya. Seperti tiga sekawan dan bersaudara, mereka saling berpegangan tangan, sedangkan Wandi ma
Pak guru tidak menanggapi pertanyaan Adrian, melainkan melanjutkan pelajaran dengan membuat soal-soal untuk dikerjakan. Adrian yang tidak tidak menyimak pelajaran sejak awal, tentu gugup dan berusaha mengusik teman yang ada di sekelilingnya. Berbagai cara ia membuat membuat berisik seisi kelas, dengan tingkahnya.“Lu nggak mau contekin gue? Awas lu ya! Gue buat perhitungan nanti di luar!!”“Lu nggak tahu apa yang Pak Guru bilang? Gue gak mau gak dapet nilai, gara-gara elu!” sanggah temannya.Kemudian dia berbalik ke arah Wandi dan Tina yang sedang asyik mengerjakan soal.“Stt ... stt ... Wandi, Tina! Nomer satu!”Tidak ada reaksi dari kedua temannya itu. Dengan kesal Adrian melempar kertas tepat mengenai muka Wandi. Anak yang mempunyai rambut keriting dan tidak tersisir rapi itu terkejut, hingga membuat Tina yang ada di sebelahnya berteriak.“Heh! Apa-apaan sih? Berisik tahu!”teriaknya lirih membuat kelas yang tadinya tenang sekarang gaduh.“Apa! Ada yang lempar gue, sory kalo lu kag
Marjuki berlari terbirit-birit saat Adrian menatapnya dengan tajam. Beruntung ada guru datang dan menyelamatkan dirinya.“Woooiii ...!!! Kiii ... ngomong apa luu!!” teriak Adrian tanpa memperdulikan guru yang ada di dekatnya.“Heh! Adrian! Kamu denger tidak si Marjuki bilang apa tadi? Sudah keterlaluan sekali kamu ya? Mau melecehkan orang?! Hahhh ...!!” hardik gurunya dengan berkacak pinggang.Semenjak kejadian itu, pak guru Heri yang bernama Heri, tidak tidak pernah mempercayai Adrian sedikitpun. Bahkan dia menganggap pemuda itu selalu berbohong disetiap tingkah lakunya. Demikian juga pada hari ini, meskipun melihat ada yang aneh dengan pemuda itu.“Wandi, tolong kamu panggil teman-teman supaya masuk kelas, waktunya pelajaran Bapak. Atau kalian semua akan mendapatkan hukuman!” “Ta-tapi Pak! Ini ... ini Adrian ... ba-bagaimana?” sahut Tina yang bingung dengan situasi yang sudah tidak terkendali.“Anak itu, selalu membikin ulah. Biarkan saja,” sahut pap Heri tetap mengacuhkan Adrian y
Adrian terkejut tetapi sayang sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Hanya mulutnya yang berusaha bicara dengan tersengal, tangannya mengapai meminta pertolongan. Tubuhnya berdiri sempoyongan, berusaha meraih apa saja yang ada di sana. Berjalan terhuyung tidak tentu arah mengelilingi pohon beringin yang mulai rontok daunnya. Berulangkali Adrian menabrak batang pohon beringin dan membuatnya terjatuh. Namun kembali bergerak bangkit."Gue gak boleh mati, gu masih ingin hidup bersama dengan Hesta, kurang asem ternyata tadi itu bukan kekasih gue. Dia makhluk jadian ... mengapa gue bodo banget. Bisa-bisanya nurut sama dia," ucapnya dalam hati.Sedangkan gadis yang menyerupai Hesta sudah mengilang dengan meninggalkan sisa tawanya masih menggema di sekitar pohon. Adrian tersadar jika dirinya sendirian. Makanan apa yang sudah diberikan gadis jelmaan itu? Mungkin saja racun untuk membunuhnya. Pikirannya sudah buruk berusaha mencari ponselnya di saku."SII ... ALL!! Kenapa gue nggak bawa ponsel?
Tangan Wandi meraih helm yang ada di atas setir, tidak sengaja matanya melihat kunci sepeda motor masih menancap di lobangnya. Matanya dikucek berkali-kali tidak percaya. Selama ini ia tidak pernah melihat Adrian meininggalkan kunci sembarangan saat berada di sekolah. Menyentuh kunci motor memastikan hal ini nyata. Sang pemilik motor tidak berada di tempatnya, bagaimana bisa meninggalkan kunci dengan ceroboh seperti itu. Wandi melotot ketika melihat kain yang ada bercak darah waktu itu, terselip di bawah jok motor. Dia teringat akan warna kain yang pernah membuat mereka terjaga hingga tengah malam.Perlahan, ia buka jok motor Adrian dengan jantung dag dig dug derr ... ingin loncat saat melihat dengan mata kepala kain itu bertengger di sana.“ASTAGA!!!” teriaknya membuat Tina menoleh ke arah Wandi.“Apa an sih?! Cepetan! Lelet banget!” teriak Tina melotot ke arah Wandi.“TIIINNN ...!! TINAAAA ...!!” teriak Wandi melambaikan tangan ke arah teman gadisnya itu.Dengan kesal Tina turun dar
Wandi segera melajukan sepeda Adrian menyusul Tina yang pulang terlebih dahulu. Di dalam hatinya Tina tidak tega meninggalkan temannya yang memang penakut. Tetapi karena perasaan dan kesal membuatnya dirinya kehilangan akal sehat. Dengan berat hati akhirnya ia membuat pelan laju motornya, sambil menunggu barangkali Wandi menyusulnya. Benar dugaannya, setelah beberapa menit melihat dari kaca spion Wandi mengendarai sepeda motor CB milik Adrian.Bahagianya gagi hati Wandi, melihat Tina teman cantiknya masih mau menunggu. Meskipun tanpa ucapan akhirnya mereka berdua melajukan sepeda motor pulang ke rumah. Memarkirkan motor di teras rumah dan berniat mencari kunci rumah yang ada di dalam tasnya. Baru saja tangannya masuk ke dalam tas, merasa ada yang aneh terasa di tangannya.“I-ini ... ini apa ya? Kog rasanya empuk-empuk gitu? Perasaan gue nggak naruh apa-apa tadi di tas,” batin Wandi masih meraba-raba isi tasnya.Perlahan ia mengambil barang itu dari dalam tas, dan matanya melotot seaka
Badrun berusaha menepis bau yang sudah melekat di tangannya. Namun sayang detergent tidak mampu menghilangkannya dengan cepat. Terpaksa dia muntahkan isi perut yang sudah teraduk-aduk sejak tadi. “Wuekkk ...!! Apaan ini? Ya Tuhan. Apa dosaku? Mengapa sial bener aku hari ini,” sungutnya sambil menahan napas.“Siti ... Siti ... kamu tega benar ama suami sendiri. Masak kotoran ayam ada di sabun mandi. Ya Tuhan, karma apa diriku sama kamu,” keluhnya sambil membersihkan tangan berulang kali dengan sabun detergent.“Mas ... Mas ... lama amat di dalam?! Kebelet nih aku,” terdengar teriakan Siti dari luar.Pintu kamar mandi terbuka, nampak samar wajah Badrun suaminya berkeringat. Membuat perempuan desa beranak satu itu mengurungkan niatnya untuk memarahi suami tercintanya. Meraih wajah Badrun yang terlihat ganteng di matanya. Dialah satu-satunya pria yang sudah memporak porandakan hati dan jiwanya selama ini.“Ka- kamu kenapa Mas? Sakit? Sini duduk dulu,” tanya Siti sambil memegang tangan B
Perlahan-lahan Hesta menampakkan diri dengan wujud aslinya. Sontak kedua remaja tersebut berpelukan dan berteriak dengan keras. “HANTUUUUU ….” “HANTUUUUU ….” Semua penghuni rumah masuk ke kamar Adrian. Badrun yang baru sampai menyerobot lengan kedua orang tua Adrian yang berdiri di depan pintu. Mereka melongo melihat sosok Hesta yang menyeramkan dengan rambut terurai panjang. Tawa keras Hesta memenuhi kamar Adrian hingga orang -orang berlari keluar, tapi naas di depan pintu sudah ada kakek dan bapaknya Hesta yang menghadang mereka. Semua orang yang berada di dalam rumah berhenti dan saling berangkulan. Naluri Adrian merasa dekat dengan sosok menyeramkan yang ada di depannya. Indra penciuman yang tidak asing meski dengan penampakan yang berbeda. dengan hati berdebar, Adrian mendekati sosok yang tadi berada di kasur dan sudah mengikuti mereka hingga ke ruang tamu. “L-lo … lo Hesta bu-bu-kan?” tanya Adrian dengan gugup. “Ya Adrian, ternyata lo masih mengenali gue. Cinta memang inda
Kakek terus berusaha menenangkan Hesta yang gelisah melihat Adrian dan Wandi jatuh dari motor. Hesta terus meronta minta dilepaskan dari cengkeraman belenggu dunia lain dan tidak bisa keluar dari sana. Hingga kakek kewalahan dan memanggil penguasa alam ghaib untuk memberikan peringatan kepada Hesta. “Hesta, jika kamu tidak menurut apa kata kami. Maka dengan terpaksa kami akan mengeluarkan kamu dari dunia kita dan tidak bisa kembali lagi!” bentak penguasa alam ghaib yang sudah kesal dengan tingkah Hesta akhir-akhir ini. Hesta mengerutkan alisnya yang tebal dan hitam. Dia melihat ke arah kakek yang menatap tajam kepadanya. Hal yang tidak diinginkan ketika hati tidak sesuai dengan keadaan. Hesta terdiam tidak berani menatap penguasa alam dedemit yang tampak menyeramkan seolah ingin menghukumnya. Selama hidup di dunia dedemit baru kali ini Hesta membuat ulah dan merepotakan bangsanya sendiri. Dia hanya menuruti egonya untuk bisa bersatu dengan bangsa manusia yang sudah mencuri hatinya.
Wandi menatap Adrian dengan tajam. Tidak percaya jika sahabatnya tetap berhubungan dengan makluk astral tersebut. Janjinya dengan orang tua Adrian tidak akan diingkari, dia akan tetap menjaga Adrian dari makhluk Astral yang selama ini menganggu hidupnya. Balapan motor tetap berlangsung. Sementara Kakek yang yang berada di belakang penonton tetap berdiri mengawasi Adrian dan Wandi yang berada bersebrangan. Remaja itu hanya diam, dia sudah salah tidak bisa menghindar dari Hesta. “Wan, kira-kira jika aku kembali bertemu dengan Hesta, Kakeknya marah tidak?” tanya Adrian. “Lo udah kedanan bener sama Demit itu. Susah ngomong ama, lo. Di mana-mana, bukan hanya kakeknya Demit itu yang marah, tapi orang tua lo juga pasti marah. Lo masih waras, nggak sih?” “Ya … mo gimana lagi … Hestanya yang nemui gue. Masak gue tolak. Adan lo tahu, hawa saat ketemu dia sangat ehem …” kata Adrian sembari memejamkan mata. Pletak “Udah kena guna-guna anak ini. Tidak bisa dibiarkan.” Wandi kemudian menyeret
Selagi Ardi berteriak dari atas tangga, Wandi yang ada di bawah terkejut. Tangan yang memegang tangga menyenggol dan mengakibatkan tangga oleng dan ambruk. Beruntung Ardi memegang tembok bagian atas. Dia tidak terjatuh tapi bergantung di dinding dan celana pendek yang melorot hingga terlihat pantat. “Woii!! Lu malah ketawa, buruan tangan gue udah pegel!” teriak Ardi melihat Wandi tidak segera menolongnya. Dengan menahan tawa, Wandi segera mengambil tangga besi dan menempatkan tepat di sebelah Ardi yang menggantung. Setelah kaki Ardi menginjak tangga, buru-buru memberitahu jika Adrian dalam keadaan seperti orang tidur. Tapi naas belum sempat Ardi melihat kondisi di dalam kamar mandi, pintu terbuka mengarah keluar an menghantam tangga. Otomatis tangga yang menjadi injakan Ardi ambruk lagi dan Adri menggantung di dinding. “Astagahh …! Wandi!! Kalian tega ama guee!!” teriaknya dari atas. Adrian yang baru keluar dari dalam, tidak menghiraukan kehadiran kedua temannya. Membuat Ardi dan W
Adrian membuka mata dan marah karena tubuhnya sudah basah. Dia menatap nanar ke arah Wandi yang berdiri tepat di sebelah kasurnya. Dengan cepat pemuda itu berdiri dan mencengkeram krah bajunya. Tapi belum sempat menarik baju Wandi, seseorang menariknya ke belakang. Jumari dengan cepat menarik tubuh anaknya menjauh dari Wandi.“Kamu ini apa-apa an? Mau berkelahi? Udah ditolongin masih masih tidak sadar,” kata Jumari dari samping anaknya dengan menahan tangan Adrian.“Bapak! Dia sudah menyiram aku dengan air. Kurang ajar benget, tidak sopan. Nih lihat, kasurku basah baju juga basah!” kata Adrian dengan dengan napas memburu.“Duduk!” perintah Jumari menarik Adrian duduk di tepi ranjang yang basah karena air. “Sekarang kamu liat, tuh jam berapa?” tangan Jumari menunjuk ke arah jam yang ada di meja.“Astagahh … itu bener jamnya?”Adrian melongo melihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul 11.00. Itu artinya dia sudah melewatkan waktu untuk bermain balap motor pagi itu. Padahal acara lomb
Sementara di tempat lain, Adrian dan kedua temannya yang kesal akibat ulah Wandi segera pergi dari stan penjual martabak. Mereka menuju ke arah parkiran yang jaraknya agak jauh dari tempat asal berteduh. Niat mereka bertiga hendak meninggalkan Wandi dan Tina, yang sudah curang dan tidak lagi memikirkan teman. Setelah mendapatkan motor dari tukang parrkir, ketiganya bergegas melajukan kendaraan menuju desa tempat tinggal mereka. Sepanjang jalan, baik Adrian dan kedua temannya memaki Wandi yang tidak setia kawan ucapan kotor. Tidak sadar, jika dari arah belakang ada bayangan hitam mengikutinya. Bayangan perempuan dengan rambut panjang menyeringai menatap Adrian dan kedua teman yang melajukan sepeda motor dengan kencang. Hujan gerimis di tengah malam tidak mereka perdulikan, hingga laju kotor berhenti di perbatasan desa. “Yan, gue kog merasa ada yang membuntuti kita,” kata Ardi sambil bersedekap. “Kagak usah mikir yang aneh-aneh. Gue bingung, entar gimana ngomong sama Emaknya Wandi dan
Tiang Stan martabak yang terbuat dari besi, seketika bergoyang. Dua muda-mudi mendadak panik dan saling memeluk. Hidung Tina merasakan bau tidak enak dari Wandi, matanya menunduk melihat celana Wandi yang basah. Seketika Tina mendorong pemuda itu hingga jatuh ke tanah yang basah akibat terkena air hujan. Wandi bersungut, mau marah tidak mungkin dengan ceweknya. Memang dia merasa pantas untuk didorong karena sudah membuat Tina jijik dengannya. Bibir tebal Wandi mengurai senyum sambil meringis menahan ngilu di pantat. Dengan menarahn berat badan dia berusaha berdiri dan mendekat ke Tina yang gemetar melihat sosok di di depan yang menyeramkan. “Sabar, Tin! Gue pasti akan lindungi, Elo. Sory, i-ini celana ….” “U-udah, Wan! Buruan, kita pergi dari sini! Kayaknya emang ….” Wandi segera menarik tangan Tina untuk diajak keluar dari stan penjual martabak. Suasana di luar terlihat sepi, bahkan tidak ada orang yang lalu lalang seperti saat masuk ke stan martabak. Bulu kuduk Wandi dan Tina seke
Adrian yang keluar dari warung soto, merasakan hal yang terasa aneh di sekitarnya. Suasana malam yang ramai terasa sunyi bagi Adrian. Hujan rintik mulai turun membuat ketiga pemuda itu berteduh di bawah stan penjual martabak, yang ada di dekat parkir sepeda motor. Mereka mulai bosan karena Wandi dan Tina tidak juga muncul sementara waktu malam semakin bergulir hingga lebih dari pukul 22.00. Bukan bertambah sepi alun-alun kota, tetapi semaki ramai karena besuk adalah Minggu. Hal ini tentu tidak seperti yang dirasakan ketiga pemuda yang sekarang mulai menghisap rokok untuk menghilangkan kantuk dan jenuh menunggu Wandi yang tidak juga muncul. Sesekali tertawa dengan celoteh murahan gaya anak muda. “Yan, Lo kalau punya cewek lagi tipenya kayak apa?” tanya Ardi menepuk bahu Andrian. Dia ingat betul, jika temannya ini dulu alergi sekali dengan yang namanya cewek, apalagi yang manja seperti Tina. “Lo seperti kagak ngerti gue aja. Lo sendiri mau tipe kayak siapa? Pasti sama kalian berdua,
“Wandi, lo kagak apel ke rumah Tina?” ucap Adrian sambil mengunyah roti jawa rasa singkong di teras rumah.Semenjak kejadian hilangnya Adrian, Wandi semakin dekat dengan Tina. Gadis yang awalnya menyukai Adrian kini berbalik arah, nengok ke temannya karean merasa diabaikan oleh Adrian. Meskipun wajah Wandi pas-pasan, tetapi Tina nyaman jalan bersama dengan Wandi. Keduanya sangat kompak dan sering jalan bersama, hingga melupakan Adrian yang belum punya pasangan.“Lo tadi kayaknya bilang mo pergi ama Emak. Emang mau ke mana? Udah punya gebetan baru, kayaknya?” tanya Wandi mengunyah roti yang rasa singkong dengan lahap.“Suntuk di rumah, apa-apa diawasin terus. Udah kayak satpam 24 jam tuh Emak sama Bapak. Yuk kita ke mana gitu? Ada pasar malem kagak? Mumpung malam minggu, sepi di rumah. Emak ama Bapak, lagi sibuk di kamar.”Wandi tertawa,”Lo makanya cari cewek! Jangan inget demit itu lagi. Yuk, cabut!”Sementara di rumah Adrian terlihat sangat tenang. Kedua orang tuanya membiarkan anak