Hati Adrian bergejolak mengintip ke dalam kamar orang tuanya yang tidak terkunci. Matanya panas melihat kedua orang tuanya yang berada di atas ranjang bersama dengan kucing hitam yang ada di bawah kaki mereka. Kucing terlihat menjilat kaki Jumari yang terbuka tidak tertutup selimut, sedangkan pemiliknya tertidur dengan pulas. Mereka tidak menyadari jika ada makhluk asing yang sudah masuk ke kamarnya.“Astaga, bener yang gue lihat sekarang? Itu kucing yang tadi di dapur kayaknya.”Adrian berulangkali mengucek kedua matanya. Memastikan jika yang ia lihat itu adalah nyata. Kucing hitam tetap menjilat kaki dengan penuh semangat. Bahkan tidak menoleh ke arah pintu di mana Adrian berdiri saat ini. Suasana hati Adrian semakin tegang, saat kucing terlihat menggigit kaki Jumari. Jantungnya berpacu dengan kencang, melihat kedua orang tuanya terlihat tenang tak terusik sedikitpun.Bergemuruh hati Adrian, melihat pemandangan yang tidak biasa ini. Baru sekarang ini ada kucing berkeliaran di dalam
Ibu Wandi menarik telinga anaknya ke dapur. Karena sayang Siti tidak pernah memarahi Wandi. Apalagi Adrian sering membelanya di depan umum. “Ampun Mak, gue maunya pulang kemarin itu. Tapi ini nih, Adrian minta ditemani. Sebagai sahabat sekaligus teman yang baik, ya gue temani lah,” kilah Wandi.“Busyet, lu gak nyadar dah gue tolong. Udah terserah elu deh. Mak, gue laper. Ada makanan nggak?” Tanpa basa-basi Adrian menggandeng tangan Siti menuju dapur. Dia memang sering memperlakukan Siti, seperti ibunya sendiri. Demikian juga sebaliknya. Mereka semua berkumpul di ruang makan. Meja makan yang terletak di dapur penuh dengan makanan. Siti sengaja menunngu anaknya pulang meskipun Wandi tidak memberitahukan akan pulang ke rumah. Dia suah hafal sekali dengan sifat anaknya jika sudah bersama dengan Adrian. Akan tetapi semenjak peristiwa kemarin hatinya sangat resah. Tidak ingin terjadi sesuatu dengan anak semata wayangnya. “Ada, tuh pada makan dulu sono! Emang ke mana Emak lu? Tumben kaga
Teringat pertanyaan Tina, Wandi menoleh ke arah pojok ruang kelas, di mana Adrian biasanya duduk ngobrol dengan teman-teman sekelasnya. Tidak nampak batang hidung sahabatnya itu. Mulai panik menyerang, karena sebentar lagi pasti guru akan masuk dan memberikan mereka ulangan harian.“Duh, ke mana tuh anak? Bisa-bisanya dia tidak masuk kelas. Mana ponsel gue mati. Lupa nggak di cas semalam,” gumam Wandi sambil jarinya mengetuk bangku yang ada di depannya.“Selamat pagi anak-anak.”Suara khas guru killer yang di takuti semua siswa terdengar keras mengisi seluruh ruang kelas. Semua sontak terdian dan kembali ke tempat duduk masing-masing. Wandi yang masih gelisah dengan tidak hadirnya Adrian, berulangkali melirik ke arah pintu masuk. Namun tidak ada tanda-tanda anak itu masuk ke dalam kelasnya.Tiba-tiba mata Wandi, di kejutkan dengan sosok kucing hitam yang ada di sebelah guru killer yang duduk di meja depan. Sorot tajam dari kucing, mengingatkan dia kan peristiwa di rumah temannya beber
Tina dan Wandi mundur, melihat sorot mata Adrian berubah. Mata merah menyala, bukanlah Adrian yang sesungguhnya. Mereka ketakutan mundur sambil menggengam tangan. Terlihat Adrian menatap tajam ke arah kedua teman yang gemetar ketakutan. Beberapa saat tidak ada yang bicara, hingga suara sepeda motor terdengar melewati ketiga anak itu.“Woii ... minggir nggak kalian ini! Gue mo lewat, ini bukan jalan nenek moyang lu!”Teriakan keras terdengar membuat ketiganya menoleh ke arah suara. Terlihat seorang teman berboncengan mengendarai sepeda motor matic menatap tajam ke arah mereka bertiga.Wandi dan Tina minggir, dan membiarkan sepeda itu lewat tanpa ada yang bicara. Kembali keduanya melihat ke arah Adrian. Keduanya saling berpandangan, Adrian tertunduk kembali wajahnya. Tina memberanikan diri untuk menegur temannya, setelah memberi kode kepada Wandi. Tangannya tetap memegang tangan Wandi yang tersenyum seperti Resodent.“Adrian, lu kenapa? Kita nyari elu dari pagi. Apa yang terjadi?” ceca
Kedua motor melaju dengan kencang, menembus jalan raya Tawangmangu. Suasana sangat ramai saat itu, manum tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Semula Adrian menolak dengan bahas isyarat, kepada Wandi. Tetapi setelah hujan semakin deras, dan jalanan tidak terlihat karena kabut, akhirnya Adrian menghentikan laju sepeda motornya. Sementara, Tina sudah terlebih dahulu berteduh di pinggir jalan, di sebuah rumah kosong.“Waduh ... Tina udah jauh tuh! Bagaimana kalau ada apa-apa dengan dia?” Gumam Wandi sambil melepas helm diletakkan di teras pos kamling.Terdengar suara Adrian terbatuk, membuat Wandi menoleh ke arahnya. Teman baiknya itu, duduk sambil memegang dadanya. Ketakutan mulai melanda diri Wandi, pikiran buruk tentang sesuatu terjadi kepada mereka mulai membayang. Apalagi melihat Adrian semakin sesak sambil memejamkan mata.“Ya Tuhan, lindungilah kami jangan sampai teman gue kena serangan jantung di sini. Gak ada dokter, jauh dari pak Rete, gue gimana dong Tuhan?” ucap Wandi dengan
Mereka berbincang layaknya teman yang sudah kenal lama. Tidak menghiraukan ada banyak binatang melata yang melintas di depannya. Bahkan terkadang ada yang melilit di kaki Hesta dan Tina. Aneh sekali, keduanya tidak terganggu dengan kehadiran binatang-binatang itu. Sesekali Hesta mengambil ular, dan mencuiumnya. Keduanya tidak jijik ataupun ketakutan.“Wwwk ... lu pernah ngisengin cowok ternyata ya?” tawa renyah Hesta mengusik hutan yang sunyi itu.“Iya, gue pernah kunci mereka di kamar mandi sekolah. Mereka menyebalkan, kasih aja tikus dan kecoa. Menjerit semua hahaha ....”“Wwkk ... trus gimana mereka bisa keluar? Gak mungkin tidur di kamar mandi? Bisa mati dong hahaha ....”“Gue udah pesen ama satpam, setelah pulang sekolah. Setelah itu mereka jera, kapok hahaha ....”Saat mereka bercanda, terdengar suara kakek memanggil. Hesta berpura-pura tidak mendengar dan lanjut bercanda dengan Tina. Namun suaranya semakin lama semakin dekat dengan tempatnya. Dan Tina yang menyadari ada orang d
Tina merasakan guncangan pada tubuhnya. Ketakutan yang menyerangnya membuat dia tidak berani membuka mata. Sudah parah jika sesuatu menimpa dirinya meski itu kematian sekalipun. Hanya doa yang dipanjatkan dan permohonan maaf kepada kedua orang tuanya.“Ibu, Ayah ... maafin Tina. Belum bisa jadi anak yang berbakti pada kalian. Mungkin jasad Tina nggak akan kalian temui nanti, udan jadi santapan ular hutan.”Terisak, air matanya keluar deras mengalir seperti sungai. Teringat Wandi, Adrian dan teman-teman sekolahnya.“Selamat tinggal kawan, maafkan segala kesalahanku,” ucapTina sambil memejamkan mata, pasrah dengan keadaan.“Tin, Tina! TIINAA ...!!!”Lamat terdengar suara yang familiar di telinganya. Tetapi Tina tidak ingin membuka mata. Rasanya dia sudah tidak dapat melihat kenyataan, jika dirinya sudah berada di alam baka. Bayangan antara surga dan neraka, seperti cerita gurunya tiga bulan yang lalu.Gurunya pernah bercerita, jika selama di dunia berbuat baik, pasti akan masuk surga.
Bergegas Adrian berjalan ke arah pohon beringin yang sudah ada beberapa orang yang berkerumun. Sementara Wandi dan Tina mengomel tiada hentinya. Mereka sangat kesal dan juga khawatir jika Adrian kembali seperti dulu lagi. Meski demikan, keduanya hanya bisa mengomel lirih tanpa dapat mencegah temannya itu. Apalagi hari sudah menjelang sore, perut lapar dan haus.“Laper nggak lu?” Tanya Wandi kepada Tina yang sedang duduk di atas jok motor.“Heh, pakai nanya lagi. Lu sendiri gimana? Udah laper nggak? Tuh temen lu kurang kerjaan banget sih, ke sana lagi. Mo cari masalah dia.”“Biarin dah, emang udah keblinger tuh anak. Nggak bisa gue nasehatin. Eh ... ingat yang gue omongin kemaren kan? Gimana? Lu kenal ama orang pintar nggak?”Tina menoleh ke arah Wandi, tangannya yang putih mulus menarik telinga Wandi pelan, hingga yang punya tertawa. Mereka sama-sama melepas lelah dengan berdebat canda. Rasa perih yang ada di perutnya menjadi berkurang. Mereka tidak memerdulikan lagi keberadaan Adria
Perlahan-lahan Hesta menampakkan diri dengan wujud aslinya. Sontak kedua remaja tersebut berpelukan dan berteriak dengan keras. “HANTUUUUU ….” “HANTUUUUU ….” Semua penghuni rumah masuk ke kamar Adrian. Badrun yang baru sampai menyerobot lengan kedua orang tua Adrian yang berdiri di depan pintu. Mereka melongo melihat sosok Hesta yang menyeramkan dengan rambut terurai panjang. Tawa keras Hesta memenuhi kamar Adrian hingga orang -orang berlari keluar, tapi naas di depan pintu sudah ada kakek dan bapaknya Hesta yang menghadang mereka. Semua orang yang berada di dalam rumah berhenti dan saling berangkulan. Naluri Adrian merasa dekat dengan sosok menyeramkan yang ada di depannya. Indra penciuman yang tidak asing meski dengan penampakan yang berbeda. dengan hati berdebar, Adrian mendekati sosok yang tadi berada di kasur dan sudah mengikuti mereka hingga ke ruang tamu. “L-lo … lo Hesta bu-bu-kan?” tanya Adrian dengan gugup. “Ya Adrian, ternyata lo masih mengenali gue. Cinta memang inda
Kakek terus berusaha menenangkan Hesta yang gelisah melihat Adrian dan Wandi jatuh dari motor. Hesta terus meronta minta dilepaskan dari cengkeraman belenggu dunia lain dan tidak bisa keluar dari sana. Hingga kakek kewalahan dan memanggil penguasa alam ghaib untuk memberikan peringatan kepada Hesta. “Hesta, jika kamu tidak menurut apa kata kami. Maka dengan terpaksa kami akan mengeluarkan kamu dari dunia kita dan tidak bisa kembali lagi!” bentak penguasa alam ghaib yang sudah kesal dengan tingkah Hesta akhir-akhir ini. Hesta mengerutkan alisnya yang tebal dan hitam. Dia melihat ke arah kakek yang menatap tajam kepadanya. Hal yang tidak diinginkan ketika hati tidak sesuai dengan keadaan. Hesta terdiam tidak berani menatap penguasa alam dedemit yang tampak menyeramkan seolah ingin menghukumnya. Selama hidup di dunia dedemit baru kali ini Hesta membuat ulah dan merepotakan bangsanya sendiri. Dia hanya menuruti egonya untuk bisa bersatu dengan bangsa manusia yang sudah mencuri hatinya.
Wandi menatap Adrian dengan tajam. Tidak percaya jika sahabatnya tetap berhubungan dengan makluk astral tersebut. Janjinya dengan orang tua Adrian tidak akan diingkari, dia akan tetap menjaga Adrian dari makhluk Astral yang selama ini menganggu hidupnya. Balapan motor tetap berlangsung. Sementara Kakek yang yang berada di belakang penonton tetap berdiri mengawasi Adrian dan Wandi yang berada bersebrangan. Remaja itu hanya diam, dia sudah salah tidak bisa menghindar dari Hesta. “Wan, kira-kira jika aku kembali bertemu dengan Hesta, Kakeknya marah tidak?” tanya Adrian. “Lo udah kedanan bener sama Demit itu. Susah ngomong ama, lo. Di mana-mana, bukan hanya kakeknya Demit itu yang marah, tapi orang tua lo juga pasti marah. Lo masih waras, nggak sih?” “Ya … mo gimana lagi … Hestanya yang nemui gue. Masak gue tolak. Adan lo tahu, hawa saat ketemu dia sangat ehem …” kata Adrian sembari memejamkan mata. Pletak “Udah kena guna-guna anak ini. Tidak bisa dibiarkan.” Wandi kemudian menyeret
Selagi Ardi berteriak dari atas tangga, Wandi yang ada di bawah terkejut. Tangan yang memegang tangga menyenggol dan mengakibatkan tangga oleng dan ambruk. Beruntung Ardi memegang tembok bagian atas. Dia tidak terjatuh tapi bergantung di dinding dan celana pendek yang melorot hingga terlihat pantat. “Woii!! Lu malah ketawa, buruan tangan gue udah pegel!” teriak Ardi melihat Wandi tidak segera menolongnya. Dengan menahan tawa, Wandi segera mengambil tangga besi dan menempatkan tepat di sebelah Ardi yang menggantung. Setelah kaki Ardi menginjak tangga, buru-buru memberitahu jika Adrian dalam keadaan seperti orang tidur. Tapi naas belum sempat Ardi melihat kondisi di dalam kamar mandi, pintu terbuka mengarah keluar an menghantam tangga. Otomatis tangga yang menjadi injakan Ardi ambruk lagi dan Adri menggantung di dinding. “Astagahh …! Wandi!! Kalian tega ama guee!!” teriaknya dari atas. Adrian yang baru keluar dari dalam, tidak menghiraukan kehadiran kedua temannya. Membuat Ardi dan W
Adrian membuka mata dan marah karena tubuhnya sudah basah. Dia menatap nanar ke arah Wandi yang berdiri tepat di sebelah kasurnya. Dengan cepat pemuda itu berdiri dan mencengkeram krah bajunya. Tapi belum sempat menarik baju Wandi, seseorang menariknya ke belakang. Jumari dengan cepat menarik tubuh anaknya menjauh dari Wandi.“Kamu ini apa-apa an? Mau berkelahi? Udah ditolongin masih masih tidak sadar,” kata Jumari dari samping anaknya dengan menahan tangan Adrian.“Bapak! Dia sudah menyiram aku dengan air. Kurang ajar benget, tidak sopan. Nih lihat, kasurku basah baju juga basah!” kata Adrian dengan dengan napas memburu.“Duduk!” perintah Jumari menarik Adrian duduk di tepi ranjang yang basah karena air. “Sekarang kamu liat, tuh jam berapa?” tangan Jumari menunjuk ke arah jam yang ada di meja.“Astagahh … itu bener jamnya?”Adrian melongo melihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul 11.00. Itu artinya dia sudah melewatkan waktu untuk bermain balap motor pagi itu. Padahal acara lomb
Sementara di tempat lain, Adrian dan kedua temannya yang kesal akibat ulah Wandi segera pergi dari stan penjual martabak. Mereka menuju ke arah parkiran yang jaraknya agak jauh dari tempat asal berteduh. Niat mereka bertiga hendak meninggalkan Wandi dan Tina, yang sudah curang dan tidak lagi memikirkan teman. Setelah mendapatkan motor dari tukang parrkir, ketiganya bergegas melajukan kendaraan menuju desa tempat tinggal mereka. Sepanjang jalan, baik Adrian dan kedua temannya memaki Wandi yang tidak setia kawan ucapan kotor. Tidak sadar, jika dari arah belakang ada bayangan hitam mengikutinya. Bayangan perempuan dengan rambut panjang menyeringai menatap Adrian dan kedua teman yang melajukan sepeda motor dengan kencang. Hujan gerimis di tengah malam tidak mereka perdulikan, hingga laju kotor berhenti di perbatasan desa. “Yan, gue kog merasa ada yang membuntuti kita,” kata Ardi sambil bersedekap. “Kagak usah mikir yang aneh-aneh. Gue bingung, entar gimana ngomong sama Emaknya Wandi dan
Tiang Stan martabak yang terbuat dari besi, seketika bergoyang. Dua muda-mudi mendadak panik dan saling memeluk. Hidung Tina merasakan bau tidak enak dari Wandi, matanya menunduk melihat celana Wandi yang basah. Seketika Tina mendorong pemuda itu hingga jatuh ke tanah yang basah akibat terkena air hujan. Wandi bersungut, mau marah tidak mungkin dengan ceweknya. Memang dia merasa pantas untuk didorong karena sudah membuat Tina jijik dengannya. Bibir tebal Wandi mengurai senyum sambil meringis menahan ngilu di pantat. Dengan menarahn berat badan dia berusaha berdiri dan mendekat ke Tina yang gemetar melihat sosok di di depan yang menyeramkan. “Sabar, Tin! Gue pasti akan lindungi, Elo. Sory, i-ini celana ….” “U-udah, Wan! Buruan, kita pergi dari sini! Kayaknya emang ….” Wandi segera menarik tangan Tina untuk diajak keluar dari stan penjual martabak. Suasana di luar terlihat sepi, bahkan tidak ada orang yang lalu lalang seperti saat masuk ke stan martabak. Bulu kuduk Wandi dan Tina seke
Adrian yang keluar dari warung soto, merasakan hal yang terasa aneh di sekitarnya. Suasana malam yang ramai terasa sunyi bagi Adrian. Hujan rintik mulai turun membuat ketiga pemuda itu berteduh di bawah stan penjual martabak, yang ada di dekat parkir sepeda motor. Mereka mulai bosan karena Wandi dan Tina tidak juga muncul sementara waktu malam semakin bergulir hingga lebih dari pukul 22.00. Bukan bertambah sepi alun-alun kota, tetapi semaki ramai karena besuk adalah Minggu. Hal ini tentu tidak seperti yang dirasakan ketiga pemuda yang sekarang mulai menghisap rokok untuk menghilangkan kantuk dan jenuh menunggu Wandi yang tidak juga muncul. Sesekali tertawa dengan celoteh murahan gaya anak muda. “Yan, Lo kalau punya cewek lagi tipenya kayak apa?” tanya Ardi menepuk bahu Andrian. Dia ingat betul, jika temannya ini dulu alergi sekali dengan yang namanya cewek, apalagi yang manja seperti Tina. “Lo seperti kagak ngerti gue aja. Lo sendiri mau tipe kayak siapa? Pasti sama kalian berdua,
“Wandi, lo kagak apel ke rumah Tina?” ucap Adrian sambil mengunyah roti jawa rasa singkong di teras rumah.Semenjak kejadian hilangnya Adrian, Wandi semakin dekat dengan Tina. Gadis yang awalnya menyukai Adrian kini berbalik arah, nengok ke temannya karean merasa diabaikan oleh Adrian. Meskipun wajah Wandi pas-pasan, tetapi Tina nyaman jalan bersama dengan Wandi. Keduanya sangat kompak dan sering jalan bersama, hingga melupakan Adrian yang belum punya pasangan.“Lo tadi kayaknya bilang mo pergi ama Emak. Emang mau ke mana? Udah punya gebetan baru, kayaknya?” tanya Wandi mengunyah roti yang rasa singkong dengan lahap.“Suntuk di rumah, apa-apa diawasin terus. Udah kayak satpam 24 jam tuh Emak sama Bapak. Yuk kita ke mana gitu? Ada pasar malem kagak? Mumpung malam minggu, sepi di rumah. Emak ama Bapak, lagi sibuk di kamar.”Wandi tertawa,”Lo makanya cari cewek! Jangan inget demit itu lagi. Yuk, cabut!”Sementara di rumah Adrian terlihat sangat tenang. Kedua orang tuanya membiarkan anak