Bekerja di rumah sakit itu kesannya harus pakai shift agar pelayanan rumah sakit terus berjalan sempurna selama 24 jam. Memang benar adanya demikian, tetapi itu tidak berlaku bagi kami yang berada di bagian manajemen. Jam kerja kami kurang lebih sama seperti pekerja kantoran dan dinas pemerintahan yang lain, yaitu sekitar pukul 08.00 dan selesai pukul 16.00. Kecuali hari sabtu, karena kami pulang lebih awal.
Karena itu, sekarang kami yang berada di ruang HRD sedang bersiap untuk pulang. Eh, tepatnya cuma aku, Raga dan Mbak Bella, sih. Sedangkan Wina dan Pak Alfa sepertinya masih berkutat dengan pekerjaan mereka.“Cil! Awas lo kalau mau ikutan lembur! Kita udah janjian ya, buat belanja baju hari ini.” Mbak Bella memperingatkanku sambil berbisik di telingaku.Kelihatannya dia tahu betul apa yang sebetulnya ingin aku lakukan. Karena memang benar, kalau aku ingin duduk manis dulu untuk update cerita romansa di ruangan berisi empat orang ini. Namun tentu saja, sebagai teman yang baik aku akan lebih memilih Mbak Bella.“Tenang aja, Mbak. Imanku masih kuat, kok. Lagian besok juga masih bisa ketemu mereka.” jawabku.“Jagain tuh, Mbak! Matanya suka jelalatan kemana-mana cari mangsa buat halu.” Raga menimpali.“Ish! Kayak lo gak lebih parah kalau halu tiap malem, sampe tisu abis?” balasku.“Eh! Paling gak gue tau tempat dan waktu ya, kalau mau halu!” Raga tidak mau kalah.“Udah! Udah! Kalian berantem mulu, ntar gak pulang-pulang!” Mbak Bella melerai, lalu menarik lenganku. Sebelum keluar ruangan, aku menengok pada Raga dan menjulurkan lidahku.Setelah itu kami segera menuju mesin absen dan menuju parkiran. Dalam perjalanan menuju parkiran, tidak banyak yang kami sapa maupun menyapa kami. Karena pada dasarnya karyawan bagian manajemen di rumah sakit swasta ini tidak terlalu banyak. Masing-masing divisi hanya memiliki dua sampai lima orang di bawahnya. Tidak ada wakil direktur dan sekretaris pribadi direktur. Jadi, jangan harap ada cerita sekretaris dan direktur di novel ini. Pemilik rumah sakit juga tidak berkantor di sini. Bisnisnya banyak, rumah sakit ini hanya salah satunya. Bahkan sebenarnya rumah sakit ini cuma cabang dari rumah sakit yang lebih besar di kota.Alasan lain kenapa rumah sakit ini tidak terlalu banyak karyawan manajemennya adalah karena pemilik berprinsip pada lean hospital. Artinya jumlah karyawan harus seramping mungkin. Bahkan aku dengar di awal-awal, bagian HRD ini hanya satu orang karyawan yang mengerjakan semua pekerjaan terkait SDM. Kepada siapapun itu, aku turut berduka cita. Karena mengurus gaji saja sudah sulit begini. Tidak jauh berbeda dengan manajemen, karyawan di bidang pelayanan medis, penunjang medis, maintenance, dan keamanan juga direkrut secukupnya. Intinya, semua serba ramping dan yang penting pelayanan rumah sakit tetap berkualitas.Sesampainya di parkiran, Mbak Bella menuju mobilnya. Kemudian dia dengan lincah mengeluarkan mobil warna merahnya yang super imut dari tempat parkirnya.“Masuk, Cil!” serunya dari dalam mobil.Menuruti perkataannya, aku pun duduk di kursi penumpang depan. Kucari posisi duduk yang nyaman, kemudian kupasang sabuk pengaman sementara Mbak Bella melajukan mobilnya secara perlahan menuju gerbang depan.Tempat belanja yang akan kami kunjungi terletak tidak begitu jauh dari rumah sakit. Kalau dengan mobil, biasanya cukup lima belas menit saja sudah sampai di sana.“Kamu bawa kantong belanja sendiri kan, Cil?” tanya Mbak Bella.“Bawa dong, Mbak. Santuy…” jawabku.“Sip!” katanya yang kemudian menghentikan mobil karena sudah sampai di parkiran super market.Kami lalu turun dari mobil, kemudian masing-masing mengambil keranjang beroda yang disediakan di samping pintu masuk super market. Tujuan kami selanjutnya adalah ke area telur, karena ada diskon besar-besaran di sana. Itu lah yang menjadi tujuan kami sebetulnya. Hmm… sebenarnya cuma Mbak Bella saja sih, yang butuh. Karena aku sudah terlanjur membeli banyak telur kemarin. Dan berhubung ada peraturan bahwa satu orang hanya boleh mengambil dua pack berisi satu lusin telur saja, jadilah Mbak Bella mengajakku.“Kenapa coba ada aturan cuma boleh ambil dua lusin? Padahal aku pengin beli banyak.” gerutu Mbak Bella dengan nada yang sedikit kesal.“Ya… mungkin yang punya retail kasihan sama yang lain. Biar semua kebagian gitu.” jawabku asal.“Ish… kan nantinya mau kujualin juga jadi kue kering. Jadinya, kan sama aja masuk perut orang lain.”Mbak Bella memang memiliki usaha sampingan kue kering. Saat ini masih merintis, tapi sudah lumayan laris manis untuk ukuran pemula. Karena kuenya memang enak, teman-temannya di kantor maupun di luar kantor sering memesan kue buatannya. Biasanya, dia membuka pesanan di hari jumat sampai minggu saja, supaya pekerjaannya di kantor tidak terganggu. Tidak tahu kalau lebaran nanti akan seperti apa.Sesuai rencana, kami mengambil telur masing-masing dan menaruhnya di keranjang. Baru setelah itu kami lanjut berbelanja keperluan yang lain. Karena kebetulan saat belanja kemarin aku lupa beli sabun muka, aku memutuskan pergi ke area perawatan kulit dan wajah sebelum lupa lagi. Sementara itu, Mbak Bella pergi ke area makanan ringan.Ku cari sabun cuci muka yang biasanya kupakai di rak yang berisi deretan sabun cuci muka. Di sana rupanya hanya tersisa satu botol saja yang berukuran besar.“Untung aja masih ada.” gumamku dalam hati.Berhubung Mbak Bella masih asik memilih jajanan untuk dibeli, aku memutuskan untuk melihat satu persatu rak di area kulit dan wajah. Mulai dari rak yang ada di bawah sabun cuci muka tadi. Rak tersebut berisi toner wajah dari berbagai merk yang beredar di Indonesia. Ada merek lokal dan merk internasional dari berbagai negara. Merk luar yang terpajang di sini didominasi oleh Jepang. Dan ternyata bukan hanya di deretan toner saja, tapi juga di deretan pelembab wajah yang terdapat di bawahnya. Baru di rak paling bawah yang berisi masker kecantikan wajah lah merk dari Korea Selatan mendominasi.Tertarik dengan kemasannya yang bergambar lucu, aku pun mengambil salah satu masker wajah itu untuk di baca. Mungkin saja masker ini akan cocok untuk kulit wajahku yang cenderung kering.“Will hydrate your skin…” aku membaca pelan.Rupanya masker wajah yang kupegang ini sesuai dengan keluhan kulitku. Kupikir tidak ada salahnya untuk mencobanya. Jadi, akan ku masukkan ke keranjang saja. Namun, baru saja masker itu mendarat di keranjangku, tiba-tiba seseorang menyapaku.“Cecil?”Mendengar suara itu, badanku sedikit menegang. Ini adalah suara yang sama sekali tidak ingin ku dengar lagi seumur hidupku. Suara orang yang paling kuhindari selama ini.Tanpa mendengar balasan sapaanku, dia lanjut berkata, “Elah… mau pakai masker berlapis-lapis, lo juga ga bakal jadi cakep kali. Percuma! Percuma!”Dari lubuk hati terdalam, segenap kata-kata kasar sebenarnya sudah siap aku lontarkan. Tetapi, ini adalah tempat umum. Yang ada nantinya akan jadi masalah. Jelas aku tidak mau itu.“Dari jauh aja gue udah sadar itu elo. Sekarang sih, udah kurusan. Tapi, inget gak lo waktu SMA dah kayak B2. hahaha!” gelak pria itu.“Papi, jangan ngomong gitu, ah! Gak baik buat contoh anak-anak nanti.” kata seorang wanita yang sepertinya adalah istri dari pria itu.Aku pun menegakkan badanku, lalu berbalik menghadap mereka. Betapa terkejutnya aku begitu mengetahui bahwa pria yang dulu ku kenal baik itu telah berubah banyak. Atau mungkin mataku saja yang kurang waras, tetapi jelas sekali bahwa pesonanya yang sempat menjeratku semasa sekolah dulu telah hilang hampir tak berbekas.“Hay, Bri. Lama gak ketemu.” sapaku dengan sopan. Semoga saja dia segera sadar bahwa caranya menyapaku tadi itu salah. Padahal kami berdua tidak pernah bertemu sej
Sejak peristiwa kemarin, Mbak Bella tak kunjung menyingkirkan senyum meledeknya yang dia tujukan padaku. Di tengah pekerjaannya yang tak kalah sibuk denganku, sesekali dia melirik ke arahku. Aku yang malas menanggapinya pun memutuskan untuk cuek saja. Mendingan selesaikan pekerjaan, supaya bisa pulang tepat waktu.“Cecil!” panggil Pak Alfa di pintunya.Tangannya melambai padaku, mengisyaratkan agar aku segera menemuinya di ruangan. Karena kupikir ini penting, aku pun menurut untuk masuk ke ruangan berukuran 2x3 m2itu.Seperti biasa, ruangan ini sangat rapi. Padahal meskipun namanya ‘Ruang Kabag’, sebenarnya ruangan ini juga digunakan sebagai tempat penyimpanan dokumen karyawan yang masih aktif. Karena keterbatasan ruangan, rumah sakit ini tidak memiliki tempat penyimpanan dokumen milik manajemen. Jadi, mau tidak mau kami menyimpan sebagian besar dokumen di masing-masing ruangan milik atasan.“Ada apa ya, Pak?
Keanehan Pak Alfa masih berlangsung bahkan sampai saat waktunya pulang tiba. Jika biasanya dia menunggu Wina menyelesaikan pekerjaannya, saat ini dia sudah keluar terlebih dahulu. Dia tadi nampak buru-buru sekali keluar dari kantor begitu jam menunjukkan pukul 16.00. Aku bisa saja berpikir bahwa Pak Alfa ada keperluan di luar yang sangat mendesak, sehingga dia pulang lebih dulu dari pada biasanya. Tetapi, itu kalau aku tidak mendapati mobilnya masih bertenger di tempat parkir. Bahkan dia masih berdiri santai di samping mobil sambil mengutak-atik ponsel pintarnya.“Kok Bapak masih di sini? Kirain sudah pulang.” tanyaku pada Pak Alfa sambil berjalan mendekatinya.Dia yang tadinya fokus pada ponsel pintarnya pun berpaling menghadapku. Melihatku mendekat, Pak Alfa langsung mengembangkan senyumnya yang selalu membuat banyak orang salah paham.“Kamu mau pulang juga kan? Saya udah nunggu kamu dari tadi.”Pak
Hari semakin gelap, cafe bernama ''Treasure' ini pun menjadi semakin ramai. Kebanyakan tamu yang datang berusia sekitar remaja akhir hingga usia pertengahan dua puluhan. Sementara menunggu pesanan datang, mereka menghabiskan waktu dengan mengobrol, berfoto, dan bermain permainan papan yang tersedia di cafe ini."Jadi, Bapak mau bicara apa?" tanyaku tak sabar.Pria yang sudah dua tahun menjadi atasanku itu tersenyum, lalu menjawab, "Saya tidak kira kalau kamu ternyata setidak peka itu."Jawabannya itu justru membuatku semakin bingung. Memangnya apanya dari diriku yang tidak peka?"Maksud Pak Alfa?" tanyaku lagi."Hah... gimana ya? Saya paling susah kalau ngomongin hal begini."Selama kalimatnya terjeda, pesanan kami pun datang. Dua cangkir teh earl grey panas, dan tiga makanan yang masing-masing adalah dua milik Pak Alfa dan satu punyaku."Selamat menikmati. Kalau mau pesen lagi, langsung
“Cil, bisa gak kita obrolin teman kamu yang selain Raga?” Raga yang sedang meminum kopi paginya tersedak mendengarkanku menirukan Pak Alfa sore itu. Bahkan dia sampai terbatuk dan mengeluarkan kembali sebagian kopi yang sudah masuk ke mulutnya. “Ewwhh… Raga jorok ikh!” keluh Mbak Bella yang terkena percikan kopi dari mulut Raga. Ditaruhnya kopi yang ada di tangannya ke sebelah komputernya, lalu Raga berdalih, “Maaf, Mbak. Salahin si Cecil ini, nih. Ceritanya masa kayak gitu!” Memang sih, aku berkontribusi atas tersedaknya Raga. Tetapi, dia sendiri yang menanyakan tentang kejadian kemarin sore. Karena aku tidak ingin membuat dia penasaran, ya jelas langsung kuceritakan ke intinya lah! “Kok bisa tiba-tiba dia bilang gitu?” tanya Mbak Bella padaku. “Awalnya tuh gue ditanyain eng… gue lupa gimana kalimatnya, intinya dia tanya siapa yang pernah mampir ke kontrakan gue. Terus gue bilang nama kalian. Nah, pas gue sebut nama Mbak Bella, dia bi
Untung saja aku masih bisa fokus dengan materi yang disampaikan oleh orang dari BPJS Kesehatan ini. Setidaknya intinya aku paham, karena memang bukan materi sulit seperti kuliah. Mereka hanya mempromosikan aplikasi terbaru mereka untuk menggantikan aplikasi yang lama dan cara penggunaannya.Peserta yang hadir adalah para perwakilan dari seluruh perusahaan yang didirikan di kota ini. Karena itu bukan hanya dari rumah sakit saja.Aku duduk di samping seorang perempuan berusia 30-an yang bekerja di sebuah perusahaan retail yang cukup besar. Namanya Mbak Shinta. Aku mengenalnya sejak beberapa tahun yang lalu, karena sama-sama sering ditugaskan ke pertemuan semacam ini. Berkat dia lah sampai sekarang aku tidak terbengong-bengong di setiap acara luar. Karena berbeda denganku yang malu-malu kucing untuk kenalan, dia adalah orang yang mudah bergaul dengan orang-orang baru.Acara kemudian dilanjut dengan makan siang bersama. Aku dan Mbak Shinta segera menuju restoran hot
Gawat gawat gawat! Sepertinya aku juga ikut-ikutan terseret karena membicarakan Raga terus. Wah… masalah besar ini mah.Padahal selama enam tahun aku bekerja di sini, aku selalu berusaha supaya tidak membuat masalah. Sekarang hanya karena membicarakan salah satu bawahan yang tidak dia sukai saja, Pak Alfa sudah menunjukkan ketidaksukaannya juga padaku.“Heh! Jalan sambil ngelamun di RS bikin gampang diganggu yang gak keliatan, loh.”Dokter Hilman menepuk pundakku dengan pelan dari belakang, sehingga membuatku tersadar dari lamunan.“Haah…” aku mendengus lelah.“Dokter gak ngerti betapa risaunya saya saat ini.”Mendengar alasanku itu, dokter Hilman terkekeh.“Soal Alfa?” tebaknya.Entah bagaimana caranya dia menebak isi hatiku dengan tepat. Tetapi, memang atasan gantengku itu lah yang membuatku galau saat ini. Bukan karena aku naksir padanya tentunya. Kira-kira kalau
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayahnya aku bisa jauh lebih tenang di hari Sabtu yang cerah ini. Memang tidak seperti pekerja kantoran lain yang beroperasi lima hari dalam seminggu, manajemen rumah sakit kami tetap akan buka di hari sabtu. Tetapi, tentu saja akan lebih santai dan nantinya akan pulang lebih cepat dibandingkan dengan hari yang lain. Tentu saja keistimewaan hari Sabtu bukan hanya itu saja. Karena, di hari ini rumah sakit kami rutin mengadakan senam bersama warga sekitar. Pastinya aktifitas ini sudah sesuai dengan prokes yang dicanangkan pemerintah. Jadi, tidak perlu khawatir, karena kegiatan ini dijamin aman. Dengan irama dangdut koplo sebagai pengiring senam, sebagian peserta senam bergerak mengikuti instruktur yang mencontohkan gerakan di depan kami. Kenapa sebagian? Karena sebagian lagi jelas malas-malasan untuk berolahraga. Sebagiannya lagi sudah lemas meskipun belum sampai setengah sesi pemanasan. Salah satunya
“Yah... mau gimana lagi. Semangat ya skripsiannya.” Ucapku pada Gio melalui telefon.“Maafin aku ya, Cil. Padahal hari minggu, tapi aku gak bisa luangin waktu buat kamu.” Sahut Gio.“Uhm... gapapa, kok. Lagian gak urgent juga kencan mah hehehe.”“Kalau gitu, aku tutup telefon dulu, ya. Masih revisi banyak, nih.” Pungkasnya.Gio pun langsung menutup telfonnya, tanpa menunggu balasanku.Sudah berkali-kali dia bersikap begini kepada ku. Aku terpaksa pasrah saja, karena dia beralasan bahwa tugas skripsinya sangat menyita waktu. Katanya lagi, skripsinya juga sangat membuatnya stres, sehingga kadang dia tidak ingin diganggu.Ini adalah pertama kalinya aku punya pacar, jadi aku mencari tahu banyak informasi tentang bagaimana menyikapi hal seperti ini. Kebanyakan beranggapan bahwa sebaiknya aku saja yang sabar, jadi itu lah yang sedang aku lakukan. Meskipun sebetulnya aku ingin sekali bertemu dengan Gi
Bab 18 Gosipin Si BossSepuluh tahun yang lalu...Seseorang pernah berkata bahwa kita adalah tokoh utama di hidup kita. Jadi, terserah kita mau dibawa ke mana ceritanya nanti. Aku juga berpikir seperti ini sebelumnya.Setiap malam, aku selalu membayangkan bagaimana hidupku nanti saat cita-citaku tercapai serta bagaimana reaksi orang-orang di sekitarku yang begitu bangga. Karena itu, aku selalu berusaha keras menggapainya.‘Plok! Plok! Plok!’Riuh tepuk tangan penonton memenuhi seluruh aula. Seorang gadis yang berdiri di atas panggung membungkukan diri memberi salam kepada mereka yang mendukungnya serta para juri. Setelah menegakkan badannya, dengan percaya diri gadis itu melambaikan tangannya.Hari ini adalah audisi final regional untuk sebuah kompetisi menyanyi terbesar di Indonesia yang disiarkan di stasiun televisi swasta nasional. Setiap daerah mengirimkan wakil mereka yang dipilih melalui audisi dan nantinya finalis
Sekarang boleh kabur tidak, ya? Serius canggungnya gak nahan banget. Coba tadi aku tidak dengar omongan dokter Hilman. Ah, parah!“Hari ini lumayan sepi ya, food court.” ujar Pak Alfa.“Eng.” aku cuma bisa mengiyakan.“Tadi dokter Hilman bawain pilus, nih. Lumayan buat dimakan sama bakso.” dia menunjukkan pilus di tangannya yang dibungkus plastik bening dan dimasukkan ke dalam kresek hitam putih.“Banyak banget, Pak.” responku.Ini aku tidak melebih-lebihkan, guys. Karena, memang banyak banget. Pilusnya dua bungkus pakai plastik ukuran satu kilo.“Ya, nanti kita bagi-bagi di kantor buat ngemil. Lumayan, kan?”Pak Alfa mengambil salah satu bungkus pilus, lalu membukanya.“Kita makan aja dulu sambil nunggu bakso kita dateng.” lanjutnya yang kemudian mengambil beberapa pilus, lalu dimasukannya ke dalam mulut.Untuk mengatasi k
Kejutan untukku kemarin belum berakhir begitu saja. Pagi ini, aku benar-benar disadarkan bahwa aku terlalu mudah ditipu orang.Ini masih ada hubungannya dengan status yang diunggah Wina sabtu lalu. Entah Wina yang bodoh atau bagaimana, seharusnya dia sadar bahwa kalau diunggah di status otomatis semua orang di kontaknya bisa melihatnya. Kalau ingin lebih aman sedikit, sebaiknya statusnya dipasang privasi. Jadi, setidaknya hanya orang-orang tertentu saja yang dia izinkan agar bisa melihat.Karena alasan inilah, Pak Alfa memanggilnya untuk diberikan SP 1.Masalahnya bukan semata soal minuman keras yang Wina minum. Karena, halal dan haram yang seseorang yakini itu berbeda-beda. Tetapi, lebih karena kumpul-kumpul semasa pandemi yang dia lakukan bersama temannya. Ditambah lagi, Wina sama sekali belum pernah divaksin. Jelas, untuk karyawan ruma sakit ini hal yang sangat tabu dilakukan.“Wah… kebablasan banget emang ini anak.” guman Raga yang
Seperti biasanya, setiap informasi yang ku dapatkan mengenai Pak Alfa pasti akan ku bagikan pada Mbak Bella dan Raga. Begitu pun tentang Pak Alfa dan Wina yang kemungkinan besar akan memiliki anak sebelum menikah. Karena, bisa saja kan Wina juga merasa cemburu pada Mbak Bella, seperti Wina yang cemburu padaku."Gak mungkin, Cil. Itu Wina kayaknya ngarang banget, deh." Mbak Bella memberi pendapat.Wajar saja dia beranggapan seperti itu. Pak Alfa tidak pernah memiliki imagejelek sebelumnya. Meskipun dia begitu populer di kalangan karyawan perempuan di rumah sakit ini, tidak sekali pun dia terlihat menyentuh mereka secara langsung. Termasuk pula Wina yang selama ini digosipkan dengannya."Tapi, Wina sendiri yang bilang ke gue, Mbak. Makanya gue jadi kepikiran.""Hhhhhh...." dengusan lelah keluar dari mulut Mbak Bella.Sebelum berkata lagi, dia lebih dulu fokus untuk membelokkan stir mobilnya."Lo tuh gak usah gampang percaya sama
Pembicaraan di antara aku dan Pak Alfa berlangsung seperti biasa. Aku tetap berusaha profesional dengan mendengarkan setiap instruksi yang dia berikan padaku. Meskipun sebetulnya sebagian otakku lari untuk memikirkan hal lain.“Kira-kira gitu aja sih, Cil. Masih ada yang perlu ditanyakan?”Aku menggelengkan kepalaku.“Oke. Kalau gitu diskusinya cukup sampai di sini.” tutupnya.Lalu, aku berdiri untuk bersiap keluar ruangan. Karena, kupikir pembicaraan kami sudah selesai.“Oh iya, Cecil.” panggilnya.Ditutupnya cover tablet di tangannya dan dia taruh di meja. Matanya yang menatapku nampak melengkung memberikan senyum.“Ehem!”“Sepulang kantor, ada yang perlu saya bicarakan. Kamu ada waktu kan?”Entah apa yang ingin dia bicarakan nanti, tapi jujur aku sedang malas meladeninya.“Hm… gimana ya, Pak? Sore nanti orang tua saya mau ke kontrakan. Jad
Ada satu hal yang perlu dikoreksi dari episode sebelumnya. Hal itu adalah bahwa sebenarnya hari Mingguku tidak terlalu buruk. Maksudku karena pada akhirnya aku bisa tidur. Sungguh aku sangat berterima kasih pada rasa kantuk dan gravitasi kasur. Meski begitu, bukan berarti aku terlepas dari bayang-bayang Pak Alfa. Terutama setelah Wina berkata bahwa saat ini dia sedang mengandung anak atasan kami itu. Saking terngiang-ngiangnya sampai terbawa ke alam mimpi. Aku bermimpi tentang Pak Alfa yang terus menyudutkanku dan terus berkata “Aku ingin lebih dekat dengan kamu” dengan nada yang sama persis seperti sebelumnya. Lalu, tiba-tiba muncul Wina dengan anak bayinya yang menangis sambil menatapku penuh dendam. Bagaimana bisa aku bangun dengan tenang? “Masih pagi udah ngelamun aja. Kesambet loh, nanti.” Seorang pria mengibas-ibaskan tangannya di depan wajahku. Berkatnya, aku jadi tersadar. “Lho, dokter Hilman gak jaga IGD?” tanyaku pada pria awet muda
“Kayaknya dugaan kita bener deh, Ga.”Dari layar ponsel, nampak Mbak Bella yang sudah bersantai di rumah mengenakan daster. Di layar itu ada pula Raga yang lengkap dengan kaos oblong dan celana kolornya. Berhubung kami semua sudah pulang kantor, aku mengajak mereka mengobrol melalui aplikasi video chat.“Awalnya gue juga gak percaya sih, Mbak. Tapi abis Cecil cerita lagi, gue jadi yakin.” tanggapnya.Padahal tadi aku yang memulai pembicaraan, tetapi justru aku juga yang tidak tahu ke mana arah pembicaraan ini.“Maksud kalian paan, sih? Kita lagi ngomongin hal yang sama kan?” ungkapku.Mbak Bella memanyunkan bibirnya sambil memutar bola matanya. Begitu pun Raga yang mendengus kesal sampai noisenya mengganggu bunyi di ear bud-ku.“Apaan, sih? Sumpah aku gak ngeh!” kesalku di depan layar ponsel.Mbak Bella tidak menjawab karena dia sedang menyuapi anak balitanya.
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayahnya aku bisa jauh lebih tenang di hari Sabtu yang cerah ini. Memang tidak seperti pekerja kantoran lain yang beroperasi lima hari dalam seminggu, manajemen rumah sakit kami tetap akan buka di hari sabtu. Tetapi, tentu saja akan lebih santai dan nantinya akan pulang lebih cepat dibandingkan dengan hari yang lain. Tentu saja keistimewaan hari Sabtu bukan hanya itu saja. Karena, di hari ini rumah sakit kami rutin mengadakan senam bersama warga sekitar. Pastinya aktifitas ini sudah sesuai dengan prokes yang dicanangkan pemerintah. Jadi, tidak perlu khawatir, karena kegiatan ini dijamin aman. Dengan irama dangdut koplo sebagai pengiring senam, sebagian peserta senam bergerak mengikuti instruktur yang mencontohkan gerakan di depan kami. Kenapa sebagian? Karena sebagian lagi jelas malas-malasan untuk berolahraga. Sebagiannya lagi sudah lemas meskipun belum sampai setengah sesi pemanasan. Salah satunya