Bekerja di rumah sakit itu kesannya harus pakai shift agar pelayanan rumah sakit terus berjalan sempurna selama 24 jam. Memang benar adanya demikian, tetapi itu tidak berlaku bagi kami yang berada di bagian manajemen. Jam kerja kami kurang lebih sama seperti pekerja kantoran dan dinas pemerintahan yang lain, yaitu sekitar pukul 08.00 dan selesai pukul 16.00. Kecuali hari sabtu, karena kami pulang lebih awal.
Karena itu, sekarang kami yang berada di ruang HRD sedang bersiap untuk pulang. Eh, tepatnya cuma aku, Raga dan Mbak Bella, sih. Sedangkan Wina dan Pak Alfa sepertinya masih berkutat dengan pekerjaan mereka.“Cil! Awas lo kalau mau ikutan lembur! Kita udah janjian ya, buat belanja baju hari ini.” Mbak Bella memperingatkanku sambil berbisik di telingaku.Kelihatannya dia tahu betul apa yang sebetulnya ingin aku lakukan. Karena memang benar, kalau aku ingin duduk manis dulu untuk update cerita romansa di ruangan berisi empat orang ini. Namun tentu saja, sebagai teman yang baik aku akan lebih memilih Mbak Bella.“Tenang aja, Mbak. Imanku masih kuat, kok. Lagian besok juga masih bisa ketemu mereka.” jawabku.“Jagain tuh, Mbak! Matanya suka jelalatan kemana-mana cari mangsa buat halu.” Raga menimpali.“Ish! Kayak lo gak lebih parah kalau halu tiap malem, sampe tisu abis?” balasku.“Eh! Paling gak gue tau tempat dan waktu ya, kalau mau halu!” Raga tidak mau kalah.“Udah! Udah! Kalian berantem mulu, ntar gak pulang-pulang!” Mbak Bella melerai, lalu menarik lenganku. Sebelum keluar ruangan, aku menengok pada Raga dan menjulurkan lidahku.Setelah itu kami segera menuju mesin absen dan menuju parkiran. Dalam perjalanan menuju parkiran, tidak banyak yang kami sapa maupun menyapa kami. Karena pada dasarnya karyawan bagian manajemen di rumah sakit swasta ini tidak terlalu banyak. Masing-masing divisi hanya memiliki dua sampai lima orang di bawahnya. Tidak ada wakil direktur dan sekretaris pribadi direktur. Jadi, jangan harap ada cerita sekretaris dan direktur di novel ini. Pemilik rumah sakit juga tidak berkantor di sini. Bisnisnya banyak, rumah sakit ini hanya salah satunya. Bahkan sebenarnya rumah sakit ini cuma cabang dari rumah sakit yang lebih besar di kota.Alasan lain kenapa rumah sakit ini tidak terlalu banyak karyawan manajemennya adalah karena pemilik berprinsip pada lean hospital. Artinya jumlah karyawan harus seramping mungkin. Bahkan aku dengar di awal-awal, bagian HRD ini hanya satu orang karyawan yang mengerjakan semua pekerjaan terkait SDM. Kepada siapapun itu, aku turut berduka cita. Karena mengurus gaji saja sudah sulit begini. Tidak jauh berbeda dengan manajemen, karyawan di bidang pelayanan medis, penunjang medis, maintenance, dan keamanan juga direkrut secukupnya. Intinya, semua serba ramping dan yang penting pelayanan rumah sakit tetap berkualitas.Sesampainya di parkiran, Mbak Bella menuju mobilnya. Kemudian dia dengan lincah mengeluarkan mobil warna merahnya yang super imut dari tempat parkirnya.“Masuk, Cil!” serunya dari dalam mobil.Menuruti perkataannya, aku pun duduk di kursi penumpang depan. Kucari posisi duduk yang nyaman, kemudian kupasang sabuk pengaman sementara Mbak Bella melajukan mobilnya secara perlahan menuju gerbang depan.Tempat belanja yang akan kami kunjungi terletak tidak begitu jauh dari rumah sakit. Kalau dengan mobil, biasanya cukup lima belas menit saja sudah sampai di sana.“Kamu bawa kantong belanja sendiri kan, Cil?” tanya Mbak Bella.“Bawa dong, Mbak. Santuy…” jawabku.“Sip!” katanya yang kemudian menghentikan mobil karena sudah sampai di parkiran super market.Kami lalu turun dari mobil, kemudian masing-masing mengambil keranjang beroda yang disediakan di samping pintu masuk super market. Tujuan kami selanjutnya adalah ke area telur, karena ada diskon besar-besaran di sana. Itu lah yang menjadi tujuan kami sebetulnya. Hmm… sebenarnya cuma Mbak Bella saja sih, yang butuh. Karena aku sudah terlanjur membeli banyak telur kemarin. Dan berhubung ada peraturan bahwa satu orang hanya boleh mengambil dua pack berisi satu lusin telur saja, jadilah Mbak Bella mengajakku.“Kenapa coba ada aturan cuma boleh ambil dua lusin? Padahal aku pengin beli banyak.” gerutu Mbak Bella dengan nada yang sedikit kesal.“Ya… mungkin yang punya retail kasihan sama yang lain. Biar semua kebagian gitu.” jawabku asal.“Ish… kan nantinya mau kujualin juga jadi kue kering. Jadinya, kan sama aja masuk perut orang lain.”Mbak Bella memang memiliki usaha sampingan kue kering. Saat ini masih merintis, tapi sudah lumayan laris manis untuk ukuran pemula. Karena kuenya memang enak, teman-temannya di kantor maupun di luar kantor sering memesan kue buatannya. Biasanya, dia membuka pesanan di hari jumat sampai minggu saja, supaya pekerjaannya di kantor tidak terganggu. Tidak tahu kalau lebaran nanti akan seperti apa.Sesuai rencana, kami mengambil telur masing-masing dan menaruhnya di keranjang. Baru setelah itu kami lanjut berbelanja keperluan yang lain. Karena kebetulan saat belanja kemarin aku lupa beli sabun muka, aku memutuskan pergi ke area perawatan kulit dan wajah sebelum lupa lagi. Sementara itu, Mbak Bella pergi ke area makanan ringan.Ku cari sabun cuci muka yang biasanya kupakai di rak yang berisi deretan sabun cuci muka. Di sana rupanya hanya tersisa satu botol saja yang berukuran besar.“Untung aja masih ada.” gumamku dalam hati.Berhubung Mbak Bella masih asik memilih jajanan untuk dibeli, aku memutuskan untuk melihat satu persatu rak di area kulit dan wajah. Mulai dari rak yang ada di bawah sabun cuci muka tadi. Rak tersebut berisi toner wajah dari berbagai merk yang beredar di Indonesia. Ada merek lokal dan merk internasional dari berbagai negara. Merk luar yang terpajang di sini didominasi oleh Jepang. Dan ternyata bukan hanya di deretan toner saja, tapi juga di deretan pelembab wajah yang terdapat di bawahnya. Baru di rak paling bawah yang berisi masker kecantikan wajah lah merk dari Korea Selatan mendominasi.Tertarik dengan kemasannya yang bergambar lucu, aku pun mengambil salah satu masker wajah itu untuk di baca. Mungkin saja masker ini akan cocok untuk kulit wajahku yang cenderung kering.“Will hydrate your skin…” aku membaca pelan.Rupanya masker wajah yang kupegang ini sesuai dengan keluhan kulitku. Kupikir tidak ada salahnya untuk mencobanya. Jadi, akan ku masukkan ke keranjang saja. Namun, baru saja masker itu mendarat di keranjangku, tiba-tiba seseorang menyapaku.“Cecil?”Mendengar suara itu, badanku sedikit menegang. Ini adalah suara yang sama sekali tidak ingin ku dengar lagi seumur hidupku. Suara orang yang paling kuhindari selama ini.Tanpa mendengar balasan sapaanku, dia lanjut berkata, “Elah… mau pakai masker berlapis-lapis, lo juga ga bakal jadi cakep kali. Percuma! Percuma!”Dari lubuk hati terdalam, segenap kata-kata kasar sebenarnya sudah siap aku lontarkan. Tetapi, ini adalah tempat umum. Yang ada nantinya akan jadi masalah. Jelas aku tidak mau itu.“Dari jauh aja gue udah sadar itu elo. Sekarang sih, udah kurusan. Tapi, inget gak lo waktu SMA dah kayak B2. hahaha!” gelak pria itu.“Papi, jangan ngomong gitu, ah! Gak baik buat contoh anak-anak nanti.” kata seorang wanita yang sepertinya adalah istri dari pria itu.Aku pun menegakkan badanku, lalu berbalik menghadap mereka. Betapa terkejutnya aku begitu mengetahui bahwa pria yang dulu ku kenal baik itu telah berubah banyak. Atau mungkin mataku saja yang kurang waras, tetapi jelas sekali bahwa pesonanya yang sempat menjeratku semasa sekolah dulu telah hilang hampir tak berbekas.“Hay, Bri. Lama gak ketemu.” sapaku dengan sopan. Semoga saja dia segera sadar bahwa caranya menyapaku tadi itu salah. Padahal kami berdua tidak pernah bertemu sej
Sejak peristiwa kemarin, Mbak Bella tak kunjung menyingkirkan senyum meledeknya yang dia tujukan padaku. Di tengah pekerjaannya yang tak kalah sibuk denganku, sesekali dia melirik ke arahku. Aku yang malas menanggapinya pun memutuskan untuk cuek saja. Mendingan selesaikan pekerjaan, supaya bisa pulang tepat waktu.“Cecil!” panggil Pak Alfa di pintunya.Tangannya melambai padaku, mengisyaratkan agar aku segera menemuinya di ruangan. Karena kupikir ini penting, aku pun menurut untuk masuk ke ruangan berukuran 2x3 m2itu.Seperti biasa, ruangan ini sangat rapi. Padahal meskipun namanya ‘Ruang Kabag’, sebenarnya ruangan ini juga digunakan sebagai tempat penyimpanan dokumen karyawan yang masih aktif. Karena keterbatasan ruangan, rumah sakit ini tidak memiliki tempat penyimpanan dokumen milik manajemen. Jadi, mau tidak mau kami menyimpan sebagian besar dokumen di masing-masing ruangan milik atasan.“Ada apa ya, Pak?
Keanehan Pak Alfa masih berlangsung bahkan sampai saat waktunya pulang tiba. Jika biasanya dia menunggu Wina menyelesaikan pekerjaannya, saat ini dia sudah keluar terlebih dahulu. Dia tadi nampak buru-buru sekali keluar dari kantor begitu jam menunjukkan pukul 16.00. Aku bisa saja berpikir bahwa Pak Alfa ada keperluan di luar yang sangat mendesak, sehingga dia pulang lebih dulu dari pada biasanya. Tetapi, itu kalau aku tidak mendapati mobilnya masih bertenger di tempat parkir. Bahkan dia masih berdiri santai di samping mobil sambil mengutak-atik ponsel pintarnya.“Kok Bapak masih di sini? Kirain sudah pulang.” tanyaku pada Pak Alfa sambil berjalan mendekatinya.Dia yang tadinya fokus pada ponsel pintarnya pun berpaling menghadapku. Melihatku mendekat, Pak Alfa langsung mengembangkan senyumnya yang selalu membuat banyak orang salah paham.“Kamu mau pulang juga kan? Saya udah nunggu kamu dari tadi.”Pak
Hari semakin gelap, cafe bernama ''Treasure' ini pun menjadi semakin ramai. Kebanyakan tamu yang datang berusia sekitar remaja akhir hingga usia pertengahan dua puluhan. Sementara menunggu pesanan datang, mereka menghabiskan waktu dengan mengobrol, berfoto, dan bermain permainan papan yang tersedia di cafe ini."Jadi, Bapak mau bicara apa?" tanyaku tak sabar.Pria yang sudah dua tahun menjadi atasanku itu tersenyum, lalu menjawab, "Saya tidak kira kalau kamu ternyata setidak peka itu."Jawabannya itu justru membuatku semakin bingung. Memangnya apanya dari diriku yang tidak peka?"Maksud Pak Alfa?" tanyaku lagi."Hah... gimana ya? Saya paling susah kalau ngomongin hal begini."Selama kalimatnya terjeda, pesanan kami pun datang. Dua cangkir teh earl grey panas, dan tiga makanan yang masing-masing adalah dua milik Pak Alfa dan satu punyaku."Selamat menikmati. Kalau mau pesen lagi, langsung
“Cil, bisa gak kita obrolin teman kamu yang selain Raga?” Raga yang sedang meminum kopi paginya tersedak mendengarkanku menirukan Pak Alfa sore itu. Bahkan dia sampai terbatuk dan mengeluarkan kembali sebagian kopi yang sudah masuk ke mulutnya. “Ewwhh… Raga jorok ikh!” keluh Mbak Bella yang terkena percikan kopi dari mulut Raga. Ditaruhnya kopi yang ada di tangannya ke sebelah komputernya, lalu Raga berdalih, “Maaf, Mbak. Salahin si Cecil ini, nih. Ceritanya masa kayak gitu!” Memang sih, aku berkontribusi atas tersedaknya Raga. Tetapi, dia sendiri yang menanyakan tentang kejadian kemarin sore. Karena aku tidak ingin membuat dia penasaran, ya jelas langsung kuceritakan ke intinya lah! “Kok bisa tiba-tiba dia bilang gitu?” tanya Mbak Bella padaku. “Awalnya tuh gue ditanyain eng… gue lupa gimana kalimatnya, intinya dia tanya siapa yang pernah mampir ke kontrakan gue. Terus gue bilang nama kalian. Nah, pas gue sebut nama Mbak Bella, dia bi
Untung saja aku masih bisa fokus dengan materi yang disampaikan oleh orang dari BPJS Kesehatan ini. Setidaknya intinya aku paham, karena memang bukan materi sulit seperti kuliah. Mereka hanya mempromosikan aplikasi terbaru mereka untuk menggantikan aplikasi yang lama dan cara penggunaannya.Peserta yang hadir adalah para perwakilan dari seluruh perusahaan yang didirikan di kota ini. Karena itu bukan hanya dari rumah sakit saja.Aku duduk di samping seorang perempuan berusia 30-an yang bekerja di sebuah perusahaan retail yang cukup besar. Namanya Mbak Shinta. Aku mengenalnya sejak beberapa tahun yang lalu, karena sama-sama sering ditugaskan ke pertemuan semacam ini. Berkat dia lah sampai sekarang aku tidak terbengong-bengong di setiap acara luar. Karena berbeda denganku yang malu-malu kucing untuk kenalan, dia adalah orang yang mudah bergaul dengan orang-orang baru.Acara kemudian dilanjut dengan makan siang bersama. Aku dan Mbak Shinta segera menuju restoran hot
Gawat gawat gawat! Sepertinya aku juga ikut-ikutan terseret karena membicarakan Raga terus. Wah… masalah besar ini mah.Padahal selama enam tahun aku bekerja di sini, aku selalu berusaha supaya tidak membuat masalah. Sekarang hanya karena membicarakan salah satu bawahan yang tidak dia sukai saja, Pak Alfa sudah menunjukkan ketidaksukaannya juga padaku.“Heh! Jalan sambil ngelamun di RS bikin gampang diganggu yang gak keliatan, loh.”Dokter Hilman menepuk pundakku dengan pelan dari belakang, sehingga membuatku tersadar dari lamunan.“Haah…” aku mendengus lelah.“Dokter gak ngerti betapa risaunya saya saat ini.”Mendengar alasanku itu, dokter Hilman terkekeh.“Soal Alfa?” tebaknya.Entah bagaimana caranya dia menebak isi hatiku dengan tepat. Tetapi, memang atasan gantengku itu lah yang membuatku galau saat ini. Bukan karena aku naksir padanya tentunya. Kira-kira kalau
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayahnya aku bisa jauh lebih tenang di hari Sabtu yang cerah ini. Memang tidak seperti pekerja kantoran lain yang beroperasi lima hari dalam seminggu, manajemen rumah sakit kami tetap akan buka di hari sabtu. Tetapi, tentu saja akan lebih santai dan nantinya akan pulang lebih cepat dibandingkan dengan hari yang lain. Tentu saja keistimewaan hari Sabtu bukan hanya itu saja. Karena, di hari ini rumah sakit kami rutin mengadakan senam bersama warga sekitar. Pastinya aktifitas ini sudah sesuai dengan prokes yang dicanangkan pemerintah. Jadi, tidak perlu khawatir, karena kegiatan ini dijamin aman. Dengan irama dangdut koplo sebagai pengiring senam, sebagian peserta senam bergerak mengikuti instruktur yang mencontohkan gerakan di depan kami. Kenapa sebagian? Karena sebagian lagi jelas malas-malasan untuk berolahraga. Sebagiannya lagi sudah lemas meskipun belum sampai setengah sesi pemanasan. Salah satunya