Tidak butuh waktu lama untuk Raga menyelesaikan pesanan makanan kami, karena hanya ada lima antrean di depannya. Karena itu, sekitar lima belas menit kemudian dia sudah kembali.
Tetapi, baru juga berjalan dari sana beberapa langkah dia sudah berhenti. Terlihat betul bahwa Raga tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya saat tahu bahwa ternyata aku sudah pindah ke meja Pak Alfa dan Wina. Sementara aku hanya meringis menanggapi wajah penuh tanyanya itu.Pak Alfa yang menyadari akan kembalinya Raga melambaikan tangan padanya."Raga! Sini!" Pak Alfa berseru.Raga pun menuju ke meja kami, kemudian setelah dipersilakan dia duduk di sebelahku. Lalu, dia serahkan air mineral yang tadi sekalian dia ambil di kulkas food court padaku."Cidil! Jadangadan bidiladang lodo yadang madaksada bidiadar dudududuk didi sidinidi. (Cil! Jangan bilang lo yang maksa biar duduk di sini.)" tuduh Raga dengan volume suara yang cukup lirih.Aku yang sedang meminum air mineral tadi sedikit tersedak mendengar Raga yang tiba-tiba menggunakan bahasa alien. Pasti dia tidak ingin kata-katanya tadi didengar atasannya."Yada kadalidi, Gada. Edemadangnyada guduwede adapadaadan? (Ya kali, Ga. Emang gue apaan?)" balasku berbisik.Tentu saja aku yang mengalami masa remaja di era 2000-an paham bahasa alien ini. Aku kan anak gaul pada masanya. Dan Raga sebenarnya juga belajar dariku."Edemadangnyada adadada yadang ledebidih tadahudu lodo dadaridipadadada guduwede didi sidinidi? Padaliding lodo ladagidi cadaridi godosidip sodoadal padak adalfada. (Emangnya ada yang lebih tahu lo daripada gue di sini? Paling lo lagi cari gosip soal Pak Alfa.)"Aku mendengus kesal karena tuduhannya itu. Memang sih, aku suka cari-cari gosip soal orang-orang di kantor, tapi ya tidak sampai maksa seperti yang dituduhkan Raga itu. Dan gosipnya juga cuma ku ceritakan pada Raga dan Mbak Bella. Eh, sama pembaca juga, ding. Jadi, kalau tiba-tiba ceritaku sampai keluar ruangan, berarti antara Raga dan Mbak Bella yang tidak bisa menjaga mulutnya atau ada orang lain yang tidak sengaja mendengar."Kadalidi idinidi gadak, yada. Padak Adalfada yadang midintada. (Kali ini gak, ya. Pak Alfa yang minta.)"Raga mencebik, lalu berkata, "Hidilidih, gadak pedercadayada. (Hilih, gak percaya.)""Kadalidiadan pidikidir sadayada gadak tadahudu badahadasada kadalidiadan? (Kalian pikir saya gak tahu bahasa kalian?)"Barusan tadi bukan aku ataupun Raga yang berbicara. Suara Raga tidak semanis ini. Suara Raga lebih tebal dan ada aksen medhok di huruf 'd' dan 't' -nya. Sedangkan tadi terdengar lebih anggun dan merdu. Untuk memastikannya, kami menengok ke sumber suara yang tak lain adalah Pak Alfa.Dia nampak mensedekapkan tangannya di bawah dada sambil menyunggingkan senyum seribu artinya. Sementara itu, Wina yang ada di sebelahnya nampak kebingungan. Mungkin dia heran dengan bahasa alien kami."Sajayaja jujugaja bijisaja pajakajaiji hujurujuf lajaijin. (Saya juga bisa pakai huruf lain.)"OMG! Dua tahun mengenalnya, baru kali ini aku tahu bahwa atasanku juga termasuk anak gaul milenium. Mana dia juga cukup fasih. Astaga… jangan-jangan selama ini dia paham obrolanku dengan Raga dan Mbak Bella juga. Rasa-rasanya keringat dingin mulai mengucur di dahiku.“Ih, kok kalian kayak cuekin aku, sih. Curang pakai bahasa aneh-aneh gitu. Pasti lagi ledekin aku, ya?”Entah dari mana kesimpulan itu Wina dapatkan. Dia nampak kesal, terlihat dari pipinya yang menggembung. Tetapi, wajah cemberutnya itu justru membuatnya semakin manis dan aku yakin Pak Alfa akan setuju dengan pendapatku. Karena setelah melihat ekspresi Wina itu, Pak Alfa jadi terkekeh.“Pede banget lo, Win! Orang kita malah lagi ngomongin Pak Alfa. Iya kan, Pak?”ujar Raga, mencari pembenaran.Pak Alfa menggeleng-gelengkan kepalanya lirih sambil berdecak. Kemudian, dia membalas, “Kayaknya cuma kalian yang berani ngomongin atasan di depannya langsung. Gak sadar kalau kalian karyawan HRD? Contohin yang baik, dong.”Gara-gara Raga, malah kena omelan Pak Alfa.“Maaf, Pak. Raga yang mulai.”kataku.Merasa dikambinghitamkan, Raga melotot padaku. Aku juga balas melotot padanya. Kalau boleh, sebetulnya aku sudah ingin adu debat dengannya. Tetapi, untungnya itu tidak terjadi karena makanan kami akhirnya sampai.“Makasih, Mas Bowo.” ucapku pada Mas Bowo yang merupakan salah satu petugas di food court.Kalau dilanjutkan, mungkin nilai kami di mata Pak Alfa akan benar-benar jatuh. Terima kasih, wahai Mas Bowo.Aku yang sudah kelaparan pun menyantap makanan yang baru datang itu dengan semangat. Memang waktu istirahat siang masih tersisa cukup lama, tetapi aku merasa harus segera minggat dari sini. Karena bisa saja aku dan Raga mengganggu kencan siang singkat Pak Alfa dan Wina.“Makannya jangan cepet-cepet! Keselek loh, nanti. Kamu kan tahu orang bisa mati karena keselek, loh.”“Ohok!!”Baru juga diingatkan, aku jadi benar-benar tersedak. Siapa juga yang tidak akan tersedak saat makan kalau tiba-tiba pundaknya dipukul. Mana kalimatnya tadi cukup ngeri.“Ya, Gusti… Dokter Hilman!!”seruku sambil memukulinya bertubi-tubi. Sedangkan dirinya terus tertawa terbahak, karena berhasil mengerjaiku.“Maaf… maaf…” katanya dengan lagak tengilnya, setelah berhasil menghindar dari pukulanku.“Hish!” gerutuku kesal.Para pembaca sekalian, mungkin kalian tidak akan percaya kalau aku bilang bahwa orang yang suka bercanda tadi adalah salah satu dokter di rumah sakit ini. Dan mungkin akan lebih sulit percaya lagi kalau aku bilang bahwa dia adalah seorang Kabid (Kepala Bidang) Pelayanan. Umurnya sudah masuk kepala empat, tapi hobinya seperti bocah SD yang suka jahil pada teman sekelasnya.“Selamat siang, Dok. Mari duduk sama kami.” ajak Pak Alfa.“Kamu agak geser dikit, Fa. Aku mau duduk di sebelah ‘yayang’ Wina.”Pak Alfa menuruti permintaan Dokter Hilman. Dia pindah ke kursi sebelahnya yang masih kosong. Hal itu sepertinya membuat Wina sedikit kesal, karena saat Dokter Hilman sudah duduk di sebelahnya, dia memutar bola matanya.Seperti yang kukatakan sebelumnya, meskipun bukan rumah sakit besar yang serba mewah, rumah sakit ini adalah sarang visual. Banyak perempuan dan pria berwajah menawan di sini, sehingga membuatku selalu merasa bahwa aku sedang berada di dalam drama romansa. Tidak hanya Pak Alfa, baik Wina dan Dokter Hilman juga tidak kalah menarik. Yang satu cantik, satunya lagi tampan. Dan biasanya seseorang yang berfisik sempurna juga akan tertarik pada yang sempurna juga. Seperti Dokter Hilman ini yang jelas-jelas memiliki hati untuk Wina. Tetapi seperti yang kita pahami, hati Wina 90% sudah milik Pak Alfa. Dan mungkin Pak Alfa juga begitu.Sebagai penggembira, tentunya aku sangat suka dengan pemandangan cinta segitiga di depanku ini. Sampai-sampai aku tak bisa berhenti tersenyum lebar.“Cil, sadar, woi!”Dalam hati aku menjawab seruan Raga. Percuma saja, Ga. Guwe lagi asik. Masa gue lewatin kejadian langka gini, sih?Bekerja di rumah sakit itu kesannya harus pakai shiftagar pelayanan rumah sakit terus berjalan sempurna selama 24 jam. Memang benar adanya demikian, tetapi itu tidak berlaku bagi kami yang berada di bagian manajemen. Jam kerja kami kurang lebih sama seperti pekerja kantoran dan dinas pemerintahan yang lain, yaitu sekitar pukul 08.00 dan selesai pukul 16.00. Kecuali hari sabtu, karena kami pulang lebih awal.Karena itu, sekarang kami yang berada di ruang HRD sedang bersiap untuk pulang. Eh, tepatnya cuma aku, Raga dan Mbak Bella, sih. Sedangkan Wina dan Pak Alfa sepertinya masih berkutat dengan pekerjaan mereka.“Cil! Awas lo kalau mau ikutan lembur! Kita udah janjian ya, buat belanja baju hari ini.” Mbak Bella memperingatkanku sambil berbisik di telingaku.Kelihatannya dia tahu betul apa yang sebetulnya ingin aku lakukan. Karena memang benar, kalau aku ingin duduk manis dulu untuk updatecerita romansa di ruangan berisi e
Dari lubuk hati terdalam, segenap kata-kata kasar sebenarnya sudah siap aku lontarkan. Tetapi, ini adalah tempat umum. Yang ada nantinya akan jadi masalah. Jelas aku tidak mau itu.“Dari jauh aja gue udah sadar itu elo. Sekarang sih, udah kurusan. Tapi, inget gak lo waktu SMA dah kayak B2. hahaha!” gelak pria itu.“Papi, jangan ngomong gitu, ah! Gak baik buat contoh anak-anak nanti.” kata seorang wanita yang sepertinya adalah istri dari pria itu.Aku pun menegakkan badanku, lalu berbalik menghadap mereka. Betapa terkejutnya aku begitu mengetahui bahwa pria yang dulu ku kenal baik itu telah berubah banyak. Atau mungkin mataku saja yang kurang waras, tetapi jelas sekali bahwa pesonanya yang sempat menjeratku semasa sekolah dulu telah hilang hampir tak berbekas.“Hay, Bri. Lama gak ketemu.” sapaku dengan sopan. Semoga saja dia segera sadar bahwa caranya menyapaku tadi itu salah. Padahal kami berdua tidak pernah bertemu sej
Sejak peristiwa kemarin, Mbak Bella tak kunjung menyingkirkan senyum meledeknya yang dia tujukan padaku. Di tengah pekerjaannya yang tak kalah sibuk denganku, sesekali dia melirik ke arahku. Aku yang malas menanggapinya pun memutuskan untuk cuek saja. Mendingan selesaikan pekerjaan, supaya bisa pulang tepat waktu.“Cecil!” panggil Pak Alfa di pintunya.Tangannya melambai padaku, mengisyaratkan agar aku segera menemuinya di ruangan. Karena kupikir ini penting, aku pun menurut untuk masuk ke ruangan berukuran 2x3 m2itu.Seperti biasa, ruangan ini sangat rapi. Padahal meskipun namanya ‘Ruang Kabag’, sebenarnya ruangan ini juga digunakan sebagai tempat penyimpanan dokumen karyawan yang masih aktif. Karena keterbatasan ruangan, rumah sakit ini tidak memiliki tempat penyimpanan dokumen milik manajemen. Jadi, mau tidak mau kami menyimpan sebagian besar dokumen di masing-masing ruangan milik atasan.“Ada apa ya, Pak?
Keanehan Pak Alfa masih berlangsung bahkan sampai saat waktunya pulang tiba. Jika biasanya dia menunggu Wina menyelesaikan pekerjaannya, saat ini dia sudah keluar terlebih dahulu. Dia tadi nampak buru-buru sekali keluar dari kantor begitu jam menunjukkan pukul 16.00. Aku bisa saja berpikir bahwa Pak Alfa ada keperluan di luar yang sangat mendesak, sehingga dia pulang lebih dulu dari pada biasanya. Tetapi, itu kalau aku tidak mendapati mobilnya masih bertenger di tempat parkir. Bahkan dia masih berdiri santai di samping mobil sambil mengutak-atik ponsel pintarnya.“Kok Bapak masih di sini? Kirain sudah pulang.” tanyaku pada Pak Alfa sambil berjalan mendekatinya.Dia yang tadinya fokus pada ponsel pintarnya pun berpaling menghadapku. Melihatku mendekat, Pak Alfa langsung mengembangkan senyumnya yang selalu membuat banyak orang salah paham.“Kamu mau pulang juga kan? Saya udah nunggu kamu dari tadi.”Pak
Hari semakin gelap, cafe bernama ''Treasure' ini pun menjadi semakin ramai. Kebanyakan tamu yang datang berusia sekitar remaja akhir hingga usia pertengahan dua puluhan. Sementara menunggu pesanan datang, mereka menghabiskan waktu dengan mengobrol, berfoto, dan bermain permainan papan yang tersedia di cafe ini."Jadi, Bapak mau bicara apa?" tanyaku tak sabar.Pria yang sudah dua tahun menjadi atasanku itu tersenyum, lalu menjawab, "Saya tidak kira kalau kamu ternyata setidak peka itu."Jawabannya itu justru membuatku semakin bingung. Memangnya apanya dari diriku yang tidak peka?"Maksud Pak Alfa?" tanyaku lagi."Hah... gimana ya? Saya paling susah kalau ngomongin hal begini."Selama kalimatnya terjeda, pesanan kami pun datang. Dua cangkir teh earl grey panas, dan tiga makanan yang masing-masing adalah dua milik Pak Alfa dan satu punyaku."Selamat menikmati. Kalau mau pesen lagi, langsung
“Cil, bisa gak kita obrolin teman kamu yang selain Raga?” Raga yang sedang meminum kopi paginya tersedak mendengarkanku menirukan Pak Alfa sore itu. Bahkan dia sampai terbatuk dan mengeluarkan kembali sebagian kopi yang sudah masuk ke mulutnya. “Ewwhh… Raga jorok ikh!” keluh Mbak Bella yang terkena percikan kopi dari mulut Raga. Ditaruhnya kopi yang ada di tangannya ke sebelah komputernya, lalu Raga berdalih, “Maaf, Mbak. Salahin si Cecil ini, nih. Ceritanya masa kayak gitu!” Memang sih, aku berkontribusi atas tersedaknya Raga. Tetapi, dia sendiri yang menanyakan tentang kejadian kemarin sore. Karena aku tidak ingin membuat dia penasaran, ya jelas langsung kuceritakan ke intinya lah! “Kok bisa tiba-tiba dia bilang gitu?” tanya Mbak Bella padaku. “Awalnya tuh gue ditanyain eng… gue lupa gimana kalimatnya, intinya dia tanya siapa yang pernah mampir ke kontrakan gue. Terus gue bilang nama kalian. Nah, pas gue sebut nama Mbak Bella, dia bi
Untung saja aku masih bisa fokus dengan materi yang disampaikan oleh orang dari BPJS Kesehatan ini. Setidaknya intinya aku paham, karena memang bukan materi sulit seperti kuliah. Mereka hanya mempromosikan aplikasi terbaru mereka untuk menggantikan aplikasi yang lama dan cara penggunaannya.Peserta yang hadir adalah para perwakilan dari seluruh perusahaan yang didirikan di kota ini. Karena itu bukan hanya dari rumah sakit saja.Aku duduk di samping seorang perempuan berusia 30-an yang bekerja di sebuah perusahaan retail yang cukup besar. Namanya Mbak Shinta. Aku mengenalnya sejak beberapa tahun yang lalu, karena sama-sama sering ditugaskan ke pertemuan semacam ini. Berkat dia lah sampai sekarang aku tidak terbengong-bengong di setiap acara luar. Karena berbeda denganku yang malu-malu kucing untuk kenalan, dia adalah orang yang mudah bergaul dengan orang-orang baru.Acara kemudian dilanjut dengan makan siang bersama. Aku dan Mbak Shinta segera menuju restoran hot
Gawat gawat gawat! Sepertinya aku juga ikut-ikutan terseret karena membicarakan Raga terus. Wah… masalah besar ini mah.Padahal selama enam tahun aku bekerja di sini, aku selalu berusaha supaya tidak membuat masalah. Sekarang hanya karena membicarakan salah satu bawahan yang tidak dia sukai saja, Pak Alfa sudah menunjukkan ketidaksukaannya juga padaku.“Heh! Jalan sambil ngelamun di RS bikin gampang diganggu yang gak keliatan, loh.”Dokter Hilman menepuk pundakku dengan pelan dari belakang, sehingga membuatku tersadar dari lamunan.“Haah…” aku mendengus lelah.“Dokter gak ngerti betapa risaunya saya saat ini.”Mendengar alasanku itu, dokter Hilman terkekeh.“Soal Alfa?” tebaknya.Entah bagaimana caranya dia menebak isi hatiku dengan tepat. Tetapi, memang atasan gantengku itu lah yang membuatku galau saat ini. Bukan karena aku naksir padanya tentunya. Kira-kira kalau
“Yah... mau gimana lagi. Semangat ya skripsiannya.” Ucapku pada Gio melalui telefon.“Maafin aku ya, Cil. Padahal hari minggu, tapi aku gak bisa luangin waktu buat kamu.” Sahut Gio.“Uhm... gapapa, kok. Lagian gak urgent juga kencan mah hehehe.”“Kalau gitu, aku tutup telefon dulu, ya. Masih revisi banyak, nih.” Pungkasnya.Gio pun langsung menutup telfonnya, tanpa menunggu balasanku.Sudah berkali-kali dia bersikap begini kepada ku. Aku terpaksa pasrah saja, karena dia beralasan bahwa tugas skripsinya sangat menyita waktu. Katanya lagi, skripsinya juga sangat membuatnya stres, sehingga kadang dia tidak ingin diganggu.Ini adalah pertama kalinya aku punya pacar, jadi aku mencari tahu banyak informasi tentang bagaimana menyikapi hal seperti ini. Kebanyakan beranggapan bahwa sebaiknya aku saja yang sabar, jadi itu lah yang sedang aku lakukan. Meskipun sebetulnya aku ingin sekali bertemu dengan Gi
Bab 18 Gosipin Si BossSepuluh tahun yang lalu...Seseorang pernah berkata bahwa kita adalah tokoh utama di hidup kita. Jadi, terserah kita mau dibawa ke mana ceritanya nanti. Aku juga berpikir seperti ini sebelumnya.Setiap malam, aku selalu membayangkan bagaimana hidupku nanti saat cita-citaku tercapai serta bagaimana reaksi orang-orang di sekitarku yang begitu bangga. Karena itu, aku selalu berusaha keras menggapainya.‘Plok! Plok! Plok!’Riuh tepuk tangan penonton memenuhi seluruh aula. Seorang gadis yang berdiri di atas panggung membungkukan diri memberi salam kepada mereka yang mendukungnya serta para juri. Setelah menegakkan badannya, dengan percaya diri gadis itu melambaikan tangannya.Hari ini adalah audisi final regional untuk sebuah kompetisi menyanyi terbesar di Indonesia yang disiarkan di stasiun televisi swasta nasional. Setiap daerah mengirimkan wakil mereka yang dipilih melalui audisi dan nantinya finalis
Sekarang boleh kabur tidak, ya? Serius canggungnya gak nahan banget. Coba tadi aku tidak dengar omongan dokter Hilman. Ah, parah!“Hari ini lumayan sepi ya, food court.” ujar Pak Alfa.“Eng.” aku cuma bisa mengiyakan.“Tadi dokter Hilman bawain pilus, nih. Lumayan buat dimakan sama bakso.” dia menunjukkan pilus di tangannya yang dibungkus plastik bening dan dimasukkan ke dalam kresek hitam putih.“Banyak banget, Pak.” responku.Ini aku tidak melebih-lebihkan, guys. Karena, memang banyak banget. Pilusnya dua bungkus pakai plastik ukuran satu kilo.“Ya, nanti kita bagi-bagi di kantor buat ngemil. Lumayan, kan?”Pak Alfa mengambil salah satu bungkus pilus, lalu membukanya.“Kita makan aja dulu sambil nunggu bakso kita dateng.” lanjutnya yang kemudian mengambil beberapa pilus, lalu dimasukannya ke dalam mulut.Untuk mengatasi k
Kejutan untukku kemarin belum berakhir begitu saja. Pagi ini, aku benar-benar disadarkan bahwa aku terlalu mudah ditipu orang.Ini masih ada hubungannya dengan status yang diunggah Wina sabtu lalu. Entah Wina yang bodoh atau bagaimana, seharusnya dia sadar bahwa kalau diunggah di status otomatis semua orang di kontaknya bisa melihatnya. Kalau ingin lebih aman sedikit, sebaiknya statusnya dipasang privasi. Jadi, setidaknya hanya orang-orang tertentu saja yang dia izinkan agar bisa melihat.Karena alasan inilah, Pak Alfa memanggilnya untuk diberikan SP 1.Masalahnya bukan semata soal minuman keras yang Wina minum. Karena, halal dan haram yang seseorang yakini itu berbeda-beda. Tetapi, lebih karena kumpul-kumpul semasa pandemi yang dia lakukan bersama temannya. Ditambah lagi, Wina sama sekali belum pernah divaksin. Jelas, untuk karyawan ruma sakit ini hal yang sangat tabu dilakukan.“Wah… kebablasan banget emang ini anak.” guman Raga yang
Seperti biasanya, setiap informasi yang ku dapatkan mengenai Pak Alfa pasti akan ku bagikan pada Mbak Bella dan Raga. Begitu pun tentang Pak Alfa dan Wina yang kemungkinan besar akan memiliki anak sebelum menikah. Karena, bisa saja kan Wina juga merasa cemburu pada Mbak Bella, seperti Wina yang cemburu padaku."Gak mungkin, Cil. Itu Wina kayaknya ngarang banget, deh." Mbak Bella memberi pendapat.Wajar saja dia beranggapan seperti itu. Pak Alfa tidak pernah memiliki imagejelek sebelumnya. Meskipun dia begitu populer di kalangan karyawan perempuan di rumah sakit ini, tidak sekali pun dia terlihat menyentuh mereka secara langsung. Termasuk pula Wina yang selama ini digosipkan dengannya."Tapi, Wina sendiri yang bilang ke gue, Mbak. Makanya gue jadi kepikiran.""Hhhhhh...." dengusan lelah keluar dari mulut Mbak Bella.Sebelum berkata lagi, dia lebih dulu fokus untuk membelokkan stir mobilnya."Lo tuh gak usah gampang percaya sama
Pembicaraan di antara aku dan Pak Alfa berlangsung seperti biasa. Aku tetap berusaha profesional dengan mendengarkan setiap instruksi yang dia berikan padaku. Meskipun sebetulnya sebagian otakku lari untuk memikirkan hal lain.“Kira-kira gitu aja sih, Cil. Masih ada yang perlu ditanyakan?”Aku menggelengkan kepalaku.“Oke. Kalau gitu diskusinya cukup sampai di sini.” tutupnya.Lalu, aku berdiri untuk bersiap keluar ruangan. Karena, kupikir pembicaraan kami sudah selesai.“Oh iya, Cecil.” panggilnya.Ditutupnya cover tablet di tangannya dan dia taruh di meja. Matanya yang menatapku nampak melengkung memberikan senyum.“Ehem!”“Sepulang kantor, ada yang perlu saya bicarakan. Kamu ada waktu kan?”Entah apa yang ingin dia bicarakan nanti, tapi jujur aku sedang malas meladeninya.“Hm… gimana ya, Pak? Sore nanti orang tua saya mau ke kontrakan. Jad
Ada satu hal yang perlu dikoreksi dari episode sebelumnya. Hal itu adalah bahwa sebenarnya hari Mingguku tidak terlalu buruk. Maksudku karena pada akhirnya aku bisa tidur. Sungguh aku sangat berterima kasih pada rasa kantuk dan gravitasi kasur. Meski begitu, bukan berarti aku terlepas dari bayang-bayang Pak Alfa. Terutama setelah Wina berkata bahwa saat ini dia sedang mengandung anak atasan kami itu. Saking terngiang-ngiangnya sampai terbawa ke alam mimpi. Aku bermimpi tentang Pak Alfa yang terus menyudutkanku dan terus berkata “Aku ingin lebih dekat dengan kamu” dengan nada yang sama persis seperti sebelumnya. Lalu, tiba-tiba muncul Wina dengan anak bayinya yang menangis sambil menatapku penuh dendam. Bagaimana bisa aku bangun dengan tenang? “Masih pagi udah ngelamun aja. Kesambet loh, nanti.” Seorang pria mengibas-ibaskan tangannya di depan wajahku. Berkatnya, aku jadi tersadar. “Lho, dokter Hilman gak jaga IGD?” tanyaku pada pria awet muda
“Kayaknya dugaan kita bener deh, Ga.”Dari layar ponsel, nampak Mbak Bella yang sudah bersantai di rumah mengenakan daster. Di layar itu ada pula Raga yang lengkap dengan kaos oblong dan celana kolornya. Berhubung kami semua sudah pulang kantor, aku mengajak mereka mengobrol melalui aplikasi video chat.“Awalnya gue juga gak percaya sih, Mbak. Tapi abis Cecil cerita lagi, gue jadi yakin.” tanggapnya.Padahal tadi aku yang memulai pembicaraan, tetapi justru aku juga yang tidak tahu ke mana arah pembicaraan ini.“Maksud kalian paan, sih? Kita lagi ngomongin hal yang sama kan?” ungkapku.Mbak Bella memanyunkan bibirnya sambil memutar bola matanya. Begitu pun Raga yang mendengus kesal sampai noisenya mengganggu bunyi di ear bud-ku.“Apaan, sih? Sumpah aku gak ngeh!” kesalku di depan layar ponsel.Mbak Bella tidak menjawab karena dia sedang menyuapi anak balitanya.
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayahnya aku bisa jauh lebih tenang di hari Sabtu yang cerah ini. Memang tidak seperti pekerja kantoran lain yang beroperasi lima hari dalam seminggu, manajemen rumah sakit kami tetap akan buka di hari sabtu. Tetapi, tentu saja akan lebih santai dan nantinya akan pulang lebih cepat dibandingkan dengan hari yang lain. Tentu saja keistimewaan hari Sabtu bukan hanya itu saja. Karena, di hari ini rumah sakit kami rutin mengadakan senam bersama warga sekitar. Pastinya aktifitas ini sudah sesuai dengan prokes yang dicanangkan pemerintah. Jadi, tidak perlu khawatir, karena kegiatan ini dijamin aman. Dengan irama dangdut koplo sebagai pengiring senam, sebagian peserta senam bergerak mengikuti instruktur yang mencontohkan gerakan di depan kami. Kenapa sebagian? Karena sebagian lagi jelas malas-malasan untuk berolahraga. Sebagiannya lagi sudah lemas meskipun belum sampai setengah sesi pemanasan. Salah satunya