“Orang-orang yang sangat berarti dalam hidupku telah pergi satu-persatu. Terutama Fera. Sampai sekarang aku masih mengingat dan mengenangnya dengan sangat baik. Dia merupakan satu-satunya sahabat yang paling setia dan selalu ada untukku. Kalau bukan karena dia, mungkin masa depanku nggak akan seperti ini.”Ayra berkata sembari menatap setiap inci wajah Attar yang berbaring di sebelahnya. Tangan lelaki itu membelai rambut Ayra pelan. Membalas tatapan gadis tersebut sembari mendengarkan setiap kalimat yang Ayra lontarkan.“Masa depan yang seperti apa sampai Fera mempunyai pengaruh besar dalam hidupmu?”“Memilih Pak Attar.” Ayra menjawab dengan bibir melengkung sedikit, senyuman tipisnya terlihat begitu menawan.“Memilihku?” ulang Attar masih belum terlalu mengerti.“Iya. Berkat Fera, aku benar-benar membuka hatiku untuk Pak Attar dan meninggalkan Rendra.”“Apakah aku termasuk orang yang berarti dalam hidupmu?” Attar bertanya.Ayra mengangguk. “Sebenarnya alasan aku keluar dari rumah ini
“Ay.”“Aku di sini, Mas!”Attar mengulum bibirnya membentuk senyuman yang ditahan sembari menggigit bibir bagian dalam. Sudah nyaris dua bulan ia menikah dengan Ayra hingga panggilan ‘Pak’ berganti menjadi ‘Mas’. Ternyata setelah disadari, Attar menikah dengan gadis kecil.Lelaki jangkung itu berjalan menghampiri Ayra yang sejak tadi belum berpindah tempat, masih berada di balkon kamar. Wanitanya tengah menikmati udara malam di sana seperti kebiasaan akhir-akhir ini.“Istri kecilku lagi ngapain sih? Jangan di luar terus, nanti masuk angin, Sayang.”“Suamiku udah pulang kerja?” Ayra segera berbalik badan. Menggulir pandangannya ke arah pria yang sudah sah menjadi suaminya. Ia tersenyum senang melihat Attar yang selalu menjadi teman terbaik dalam hidupnya kini.Seperti yang sudah diketahui, Ayra tidak memiliki siapapun dalam hidupnya kecuali Attar. Semua manusia pengisi masa lalu gadis itu telah tiada. Sebagian meninggal, ada juga yang sengaja pergi menjauh.Ayra menghadap Attar untuk m
Hari pernikahan Attar dan Ayra sudah berjalan sampai yang ke 50 dan selalu berjalan lancar. Kehidupan keduanya juga tertata rapi serta harmonis. Meskipun sampai hari ini mereka belum juga diberikan tanda-tanda kehadiran buah hati, tidak lantas membuat Attar dan Ayra merasa berkecil hati. Seluruh waktu dinikmati.Entah Tuhan mengaruniai anak cepat atau lambat, mereka akan selalu siap.Pagi ini, Ayra sedang menata sarapan pagi di meja makan. Karena Attar libur bekerja, pria itu belum bangun.“Mas Attar kenapa belum bangun juga sih? Dasar kerbau. Nggak bangun-bangun,” lirih Ayra dengan bibir yang dibuat miring. Pasalnya, dia sudah selesai memasak dan menata meja makan. Ingin segera sarapan karena perut sudah merasa lapar. Namun suaminya belum kunjung turun dan Ayra mengira kalau Attar pasti masih tidur.“Siapa yang kamu maksud kerbau?” balas seseorang dengan suara serak dan berat khas bangun tidur.Ayra yang hendak duduk di kursi segera menoleh. Dia melihat Attar yang baru datang ke dapu
“Jerman?” ulang Attar untuk memastikan. Dia yakin telinganya tidak salah mendengar.Kepala Ayra mengangguk untuk membenarkan. Ekspresi wajahnya tidak menampakkan rasa bersalah sama sekali.Sementara, hati Attar yang panas pun menggebu-gebu karena bisa-bisanya Ayra berpikir untuk pergi jauh setelah menjadi istri sahnya? Lantas suaminya harus ditinggal begitu saja, hidup sendirian, dan mereka akan saling terpisah?“Wahh.” Attar tertawa miris. Dia mengusap wajahnya dengan kasar. Kemudian menyugar rambutnya yang masih berantakan.Wanita itu hanya memperhatikan reaksi suaminya. Dia pikir tidak akan ada masalah. Lagipula ... bukankah Attar sempat menyuruhnya untuk kuliah?“Bukankah Mas Attar pernah menyuruhku untuk melanjutkan pendidikan? Seharusnya Mas Attar senang kalau aku kuliah. Dulu Mas Attar juga pernah menawarkan padaku untuk kuliah di luar negeri. Jadi ... aku boleh ‘kan, Mas?” Tentu saja Ayra tidak paham bagaimana perasaan suaminya saat ini.“Ay, kamu yakin mau kuliah? Dan mesti k
Ayra masih memikirkan matang-matang keputusan dirinya yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi.Saat ini Attar dan Ayra sudah duduk kembali di meja makan. Ayra melahap makanan, sedangkan Attar hanya duduk sembari memakan camilan yang tersedia karena sebelumnya di sudah sarapan meskipun tidak sampai habis.“Tapi ... gimana kalau saat aku kuliah nanti, aku hamil, Mas?” Ayra bertanya sambil mengunyah makanan.“Kalau hamil ya nanti anaknya dilahirkan. Lagian wajar aja ada mahasiswi hamil. Kan sudah bersuami.” Attar menjawab dengan santai.“Kalau kehamilan ditunda dulu boleh atau nggak, Mas?” tanyanya pelan. Ayra takut kalau Attar akan kecewa dengan pertanyaannya yang mungkin terdengar seperti tidak berpikir lebih dulu sebelum bertanya.“Aku nggak akan memaksa kita harus punya anak kapan. Kalau istriku sudah siap, sebaiknya jangan ditunda lagi. Gimana?”Ayra meraih satu gelas air putih lalu diteguk. Wanita itu sudah mengakhiri aktivitas sarapannya. Setelah semua makana
Jerman, 2022Rumah yang dihuni oleh dua orang itu tampak sepi. Beberapa lampu di dalam ruangan sudah mati. Semua gorden jendela pun telah ditutup rapat . Seperti tidak ada manusia yang sedang beraktivitas di dalamnya. Namun sebenarnya, salah satu penghuninya sedang duduk di dalam sebuah kamar. Dia tengah melamun di sudut kamar seorang diri.“Kamu di mana, Ren?” gumamnya pelan. Sejak beberapa jam yang lalu, Reti sudah merasa kelaparan. Dia duduk di sana menahan tubuhnya yang lemah sembari mengusap perut beberapa kali.Reti menghela napas panjang. Setiap malam dia harus menunggu Rendra pulang telat. Karena Reti juga sama sekali tidak paham bahasa Jerman dan dia takut untuk keluar seorang diri, maka satu-satunya hal yang bisa dilakukan hanyalah berdiam diri di dalam rumah lalu menunggu Rendra pulang jika ingin mendapatkan makanan.Waktu yang ditunggu akhirnya tiba. Reti mendengar suara pintu rumah yang diketuk. Dia segera berjalan cepat menuju pintu untuk membukanya.“Itu pasti Rendra,”
Selesai membersihkan diri, Rendra mengenakan pakaian lengkap di tubuhnya. Badannya terasa lebih segar dari sebelumnya yang berkeringat karena aktivitas dari pagi hingga malam.Pria itu berjalan di dalam kamar sembari mengelap rambut yang masih lembab menggunakan handuk kecil. Dia menuju ke meja belajar untuk mencari ponsel yang ada di dalam tas kuliah.Kegiatan Rendra sehari-hari adalah berangkat kuliah, lalu sepulang kuliah langsung menuju ke tempat kerja tanpa sempat pulang lebih dulu. Hal itu membuatnya jarang sekali berkomunikasi dengan Reti bahkan saat berada di dalam rumah pun, mereka masih sibuk dengan kegiatan masing-masing.Seperti halnya saat ini. Rendra sudah makan malam di tempat kerjanya. Setibanya di rumah, dia hanya akan mandi lalu membuka buku sebentar. Setelah itu, biasanya barulah beristirahat dan tidur. Dia jarang sekali menemani Reti makan malam. Nyaris selalu membiarkan istrinya berada dalam kesepian.Rendra memegang ponsel hanya untuk memastikan, adakah pesan pen
Layar bioskop menampilkan credit title. Pertanda bahwa film telah berakhir. Lampu-lampu pun sudah menyala dan beberapa orang mulai beranjak dari tempat duduk.Ayra mengangkat tangan kirinya untuk melihat jam tangan. Jarum pendek menunjuk ke angka sembilan. Tidak terasa hampir dua jam mereka menghabiskan waktu untuk menonton film di bioskop yang terdapat di dalam gedung mall.“Ternyata udah malam banget, Mas. Padahal kita belum sempat belanja. Aku mau beli baju dan beberapa buku,” keluh Ayra. Dia kembali menyandarkan kepalanya di punggung kursi sembari menunggu orang-orang keluar terlebih dulu sebab malas berjalan di antara banyak orang.“Kalau nanti masih ada toko baju yang buka, aku temenin kamu beli baju. Udah jangan kesal gitu. Harusnya habis nonton film ‘kan senang. Masa cemberut gitu?” bujuk Attar sambil merangkul pundak Ayra. Dia mencubit pipi Ayra dengan perasaan gemas.“Memangnya nanti pulangnya jadi nggak kemalaman, Mas?” Ayra menatap Attar yang sejak tadi memperhatikannya. D
Bunyi bel rumah membuat Ayra berjalan cepat menuju ke pintu untuk segera membukakannya. “Iya sebentar!” teriaknya sembari menuruni tangga. “Siapa sih, pagi-pagi gini udah ada yang datang? Kalau itu tamu kurang sopan, sih. Tapi kalau Mbok Inah nggak mungkin datang sepagi ini,” gumamnya dengan heran. Pasalnya, tidak biasanya ada orang yang datang ke rumahnya saat hari masih begitu pagi. Langit pun baru terlihat sedikit terang. Ayra meninggalkan Attar yang tadi masih rebahan di kasur. Dia meraih gagang pintu lalu membukanya. Betapa terkejut Ayra saat dia mendapati wajah seorang wanita yang berdiri di depan pintu dengan penampilan lebih menarik dibanding dirinya. Melihat wajah wanita itu, Ayra langsung menahan amarahnya yang seketika menggebu. Ada urusan apa lagi dengan wanita itu? Kendati demikian, Ayra harus belajar untuk bersabar. Dia terpaksa memasang wajah senyum. “Mbak Sania? Ada apa?” Ayra sadar bahwa semenjak mendengar kabar Sania dirawat di rumah sakit, kini sudah berlalu sel
“Coba jelasin.”“Kok kamu keliatan nggak suka gitu, Mas? Harusnya senang?”“Bu-bukannya aku nggak suka. Tapi aku kaget aja.”“Loh, kaget kenapa, Mas?” Ayra menuntut penjelasan atas reaksi suaminya yang terlihat membingungkan setelah dia menyatakan kalau Attar akan menjadi calon ayah. Seharusnya lelaki manapun akan merasa senang dan bangga mengetahui istrinya yang tengah hamil.“Maksud dari perkataanmu tadi ... kamu hamil?” tanya Attar untuk memastikan kembali.Kepala Ayra mengangguk.“Dari mana kamu tahu?”“Aku udah cek tadi sambil nungguin kamu pulang.”“Loh, tapi ‘kan aku pergi buat beli test pack. Kamu dapat alat itu dari mana?”“Makanya kalau mau apa-apa itu tanya atau bicara dulu sama istrinya. Ya aku masih nyimpen test pack lah! Aku punya stok banyak.” Ayra nyaris dibuat emosi oleh suaminya.“Oh ... jadi ... kamu beneran hamil?” Attar masih saja seperti orang linglung.“Ih! Mas Attar kok gitu reaksinya?!” teriak Ayra sambil memukul dada Attar dengan keras karena benar-benar kesa
“Ay, sampai sekarang aku merasa masih punya hutang sama dia. Aku merasa sangat bersalah. Aku merasa berdosa karena perbuatanku waktu itu. Aku harap kamu ngerti.” Attar menggigit bibir bawahnya. Menahan rasa gelisah sekaligus cemas. Takut apabila Ayra semakin marah.“Jadi ... kamu diam-diam masih mikirin dia, Mas?” Ayra mengusap air matanya yang menetes lagi, menyapu pori-pori di kulit wajahnya.Hati kecil Attar ingin sekali berteriak. Dia tidak bermaksud seperti itu. Namun dia gagal menyampaikan kepada Ayra dan wanita itu semakin salah paham terhadapnya.“Ay, kenapa kamu mikir sejauh itu?” tanya Attar sembari melangkah, mendekati Ayra. Kemudian perlahan meraih wajah Ayra dan berakhir memeluk tubuh istrinya.Tangis Ayra seketika pecah. Suaranya menggema di ruang tamu, teredam oleh dada Attar. Lelaki itu mempererat pelukannya.“Aku minta maaf. Ini salahku.”“Aku cuma takut kalau kamu diam-diam menjalin hubungan atau punya perasaan dengan wanita lain, Mas. Aku nggak mau sampai itu terjad
“Dari mana aja kamu, Mas?” tanya Ayra dengan nada dingin.Attar baru saja masuk ke rumah. Dia langsung mematung seketika mendapati istrinya berdiri tak jauh dari meja tamu, dengan posisi membelakanginya. Di sana sudah tidak ada kedua orang tuanya. Kemungkinan besar, ayah dan ibunya Attar sudah masuk ke kamar karena hari sudah berganti menjadi malam. Attar pergi selama kurang lebih dua jam.Keberanian Attar menciut. Terlebih lagi, Ayra terus memunggungi dirinya. Dapat disimpulkan bahwa wanita itu sungguh marah padanya.“Ay, aku habis—”“Siapa yang kamu bayarkan di rumah sakit?” Ayra memotong perkataan Attar dan ucapannya itu membuat sang suami menelan saliva dengan berat.Dari mana Ayra bisa tahu?Kini Ayra berbalik badan. Dia tidak mendengar jawaban dari Attar dan rasa kecewa itu terus menyelimuti hatinya hingga membuat napas Ayra terasa sesak.“Ayo jawab, Mas! Ada yang kamu sembunyiin dari aku? Jangan-jangan ada wanita lain yang diam-diam menjalin hubungan sama kamu di belakangku. Ta
“Mas? Kamu pergi? Jangan lama-lama, ya?” Ayra menyahut dari kejauhan sana.“Iya, Sayang. Nggak akan lama kok.”“Oke. Aku tunggu di rumah. Setengah jam lagi harus nyampe rumah. Daah.” Ayra mematikan panggilan secara sepihak.Sedang Attar menggigit bibir bawahnya. Perjalanan dia menuju rumah sakit terdekat saja memakan waktu sekitar dua puluh menit. Belum lagi dia harus menggunakan waktunya lagi untuk membeli makanan yang Ayra inginkan. Perjalanan pulang juga kembali memakan waktu.“Aku harus mencari cara supaya Ayra nggak marah. Atau aku harus mencari cara supaya bisa mencari alasan yang masuk akal kenapa aku bisa lama.” Attar bermonolog dalam hatinya.Attar kembali menoleh ke arah Sania. Wanita itu terlihat begitu malang. Ada apa dengan Sania? Mengapa terlihat rapuh seperti itu? Apakah terjadi sesuatu padanya?Attar mengontrol pikirannya. Itu bukan hak dan urusannya. Hanya saja, dia sedikit penasaran atas apa yang terjadi pada wanita yang ditempatkan di jok belakangnya.Dua puluh meni
“Ayra tidur?” tanya Sarah saat Attar kembali turun ke ruang tamu menemui kedua orang tuanya yang masih duduk di sana.“Iya, Bu. Badannya lagi kurang sehat. Mungkin dia sakit karena kecapekan.” Attar menjawab. Dia mengembuskan napas berat saat mengingat kalau keadaan istrinya saat ini sedang kurang baik meskipun jauh di lubuk hatinya, Attar merasa seperti ada kabar bahagia yang sebentar lagi hadir di rumah tangga mereka.“Jangan-jangan istri kamu nggak enak badan bukan cuma karena perjalanan aja? Gimana kalau ternyata Ayra sedang isi? Coba cek kehamilan,” usul Sarah yang langsung disetujui oleh suaminya.“Aku setuju banget, Bu. Attar, lebih baik sekarang kamu pergi ke apotek terdekat dan beli test pack. Nanti malam coba tes kehamilan. Ayah yakin kalau ini pertanda baik.”Attar mengalihkan perhatiannya ke wajah sang ayah. Dia belum sempat duduk dengan benar, tetapi perkataan ayahnya seakan menggugah hatinya untuk segera pergi ke suatu tempat dan mendapatkan alat kecil yang sedang dibica
“Udah, Mas. Lepasin. Aku bisa jalan sendiri,” ujar Ayra yang masih berada di gendongan depan suaminya bahkan setelah mereka baru saja tiba di dalam kamar.“Malu?”“Ya iyalah, Mas! Aku malu!” ketus wanita itu.“Tapi sekarang udah nggak ada mereka dan kita udah ada di kamar. Ngapain malu, hm?” Attar perlahan membaringkan tubuh Ayra ke atas tempat tidur. Dia membelai rambut dan wajah Ayra dengan lembut. Posisinya masih membungkuk di atas tubuh sang istri.Kedua insan itu saling bertatapan dengan tatapan yang dalam. Seakan keduanya tengah menciptakan dan menumbuhkan ulang perasaan cinta mereka yang berasal dari hati.“Mas Attar mau langsung turun lagi?” tanya Ayra dengan raut wajah sedih. Jemari tangannya bergerak mencapai pipi Attar. Kemudian menusuk-nusuk pipi Attar dengan pelan.“Kamu nggak mau ditinggal?” Attar menangkup jemari tangan Ayra yang menggelitik kulit pipinya.Kepala Ayra menggeleng. Dia memang tidak ingin ditinggal oleh suaminya karena merasa badannya sedang kurang sehat.
“Ibu tahu kalau kalian juga pasti nggak sabar ingin punya momongan, ‘kan? Ibu doakan yang terbaik buat kalian. Semoga secepatnya dikasih rejeki berupa anak. Ibu juga udah tahu kalau Attar usianya udah dewasa. Pasti ingn segera punya anak ‘kan?” sejak tadi, wanita bernama Sarah itu tiada henti membahas tentang kehamilan bahkan sampai mereka tiba di rumah.Usai turun dari mobil, Sarah masuk bersama Ayra. Sementara, Attar dan ayahnya sibuk menurunkan barang bawaan selama perjalanannya dengan sang istri.“Ayra, ayo duduk sini. Kenapa dari tadi cuma diam sama senyum aja? Atau jangan-jangan kamu sudah isi ya?” tebak Sarah sambil mendahului duduk di ruang tamu usai mereka tiba di ruang tamu.Ayra pun duduk di hadapan ibu mertuanya. Dia masih belum bisa menjawab seluruh percakapan Sarah karena masih bingung harus menjelaskan bagaimana. Ibu mertuanya sudah terlanjur sangat berharap besar akan kehamilannya, sedangkan sampai kini, Ayra belum merasakan adanya tanda-tanda kehadiran janin di dalam
Beberapa hari setelah menghabiskan waktunya selama berlibur di Jerman, kini Attar dan Ayra sudah kembali ke tanah air. Mereka pulang ke Indonesia satu hari lebih cepat dari rencana yang telah ditata sebelumnya.Kepulangan suami istri yang memiliki perbedaan umur sepuluh tahun itu di sambut oleh orang tuanya Attar di sebuah bandara di mana mereka mendarat.Karena Ayra baru bertemu dengan orang tuanya Attar saat acara pernikahan dan mereka kurang begitu akrab, wanita itu merasa malu-malu saat ketika akan bertemu kembali untuk yang ke-dua kalinya.“Aku masih malu sama orang tuamu, Mas,” ucap Ayra sambil memeluk lengan tangan Attar. Keduanya berjalan menuju ke titik penjemputan.Sementara, barang-barang mereka dibawakan oleh orang lain yang menyewakan jasa untuk membawakan barang.“Malu kenapa? Jangan malu-malu gitu. Nanti ditagih cucu, loh.” Attar merasa senang tatkala menggoda istrinya.“Ayah sama Ibu ke sini berdua aja?” tanya Ayra untuk memastikan siapa saja yang hendak dia temui nant