Wirya sudah mencoba menghubungi adik laki-lakinya beberapa kali lewat sambungan telepon, menanyakan perihal kontak salah satu rekan bisnis perusahaan. Akan tetapi, Wira tidak sekalipun menjawab.
Jadi, Wirya pun memutuskan untuk mendatangi kediaman adiknya itu. Beruntung, si pemilik rumah sedang tak ada acara keluar di hari kerja yang terbilang begitu padat sebagai pembisnis muda.
Dan hampir tiga bulan belakangan, Wirya tidak suka dengan kinerja Wira di kantor yang kerap bolos dan bahkan tak datang bekerja seenaknya. Bukan semata-mata berpatokan pada masalah tanggung jawab pekerjaan.
Wirya sedikit merasa jika terjadi perubahan dengan sikap adiknya. Ia menaruh curiga, namun tidak segera meminta penjelasan. Terlebih lagi, mereka memiliki riwayat hubungan yang tak terlalu akrab. Meski, mereka adalah saudara kandung.
"Kenapa lo nggak kerja hari ini, Wir? Apa jabatan lo mau gue turunkan?"
Wira memasang ekspresi datar saat menerima ucapan yang terkesan mengancam dari kakaknya. Ia tidak merasa takut atau terganggu, tetapi sedang malas menanggapi hal yang sama. Tak hanya sekali, namun sudah berulang kali.
"Wira?"
"Besok gue mulai ngantor dan kerja. Kemarin gue baru aja datang dari Singapura. Masih capek," sahut Wira pada akhirnya. Jika ia tak menjawab, maka sang kakak tak akan puas.
"Buat apa lo ke Singapura? Setahu gue, perusahaan nggak punya jadwal perjalanan bisnis dengan mitra di sana bulan ini."
"Ada urusan pribadi." Wira lantas membalas singkat.
"Urusan pribadi apa?" Wirya lantas bertanya karena tiba-tiba saja ingin tahu.
"Sejak kapan lo tertarik bahas urusan pribadi gue, Kak?" Wira seolah-olah tak menanggapi dengan positif.
Sementara itu, Wirya memilih untuk diam. Tidak melanjutkan topik yang baru mereka bincangkan. Tak berniat memperdebatkan hal tidak penting. Kehidupannya sendiri sudah cukup rumit saat ini. Masalah rumah tangga belum juga mampu diselesaikannya.
"Gimana kabar kakak ipar dan calon keponakan gue?"
Wirya menggeleng pelan. Tatapannya terlihat sayu. "Gue belum tahu Latri dimana. Ibu juga bilang nggak tahu apa-apa."
"Lo mau menyerah, Kak?" Wira pun memancing dengan pertanyaannya.
"Gue nggak mungkin akan nyerah sebelum benar-benar mastiin dimana Latri dan calon anak gue berada."
Tanpa Wirya ketahui, sang adik lalu tersenyum penuh arti selepas dirinya selesai dengan kata-kata sarat akan keyakinan tinggi. Harapan besar juga terselip di dalamnya. Sementara itu, atensi Wirya cukup tersita ke layar ponsel Wira yang sedang menyala dan Terdapat gambar bayi perempuan.
"Anak siapa yang lo jadiin sebagai wallpaper, Wir? Bukan darah daging lo dari pacar 'kan?"
Wira tertawa pelan. Tak seharusnya ia menertawakan pertanyaan konyol dari sang kakak. Tapi, ia juga tidak dapat menahannya. "Gue bakalan mikir panjang kalau mau punya anak sebelum menikah."
"Lo mau nggak gue kenalin sama bayi cantik itu dan ibunya, Kak?"
"Apa gue kenal mereka?" tanya Wirya balik. Mendadak, dirinya pun diselimuti rasa penasaran.
Sementara, Wira menatap sang kakak begitu serius. "Tentu saja. Kalau gue bilang bayi itu adalah anak lo dan Kak Latri. Apa lo akan dapat percaya, Kak?"
Keterkejutan tak mampu Wirya sembunyikan. "Lo... Lo tahu dimana Latri dan anak gue berada?"
"Anak gue udah lahir? Dia cewek? Kapan, Wir? Kenapa lo nggak bilang sama gue?"
Wira masih menatap cukup lekat sang kakak. Jika sudah melihat sorot kefrustrasian di mata kakaknya, Wira tak akan pernah tega. "Ceritanya panjang. Tapi, gue akan jawab satu-satu."
"Lo bisa jelasin nanti. Sekarang, gue mau ketemu Latri dan anak gue."
"Gue bukannya nggak mau ngajak lo ketemu Kak Latri. Tapi, Kak Latri pesan ke gue. Kalau dia belum bisa ketemu sama lo sampai beberapa hari kedepan."
================================
"Siapa namanya?" tanya Arsa guna mencoba memulai obrolan ringan bersama Latri. Ia juga merasa cukup penasaran akan nama sosok mungil yang kini sedang terlelap damai dalam gendongan mantan istrinya.
"Laksmi Pudja Devi, Sa," balas Latri cepat. Perhatian wanita itu teralihkan sejenak dari putri kecilnya dan lantas memandang ke arah Arsa yang duduk di salah satu single sofa, tepat di sisi kanannya.
"Nama yang bagus dan cantik. Aku akan memanggil anak kamu dengan nama Laksmi saja. Boleh, Latri?"
"Iya, boleh-boleh saja, Sa."
Arsa mengembangkan senyumannya di bibir secara tulus. "Apa aku boleh menggendong Laksmi sebentar?"
Latri menganggukkan kepala kecil, mengiyakan saja permintaan mantan suaminya. Ia kemudian bersiap-siap guna memindahkan tubuh kecil sang putri untuk diserahkan kepada Arsa. Latri pun lalu mengulum senyuman simpul saat melihat kegugupan pria itu menggendong putrinya.
"Rileks aja, Sa. Laksmi nggak akan bangun."
"Aku agak gugup, Latri. Ini pertama kali gendong bayi yang usianya tidak genap tiga bulan," ujar Arsa seraya mencoba meraih ketenangan kembali dalam menggendong tubuh mungil Laksmi. Sementara, putri kecil dari mantan istrinya itu masih terlihat terlelap dengan damai dan nyenyak.
"Aku pikir Laksmi adalah anakku."
Kali ini, senyum Latri tidak mampu ditunjukkan selebar tadi. Dirinya kurang merasa nyaman akibat ucapan dari sang mantan suami. "Tidak, Sa. Latri adalah anakku dan Wirya."
"Aku baru tahu kalau lagi hamil empat bulan waktu pernikahan kami memasuki usia lima bulan," jelas Latri lebih lanjut supaya tak tercipta kesalahpahaman tentang status putri kecilnya.
"Maaf soal perkataanku barusan jika menyinggung," ujar Arsa meminta maaf sungguh-sungguh sebab merasa tidak enak serta sedikit bersalah.
"Nggak apa-apa, Sa." Latri mengukir senyuman tulusnya lagi. Ia tidak terlalu ingin mempermasalahkan hal tersebut.
Arsa menatap sepasang mata milik mantan istrinya dengan lekat. Sorot luka serta kerapuhan begitu terpancar sangat jelas di dalam sana. "Kamu harus segera sembuh dan bisa jalan kembali, Latri. Demi Laksmi sama mendiang anak kita."
"Aku yakin kamu dapat menjadi wanita yang lebih kuat dari dulu. Aku akan siap membantumu kapan saja, Latri." Arsa menambahkan. Ia selalu bersedia memberi bantuan dan juga dukungan penuh kepada mantan istrinya itu.
"Astungkara, Sa."
"Apa Wirya sudah mengetahui jika Laksmi lahir?" Arsa bertanya. Jujur saja, ia sangat berkeinginan untuk mendapatkan informasi mengenai masalah ini.
Seandainya Wirya tidak mendengar kabar kelahiran Laksmi, maka Arsa akan menemui pria itu sesegera mungkin. Menceritakan semuanya. Termasuk perbuatan jahat yang telah dilakukan Ibu Wirya.
Latri menggeleng pelan. "Aku be-"
"Gue sudah tahu."
Keterkejutan seketika menghinggapi diri Latri mendengar suara dari sang suami yang sangat familier baginya menggema di ruang tamu. Dan tak berapa lama-hanya berselang lima detik-kemunculan sosok Wirya di depan matanya membuat rasa kaget wanita itu semakin bertambah.
"Wi ...," Latri pun lantas menyebut nama suaminya dengan lirih. Ia benar-benar tak menyangka bahwa Wirya akan datang ke rumahnya begitu cepat.
"Kenapa kamu bisa ada di sini, Wi?"
Dan tatkala mata Wirya serta Latri saling bersinggungan untuk yang pertama kali, setelah sekian lama tak berjumpa, pria itu dilanda kesesakan yang menyakitkan bahkan rasa perih di bagian dada. Wirya tidak sanggup melihat kepedihan pada sepasang manik cokelat istrinya yang terus saja ia rindukan.
"Apa aku tidak boleh datang ke sini menemui kamu dan anak kita, Latri?"
Latri kehilangan kemampuan bicara ketika sosok sang suami yang kini tengah berada dalam posisi berlutut di hadapannya. "Bu...bukan seperti itu, Wi. Apa Wira yang memberi tahu kamu kalau aku sudah pulang dari luar negeri?"
Tanpa menjawab pertanyaan Latri terlebih dahulu, Wirya langsung mendekap erat istrinya. "Aku rindu kamu, Sayang. Aku merindukanmu."
================================ Arsa sudah pamit pulang sekitar 20 menit lalu, dan sejak saat itu pulalah keheningan mulai tercipta di antara Wirya serta Latri. Mereka berdua masih berada di ruang tamu, duduk saling berdampingan dalam satu sofa panjang yang sama. Tentu putri kecil mereka juga ikut di sana, tetap dapat terlelap damai dan nyaman dalam gendongan hangat sang ayah walau untuk yang pertama kali malam ini. Wirya pun tidak ingin memindahkan pandangan dari sosok mungil buah hatinya. Kehangatan memenuhi dada pria itu manakala memerhatikan mata dan hidung sang putri yang sangat mirip dengannya. Wirya merasa bersyukur serta bahagia akan pertemuan yang telah memisahkan mereka hampir tujuh bulan lamanya. Tidak mampu dipungkiri juga bahwa sekelumit penyesalan membelenggu Wirya. Terutama tentang dirinya yang tak mampu menemani dan ada di sisi sang istri melewati masa-masa kehamilan. Peranan sebagai seorang suami gagal. "Aku minta maaf, Latri
Semenjak semalam hingga dini hari, Wirya lebih banyak terjaga. Pria itu cenderung tidak dapat tidur dengan nyenyak. Bukan karena beban pikiran yang mengganggunya. Melainkan oleh sosok mungil sang putri. Ia seakan tak bisa lama-lama memejamkan mata atau terlelap, manakala Laksmi yang baru berusia 50 hari itu selalu berada dekat di sisinya. Wirya tidak pernah merasakan lelah ketika harus menggendong putrinya itu dalam durasi waktu lama, misal seperti malam tadi. Dimana, Laksmi rewel serta sedikit merepotkan sang istri. Wirya pun berupaya semaksimal mungkin membantu istrinya untuk menenangkan putri semata wayang mereka. Dan ia mempersilakan Latri beristirahat, sementara dirinya sabar menemani Laksmi yang sedang ingin begadang. "Belum mengantuk, Nak?" Kuluman senyuman bahagia di bibir Wirya belum memudar. Tatapan pria itu juga senantiasa masih tertuju pada wajah cantik putri kecilnya. Terdapat tarikan magnet yang seolah mem
Cuaca pagi ini mendung, cahaya dari matahari pun tidak sepenuhnya bisa menyinari bumi seperti kemarin. Air hujan yang deras juga belum turun membasahi tanah, hanya rintik-rintik ringan. Namun, semilir angin cukup kencang berembus lalu menciptakan nuansa dingin yang dapat menusuk kulit. Dan untuk menjaga kehangatan bagi putri mereka, Latri membalut tubuh Laksmi dengan selimut tebal serta memberi dekapan lebih erat tatkala putri mereka itu terlelap nyenyak dalam gendongannya sejak 10 menit lalu. Latri berharap jika perubahan cuaca tidak berdampak untuk kesehatan Laksmi yang belum mempunyai daya tahan dan sistem kekebalan tinggi. Ia pun tak lupa berdoa disetiap waktu supaya putri kecil mereka senantiasa kuat. Kemudian, senyuman Latri dengan segera dilebarkan karena melihat buah hatinya tiba-tiba saja terbangun. Tak terdengar adanya rengekan. Bayi perempuan itu malah memandangi ibunya lekat dan sorot keluguan yang terpancar jelas. "Laksmi gimana boboknya?
Latri bukannya merasa senang untuk mengambil tidak acuh atas keributan yang terjadi di rumahnya pagi ini. Ia hanya tak berkeinginan menambah runcingan masalah menjadi rumit. Terlebih, orangtua Wirya belum bisa menerimanya sebagai menantu dan menaruh rasa benci yang sangat. Mengenai keputusan dibuat oleh sang suami, Latri sungguh tidak berpikir jika Wirya akan mengundurkan diri dari perusahaan dalam hitungan hari saja. Latri bahkan tak tahu-menahu. Semua diluar prediksinya. Andai ia tidak meminta pada Wirya. Apakah masalah seperti ini akan jauh dari kehidupan mereka? Latri terus bertanya-tanya di dalam hati. Dan, berbagai macam jawaban saling bersahutan di kepala sampai menimbulkan kepeningan yang kian menjadi. Rasa pusing tidak mampu dihindari. "Laksmi sudah tenang?" Tatkala suara berat milik suaminya menyapa gendang telinga, yang bisa dipamerkan Latri yakni senyuman tipis di bibir. Dadanya terasa cukup sesak melihat sorot redup pada kedua mata Wirya.
Sama seperti kebanyakan kepala rumah tangga yang lain, Wirya pun mesti cepat pergi ke kantor karena banyak pekerjaan tengah menumpuk dan harus segera pula diselesaikan. Namun, keberangkatannya tertunda disebabkan aksi putri kecilnya yang tak mau turun dari gendongan sejak 10 menit lalu. Laksmi memerlihatkan sikap manja ke sang ayah karena jarang bisa habiskan waktu bermain bersama di rumah, sibuk dengan pekerjaan yang padat. Jadi, batita itu bertingkah banyak guna mencari perhatian lebih dari sang ayah jika ada kesempatan, misalkan sekarang ini. "Papa ...," Laksmi bergumam kecil, lalu menaruh kepalanya dengan rasa nyaman yang besar di bahu kiri sang ayah. "Papa...Papaa...," ulang batita itu dalam nada lucu. "Laksmi sama Mama sini, Nak. Papa mau ke kantor." Wirya cepat mengulas senyum tipis, kala istrinya yang duduk di tepian tempat tidur mengeluarkan beberapa kata gu
"Mama...Mama...," Laksmi antusias memanggil-manggil sembari terus memandangi wajah cantik ibunya yang masih tertidur, sudah dimulai batita perempuan itu sejak beberapa menit lalu.Dan, kala tak mendapat tanggapan sama sekali. Laksmi lantas memanyun-manyunkan bibir, menjadi tanda jika batita itu tengah sedikit merasa sebal.Laksmi ingin melanjutkan aksi agar ibunya segera bangun dan menjawab panggilannya. Batita itu lalu menaruh tangan kanannya yang kecil di atas pipi kiri sang ibu.Sorot lugu pada sepasang mata hitam Laksmi dengan melekat jelas. Walau, kejahilan sekarang ini sedang coba dilakukan batita perempuan itu pada ibunya."Mamaa ...," Batita perempuan itu pun sedikit meninggikan suara, kembali memanggil sang ibu yang berbaring lelap di samping kirinya.Tak ada balasan diperoleh batita itu."Laksmi udah bangun, Nak?"Menangkap pertanyaan yang ayahnya lontarkan dalam nada begitu pelan, Laksmi secepatnya coba mengalihkan perhatian serta
"Pemeriksaan hari ini sudah selesai. Calon bayi Bu Latri tidak mengalami masalah. Sejauh ini masih tumbuh normal.""Makasih, Dokter Fifi," balas Latri sopan. Senyum wanita itu mengembang cukup lebar di wajahnya.Latri tentu bersyukur serta merasa senang akan kabar baik yang baru saja diterima. Wanita itu pun juga sempat menyaksikan mimik wajah kelegaan suaminya. Entah kenapa, ekspresi Wirya yang demikian membuat dirinya ingin tersenyum lebih lebar lagi."Iya, Bu Latri. Sama-sama. Kalau begitu saya tinggal dulu menemui Dokter Hani. Bapak dan Ibu silakan tunggu di sini sebentar. Saya akan segera kembali.""Baik, Dokter Fifi." Latri menjawab segera. Tidak lupa menganggukkan kepalanya dengan gerakan yang sopan.Hanya sunggingan senyuman ramah dan juga bersahabat yang Dokter Fifi tunjukkan sebagai balasan, sebelum berjalan guna melenggang pergi dari ruang periksa. Tinggalkan pasangan suami-istri yang butuh saling berbicara.Kemudian, kekagetan me
Semula, Laksmi sedang asyik menonton kartun kesukaannya yang sedang terputar di layar televisi seraya mengemil biskuit. Akan tetapi kemudian, batita itu merasa sedikit kaget karena tiba-tiba tubuhnya yang mungil diangkat sang ayah guna digendong."Papa ...," Laksmi mengeluarkan gumaman dalan nada lucu dan raut keceriaan menghias wajah imut batita itu."Nontonnya dilanjutkan besok, ya, Nak? Laksmi sekarang bobok sama Mama. Oke, Sayang?"Laksmi segera menganggukkan kepala semangat dan mengerti akan perkataan yang dilontarkan oleh sang ayah. Senyuman menggemaskan batita itu masih dipamerkan, saat memandangi ayahnya dalam tatapan yang polos, juga lugu."Sini, Sayang."Sepasang mata dengan iris warna hitam Laksmi lantas terarah ke asal suara ibunya terdengar. Lebaran senyum lucu batita perempuan itu semakin bertambah, tatkala menangkap botol susunya berada di tangan sang ibu. Laksmi terlihat kian girang dan senang kala sudah turun dari gendongan ayahnya
Pergantian hari terasa cepat berjalan baginya, begitu juga dengan waktu. Walau satu bulan sudah berlalu sejak peristiwa tak mengenakan terjadi pada sang istri, Wirya tetap saja siaga. Tak sekalipun lengah menjaga dan mengontrol kondisi istrinya.Sikap pria itu juga jadi semakin protektif. Perhatian yang diberikan Wirya tidak pernah berkurang, sesibuk atau sepadat apa pun pekerjaannya. Pria itu tak akan menjadikan sang istri dan buah hati kecil mereka urusan yang kesekian. Ia masih sangat mengutamakan keluarga. Karena, begitu kewajibannya.Misalkan hari ini, Wirya menemani sang istri pergi lagi ke dokter spesialis kandungan guna lakukan pemeriksaan secara rutin, setiap 14 hari sekali. Mengingat usia kehamilan istrinya yang sudah menginjak 10 minggu, maka mereka harus meningkatkan pengawasan, menghindari hal tidak diinginkan."Buumm...buumm." Laksmi berucap cukup lantang seraya mencoba meniru gaya ayahnya yang sedang menyetir dan duduk n
Hingga angka di jam digital di atas meja menunjukkan tepat pukul tiga dini hari, Wirya tidak beranjak tidur. Pria itu belum sekalipun memejamkan mata. Wirya memilih menjaga istrinya. Menyiagakan diri jika terjadi sesuatu yang lebih buruk dan tidak diinginkan nanti.Sementara, Latri sudah mampu berbaring nyaman di tempat tidur mereka. Setelah rasa sakit perutnya menghilang sepenuhnya. Dan, wajah damai wanita itu, manakala sedang tertidur pun menjadi pemandangan yang sangat jarang bisa dinikmati."Aku sudah banyak membuat kamu menderita, Latri," ujar Wirya begitu pelan. Namun, nada bersalah jelas terdengar di dalam suara berat pria itu. Genggaman Wirya pada tangan istrinya kian dieratkan bersamaan dengan rasa sesal semakin menyesakkan dada.Linangan air mata serta pengutaraan ketakutan dari sang istri beberapa jam lalu masih melekat kuat di dalam benak Wirya. Sungguh, ia tak tega dan juga ikut merasakan sakit. "Mungkin permintaan maafku saja tidak akan bisa cukup.
"Wirya...," gumam Latri tak keras. Nyaris seperti berbisik. Suaranya begitu kecil. "Maaf," ucap wanita itu tak enak hati."Maaf karena sikapku kasar tadi siang padamu, Wi."Beberapa hari belakangan, ia dan sang suami sudah tak lagi tidur dalam satu kamar yang sama sesuai permintaannya. Sang suani pun menurut, tidak mempunyai alasan kuat untuk menolak. Namun, saat melihat Wirya seperti malam ini, Latri menjadi tak tega dan mengasihani suaminya. "Jangan tidur di sini. Lebih baik di kasur."Wirya mampu merasakan jika ada sentuhan lembut pada pipi kanannya. Ia memilih merapatkan pejaman mata seraya meraih tangan sang istri guna digenggam erat. Wirya sangat suka momen dimana istrinya masih menunjukkan kepedulian, meski hubungan mereka kian memburuk pasca perdebatan yang terjadi siang tadi."Di sini kamu pasti tidak akan merasa nyaman untuk tidur. Pindah ke kasur, Wi." Latri coba membujuk suaminya.Wirya tak menanggapi perkataan sang istri, m
Ucapan Wira terus saja terngiang di telinga Wirya hingga menambah ketidaktenangan yang melingkupi dirinya. Wirya bahkan kian tak bisa berpikir jernih, konsentrasi dalam bekerja tak lagi tersisa. Ia lantas mengambil keputusan nekat, yakni membatalkan pertemuan bersama salah satu klien yang penting secara sepihak.Wirya tak ingin terlalu memikirkan konsekuensi yang akan diterima oleh perusahaan serta bisnisnya. Untuk sekarang, Wirya lebih mengutamakan penyelesaian dari masalahnya dengan sang istri. Wirya hendak mengajukan permohonan pada Latri. Berharap, istrinya bersedia mengabulkan, walauterasa berat.Untuk Wirya, tidak akan pernah mudah meminta sang istri menggugurkan calon anak kedua mereka. Ia sungguh tidak sanggup membunuh nyawa darah dagingnya. Namun, Wirya tak punya alternatif lain guna menyelamatkan sang istri."Kenapa pulang cepat, Wi? Siang ini bukannya kamu punya jadwal bertemu dengan PT. Sejahtera?" Latri bertanya, ingin mengetahui a
Wirya tak bisa menikmati sarapan dengan suasana hati damai atau tentram pagi ini. Sebab, memang aura dan suasana yang kini melingkupi dirinya dan sang istri sedang tidak enak. Efek keberanian mengungkap sederet fakta di masa lalu pada wanita itu harus bisa ia terima mulai sekarang.Semua tak akan pernah bisa sama lagi seperti sebelumnya. Hubungan mereka berdua rasanya kian jadi memburuk. Dan hal tersebut sungguh sulit bagi Wirya. Hati kecilnya tidak ingin ada perubahan.Akan tetapi, terlalu mustahil untuk dapat terkabul. Karma sedang berlaku untuknya. Wirya tidak dapat menghindari. Terlepas dari rasa sesal yang membelenggu setia."Sayang ...,"Manakala, mendengar panggilan dari sang suami, maka Latri segera memindahkan pandangan pada sepasang mata suaminya. Meski, tidak bertahan lama. Mungkin enam detik. "Ada apa?" tanya wanita itu dengan nada datar."Masih tidak enak badan? Mau aku antar ke dokter?"Latri
Wirya baru sampai di kediamannya pada pukul sebelas malam.Dan, saat sudah injakkan kaki di ruang tamu yang masih terang oleh nyala dari sinar lampu, Wirya segera saja memusatkan perhatian ke arah sofa, di sana tampaklah istrinya sedang tertidur pulas saat ini. Wirya terpaku sejenak, kala disuguhkan pemandangan wajah damai sang istri. Hati pria itu menghangat.Tatapan Wirya yang teduh senantiasa masih tertuju ke sosok sang istri bersamaan dengan menipisnya jarak di antara mereka karena Wirya yang juga kian berjalan mendekat ke arah sofa. Ulasan senyuman terlihat di wajah pria itu, dikala membelai secara halus pipi kiri sang istri. Sementara, pergerakan kecil ditunjukkan Latri,tatkala merasakan ada sentuhan tangan milik seseorang. Lalu, kedua matanya terbuka."Kenapa tidak tidur di kamar? Di sini udaranya dingin, Sayang." Wirya berujar dengan begitu lembut.Latri yang hendak melontarkan sejumlah kata. Namun, diurungkan. Wanita itu memilih untuk memejamkan m
Pagi ini, tepatnya nanti pukul sepuluh. Ibu Ratna dan Pak Indra harus sudah tiba di Bandara. Orangtua Wirya itu akan melakukan perjalanan bisnis ke London hampir selama satu bulan. Dan, terus berlanjut ke satu sampai empat negara Eropa bersama kolega-kolega dari perusahaan lainnya. Mungkin saja akan memakan waktu tiga bulan. Tanggung jawab perusahaan ada pada Wira."Sebelum kamu ke kantor, antar Laksmi pulang dulu agar Wirya tidak perlu datang ke sini menjemput putrinya nanti."Wira menganggukkan kepala secara singkat sambil menyesap kopi hangat dari dalam cangkir yang baru dihidangkan salah satu asisten rumah. "Iya, Ayah. Aku akan antar Laksmi pulang. Sudah lama juga aku tidak bertemu Bli Wirya dan Kak Latri," tanggap pria itu kemudian dengan peringai santai.Walau demikian, Wira pun tak berhenti dalam mengamati perubahan mimik di wajah ayahnya. Terbukti jelas saat dirinya menyebut nama dari sang kakak, ketajaman dua mata ayahnya bertambah dan menyulut em
Sudah hampir 1,5 jam, Ibu Ratna menggendong tubuh mungil Laksmi sembari duduk nyaman pada salah satu kursi terbuat dari kayu pilihan dengan kualitas bagus yang tampak berderet rapi di sudut lain dalam kamar beliau. Ibu Ratna tidak merasa lelah, walau berat badan cucu beliau terbilang berat.Ibu Ratna terlihat sangat menikmati betul momen mengasuh Laksmi yang malam ini akan menginap di rumah. Pertemuan beberapa jam lalu langsung mampu menumbuhkan rasa sayang Ibu Ratna yang besar terhadap cucu beliau. Ikatan darah tidak akan dapat dipisahkan sampai kapanpun, pasti ada dan punya cara tersendiri dalam menyatukan kembali. Meski, terkadang membutuhkan waktu yang tidak cepat."Laksmi biasa tidur malam di rumah?" Ibu Ratna coba kembali memulai interaksi menyenangkan dengan cucu beliau.Walau, hanya mendapat respons anggukan kepala singkat sebagai jawaban, Ibu Ratna tak kecewa. Raut di wajah beliau kian menampakkan rasa bahagia yang nyata. Bahkan, Ibu Ratna tak berhenti
Sudah hampir satu jam lebih, Wirya berdiam diri di dalam mobil, tidak sedikit pun berniat keluar. Bahkan, tak ada keinginan darinya bergabung di acara makan, malam ini. Wirya hendak pulang. Namun, tidak mungkin baginya meninggalkan Laksmi. Dan, sangat enggan juga menyusul ke restoran. Terlebih, sang ibu ada di sana.Wirya sama sekali tak menduga jika adik bungsunya akan memiliki rencana ataupun mengadakan pertemuan yang paling ia dihindari sekarang ini.Sebenarnya, Wirya tak mau bersikap durhaka kepada ibu atau ayahnya. Dan, tatkala pria itu teringat kembali akan semua perlakuan buruk ibunya.Amarah Wirya pasti tak mudah dibendung. Daripada mengulang perdebatan sengit, lebih baik dirinya dan sang ibu tak saling bertatap muka sementara waktu. Jalan terbaik menurutnya."Bli, kenapa belum masuk juga? Aku sudah pesankan steak dan pasta favorit Kakak di dalam ruang VIP."Pandangan Wirya yang awalnya hanya lurus terarah ke depan, langsung dipindahkan. Me