Ucapan Wira terus saja terngiang di telinga Wirya hingga menambah ketidaktenangan yang melingkupi dirinya. Wirya bahkan kian tak bisa berpikir jernih, konsentrasi dalam bekerja tak lagi tersisa. Ia lantas mengambil keputusan nekat, yakni membatalkan pertemuan bersama salah satu klien yang penting secara sepihak.
Wirya tak ingin terlalu memikirkan konsekuensi yang akan diterima oleh perusahaan serta bisnisnya. Untuk sekarang, Wirya lebih mengutamakan penyelesaian dari masalahnya dengan sang istri. Wirya hendak mengajukan permohonan pada Latri. Berharap, istrinya bersedia mengabulkan, walauterasa berat.
Untuk Wirya, tidak akan pernah mudah meminta sang istri menggugurkan calon anak kedua mereka. Ia sungguh tidak sanggup membunuh nyawa darah dagingnya. Namun, Wirya tak punya alternatif lain guna menyelamatkan sang istri.
"Kenapa pulang cepat, Wi? Siang ini bukannya kamu punya jadwal bertemu dengan PT. Sejahtera?" Latri bertanya, ingin mengetahui a
"Wirya...," gumam Latri tak keras. Nyaris seperti berbisik. Suaranya begitu kecil. "Maaf," ucap wanita itu tak enak hati."Maaf karena sikapku kasar tadi siang padamu, Wi."Beberapa hari belakangan, ia dan sang suami sudah tak lagi tidur dalam satu kamar yang sama sesuai permintaannya. Sang suani pun menurut, tidak mempunyai alasan kuat untuk menolak. Namun, saat melihat Wirya seperti malam ini, Latri menjadi tak tega dan mengasihani suaminya. "Jangan tidur di sini. Lebih baik di kasur."Wirya mampu merasakan jika ada sentuhan lembut pada pipi kanannya. Ia memilih merapatkan pejaman mata seraya meraih tangan sang istri guna digenggam erat. Wirya sangat suka momen dimana istrinya masih menunjukkan kepedulian, meski hubungan mereka kian memburuk pasca perdebatan yang terjadi siang tadi."Di sini kamu pasti tidak akan merasa nyaman untuk tidur. Pindah ke kasur, Wi." Latri coba membujuk suaminya.Wirya tak menanggapi perkataan sang istri, m
Hingga angka di jam digital di atas meja menunjukkan tepat pukul tiga dini hari, Wirya tidak beranjak tidur. Pria itu belum sekalipun memejamkan mata. Wirya memilih menjaga istrinya. Menyiagakan diri jika terjadi sesuatu yang lebih buruk dan tidak diinginkan nanti.Sementara, Latri sudah mampu berbaring nyaman di tempat tidur mereka. Setelah rasa sakit perutnya menghilang sepenuhnya. Dan, wajah damai wanita itu, manakala sedang tertidur pun menjadi pemandangan yang sangat jarang bisa dinikmati."Aku sudah banyak membuat kamu menderita, Latri," ujar Wirya begitu pelan. Namun, nada bersalah jelas terdengar di dalam suara berat pria itu. Genggaman Wirya pada tangan istrinya kian dieratkan bersamaan dengan rasa sesal semakin menyesakkan dada.Linangan air mata serta pengutaraan ketakutan dari sang istri beberapa jam lalu masih melekat kuat di dalam benak Wirya. Sungguh, ia tak tega dan juga ikut merasakan sakit. "Mungkin permintaan maafku saja tidak akan bisa cukup.
Pergantian hari terasa cepat berjalan baginya, begitu juga dengan waktu. Walau satu bulan sudah berlalu sejak peristiwa tak mengenakan terjadi pada sang istri, Wirya tetap saja siaga. Tak sekalipun lengah menjaga dan mengontrol kondisi istrinya.Sikap pria itu juga jadi semakin protektif. Perhatian yang diberikan Wirya tidak pernah berkurang, sesibuk atau sepadat apa pun pekerjaannya. Pria itu tak akan menjadikan sang istri dan buah hati kecil mereka urusan yang kesekian. Ia masih sangat mengutamakan keluarga. Karena, begitu kewajibannya.Misalkan hari ini, Wirya menemani sang istri pergi lagi ke dokter spesialis kandungan guna lakukan pemeriksaan secara rutin, setiap 14 hari sekali. Mengingat usia kehamilan istrinya yang sudah menginjak 10 minggu, maka mereka harus meningkatkan pengawasan, menghindari hal tidak diinginkan."Buumm...buumm." Laksmi berucap cukup lantang seraya mencoba meniru gaya ayahnya yang sedang menyetir dan duduk n
"Kalian akan segera menikah karena Latri sedang mengandung cucu Ayah. Benar begitu, Nak?" Wirya langsung menganggukkan kepala, membenarkan apa yang ingin dikonfirmasi oleh sang ayah tentang rencana pernikahannya bersama Latri. Tak ada keraguan dalam diri Wirya ketika mengambil keputusan tersebut. Ia telah merasa yakin. Walau, harus sedikit dibumbui dengan kebohongan di dalamnya. Terkhusus mengenai kehamilan Latri yang hanya sandiwara belaka. Wirya bahkan belum pernah menyentuh wanita itu melebihi ciuman di bibir. Namun, ia tidak mempunyai cara lain untuk dapat digunakan dalam rangka mempertahankan Latri agar selalu berada di sisinya. Meskipun, sangat terkesan memaksa dan egois. "Ayah tidak mempermasalahkan hal ini. Akan tetapi, sebelum upacara pernikahan kalian berdua resmi digelar. Kehamilan Latri harus kita sembunyikan demi menjaga nama baik keluarga agar tidak tercoreng." Wirya terlihat mengangguk sekali lagi, menyetujui permintaan dari sang ayah.
Wirya baru saja keluar dari kamar mandi dan tak melepas sedetik pun waktunya dalam memusatkan atensi pada sosok Latri yang tengah duduk di atas kasur. Punggung wanita itu menyandar santai di kepala tempat tidur dengan kedua kaki lurus ke depan. Walaupun, Latri tampak serius manakala sedang melakukan aktivitas membaca, tapi menurut Wirya istrinya tetap terlihat cantik. Dan saat mata mereka berdua saling bersirobok, tatapan pria itu segera menajam, terlebih ketika dihadapkan dengan sepasang manik cokelat milik Latri yang tak memancarkan cinta untuknya. Ia memilih memerlihatkan sikap dingin kemudian. "Ibu tadi datang ke sini." "Aku sudah tahu." Wirya menyahuti pemberitahuan dari istrinya dengan nada datar dan memutuskan sepihak kontak mata di antara mereka. Pria itu lantas berjalan menuju lemari pakaian yang letaknya di seberang tempat tidur. Wirya tahu bahwa Latri masih memerhatikan dir
"Latri tidak hamil, Bu. Aku sengaja berbohong supaya bisa menikahinya segera. Aku minta maaf, Bu." Wirya mengakui kesalahannya di hadapan sang ibu. Sorot penyesalan terpancar jelas pada mata pria itu, walaupun di wajahnya tercetak ekspresi datar. "Ibu sudah menduga kamu hanya berbohong, Nak." tanggap Ibu Ratna dengan peringai yang tenang. Tidak terlihat marah selepas mendengar kejujuran yang diutarakan oleh putra sulung beliau. "Aku sungguh-sungguh minta maaf, Bu. Tolong Ibu jangan marah pada Latri. Dia hanya mengikuti alur dari permainanku saja." Wirya meminta secara halus. Bukan tak mungkin jika nanti sang ibu akan melampiaskan amarah ke istrinya. Ia tentu tidak menginginkan semua sampai terjadi. Wirya mengetahui benar bahwa rasa tidak suka hadir dalam diri ibunya untuk Latri dari dulu, sejak mereka bertunangan. Bahkan, restu dari sang ibu belum sepenuhnya bisa diperoleh. Tapi, Wirya tetap pada pendirian dan tak menyerah mempertahankan Latri. "Apa I
Wirya hanya menggunakan Senin hingga Sabtu mengurus pekerjaan kantornya. Dan setiap hari Minggu, ia akan menghabiskan waktunya di rumah bersama Latri. Wirya sudah terbiasa untuk menemani istrinya melakukan serangkaian latihan fisik dalam proses fisioterapi yang tengah dijalani. Wirya memang sengaja memanggil beberapa terapis terbaik sejak dua bulan lalu ke rumah guna membantu Latri. Ia juga membeli sejumlah alat-alat terapi dan gym yang dapat membantu wanita itu selama masa penyembuhan. Wirya mendukung secara penuh keinginan sang istri untuk sembuh dan bisa berjalan lagi tanpa operasi. "Aku bisa, Wi," ucap Latri disertai senyuman cukup lebar disaat melihat sorot kekhawatiran di sepasang mata sang suami yang berdiri di depannya. Wanita itu sendiri sedang berada di tengah-tengah paralel bar, melatih kakinya berjalan. "Tidak, aku tetap mengawasi di sini. Hati-hati melangkahnya su—" Wirya belum sempat menyelesaikan kata-kat
Pak Indra menikmati secangkir kopi hitam hangat yang beberapa menit lalu baru disajikan oleh asisten rumah tangga di kediaman putra sulung beliau. Raut ketenangan terlihat nyata di wajah Pak Indra, meski tidak ada senyuman terbentuk di sana. Hari ini, beliau memang sengaja mempersiapkan waktu khusus untuk bertandang, selepas tiba dari Jepang kemarin malam. Pak Indra ingin tahu mengenai kondisi calon cucu pertama beliau yang sedang dikandung sang menantu. "Bagaimana kabar kalian berdua dan calon cucu Ayah? Kalian sudah tahu jenis kelaminnya?" tanya Pak Indra dengan menyelipkan keantusiasan cukup tinggi dalam suara beliau. Latri dan Wirya yang sedang duduk berdampingan pun lantas sama-sama menampakkan ekspesi ketegangan di wajah, selepas mendengar pertanyaan dari Pak Indra. Terutamanya Wirya yang mulai dilanda sekelumit rasa bersalah akibat kebohongannya sendiri. Dan pria itu telah bertekad akan mengatakan kejujuran.
Pergantian hari terasa cepat berjalan baginya, begitu juga dengan waktu. Walau satu bulan sudah berlalu sejak peristiwa tak mengenakan terjadi pada sang istri, Wirya tetap saja siaga. Tak sekalipun lengah menjaga dan mengontrol kondisi istrinya.Sikap pria itu juga jadi semakin protektif. Perhatian yang diberikan Wirya tidak pernah berkurang, sesibuk atau sepadat apa pun pekerjaannya. Pria itu tak akan menjadikan sang istri dan buah hati kecil mereka urusan yang kesekian. Ia masih sangat mengutamakan keluarga. Karena, begitu kewajibannya.Misalkan hari ini, Wirya menemani sang istri pergi lagi ke dokter spesialis kandungan guna lakukan pemeriksaan secara rutin, setiap 14 hari sekali. Mengingat usia kehamilan istrinya yang sudah menginjak 10 minggu, maka mereka harus meningkatkan pengawasan, menghindari hal tidak diinginkan."Buumm...buumm." Laksmi berucap cukup lantang seraya mencoba meniru gaya ayahnya yang sedang menyetir dan duduk n
Hingga angka di jam digital di atas meja menunjukkan tepat pukul tiga dini hari, Wirya tidak beranjak tidur. Pria itu belum sekalipun memejamkan mata. Wirya memilih menjaga istrinya. Menyiagakan diri jika terjadi sesuatu yang lebih buruk dan tidak diinginkan nanti.Sementara, Latri sudah mampu berbaring nyaman di tempat tidur mereka. Setelah rasa sakit perutnya menghilang sepenuhnya. Dan, wajah damai wanita itu, manakala sedang tertidur pun menjadi pemandangan yang sangat jarang bisa dinikmati."Aku sudah banyak membuat kamu menderita, Latri," ujar Wirya begitu pelan. Namun, nada bersalah jelas terdengar di dalam suara berat pria itu. Genggaman Wirya pada tangan istrinya kian dieratkan bersamaan dengan rasa sesal semakin menyesakkan dada.Linangan air mata serta pengutaraan ketakutan dari sang istri beberapa jam lalu masih melekat kuat di dalam benak Wirya. Sungguh, ia tak tega dan juga ikut merasakan sakit. "Mungkin permintaan maafku saja tidak akan bisa cukup.
"Wirya...," gumam Latri tak keras. Nyaris seperti berbisik. Suaranya begitu kecil. "Maaf," ucap wanita itu tak enak hati."Maaf karena sikapku kasar tadi siang padamu, Wi."Beberapa hari belakangan, ia dan sang suami sudah tak lagi tidur dalam satu kamar yang sama sesuai permintaannya. Sang suani pun menurut, tidak mempunyai alasan kuat untuk menolak. Namun, saat melihat Wirya seperti malam ini, Latri menjadi tak tega dan mengasihani suaminya. "Jangan tidur di sini. Lebih baik di kasur."Wirya mampu merasakan jika ada sentuhan lembut pada pipi kanannya. Ia memilih merapatkan pejaman mata seraya meraih tangan sang istri guna digenggam erat. Wirya sangat suka momen dimana istrinya masih menunjukkan kepedulian, meski hubungan mereka kian memburuk pasca perdebatan yang terjadi siang tadi."Di sini kamu pasti tidak akan merasa nyaman untuk tidur. Pindah ke kasur, Wi." Latri coba membujuk suaminya.Wirya tak menanggapi perkataan sang istri, m
Ucapan Wira terus saja terngiang di telinga Wirya hingga menambah ketidaktenangan yang melingkupi dirinya. Wirya bahkan kian tak bisa berpikir jernih, konsentrasi dalam bekerja tak lagi tersisa. Ia lantas mengambil keputusan nekat, yakni membatalkan pertemuan bersama salah satu klien yang penting secara sepihak.Wirya tak ingin terlalu memikirkan konsekuensi yang akan diterima oleh perusahaan serta bisnisnya. Untuk sekarang, Wirya lebih mengutamakan penyelesaian dari masalahnya dengan sang istri. Wirya hendak mengajukan permohonan pada Latri. Berharap, istrinya bersedia mengabulkan, walauterasa berat.Untuk Wirya, tidak akan pernah mudah meminta sang istri menggugurkan calon anak kedua mereka. Ia sungguh tidak sanggup membunuh nyawa darah dagingnya. Namun, Wirya tak punya alternatif lain guna menyelamatkan sang istri."Kenapa pulang cepat, Wi? Siang ini bukannya kamu punya jadwal bertemu dengan PT. Sejahtera?" Latri bertanya, ingin mengetahui a
Wirya tak bisa menikmati sarapan dengan suasana hati damai atau tentram pagi ini. Sebab, memang aura dan suasana yang kini melingkupi dirinya dan sang istri sedang tidak enak. Efek keberanian mengungkap sederet fakta di masa lalu pada wanita itu harus bisa ia terima mulai sekarang.Semua tak akan pernah bisa sama lagi seperti sebelumnya. Hubungan mereka berdua rasanya kian jadi memburuk. Dan hal tersebut sungguh sulit bagi Wirya. Hati kecilnya tidak ingin ada perubahan.Akan tetapi, terlalu mustahil untuk dapat terkabul. Karma sedang berlaku untuknya. Wirya tidak dapat menghindari. Terlepas dari rasa sesal yang membelenggu setia."Sayang ...,"Manakala, mendengar panggilan dari sang suami, maka Latri segera memindahkan pandangan pada sepasang mata suaminya. Meski, tidak bertahan lama. Mungkin enam detik. "Ada apa?" tanya wanita itu dengan nada datar."Masih tidak enak badan? Mau aku antar ke dokter?"Latri
Wirya baru sampai di kediamannya pada pukul sebelas malam.Dan, saat sudah injakkan kaki di ruang tamu yang masih terang oleh nyala dari sinar lampu, Wirya segera saja memusatkan perhatian ke arah sofa, di sana tampaklah istrinya sedang tertidur pulas saat ini. Wirya terpaku sejenak, kala disuguhkan pemandangan wajah damai sang istri. Hati pria itu menghangat.Tatapan Wirya yang teduh senantiasa masih tertuju ke sosok sang istri bersamaan dengan menipisnya jarak di antara mereka karena Wirya yang juga kian berjalan mendekat ke arah sofa. Ulasan senyuman terlihat di wajah pria itu, dikala membelai secara halus pipi kiri sang istri. Sementara, pergerakan kecil ditunjukkan Latri,tatkala merasakan ada sentuhan tangan milik seseorang. Lalu, kedua matanya terbuka."Kenapa tidak tidur di kamar? Di sini udaranya dingin, Sayang." Wirya berujar dengan begitu lembut.Latri yang hendak melontarkan sejumlah kata. Namun, diurungkan. Wanita itu memilih untuk memejamkan m
Pagi ini, tepatnya nanti pukul sepuluh. Ibu Ratna dan Pak Indra harus sudah tiba di Bandara. Orangtua Wirya itu akan melakukan perjalanan bisnis ke London hampir selama satu bulan. Dan, terus berlanjut ke satu sampai empat negara Eropa bersama kolega-kolega dari perusahaan lainnya. Mungkin saja akan memakan waktu tiga bulan. Tanggung jawab perusahaan ada pada Wira."Sebelum kamu ke kantor, antar Laksmi pulang dulu agar Wirya tidak perlu datang ke sini menjemput putrinya nanti."Wira menganggukkan kepala secara singkat sambil menyesap kopi hangat dari dalam cangkir yang baru dihidangkan salah satu asisten rumah. "Iya, Ayah. Aku akan antar Laksmi pulang. Sudah lama juga aku tidak bertemu Bli Wirya dan Kak Latri," tanggap pria itu kemudian dengan peringai santai.Walau demikian, Wira pun tak berhenti dalam mengamati perubahan mimik di wajah ayahnya. Terbukti jelas saat dirinya menyebut nama dari sang kakak, ketajaman dua mata ayahnya bertambah dan menyulut em
Sudah hampir 1,5 jam, Ibu Ratna menggendong tubuh mungil Laksmi sembari duduk nyaman pada salah satu kursi terbuat dari kayu pilihan dengan kualitas bagus yang tampak berderet rapi di sudut lain dalam kamar beliau. Ibu Ratna tidak merasa lelah, walau berat badan cucu beliau terbilang berat.Ibu Ratna terlihat sangat menikmati betul momen mengasuh Laksmi yang malam ini akan menginap di rumah. Pertemuan beberapa jam lalu langsung mampu menumbuhkan rasa sayang Ibu Ratna yang besar terhadap cucu beliau. Ikatan darah tidak akan dapat dipisahkan sampai kapanpun, pasti ada dan punya cara tersendiri dalam menyatukan kembali. Meski, terkadang membutuhkan waktu yang tidak cepat."Laksmi biasa tidur malam di rumah?" Ibu Ratna coba kembali memulai interaksi menyenangkan dengan cucu beliau.Walau, hanya mendapat respons anggukan kepala singkat sebagai jawaban, Ibu Ratna tak kecewa. Raut di wajah beliau kian menampakkan rasa bahagia yang nyata. Bahkan, Ibu Ratna tak berhenti
Sudah hampir satu jam lebih, Wirya berdiam diri di dalam mobil, tidak sedikit pun berniat keluar. Bahkan, tak ada keinginan darinya bergabung di acara makan, malam ini. Wirya hendak pulang. Namun, tidak mungkin baginya meninggalkan Laksmi. Dan, sangat enggan juga menyusul ke restoran. Terlebih, sang ibu ada di sana.Wirya sama sekali tak menduga jika adik bungsunya akan memiliki rencana ataupun mengadakan pertemuan yang paling ia dihindari sekarang ini.Sebenarnya, Wirya tak mau bersikap durhaka kepada ibu atau ayahnya. Dan, tatkala pria itu teringat kembali akan semua perlakuan buruk ibunya.Amarah Wirya pasti tak mudah dibendung. Daripada mengulang perdebatan sengit, lebih baik dirinya dan sang ibu tak saling bertatap muka sementara waktu. Jalan terbaik menurutnya."Bli, kenapa belum masuk juga? Aku sudah pesankan steak dan pasta favorit Kakak di dalam ruang VIP."Pandangan Wirya yang awalnya hanya lurus terarah ke depan, langsung dipindahkan. Me