Semenjak semalam hingga dini hari, Wirya lebih banyak terjaga. Pria itu cenderung tidak dapat tidur dengan nyenyak. Bukan karena beban pikiran yang mengganggunya. Melainkan oleh sosok mungil sang putri. Ia seakan tak bisa lama-lama memejamkan mata atau terlelap, manakala Laksmi yang baru berusia 50 hari itu selalu berada dekat di sisinya.
Wirya tidak pernah merasakan lelah ketika harus menggendong putrinya itu dalam durasi waktu lama, misal seperti malam tadi. Dimana, Laksmi rewel serta sedikit merepotkan sang istri. Wirya pun berupaya semaksimal mungkin membantu istrinya untuk menenangkan putri semata wayang mereka. Dan ia mempersilakan Latri beristirahat, sementara dirinya sabar menemani Laksmi yang sedang ingin begadang.
"Belum mengantuk, Nak?"
Kuluman senyuman bahagia di bibir Wirya belum memudar. Tatapan pria itu juga senantiasa masih tertuju pada wajah cantik putri kecilnya. Terdapat tarikan magnet yang seolah membuat Wirya tak ingin melewatkan ekspresi lucu yang dibentuk Laksmi. Terlalu berharga jika tidak diabadikan oleh matanya secara langsung.
"Kapan ngantuknya, Nak?"
Bagi Wirya, seorang anak merupakan anugerah terindah dan titipan khusus yang telah Tuhan percayakan untuk dijaga dalam pernikahan mereka. Dan Wirya tak akan pernah membiarkan perceraian terjadi. Semua harus coba dipertahankannya. Masa depan yang lebih baik berusaha dengan sekuat tenaga mulai ditatanya. Meredamkan segala keegoisan yang menimbulkan kehancuran.
"Nak, Papa minta maaf." Kelirihan mendominasi suara berat Wirya yang dialunkan serius. Pria itu tahu benar sang putri belum dapat memaknai ucapannya. Tapi, paling tidak Laksmi akan mendengarkan.
"Papa membiarkan Mama sendirian melahirkan kamu, Nak. Maafin Papa yang nggak bisa menemani Mama."
Wirya tidak peduli dengan kerapuhan yang saat ini sedang diperlihatkannya dihadapan sang putri. Tampak juga mata Wirya berkaca-kaca. Rasa sesak menghampirinya manakala melihat keluguan terpancar nyata di masing-masing manik cokelat milik Laksmi yang menatapnya dalam keluguan. Ia pun mudah terbawa perasaan.
"Harus selalu sehat dan kuat ya, Nak? Papa akan jaga Laksmi dan Mama."
Sebuah kecupan sayang lantas Wirya berikan di bagian dahi putrinya guna menyalurkan afeksi sebagai seorang ayah. "Laksmi nggak boleh jauh-jauh lagi dari Papa. Janji, Nak?"
"Laksmi dan Mama sangat berharga bagi Papa. Tanpa kalian, Papa nggak akan pernah hidup bahagia." Wirya masih menyematkan kesungguhan dalam lontaran kata.
Senyuman Wirya melebar bersamaan dengan cairan bening yang sejak tadi telah menggenang di pelupuk mata turun membasahi pipi. Ada kesedihan yang tidak mampu Wirya ungkapkan secara lisan dan gamblang. Ia juga tak suka menangis, akan tetapi semua itu cukup mewakili bagaimana perasaan yang menggerogoti hatinya.
"Papa siap berkorban dan melakukan apa pun untuk melindungi kalian. Laksmi dan Mama adalah tanggung jawab Papa sampai mati nanti," ucap pria itu begitu tegas dan juga penuh keseriusan.
"Buatlah keputusan secepatnya, Wi."
Wirya sedikit terkaget karena tiba-tiba saja suara Latri menyapa lembut indera pendengarannya. Pria itu lalu mengalihkan perhatian sebentar ke arah istrinya berada, tepat di sebelah kiri ranjang yang mereka tempati bersama. Mengulas senyuman terbaik dikala memperoleh tatapan menuntut dari istrinya itu.
"Aku akan meninggalkan perusahaan, Sayang. Sesuai permintaanmu," jawab Wirya memberi tahu keputusannya.
"Jangan pernah meminta cerai dariku lagi, Latri." Perkataan pria itu lebih terdengar seperti memohon.
"Apa boleh aku menginginkan satu hal lagi padamu, Wi?"
"Katakan saja, Sayang," balas Wirya cepat. Memperbolehkan. Atau nanti akan sanggup mengabulkan apa yang diminta istrinya.
"Apakah kamu mengizinkanku untuk membalas rasa sakit yang aku sudah alami akibat perlakuan Ibu dan Ayah kamu, Wi?"
===============================
Sejak lontaran pertanyaan dari sang istri yang belum bisa dijawabnya pagi kemarin, Wirya pun merasa jika hubungan mereka kian merenggang dan canggung. Tidak banyak obrolan panjang yang tercipta, walau mereka berdua lebih banyak menghabiskan waktu untuk sama-sama merawat serta juga menjaga Laksmi di rumah.
Tempat tinggal yang dimaksud di sini adalah kediaman Latri. Sudah hampir tiga hari belakangan Wirya selalu inapi demi dapat berkumpul dengan buah hati dan istrinya. Ia tidak ingin mengulang perpisahan untuk yang kedua kali. Tak akan pernah mampu baginya jika harus menghadapi rasa kehilangan lagi.
"Sudah tidur?"
Anggukan pelan dari Latri cukup mudah ditangkap oleh sepasang mata Wirya yang sejak tadi memang tidak henti memerhatikan dan memandangi wajah cantik istrinya itu. Wirya tahu bahwa Latri secara sengaja menolak untuk menatap dirinya. Dan alasan kuat yang melatarbelakangi tak lepas dari kebungkamannya juga mengenai permintaan diajukan oleh sang istri kemarin.
"Biar aku saja yang gendong Laksmi. Sekarang lebih baik tidur, Latri."
"Aku lihat kamu juga sudah lelah. Istirahatlah, Sayang," saran Wirya. Pria itu lantas beranjak bangun dari posisi duduk pada pinggiran ranjang guna mengambil putri kecilnya yang sedang berada dalam gendongan sang istri.
"Laksmi ditidurkan di boks saja, Wi. Jangan digendong. Kamu juga butuh istirahat. Tidurlah lebih awal."
Wirya tak mampu menyembunyikan perasaan bahagia menerima sebentuk perhatian dari istrinya. Dan segaris senyum pun dibentuk Wirya melihat sorot keteduhan di masing-masing manik milik Latri disaat mata mereka saling bersitatap.
"Apa kita bisa bicara sebentar?" Pria itu bertanya. Terkesan seperti tengah meminta persetujuan.
"Tentu, Wi." Latri pun secepatnya memberi jawaban atas permintaan sang suami. Mereka memang harus berbicara, masalah yang ada harus segera memperoleh titik temu atau solusi.
Wirya tak membalas dalam kata, hanya senyum tipis diulasnya seraya mengangguk pelan. Pria itu lantas mengakhiri komunikasi yang tidak ada lima menit berlangsung tersebut untuk menaruh putri kecil mereka di boks bayi. Setiap kali menyaksikan kedamaian pada wajah buah hati mereka saat tertidur, maka pikulan beban serta pikiran-pikiran rumitnya hilang sejenak.
"Selamat malam, Nak. Tidur yang nyenyak. Papa akan di sini menjaga Laksmi," ucap Wirya setelah sukses membaringkan tubuh mungi putrinya di dalam boks. Kemudian, ditutupi oleh selimut yang cukup tebal.
Wirya tak lupa juga memberi ciuman di bagian kening Laksmi dengan segenap kasih serta rasa sayang coba pria itu salurkan. "Love you, Nak."
Dan masih di kamar serta waktu yang sama, Latri begitu tersentuh akan momen antara ayah dan buah hatinya. Kehangatan, kepedulian, dan juga ketulusan sang suami kepada Laksmi. Memang tak salah jika keputusannya mempertemukan kembali Wirya dengan putri semata wayang mereka. Tidak ada yang mampu memisahkan ikatan darah. Ia memahami betul.
"Latri ...,"
Panggilan lembut suaminya, berhasil membuat Latri tersadar dari lamunan. Wanita itu langsung saja menatap sekaligus menarik kedua sudut-sudut bibirnya guna membentuk senyuman. Walau, tak terlalu lebar. Latri sempat merasa kaget ketika sang suami yang sudah kembali duduk di tepian kasur bersamanya, tiba-tiba memeluk erat.
"Maafkan aku." Wirya pun berucap dengan sesungguhan bercampur rasa bersalah.
"Kenapa meminta maaf, Wi?"
"Aku tidak akan bisa melihat kamu membalas semua perlakuan buruk orangtuaku selama ini, Latri. Mereka tetaplah Ayah dan Ibuku. Balaskan semua rasa sakitmu padaku saja."
"Aku tidak akan melakukannya, Wi."
Selepas kata-kata bernadakan tegas terlontar dari mulutnya, Latri dapat merasakan jika dekapan sang suami yang awalnya erat, detik ini sedikit mengendur. Latri tahu Wirya terkejut mendengar pernyataanya.
"Jawaban ini yang aku tunggu, Wi. Seburuk apa pun perlakuan dan sikap orangtuamu selama ini. Kamu harus menghormatinya." Latri meneruskan.
"Aku sudah memaafkan mereka. Tapi, kalau Ayah dan Ibumu berupaya untuk menyakiti Laksmi. Aku tidak akan bisa diam. Aku punya tanggung jawab melindungi putri kita," imbuh wanita itu. Menegaskan prinsip yang dipegangnya. Ia tak dapat mengalah jika berkaitan dengan anak mereka.
"Sama, Latri. Aku juga tidak akan pernah membiarkannya. Aku berjanji padamu."
================================
Cuaca pagi ini mendung, cahaya dari matahari pun tidak sepenuhnya bisa menyinari bumi seperti kemarin. Air hujan yang deras juga belum turun membasahi tanah, hanya rintik-rintik ringan. Namun, semilir angin cukup kencang berembus lalu menciptakan nuansa dingin yang dapat menusuk kulit. Dan untuk menjaga kehangatan bagi putri mereka, Latri membalut tubuh Laksmi dengan selimut tebal serta memberi dekapan lebih erat tatkala putri mereka itu terlelap nyenyak dalam gendongannya sejak 10 menit lalu. Latri berharap jika perubahan cuaca tidak berdampak untuk kesehatan Laksmi yang belum mempunyai daya tahan dan sistem kekebalan tinggi. Ia pun tak lupa berdoa disetiap waktu supaya putri kecil mereka senantiasa kuat. Kemudian, senyuman Latri dengan segera dilebarkan karena melihat buah hatinya tiba-tiba saja terbangun. Tak terdengar adanya rengekan. Bayi perempuan itu malah memandangi ibunya lekat dan sorot keluguan yang terpancar jelas. "Laksmi gimana boboknya?
Latri bukannya merasa senang untuk mengambil tidak acuh atas keributan yang terjadi di rumahnya pagi ini. Ia hanya tak berkeinginan menambah runcingan masalah menjadi rumit. Terlebih, orangtua Wirya belum bisa menerimanya sebagai menantu dan menaruh rasa benci yang sangat. Mengenai keputusan dibuat oleh sang suami, Latri sungguh tidak berpikir jika Wirya akan mengundurkan diri dari perusahaan dalam hitungan hari saja. Latri bahkan tak tahu-menahu. Semua diluar prediksinya. Andai ia tidak meminta pada Wirya. Apakah masalah seperti ini akan jauh dari kehidupan mereka? Latri terus bertanya-tanya di dalam hati. Dan, berbagai macam jawaban saling bersahutan di kepala sampai menimbulkan kepeningan yang kian menjadi. Rasa pusing tidak mampu dihindari. "Laksmi sudah tenang?" Tatkala suara berat milik suaminya menyapa gendang telinga, yang bisa dipamerkan Latri yakni senyuman tipis di bibir. Dadanya terasa cukup sesak melihat sorot redup pada kedua mata Wirya.
Sama seperti kebanyakan kepala rumah tangga yang lain, Wirya pun mesti cepat pergi ke kantor karena banyak pekerjaan tengah menumpuk dan harus segera pula diselesaikan. Namun, keberangkatannya tertunda disebabkan aksi putri kecilnya yang tak mau turun dari gendongan sejak 10 menit lalu. Laksmi memerlihatkan sikap manja ke sang ayah karena jarang bisa habiskan waktu bermain bersama di rumah, sibuk dengan pekerjaan yang padat. Jadi, batita itu bertingkah banyak guna mencari perhatian lebih dari sang ayah jika ada kesempatan, misalkan sekarang ini. "Papa ...," Laksmi bergumam kecil, lalu menaruh kepalanya dengan rasa nyaman yang besar di bahu kiri sang ayah. "Papa...Papaa...," ulang batita itu dalam nada lucu. "Laksmi sama Mama sini, Nak. Papa mau ke kantor." Wirya cepat mengulas senyum tipis, kala istrinya yang duduk di tepian tempat tidur mengeluarkan beberapa kata gu
"Mama...Mama...," Laksmi antusias memanggil-manggil sembari terus memandangi wajah cantik ibunya yang masih tertidur, sudah dimulai batita perempuan itu sejak beberapa menit lalu.Dan, kala tak mendapat tanggapan sama sekali. Laksmi lantas memanyun-manyunkan bibir, menjadi tanda jika batita itu tengah sedikit merasa sebal.Laksmi ingin melanjutkan aksi agar ibunya segera bangun dan menjawab panggilannya. Batita itu lalu menaruh tangan kanannya yang kecil di atas pipi kiri sang ibu.Sorot lugu pada sepasang mata hitam Laksmi dengan melekat jelas. Walau, kejahilan sekarang ini sedang coba dilakukan batita perempuan itu pada ibunya."Mamaa ...," Batita perempuan itu pun sedikit meninggikan suara, kembali memanggil sang ibu yang berbaring lelap di samping kirinya.Tak ada balasan diperoleh batita itu."Laksmi udah bangun, Nak?"Menangkap pertanyaan yang ayahnya lontarkan dalam nada begitu pelan, Laksmi secepatnya coba mengalihkan perhatian serta
"Pemeriksaan hari ini sudah selesai. Calon bayi Bu Latri tidak mengalami masalah. Sejauh ini masih tumbuh normal.""Makasih, Dokter Fifi," balas Latri sopan. Senyum wanita itu mengembang cukup lebar di wajahnya.Latri tentu bersyukur serta merasa senang akan kabar baik yang baru saja diterima. Wanita itu pun juga sempat menyaksikan mimik wajah kelegaan suaminya. Entah kenapa, ekspresi Wirya yang demikian membuat dirinya ingin tersenyum lebih lebar lagi."Iya, Bu Latri. Sama-sama. Kalau begitu saya tinggal dulu menemui Dokter Hani. Bapak dan Ibu silakan tunggu di sini sebentar. Saya akan segera kembali.""Baik, Dokter Fifi." Latri menjawab segera. Tidak lupa menganggukkan kepalanya dengan gerakan yang sopan.Hanya sunggingan senyuman ramah dan juga bersahabat yang Dokter Fifi tunjukkan sebagai balasan, sebelum berjalan guna melenggang pergi dari ruang periksa. Tinggalkan pasangan suami-istri yang butuh saling berbicara.Kemudian, kekagetan me
Semula, Laksmi sedang asyik menonton kartun kesukaannya yang sedang terputar di layar televisi seraya mengemil biskuit. Akan tetapi kemudian, batita itu merasa sedikit kaget karena tiba-tiba tubuhnya yang mungil diangkat sang ayah guna digendong."Papa ...," Laksmi mengeluarkan gumaman dalan nada lucu dan raut keceriaan menghias wajah imut batita itu."Nontonnya dilanjutkan besok, ya, Nak? Laksmi sekarang bobok sama Mama. Oke, Sayang?"Laksmi segera menganggukkan kepala semangat dan mengerti akan perkataan yang dilontarkan oleh sang ayah. Senyuman menggemaskan batita itu masih dipamerkan, saat memandangi ayahnya dalam tatapan yang polos, juga lugu."Sini, Sayang."Sepasang mata dengan iris warna hitam Laksmi lantas terarah ke asal suara ibunya terdengar. Lebaran senyum lucu batita perempuan itu semakin bertambah, tatkala menangkap botol susunya berada di tangan sang ibu. Laksmi terlihat kian girang dan senang kala sudah turun dari gendongan ayahnya
Sudah hampir satu jam lebih, Wirya berdiam diri di dalam mobil, tidak sedikit pun berniat keluar. Bahkan, tak ada keinginan darinya bergabung di acara makan, malam ini. Wirya hendak pulang. Namun, tidak mungkin baginya meninggalkan Laksmi. Dan, sangat enggan juga menyusul ke restoran. Terlebih, sang ibu ada di sana.Wirya sama sekali tak menduga jika adik bungsunya akan memiliki rencana ataupun mengadakan pertemuan yang paling ia dihindari sekarang ini.Sebenarnya, Wirya tak mau bersikap durhaka kepada ibu atau ayahnya. Dan, tatkala pria itu teringat kembali akan semua perlakuan buruk ibunya.Amarah Wirya pasti tak mudah dibendung. Daripada mengulang perdebatan sengit, lebih baik dirinya dan sang ibu tak saling bertatap muka sementara waktu. Jalan terbaik menurutnya."Bli, kenapa belum masuk juga? Aku sudah pesankan steak dan pasta favorit Kakak di dalam ruang VIP."Pandangan Wirya yang awalnya hanya lurus terarah ke depan, langsung dipindahkan. Me
Sudah hampir 1,5 jam, Ibu Ratna menggendong tubuh mungil Laksmi sembari duduk nyaman pada salah satu kursi terbuat dari kayu pilihan dengan kualitas bagus yang tampak berderet rapi di sudut lain dalam kamar beliau. Ibu Ratna tidak merasa lelah, walau berat badan cucu beliau terbilang berat.Ibu Ratna terlihat sangat menikmati betul momen mengasuh Laksmi yang malam ini akan menginap di rumah. Pertemuan beberapa jam lalu langsung mampu menumbuhkan rasa sayang Ibu Ratna yang besar terhadap cucu beliau. Ikatan darah tidak akan dapat dipisahkan sampai kapanpun, pasti ada dan punya cara tersendiri dalam menyatukan kembali. Meski, terkadang membutuhkan waktu yang tidak cepat."Laksmi biasa tidur malam di rumah?" Ibu Ratna coba kembali memulai interaksi menyenangkan dengan cucu beliau.Walau, hanya mendapat respons anggukan kepala singkat sebagai jawaban, Ibu Ratna tak kecewa. Raut di wajah beliau kian menampakkan rasa bahagia yang nyata. Bahkan, Ibu Ratna tak berhenti
Pergantian hari terasa cepat berjalan baginya, begitu juga dengan waktu. Walau satu bulan sudah berlalu sejak peristiwa tak mengenakan terjadi pada sang istri, Wirya tetap saja siaga. Tak sekalipun lengah menjaga dan mengontrol kondisi istrinya.Sikap pria itu juga jadi semakin protektif. Perhatian yang diberikan Wirya tidak pernah berkurang, sesibuk atau sepadat apa pun pekerjaannya. Pria itu tak akan menjadikan sang istri dan buah hati kecil mereka urusan yang kesekian. Ia masih sangat mengutamakan keluarga. Karena, begitu kewajibannya.Misalkan hari ini, Wirya menemani sang istri pergi lagi ke dokter spesialis kandungan guna lakukan pemeriksaan secara rutin, setiap 14 hari sekali. Mengingat usia kehamilan istrinya yang sudah menginjak 10 minggu, maka mereka harus meningkatkan pengawasan, menghindari hal tidak diinginkan."Buumm...buumm." Laksmi berucap cukup lantang seraya mencoba meniru gaya ayahnya yang sedang menyetir dan duduk n
Hingga angka di jam digital di atas meja menunjukkan tepat pukul tiga dini hari, Wirya tidak beranjak tidur. Pria itu belum sekalipun memejamkan mata. Wirya memilih menjaga istrinya. Menyiagakan diri jika terjadi sesuatu yang lebih buruk dan tidak diinginkan nanti.Sementara, Latri sudah mampu berbaring nyaman di tempat tidur mereka. Setelah rasa sakit perutnya menghilang sepenuhnya. Dan, wajah damai wanita itu, manakala sedang tertidur pun menjadi pemandangan yang sangat jarang bisa dinikmati."Aku sudah banyak membuat kamu menderita, Latri," ujar Wirya begitu pelan. Namun, nada bersalah jelas terdengar di dalam suara berat pria itu. Genggaman Wirya pada tangan istrinya kian dieratkan bersamaan dengan rasa sesal semakin menyesakkan dada.Linangan air mata serta pengutaraan ketakutan dari sang istri beberapa jam lalu masih melekat kuat di dalam benak Wirya. Sungguh, ia tak tega dan juga ikut merasakan sakit. "Mungkin permintaan maafku saja tidak akan bisa cukup.
"Wirya...," gumam Latri tak keras. Nyaris seperti berbisik. Suaranya begitu kecil. "Maaf," ucap wanita itu tak enak hati."Maaf karena sikapku kasar tadi siang padamu, Wi."Beberapa hari belakangan, ia dan sang suami sudah tak lagi tidur dalam satu kamar yang sama sesuai permintaannya. Sang suani pun menurut, tidak mempunyai alasan kuat untuk menolak. Namun, saat melihat Wirya seperti malam ini, Latri menjadi tak tega dan mengasihani suaminya. "Jangan tidur di sini. Lebih baik di kasur."Wirya mampu merasakan jika ada sentuhan lembut pada pipi kanannya. Ia memilih merapatkan pejaman mata seraya meraih tangan sang istri guna digenggam erat. Wirya sangat suka momen dimana istrinya masih menunjukkan kepedulian, meski hubungan mereka kian memburuk pasca perdebatan yang terjadi siang tadi."Di sini kamu pasti tidak akan merasa nyaman untuk tidur. Pindah ke kasur, Wi." Latri coba membujuk suaminya.Wirya tak menanggapi perkataan sang istri, m
Ucapan Wira terus saja terngiang di telinga Wirya hingga menambah ketidaktenangan yang melingkupi dirinya. Wirya bahkan kian tak bisa berpikir jernih, konsentrasi dalam bekerja tak lagi tersisa. Ia lantas mengambil keputusan nekat, yakni membatalkan pertemuan bersama salah satu klien yang penting secara sepihak.Wirya tak ingin terlalu memikirkan konsekuensi yang akan diterima oleh perusahaan serta bisnisnya. Untuk sekarang, Wirya lebih mengutamakan penyelesaian dari masalahnya dengan sang istri. Wirya hendak mengajukan permohonan pada Latri. Berharap, istrinya bersedia mengabulkan, walauterasa berat.Untuk Wirya, tidak akan pernah mudah meminta sang istri menggugurkan calon anak kedua mereka. Ia sungguh tidak sanggup membunuh nyawa darah dagingnya. Namun, Wirya tak punya alternatif lain guna menyelamatkan sang istri."Kenapa pulang cepat, Wi? Siang ini bukannya kamu punya jadwal bertemu dengan PT. Sejahtera?" Latri bertanya, ingin mengetahui a
Wirya tak bisa menikmati sarapan dengan suasana hati damai atau tentram pagi ini. Sebab, memang aura dan suasana yang kini melingkupi dirinya dan sang istri sedang tidak enak. Efek keberanian mengungkap sederet fakta di masa lalu pada wanita itu harus bisa ia terima mulai sekarang.Semua tak akan pernah bisa sama lagi seperti sebelumnya. Hubungan mereka berdua rasanya kian jadi memburuk. Dan hal tersebut sungguh sulit bagi Wirya. Hati kecilnya tidak ingin ada perubahan.Akan tetapi, terlalu mustahil untuk dapat terkabul. Karma sedang berlaku untuknya. Wirya tidak dapat menghindari. Terlepas dari rasa sesal yang membelenggu setia."Sayang ...,"Manakala, mendengar panggilan dari sang suami, maka Latri segera memindahkan pandangan pada sepasang mata suaminya. Meski, tidak bertahan lama. Mungkin enam detik. "Ada apa?" tanya wanita itu dengan nada datar."Masih tidak enak badan? Mau aku antar ke dokter?"Latri
Wirya baru sampai di kediamannya pada pukul sebelas malam.Dan, saat sudah injakkan kaki di ruang tamu yang masih terang oleh nyala dari sinar lampu, Wirya segera saja memusatkan perhatian ke arah sofa, di sana tampaklah istrinya sedang tertidur pulas saat ini. Wirya terpaku sejenak, kala disuguhkan pemandangan wajah damai sang istri. Hati pria itu menghangat.Tatapan Wirya yang teduh senantiasa masih tertuju ke sosok sang istri bersamaan dengan menipisnya jarak di antara mereka karena Wirya yang juga kian berjalan mendekat ke arah sofa. Ulasan senyuman terlihat di wajah pria itu, dikala membelai secara halus pipi kiri sang istri. Sementara, pergerakan kecil ditunjukkan Latri,tatkala merasakan ada sentuhan tangan milik seseorang. Lalu, kedua matanya terbuka."Kenapa tidak tidur di kamar? Di sini udaranya dingin, Sayang." Wirya berujar dengan begitu lembut.Latri yang hendak melontarkan sejumlah kata. Namun, diurungkan. Wanita itu memilih untuk memejamkan m
Pagi ini, tepatnya nanti pukul sepuluh. Ibu Ratna dan Pak Indra harus sudah tiba di Bandara. Orangtua Wirya itu akan melakukan perjalanan bisnis ke London hampir selama satu bulan. Dan, terus berlanjut ke satu sampai empat negara Eropa bersama kolega-kolega dari perusahaan lainnya. Mungkin saja akan memakan waktu tiga bulan. Tanggung jawab perusahaan ada pada Wira."Sebelum kamu ke kantor, antar Laksmi pulang dulu agar Wirya tidak perlu datang ke sini menjemput putrinya nanti."Wira menganggukkan kepala secara singkat sambil menyesap kopi hangat dari dalam cangkir yang baru dihidangkan salah satu asisten rumah. "Iya, Ayah. Aku akan antar Laksmi pulang. Sudah lama juga aku tidak bertemu Bli Wirya dan Kak Latri," tanggap pria itu kemudian dengan peringai santai.Walau demikian, Wira pun tak berhenti dalam mengamati perubahan mimik di wajah ayahnya. Terbukti jelas saat dirinya menyebut nama dari sang kakak, ketajaman dua mata ayahnya bertambah dan menyulut em
Sudah hampir 1,5 jam, Ibu Ratna menggendong tubuh mungil Laksmi sembari duduk nyaman pada salah satu kursi terbuat dari kayu pilihan dengan kualitas bagus yang tampak berderet rapi di sudut lain dalam kamar beliau. Ibu Ratna tidak merasa lelah, walau berat badan cucu beliau terbilang berat.Ibu Ratna terlihat sangat menikmati betul momen mengasuh Laksmi yang malam ini akan menginap di rumah. Pertemuan beberapa jam lalu langsung mampu menumbuhkan rasa sayang Ibu Ratna yang besar terhadap cucu beliau. Ikatan darah tidak akan dapat dipisahkan sampai kapanpun, pasti ada dan punya cara tersendiri dalam menyatukan kembali. Meski, terkadang membutuhkan waktu yang tidak cepat."Laksmi biasa tidur malam di rumah?" Ibu Ratna coba kembali memulai interaksi menyenangkan dengan cucu beliau.Walau, hanya mendapat respons anggukan kepala singkat sebagai jawaban, Ibu Ratna tak kecewa. Raut di wajah beliau kian menampakkan rasa bahagia yang nyata. Bahkan, Ibu Ratna tak berhenti
Sudah hampir satu jam lebih, Wirya berdiam diri di dalam mobil, tidak sedikit pun berniat keluar. Bahkan, tak ada keinginan darinya bergabung di acara makan, malam ini. Wirya hendak pulang. Namun, tidak mungkin baginya meninggalkan Laksmi. Dan, sangat enggan juga menyusul ke restoran. Terlebih, sang ibu ada di sana.Wirya sama sekali tak menduga jika adik bungsunya akan memiliki rencana ataupun mengadakan pertemuan yang paling ia dihindari sekarang ini.Sebenarnya, Wirya tak mau bersikap durhaka kepada ibu atau ayahnya. Dan, tatkala pria itu teringat kembali akan semua perlakuan buruk ibunya.Amarah Wirya pasti tak mudah dibendung. Daripada mengulang perdebatan sengit, lebih baik dirinya dan sang ibu tak saling bertatap muka sementara waktu. Jalan terbaik menurutnya."Bli, kenapa belum masuk juga? Aku sudah pesankan steak dan pasta favorit Kakak di dalam ruang VIP."Pandangan Wirya yang awalnya hanya lurus terarah ke depan, langsung dipindahkan. Me