Wirya belum pernah menginginkan sesuatu sampai harus mengorbankan harga dirinya yang tinggi. Akan tetapi, ia bahkan sangat rela untuk berlutut di hadapan ibunya semata-mata demi mengetahui keberadaan Latri yang tak kunjung ditemukannya.
Wirya sudah berupaya melakukan pencarian, namun sama sekali tidak membuahkan hasil. Kefrustrasian kian menggeroti diri pria itu.
"Tolong, Bu. Tolong katakan kemana Latri pergi sebenarnya. Aku mohon, Bu," pinta Wirya sungguh-sungguh. Ia telah kehabisan cara mendapatkan informasi dimana istrinya berada kini.
Dan Wirya sangat yakin jika sang ibu tahu tentang semua ini tanpa sedikit pun menaruh curiga bahwa ibunyalah yang ternyata merencanakan secara matang perpisahan mereka. Wirya tak berpikir sejauh itu. Kepercayaan pada ibunya masih begitu ada. Ia tidak berburuk sangka.
"Bangun, Nak."
Wirya bergeming saja saat sang ibu membantu dirinya berdiri, kemudian dibimbing duduk di atas sofa ruang tamu. Pria itu tak berdaya dan seperti kehilangan semangat hidup. Rasa hampa turut membelenggunya.
Tatapan mata Wirya semakin kosong seakan-akan tidak memiliki harapan atau cahaya di dalamnya. Ia sudah merasakan hal ini sejak Latri tak lagi di sisinya. Dan entah berada dimana. Wirya benar-benar merindukan sosok istrinya.
"Ibu tidak tahu, Nak. Bukankah Latri sendiri berpamitan ke kamu kalau dia akan pergi ke Amerika mengunjungi Pamannya? Kenapa malah bertanya balik ke Ibu?"
"Tapi, Latri sudah enam bulan tidak menghubungiku. Dia tidak memberi kabar padaku, Bu. Nomornya ikut tidak aktif. Emailku juga tidak satu pun dibalas oleh Latri!" Wirya tanpa sadar malah meninggikan suaranya.
"Sudah hubungi Paman dia?" Ibu Ratna bertanya dengan sikap tenang. Tetap menunjukkan ketidaktahuan.
"Komunikasi terakhir dua minggu lalu, Pamannya bilang Latri baik-baik saja. Tapi, aku tidak bisa percaya, Bu. Apalagi aku belum pernah bertemu langsung dengan Paman itu."
Wirya lalu memandang cukup tajam ibunya. "Apa Ibu sungguh tidak tahu Latri ada dimana sekarang? Tolong jangan berbohong padaku, Bu."
Tatapan Ibu Ratna terlihat ikut lebih menajam dari sebelumnya. "Kamu ingin menuduh Ibu? Lagipula untuk apa Ibu mengirim istrimu jauh-jauh ke Amerika?"
"Meski Ibu tidak menyukai Latri, Ibu tidak mungkin mau membuang uang hanya demi menyingkirkan wanita itu." Ibu Ratna menambahkan dengan gaya sarkasme beliau.
"Kalaupun Ibu benar-benar tidak tahu. Setidaknya Ibu melarang Latri pergi. Dia sedang hamil. Apa Ibu juga tidak tahu jika Latri mengandung anakku? Cucu Ayah dan Ibu?"
Raut keterkejutan tampak cukup jelas diperlihatkan Ibu Ratna. "Dari mana kamu tahu jika Latri hamil, Nak?"
"Aku menemukan sebuah amplop berisi hasil pemeriksaan kehamilan di laci meja rias Latri, Bu."Wirya pun menjawab dalam suara beratnya yang terdengar begitu pelan. Tiba-tiba saja sosok Latri membayangi benaknya, menimbulkan rasa sesak.
"Apa kamu yakin jika anak di rahim Latri memang benar merupakan darah dagingmu, Nak?"
Rahang wajah Wirya mengeras pasca memperoleh pertanyaan negatif dari ibunya. Ia tidak bisa terima. "Kenapa Ibu dapat berasumsi seperti itu?"
================================
Arsa berjalan mondar-mandir sambil memegang telepon genggam di sekitar areal kedatangan internasional Bandara I Gusti Ngurah Rai, untuk menunggu kepulangan seseorang dari luar negeri. Ya, benar. Orang yang dimaksud Arsa adalah mantan istrinya.
Latri memang tidak sendirian. Wanita itu ditemani Wira dan Adisti. Tak hanya mereka, sosok bayi perempuan berusia satu bulan pun juga ikut serta dalam perjalanan hari ini. Putri kecil dari Wirya yang berhasil Latri pertahankan.
Setelah menetap sementara hampir 4 bulan mengikuti fisioterapi lanjutan di Amerika. Dan memilih salah satu rumah sakit terbaik yang ada di Singapura sebagai tempat melahirkan, Latri kemudian memutuskan kembali ke Indonesia.
"Teleponnya belum aktif," gumam Arsa dengan begitu pelan ketika tidak kunjung bisa menghubungi sang adik, Adisti. Komunikasi lewat telepon ia terus coba sejak 30 menit lalu. Sorot kecemasan cukup terlihat jelas di sepasang mata Arsa jika diperhatikan secara saksama.
Rasa penasaran kian mendekap pria itu sejak tadi, terutama mengenai kondisi Latri yang sudah lebih dari 10 bulan tak pernah sekalipun ia bisa jumpai. Apalagi, ketika mengetahui mantan istrinya mengalami masalah yang terbilang rumit, maka kesabaran dirinya untuk segera bertemu wanita itu tak mampu terbendung lagi.
"Kak ...,"
Sesaat setelah suara yang Arsa yakini milik sang adik menyapa gendang telinganya, pria itu segera menengok ke belakang. Tidak butuh waktu lama bagi Arsa untuk dapat menangkap melalui indera penglihatan tiga sosok orang dewasa berbeda gender tak jauh dari tempatnya berpijak.
"Latri ...," Tanpa sadar Arsa malahan menyebut nama sang mantan istri. Ia tertegun sejenak.
Arsa bahkan tampak cukup syok dikala menyaksikan perubahan Latri. Wanita itu tidak lagi duduk di atas kursi. Akan tetapi, sudah mampu berjalan secara perlahan, meskipun masih dengan bantuan tongkat yang menyangka di masing-masing sisi tubuhnya.
"Kak Arsa sampai di sini kapan?"
Pertanyaan singkat Adisti membuat konsentrasi Arsa berhasil terpecah. Namun, belum berniat menyudahi kontak mata yang sedang terjadi di antara dirinya dan Latri. Ia tahu jika wanita itu terkejut melihatnya, seolah tak menyangka sama sekali.
"Arsa, kenapa kamu bisa ada di sini?"
"Maaf, Kak Latri. Aku yang memberi tahu, Kak Arsa." Adisti cepat-cepat menyahut supaya tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Pegangan Latri pada kedua tongkat kian mengencang tatkala merasakan tatapan yang diperolehnya dari Arsa juga semakin intens. "Apa kamu juga tahu tentang masalahku, Sa? Adisti menceritakannya?"
"Ya, Latri. Apa aku tidak boleh tahu kamu ada masalah dan kesusahan? Sedangkan, kamu sudah selalu mencoba membantu selama ini saat aku berada dalam masa sulit?" Arsa menanggapi kemudian.
"Seharusnya kamu memberi tahu dan tidak menyembunyikan semua ini dariku, Latri," imbuh pria itu dengan lirih.
"Tenang, Kak Arsa. Jangan terlalu khawatir. Bagaimanapun Kak Latri masih menjadi kakak ipar saya. Jadi, saya pasti akan membantunya dalam kondisi apa pun juga. Saya lebih berhak daripada Anda." balas Wira sedikit sinis karena tidak suka akan sikap mantan suami kakak iparnya kini tunjukkan.
Arsa merasakan hal sama. Ia lantas melayangkan tatapan dingin sembari berucap, "Termasuk masalah yang disebabkan oleh keluargamu sendiri, Wira? Kemana perginya kakakmu si Wirya itu? Kenapa dia membiarkan Latri menderita?!"
"Sudah, Kak. Sabarlah," ujar Adisti berupaya menenangkan sang kakak yang tersulut emosi. Sementara, bayi perempuan dalam gendongannya tampak tetap terlelap dengan nyaman dan nyenyak.
"Biar saya yang akan mengurus masalah ini, Kak Arsa. Saya tahu apa yang harus dilakukan bersama Kak Latri," jawab Wira serius.
"Benar, Arsa. Aku akan selesaikan masalah ini dibantu Wira. Aku tidak mau merepotkanmu," tambah Latri seraya mengulum senyum tipis pada mantan suaminya.
================================
Wirya sudah mencoba menghubungi adik laki-lakinya beberapa kali lewat sambungan telepon, menanyakan perihal kontak salah satu rekan bisnis perusahaan. Akan tetapi, Wira tidak sekalipun menjawab. Jadi, Wirya pun memutuskan untuk mendatangi kediaman adiknya itu. Beruntung, si pemilik rumah sedang tak ada acara keluar di hari kerja yang terbilang begitu padat sebagai pembisnis muda. Dan hampir tiga bulan belakangan, Wirya tidak suka dengan kinerja Wira di kantor yang kerap bolos dan bahkan tak datang bekerja seenaknya. Bukan semata-mata berpatokan pada masalah tanggung jawab pekerjaan. Wirya sedikit merasa jika terjadi perubahan dengan sikap adiknya. Ia menaruh curiga, namun tidak segera meminta penjelasan. Terlebih lagi, mereka memiliki riwayat hubungan yang tak terlalu akrab. Meski, mereka adalah saudara kandung. "Kenapa lo nggak kerja hari ini, Wir? Apa jabatan lo mau gue turunkan?" W
================================ Arsa sudah pamit pulang sekitar 20 menit lalu, dan sejak saat itu pulalah keheningan mulai tercipta di antara Wirya serta Latri. Mereka berdua masih berada di ruang tamu, duduk saling berdampingan dalam satu sofa panjang yang sama. Tentu putri kecil mereka juga ikut di sana, tetap dapat terlelap damai dan nyaman dalam gendongan hangat sang ayah walau untuk yang pertama kali malam ini. Wirya pun tidak ingin memindahkan pandangan dari sosok mungil buah hatinya. Kehangatan memenuhi dada pria itu manakala memerhatikan mata dan hidung sang putri yang sangat mirip dengannya. Wirya merasa bersyukur serta bahagia akan pertemuan yang telah memisahkan mereka hampir tujuh bulan lamanya. Tidak mampu dipungkiri juga bahwa sekelumit penyesalan membelenggu Wirya. Terutama tentang dirinya yang tak mampu menemani dan ada di sisi sang istri melewati masa-masa kehamilan. Peranan sebagai seorang suami gagal. "Aku minta maaf, Latri
Semenjak semalam hingga dini hari, Wirya lebih banyak terjaga. Pria itu cenderung tidak dapat tidur dengan nyenyak. Bukan karena beban pikiran yang mengganggunya. Melainkan oleh sosok mungil sang putri. Ia seakan tak bisa lama-lama memejamkan mata atau terlelap, manakala Laksmi yang baru berusia 50 hari itu selalu berada dekat di sisinya. Wirya tidak pernah merasakan lelah ketika harus menggendong putrinya itu dalam durasi waktu lama, misal seperti malam tadi. Dimana, Laksmi rewel serta sedikit merepotkan sang istri. Wirya pun berupaya semaksimal mungkin membantu istrinya untuk menenangkan putri semata wayang mereka. Dan ia mempersilakan Latri beristirahat, sementara dirinya sabar menemani Laksmi yang sedang ingin begadang. "Belum mengantuk, Nak?" Kuluman senyuman bahagia di bibir Wirya belum memudar. Tatapan pria itu juga senantiasa masih tertuju pada wajah cantik putri kecilnya. Terdapat tarikan magnet yang seolah mem
Cuaca pagi ini mendung, cahaya dari matahari pun tidak sepenuhnya bisa menyinari bumi seperti kemarin. Air hujan yang deras juga belum turun membasahi tanah, hanya rintik-rintik ringan. Namun, semilir angin cukup kencang berembus lalu menciptakan nuansa dingin yang dapat menusuk kulit. Dan untuk menjaga kehangatan bagi putri mereka, Latri membalut tubuh Laksmi dengan selimut tebal serta memberi dekapan lebih erat tatkala putri mereka itu terlelap nyenyak dalam gendongannya sejak 10 menit lalu. Latri berharap jika perubahan cuaca tidak berdampak untuk kesehatan Laksmi yang belum mempunyai daya tahan dan sistem kekebalan tinggi. Ia pun tak lupa berdoa disetiap waktu supaya putri kecil mereka senantiasa kuat. Kemudian, senyuman Latri dengan segera dilebarkan karena melihat buah hatinya tiba-tiba saja terbangun. Tak terdengar adanya rengekan. Bayi perempuan itu malah memandangi ibunya lekat dan sorot keluguan yang terpancar jelas. "Laksmi gimana boboknya?
Latri bukannya merasa senang untuk mengambil tidak acuh atas keributan yang terjadi di rumahnya pagi ini. Ia hanya tak berkeinginan menambah runcingan masalah menjadi rumit. Terlebih, orangtua Wirya belum bisa menerimanya sebagai menantu dan menaruh rasa benci yang sangat. Mengenai keputusan dibuat oleh sang suami, Latri sungguh tidak berpikir jika Wirya akan mengundurkan diri dari perusahaan dalam hitungan hari saja. Latri bahkan tak tahu-menahu. Semua diluar prediksinya. Andai ia tidak meminta pada Wirya. Apakah masalah seperti ini akan jauh dari kehidupan mereka? Latri terus bertanya-tanya di dalam hati. Dan, berbagai macam jawaban saling bersahutan di kepala sampai menimbulkan kepeningan yang kian menjadi. Rasa pusing tidak mampu dihindari. "Laksmi sudah tenang?" Tatkala suara berat milik suaminya menyapa gendang telinga, yang bisa dipamerkan Latri yakni senyuman tipis di bibir. Dadanya terasa cukup sesak melihat sorot redup pada kedua mata Wirya.
Sama seperti kebanyakan kepala rumah tangga yang lain, Wirya pun mesti cepat pergi ke kantor karena banyak pekerjaan tengah menumpuk dan harus segera pula diselesaikan. Namun, keberangkatannya tertunda disebabkan aksi putri kecilnya yang tak mau turun dari gendongan sejak 10 menit lalu. Laksmi memerlihatkan sikap manja ke sang ayah karena jarang bisa habiskan waktu bermain bersama di rumah, sibuk dengan pekerjaan yang padat. Jadi, batita itu bertingkah banyak guna mencari perhatian lebih dari sang ayah jika ada kesempatan, misalkan sekarang ini. "Papa ...," Laksmi bergumam kecil, lalu menaruh kepalanya dengan rasa nyaman yang besar di bahu kiri sang ayah. "Papa...Papaa...," ulang batita itu dalam nada lucu. "Laksmi sama Mama sini, Nak. Papa mau ke kantor." Wirya cepat mengulas senyum tipis, kala istrinya yang duduk di tepian tempat tidur mengeluarkan beberapa kata gu
"Mama...Mama...," Laksmi antusias memanggil-manggil sembari terus memandangi wajah cantik ibunya yang masih tertidur, sudah dimulai batita perempuan itu sejak beberapa menit lalu.Dan, kala tak mendapat tanggapan sama sekali. Laksmi lantas memanyun-manyunkan bibir, menjadi tanda jika batita itu tengah sedikit merasa sebal.Laksmi ingin melanjutkan aksi agar ibunya segera bangun dan menjawab panggilannya. Batita itu lalu menaruh tangan kanannya yang kecil di atas pipi kiri sang ibu.Sorot lugu pada sepasang mata hitam Laksmi dengan melekat jelas. Walau, kejahilan sekarang ini sedang coba dilakukan batita perempuan itu pada ibunya."Mamaa ...," Batita perempuan itu pun sedikit meninggikan suara, kembali memanggil sang ibu yang berbaring lelap di samping kirinya.Tak ada balasan diperoleh batita itu."Laksmi udah bangun, Nak?"Menangkap pertanyaan yang ayahnya lontarkan dalam nada begitu pelan, Laksmi secepatnya coba mengalihkan perhatian serta
"Pemeriksaan hari ini sudah selesai. Calon bayi Bu Latri tidak mengalami masalah. Sejauh ini masih tumbuh normal.""Makasih, Dokter Fifi," balas Latri sopan. Senyum wanita itu mengembang cukup lebar di wajahnya.Latri tentu bersyukur serta merasa senang akan kabar baik yang baru saja diterima. Wanita itu pun juga sempat menyaksikan mimik wajah kelegaan suaminya. Entah kenapa, ekspresi Wirya yang demikian membuat dirinya ingin tersenyum lebih lebar lagi."Iya, Bu Latri. Sama-sama. Kalau begitu saya tinggal dulu menemui Dokter Hani. Bapak dan Ibu silakan tunggu di sini sebentar. Saya akan segera kembali.""Baik, Dokter Fifi." Latri menjawab segera. Tidak lupa menganggukkan kepalanya dengan gerakan yang sopan.Hanya sunggingan senyuman ramah dan juga bersahabat yang Dokter Fifi tunjukkan sebagai balasan, sebelum berjalan guna melenggang pergi dari ruang periksa. Tinggalkan pasangan suami-istri yang butuh saling berbicara.Kemudian, kekagetan me
Pergantian hari terasa cepat berjalan baginya, begitu juga dengan waktu. Walau satu bulan sudah berlalu sejak peristiwa tak mengenakan terjadi pada sang istri, Wirya tetap saja siaga. Tak sekalipun lengah menjaga dan mengontrol kondisi istrinya.Sikap pria itu juga jadi semakin protektif. Perhatian yang diberikan Wirya tidak pernah berkurang, sesibuk atau sepadat apa pun pekerjaannya. Pria itu tak akan menjadikan sang istri dan buah hati kecil mereka urusan yang kesekian. Ia masih sangat mengutamakan keluarga. Karena, begitu kewajibannya.Misalkan hari ini, Wirya menemani sang istri pergi lagi ke dokter spesialis kandungan guna lakukan pemeriksaan secara rutin, setiap 14 hari sekali. Mengingat usia kehamilan istrinya yang sudah menginjak 10 minggu, maka mereka harus meningkatkan pengawasan, menghindari hal tidak diinginkan."Buumm...buumm." Laksmi berucap cukup lantang seraya mencoba meniru gaya ayahnya yang sedang menyetir dan duduk n
Hingga angka di jam digital di atas meja menunjukkan tepat pukul tiga dini hari, Wirya tidak beranjak tidur. Pria itu belum sekalipun memejamkan mata. Wirya memilih menjaga istrinya. Menyiagakan diri jika terjadi sesuatu yang lebih buruk dan tidak diinginkan nanti.Sementara, Latri sudah mampu berbaring nyaman di tempat tidur mereka. Setelah rasa sakit perutnya menghilang sepenuhnya. Dan, wajah damai wanita itu, manakala sedang tertidur pun menjadi pemandangan yang sangat jarang bisa dinikmati."Aku sudah banyak membuat kamu menderita, Latri," ujar Wirya begitu pelan. Namun, nada bersalah jelas terdengar di dalam suara berat pria itu. Genggaman Wirya pada tangan istrinya kian dieratkan bersamaan dengan rasa sesal semakin menyesakkan dada.Linangan air mata serta pengutaraan ketakutan dari sang istri beberapa jam lalu masih melekat kuat di dalam benak Wirya. Sungguh, ia tak tega dan juga ikut merasakan sakit. "Mungkin permintaan maafku saja tidak akan bisa cukup.
"Wirya...," gumam Latri tak keras. Nyaris seperti berbisik. Suaranya begitu kecil. "Maaf," ucap wanita itu tak enak hati."Maaf karena sikapku kasar tadi siang padamu, Wi."Beberapa hari belakangan, ia dan sang suami sudah tak lagi tidur dalam satu kamar yang sama sesuai permintaannya. Sang suani pun menurut, tidak mempunyai alasan kuat untuk menolak. Namun, saat melihat Wirya seperti malam ini, Latri menjadi tak tega dan mengasihani suaminya. "Jangan tidur di sini. Lebih baik di kasur."Wirya mampu merasakan jika ada sentuhan lembut pada pipi kanannya. Ia memilih merapatkan pejaman mata seraya meraih tangan sang istri guna digenggam erat. Wirya sangat suka momen dimana istrinya masih menunjukkan kepedulian, meski hubungan mereka kian memburuk pasca perdebatan yang terjadi siang tadi."Di sini kamu pasti tidak akan merasa nyaman untuk tidur. Pindah ke kasur, Wi." Latri coba membujuk suaminya.Wirya tak menanggapi perkataan sang istri, m
Ucapan Wira terus saja terngiang di telinga Wirya hingga menambah ketidaktenangan yang melingkupi dirinya. Wirya bahkan kian tak bisa berpikir jernih, konsentrasi dalam bekerja tak lagi tersisa. Ia lantas mengambil keputusan nekat, yakni membatalkan pertemuan bersama salah satu klien yang penting secara sepihak.Wirya tak ingin terlalu memikirkan konsekuensi yang akan diterima oleh perusahaan serta bisnisnya. Untuk sekarang, Wirya lebih mengutamakan penyelesaian dari masalahnya dengan sang istri. Wirya hendak mengajukan permohonan pada Latri. Berharap, istrinya bersedia mengabulkan, walauterasa berat.Untuk Wirya, tidak akan pernah mudah meminta sang istri menggugurkan calon anak kedua mereka. Ia sungguh tidak sanggup membunuh nyawa darah dagingnya. Namun, Wirya tak punya alternatif lain guna menyelamatkan sang istri."Kenapa pulang cepat, Wi? Siang ini bukannya kamu punya jadwal bertemu dengan PT. Sejahtera?" Latri bertanya, ingin mengetahui a
Wirya tak bisa menikmati sarapan dengan suasana hati damai atau tentram pagi ini. Sebab, memang aura dan suasana yang kini melingkupi dirinya dan sang istri sedang tidak enak. Efek keberanian mengungkap sederet fakta di masa lalu pada wanita itu harus bisa ia terima mulai sekarang.Semua tak akan pernah bisa sama lagi seperti sebelumnya. Hubungan mereka berdua rasanya kian jadi memburuk. Dan hal tersebut sungguh sulit bagi Wirya. Hati kecilnya tidak ingin ada perubahan.Akan tetapi, terlalu mustahil untuk dapat terkabul. Karma sedang berlaku untuknya. Wirya tidak dapat menghindari. Terlepas dari rasa sesal yang membelenggu setia."Sayang ...,"Manakala, mendengar panggilan dari sang suami, maka Latri segera memindahkan pandangan pada sepasang mata suaminya. Meski, tidak bertahan lama. Mungkin enam detik. "Ada apa?" tanya wanita itu dengan nada datar."Masih tidak enak badan? Mau aku antar ke dokter?"Latri
Wirya baru sampai di kediamannya pada pukul sebelas malam.Dan, saat sudah injakkan kaki di ruang tamu yang masih terang oleh nyala dari sinar lampu, Wirya segera saja memusatkan perhatian ke arah sofa, di sana tampaklah istrinya sedang tertidur pulas saat ini. Wirya terpaku sejenak, kala disuguhkan pemandangan wajah damai sang istri. Hati pria itu menghangat.Tatapan Wirya yang teduh senantiasa masih tertuju ke sosok sang istri bersamaan dengan menipisnya jarak di antara mereka karena Wirya yang juga kian berjalan mendekat ke arah sofa. Ulasan senyuman terlihat di wajah pria itu, dikala membelai secara halus pipi kiri sang istri. Sementara, pergerakan kecil ditunjukkan Latri,tatkala merasakan ada sentuhan tangan milik seseorang. Lalu, kedua matanya terbuka."Kenapa tidak tidur di kamar? Di sini udaranya dingin, Sayang." Wirya berujar dengan begitu lembut.Latri yang hendak melontarkan sejumlah kata. Namun, diurungkan. Wanita itu memilih untuk memejamkan m
Pagi ini, tepatnya nanti pukul sepuluh. Ibu Ratna dan Pak Indra harus sudah tiba di Bandara. Orangtua Wirya itu akan melakukan perjalanan bisnis ke London hampir selama satu bulan. Dan, terus berlanjut ke satu sampai empat negara Eropa bersama kolega-kolega dari perusahaan lainnya. Mungkin saja akan memakan waktu tiga bulan. Tanggung jawab perusahaan ada pada Wira."Sebelum kamu ke kantor, antar Laksmi pulang dulu agar Wirya tidak perlu datang ke sini menjemput putrinya nanti."Wira menganggukkan kepala secara singkat sambil menyesap kopi hangat dari dalam cangkir yang baru dihidangkan salah satu asisten rumah. "Iya, Ayah. Aku akan antar Laksmi pulang. Sudah lama juga aku tidak bertemu Bli Wirya dan Kak Latri," tanggap pria itu kemudian dengan peringai santai.Walau demikian, Wira pun tak berhenti dalam mengamati perubahan mimik di wajah ayahnya. Terbukti jelas saat dirinya menyebut nama dari sang kakak, ketajaman dua mata ayahnya bertambah dan menyulut em
Sudah hampir 1,5 jam, Ibu Ratna menggendong tubuh mungil Laksmi sembari duduk nyaman pada salah satu kursi terbuat dari kayu pilihan dengan kualitas bagus yang tampak berderet rapi di sudut lain dalam kamar beliau. Ibu Ratna tidak merasa lelah, walau berat badan cucu beliau terbilang berat.Ibu Ratna terlihat sangat menikmati betul momen mengasuh Laksmi yang malam ini akan menginap di rumah. Pertemuan beberapa jam lalu langsung mampu menumbuhkan rasa sayang Ibu Ratna yang besar terhadap cucu beliau. Ikatan darah tidak akan dapat dipisahkan sampai kapanpun, pasti ada dan punya cara tersendiri dalam menyatukan kembali. Meski, terkadang membutuhkan waktu yang tidak cepat."Laksmi biasa tidur malam di rumah?" Ibu Ratna coba kembali memulai interaksi menyenangkan dengan cucu beliau.Walau, hanya mendapat respons anggukan kepala singkat sebagai jawaban, Ibu Ratna tak kecewa. Raut di wajah beliau kian menampakkan rasa bahagia yang nyata. Bahkan, Ibu Ratna tak berhenti
Sudah hampir satu jam lebih, Wirya berdiam diri di dalam mobil, tidak sedikit pun berniat keluar. Bahkan, tak ada keinginan darinya bergabung di acara makan, malam ini. Wirya hendak pulang. Namun, tidak mungkin baginya meninggalkan Laksmi. Dan, sangat enggan juga menyusul ke restoran. Terlebih, sang ibu ada di sana.Wirya sama sekali tak menduga jika adik bungsunya akan memiliki rencana ataupun mengadakan pertemuan yang paling ia dihindari sekarang ini.Sebenarnya, Wirya tak mau bersikap durhaka kepada ibu atau ayahnya. Dan, tatkala pria itu teringat kembali akan semua perlakuan buruk ibunya.Amarah Wirya pasti tak mudah dibendung. Daripada mengulang perdebatan sengit, lebih baik dirinya dan sang ibu tak saling bertatap muka sementara waktu. Jalan terbaik menurutnya."Bli, kenapa belum masuk juga? Aku sudah pesankan steak dan pasta favorit Kakak di dalam ruang VIP."Pandangan Wirya yang awalnya hanya lurus terarah ke depan, langsung dipindahkan. Me