"Aku mau ngajak kamu ketemu sama orang tuaku,'' ujar Leo.
"Hah?" Dira sedikit kaget saat mendengar ajakan Leo itu.Ia senang, karena ternyata Leo menganggap hubungan mereka serius. Tapi ia takut, gimana kalau orang tua Leo tak suka padanya? Ya, kurang lebih seperti yang dialami sahabatnya Kiran diawal perkenalannya dengan Kim, mamanya Arland."Tapi aku belum siap," ucap Dira dengan senyuman yang dipaksakan. "Kenapa?""Takut.""Kenapa harus takut. Orang tuaku tak mengkonsumsi daging manusia, jadi tak perlu khawatir," jelas Leo berusaha membuat rasa takut kekasihnya ini menghilang.Leo masih sempat-sempatnya bergurau, coba saja kalau dirinya yang berada diposisi Dira. Bisa dipastikan juga akan mengalami perasaan yang sama. Bukan apa apa, hanya saja feeling nya sedikit tak baik hari ini. Dan sekarang tiba tiba Leo malah mengajak ketemu orang tua dia, semakin takutlah ia."Mobil kamu biar di sini aja, nanti aku anterin ke sini lagi," jelas Leo.Padahal Dira belum berkata 'iya' untuk ajakan itu. Mau tak mau, siap tak siap, Dira menurut saja dengan ajakn Leo.
Dira merasa, ini lebih menegangkan daripada naik wahana permainan tornado, yang paling ia takuti itu. Bahkan, jarak antara kampus menuju kediaman Leo terasa sangat dekat. Mungkin efek dari rasa takutnya membuat rumah Leo jadi berpindah posisi jadi dekat. Halusinasi yang parah.Sampai ditujuan, keduanya segera masuk ke dalam rumah. Leo terus menggandeng tangan Dira."Ma, Pa," sapa Leo pada kedua orang tuanya yang pada saat itu sedang duduk di sofa. Seketika itu pandangan mereka langsung tertuju padanya dan Dira yang berada di sampingnya.Awalnya masih biasa, tapi saat Dira jadi objek fokus keduanya, seperti sebuah rasa tak suka langsung terpancar dari wajah keduanya.
"Ma, Pa, kenalin, ini Dira ... pacar aku," ungkapnya memperkenalkan Dira yang saat itu sudah terlihat tegang."Hai, Om, Tante. Kenalin, aku Dira," terang Dira memperkenalkan diri sambil mencium punggung tangan kedua orang tua Leo secara bergantian. Ya, mereka masih menyambut perkenalannya.
"Silahkan duduk," suruh wanita paruh baya itu pada Dira.Dira duduk di sofa yang posisinya memang bersebelahan dengan Leo. Berharap semua hal menakutkan ini segera berakhir, ia benar benar tak tahan. Apalagi dengan sikap orang tua Leo, terutama mamanya yang seperti menelisik jauh ke dalam dirinya. "Pekerjaan kamu?" tanya Demian, laki laki paruh baya yang merupakan papanya Leo.Kaget nggak, sih ... tiba-tiba baru pertama ketemu langsung ditanya tentang pekerjaan. Sepertinya rasa ketakutannya benar benar sedang diuji. Jadi, sekarang jawaban apa yang akan ia berikan? Dari pertanyaan itu saja sudah membuatnya meyakini jika mereka berharap wanita yang bersama Leo adalah wanita yang mapan."Pekerjaan? Itu ... aku masih kuliah, Om," jawab Dira berusaha tetap tenang. Yang sebenarnya ia memang dalam keadaan gugup parah."Jadi, maksud kamu, kamu itu mahasiswinya Leo," tebak Gauri mamanya Leo angkat bicara.Dira mengangguk, membenarkan tebakan Gauri. "Iya, Tante. Aku mahasiswinya Leo.""Leo! Mama kan sudah bilang sama kamu, kalau mau cari pasangan itu yang udah sarjana. Dan yang terpenting adalah, dia memiliki nilai tinggi dalam bidang akademik. Lah ini, apa? Kamu pacaran sama anak kuliahan." Mengarahkan telunjuknya ke arah Dira."Ma, bisa nggak, sih, jangan ngebahas itu lagi?"Jujur saja, ini bukan pertama kalinya mamanya membahas dan mengaitkan wanita yang akan menjadi pendampingnya, harus memiliki kriteria yang seperti itu. Bahkan berkali kali, hingga rasanya membosankan."Oke, nggak masalah kalau dia masih berstatus sebagai mahasiswi. Tapi, bagaimana dengan nilai-nilainya di kampus?"Sontak, Dira yang mendengar itu semua langsung kaget. Karena apa? Karena dirinya sangat bermasalah dengan semua mata pelajaran di kampus, yang berujung pada nilai-nilainya yang berada di bawah rata-rata."Aku cintanya sama Dira, bukan sama nilainya, Ma!" Leo mulai emosi.
Biasanya hanya membahas masalah ini dengannya lewat telepon atau pesan singkat. Sekarang mereka berdua balik ke Indonesia hanya untuk mengurusi tentang siapa yang pantas untuk dirinya. Sekarang, dihadapan Dira ... bahkan mereka bersikap tak baik. Jujur saja, ia tak bisa menerima sikap itu.
"Kamu bagaimana, sih. Malah memilih gadis yang bodoh. Padahal, kami sebagai orang tua sudah memilihkan gadis yang lebih pintar untukmu.""Dan aku nggak setuju!" Leo menyahut dengan tegas. "Yang menjalani semuanya adalah aku dak nggak suka diatur!"
Dira langsung bangkit dari posisi duduknya saat ia sudah tak kuat mendengar itu semua. Tak ingin lagi, jika Leo harus beradu mukut dengan orang tua dia. Hanya kqrena dirinya yang merwka anggap tak pantas.
"Maaf, Om, Tante, aku permisi dulu," ucapnya pamit dan langsung berlalu pergi dengan sedikit berlari keluar dari kediaman Leo.
"Ra!" panggil Leo, tapi panggilannya diabaikan oleh Dira."Leo, biarkan dia pergi!" Gauri menahan langkah putranya."Aku nggak akan pernah setuju, dengan pilihan kalian itu," ucap Leo dan iapun segera berlalu pergi dari hadapan orang tuanya untuk menyusul Dira.Leo terus mengejar Dira yang sudah keluar dari gerbang rumahnya. Hingga akhirnya ia bisa menyusul."Dira, berhenti," pinta Leo saat tangannya berhasil menyambar tangan Dira, hingga dia menghentikan langkahnya seketika itu juga."Apalagi? Kamu nggak denger, apa yang dikatakan orang tuamu tadi. Aku nggak pantas buat kamu, Leo. Jadi, sepertinya ini sudah berakhir. Ada baiknya kalau kita pu--"Leo langsung meletakkan telunjuknya di antara bibir Dira, sebelum kalimat yang menyakitkan itu dia ucapkan. Dan ia tak akan pernah membiarkan sampai kapan pun dia mengutarakan hal itu."Jangan mengatakan kalimat itu. Ku mohon."Dira menangis. Ya, ia benar-benar menangis kali ini. Bahkan saat putus dari mantan-mantannya yang lalu-lalupun, tak ada air mata yg ia keluarkan. Bahkan terasa biasa saja. Tapi saat fengan Leo, semua terasa menusuk ke dalam hati. Leo membawa Dira ke pelukannya. Ia tak ingin wanitanya itu merasakan kesedihan sendirian."Aku harap kamu bisa bertahan," ucap Leo yang masih memeluk Dira."Aku nggak sekuat itu, Leo," ucap Dira yang melepaskan diri dari pelukan Leo."Yakin, mau mengakhiri hubungan ini?" tanya Leo menghapus air mata yang membasahi pipi gadis itu.Dira langsung menggeleng cepat menjawab pertanyaan itu. "Bagus. Itu jawaban yang ku harapkan," balas Leo. "Tunggu disini, aku ambil mobil dulu," pinta Leo sambil mengelus oipi Dira dengan lembut. Dira menunggu ditepi jalan, sedangkan Leo kembali ke halaman rumahnya untuk mengambil mobil. Saat menunggu, Dira melihat seseorang yang turun dari taksi dan masuk ke halaman rumah Leo. Tersenyum miris, ketika melihat dengan jelas sosok itu. "Bu Indah," gumamnya. Saat itu juga Dira bisa memastikan, siapa Indah dan apa tujuan wanita itu datang ke kediaman Leo. Segera menyetop sebuah taksi yang kebetulan lewat, dan langsung pergi dari sana. Kembali menuju kampus untuk mengambil mobilnya dan lanjut pulang. Rasanya ingin berdiam diri di kamar. Kepalanya pusing memikirkan kisah percintaannya yang begitu rumit bagikan rumus Fisika."Non, udah pul ...”"Aku mau istirahat dan jangan ada yang mengganggu!” Dira langsung menimpali perkataan Bibik seolah menegaskan pesannya itu."Tapi, Non ...”"Siapapun itu," timpalnya, lagi.Setibanya di kamar, Dira langsung menangis sejadi-jadinya dan berteriak-teriak histeris. Bahkan, Bibik yang sedang mencuci piring di dapur pun, bisa mendengar.Ia akui kalau dirinya tak sekuat Kiran, yang bisa memenangkan hati orang tuanya Arland. Karena apa? Dirinya bukanlah seorang gais dengan otak yang pintar, hingga bisa mencari cara untuk menang. Bahkan untuk masalah ini, sepertinya dirinya mulai pasrah."Gue nggak bisa kayak gini," gumamnya sambil menghapus bekas air mata di pipinya.Meengambil ponselnya yang berada di dalam tas dan mencari kontak Leo. Tak butuh waktu lama, karena cowok itu langsung menjawab panggilan teleponnya.''Dira, kamu kemana. Kenapa pergi gitu aja?" tanya Leo langsung bicara."Aku mau kita ketemuan. Nanti malam jam 7, di taman dekat kampus," ucap Dira tanpa menjawab pertanyaan Leo dan langsung menutup teleponnya begitu saja.Setelah menutup telepon, ia kembali menangis. Tak tahu, apa yang akan terjadi selanjutnya ... entah keputusan yang diambilnya ini benar atau tidak. Pikirannya begitu kacau untuk berpikir jernih. Yang jelas baginya, semua ini tak menyakiti Leo.Tepat jam 7 malam, Dira sampai ke tempat janjiannya dengan Leo. Saat sampai, ternyata cowok itu sudah terlebih dahulu ada di sana."Apa kamu habis menangis?" tanya Leo saat mendapati mata Dira yang sembab. Mengamit tangan gadis itu, dan menyentuh wajahnya yang tampak memerah bahkan sembab.Menatap fokus pada Leo yang ada dihadapannya. Sungguh, seakan tak bisa diri ini menahan untuk tak berada di sisi dia. "Aku mau bicara sesuatu hal yang penting sama kamu." Dira tak menjawab pertanyaan Leo."Apa?""Aku ingin kita putus!"Dira berucap langsung, tanpa berani menatap ke arah Leo. Jangan ditanyakan lagi bagaimana keadaan hatinya saat ini. Hancur. Seperti sebuah kertas yang direndam dalam air.Sontak, mendapat perkataan seperti itu dari Dira, membuat Leo tak percaya. "Apa yang kamu katakan. Kamu mau nyerah gitu aja?" Leo tak terima dengan keputusan buruk yang diambil oleh Dira.Dira menundukkan kepalanya sesaat, tapi kemudian kembali menatap Leo dengan wajah tegas ketika menahan hatinya yang terasa sesak. "Aku baru menyadari, kalau aku bukanlah yang terbaik buat kamu. Gadis bodoh sepertiku, tak pantas dengan mu, Leo,” jelasnya sambil menahan tangis."Aku nggak setuju!"Menarik tangannya yang masih berada dalam genggaman Leo, ketika rasa sesaknya lebih besar. "Aku tahu semua, Leo. Bu Indah, kan, yang dijodohin buat kamu?"Pertanyaan Dira lebih tertuju pada sebuah pernyataan. Buktinya, Le
Dira mendekat ke arah Leo, kemudian dengan sedikit berjinjit ia mencium bibir cowok yang beberapa waktu terakhir sudah mengisi hati dan hari harinya dengan begitu indah. Ingin rasanya menangis terisak, tapi mencoba untuk terlihat baik baik. ''Semoga kamu bahagia," ucapnya lirih dan segera berlalu dari hadapan Leo, masuk ke dalam mobil ... meninggalkan dia yang masih diam membisu di posisinya. Seakan hanya mimpi ... gadis yang membuatnya benar benar jatuh cinta, kini justru memilih pergi dan mengakhiri hubungan dengannya. Apa ini sebuah karma, karena sebelumnya ia begitu menolak Dira. Kini saat cinta ia berikan, justru dibuat patah. Hujan turun, ketika Leo masih berdiri mematung menatap kepergian Dira. Berharap sedihnya bisa hilang di bawah guyuran air hujan, tapi ternyata tidak. Seakan ingin menangis rasanya, tapi mungkin cuaca sudah lebih dulu memahami dirinya ... hingga jatuh membasahi bumi.
Dira yang kalutpun, langsung menggedor-gedor kaca mobil hingga si pemilik mobil yang ada di dalamnya, keluar."Heh! Apa-apaan ini!" bentaknya di hadapan Dira."Reino! Kamu yang apa-apaan! Bisa-bisanya ciuman sama cewek lain di dalam mobil, aku ini pacar kamu!" balas Dira."Hah, pacar," ucap Reino sambil tertawa licik. "Aku kan udah bilang waktu itu. Dira, kamu mau nggak jadi pacar aku, mumpung hatiku belum ada yang ngisi. Tapi lihat sekarang, hatiku udah ada yang ngisi," tunjuknya ke arah cewek yang masih duduk di dalam mobil."Kamu benar-benar keterlaluan ya, Rei," geram Dira."Ya, itu bukan salahku, sih. Kamunya aja yang terlalu polos."'Plakk!!'Dira langsung menampar pipi Reino, kemudian berlalu pergi. Setidaknya ia sudah melampiaskan kemarahannya dengan sebuah tamparan.Dira kembali ke mobilnya. Ia yang tadinya berniat untuk belanja, sekarang malah kembali menuju rumahnya. Hidupnya menjadi tak karuan."Loh,
Dira langsung memeluk Leo dari arah belakang. Ia tak ingin Leo pergi lagi darinya."Jangan pergi. Ku mohon, Leo," pinta Dira."Untuk apa aku tetap disini? Kamu tak menginginkanku lagi," balas Leo.Dira melepas pelukannya dan berpindah posisi menjadi berdiri di hadapan Leo."Aku tau aku salah. Harusnya kita berjuang bersama, tapi aku malah memilih untuk mundur. Tapi sekarang tidak lagi. Aku harus memperjuangkan kamu, dan cinta kita. Aku nggak mau perjuanganku mendapatkan kamupun jadi sia-sia gitu aja," terang Dira.Mendengar penjelasan Dira, membuat Leo hanya tersenyum. Tentu saja itu membuat Dira kesal."Kenapa kamu malah tersenyum?" tanyanya."Lalu aku harus apa? Memelukmu? Atau, menciummu?" tanya Leo sambil mendekatkan wajahnya pada Dira."Hiks...hiks... Leo."Dira mewek dan langsung menghambur ke pelukan Leo. Karena ditimpa oleh Dira, Leo malah tak bisa menahan tubuhnya. Apalagi ia masih lemah, hingga mereka berdua ma
Dira maupun bibik kaget. Gimana mereka berdua nggak kaget, mamanya menyodorkan sweater milik Leo padanya."Dira! Kamu mau jawab atau Mama yang akan cari tau sendiri!""Itu ...""Punya siapa?""Ini kemarin aku kan pulang sambil hujan-hujanan, Ma. Trus, sweater ini tu punyanya Leo," terang Dira, sedikit berbohong. Ia tak kuat mendengar betapa hebohnya mamanya nanti, kalau tau Leo menginap di kamarnya."Jadi, ini punyanya Leo?" tanya lagi sambil memberikan sweater ke tangan Dira."Iya, Ma. Kalau Mama nggak percaya, bisa tanya sama Bibik," ucap Dira sambil menunjuk ke arah bibik yang ada di sebelahnya."Bener, Bik?""I-iya, Nyonya," ucap bibik ragu-ragu. Mau bicara jujur, ia takut Dira bakalan di omeli sama mamanya."Ya sudah," ucap Riani berlalu pergi.Dira mengintip untuk memastikan kalau mamanya sudah benar-benar pergi. "Hoh, nyaris saja kita mendapat masalah, Bik," lega Dira. "Jadi, Leo dimana, Bik?"
"Kalian lagi ngapain?"Leo menunjukkan tampang malasnya saat mengarahkan pandangannya ke arah orang tersebut."Nggak liat kita lagi ngapain?" tanya Leo balik."Leo, harusnya kamu nggak lakuin itu sama dia. Aku yang calon istri kamu, bukan dia," tunjuknya ke arah Dira. Bisa tau kan, siapa dia."Indah, stop! Aku kan udah bilang sama kamu, kalau aku nggak punya perasaan apa-apa sama kamu. Kalau kamu terus bersikap seperti ini, bisa saja aku malah membencimu!""Harusnya kamu sadar, kalau kamu nggak cocok sama Leo, Dira!" Kali ini ucapannya tertuju pada Dira."Maaf ya, Ibu Indah. Tanpa mengurangi rasa hormat saya sebagai mahasiswi Ibu, kenapa Ibu nggak coba cari laki-laki lain saja," terang Dira sambil berjalan mendekat ke arah Indah. "Saya liat loh, apa yang anda beli di apotik kemarin," bisik Dira."Apa maksud kamu?" Indah terlihat sangat gugup mendengar penjelasan Dira."Ibu juga tau kan, apa maksud saya. Oo, atau kita kasih tau
Wah gila! Padahal Dira sudah memikirkan hal mesum di otaknya. Ternyata malah meleset jauh ke hutan amazone."Aku mau makan. Bukannya kamu udah bawa makanan?"Hoh ya, Dira melupakan itu. Makanan yang ia bawa. Kemudian menjauhkan wajahnya dari Leo."Ck, sikapmu itu membuatku memikirkan hal kotor," dengus Dira sambil mengambil dan menyiapkan makanan yang ia bawa barusan.Sedangkan Leo, ia malah tersenyum melihat tingkah Dira.Jadilah, mereka berdua makan bareng sebelum memulai pelajaran yang akan membuat otak Dira semakin sakit.Hari-hari mereka lalui berdua lebih seperti hubungan seorang dosen dan mahasiswinya. Hingga, Indah yang melihat hubungan mereka yang begitu dekatpun, memikirkan sesuatu agar Leo dan Dira bisa berpisah selamanya."Mau langsung pulang?" tanya Dira pada Leo."Enggak. Aku mau ngambil mobil dulu ke bengkel," jelas Leo."Kalau gitu, biar aku anterin ke bengkelnya.""Nggak ngerepotin kamu?""Ng
"Tapi, ini hanya berlaku sampai Leo sadar.”"Maksud Tante, apa?""Ya. Saya akan mengizinkan kamu berada di samping Leo hingga dia sadar. Setelah sadar, kamu harus segera menjauhinya kembali," jelas Gauri."Tapi, tante ... “"Mau atau tidak?""Iya, Tante," jawab Dira.Apalagi yang akan ia jawab. Setidaknya, untuk saat ini ia sudah bisa bertemu dengan Leo. Selanjutnya, ia akan coba pikirkan lagi cara untuk bisa dekat dengan Leo.Dira memasuki ruangan itu. Ia kaget dengan pemandangan di depan matanya. Ya, Leo yang biasanya tegap, kuat, sekarang hanya terbaring tak berdaya di tempat tidur, dengan beberapa selang di tubuhnya.Dira menatap cowok itu penuh haru. Harusnya dirinyalah yang mendapatkan luka seperti yang dialami Leo. Harusnya dirinyalah yang terbaring tak berdaya seperti ini.Ia menangis sambil menggenggam tangan Leo, dan menyentuh lembut pipi yang masih bisa terlihat bekas luka yang sudah mulai mengerin
Berhari-hari dalam asuhan keluarga Arland, memanglah tak mudah. Bayi ini seolah paham dan tahu kalau dirinya tak berada dalam asuhan orang tuanya. Bahkan di awal-awal, suhu tubuh mungil itu sempat panas. Kiran berpikir untuk menghubungi Leo, tapi Arland melarang.Tapi seiring waktu, sepertinya dia mulai merasa nyaman dan tenang.Gauri dan Demian berkunjung. Ya, bisa di bilang setiap hari keduanya datang untuk menemui cucu mereka.“Om sama Tante mau ngasih sesuatu,” ujar Gauri dengan bayi kecil yang berada dalam gendogannya.“Apa, Tante?” tanya Kiran.Demian mengeluarkan dua lembar kertas kertas dari dalam saku kemejanya dan menyodorkan pada Kiran dan Arland.“Kedua nama ini ...”“Sepertinya mereka sudah mempersiapkan sebuah nama jauh-jauh hari,” ujar Demian. “Tadi siang Om nggak sengaja melihat nama itu tertera di salah satu buku catatan milik Leo di ruang kerjanya. Kemarin Tante j
Sudah satu bulan lamanya Dira pergi dari sisinya, bahkan tak sedetik pun otaknya berpaling dari nama itu. Nama yang memenuhi hati dan pemikirannya. Mungkin ia akan gila. Ya, gila ditinggal sang istri.Hidup tanpa tujuan, itu layaknya kertas putih tanpa warna. Flat, tanpa ada yang harus diperjuangkan. Rasa sakit kehilangan benar-benar membuatnya hancur berkeping-keping dan tak akan pernah kembali utuh.Hanya kenangan yang bisa jadi penenang di kala rasa rindu mulai merasuki. Hanya tangisan yang kadang berurai saat mengingat detik-detik kepergian dia yang dicinta.Tak ada sentuhan, pelukan hangat, kata-kata manis, dan penyemangat. Tak ada lagi wajah manis yang ia dapati saat membuka mata di pagi hari. Dia pergi jauh, seakan dirinya begitu sangat dibenci. Dia pergi meninggalkan luka menganga yang tak ada obatnya.Tersenyum saat meninggalkan dirinya ... apa itu yang dia katakan dengan cinta? Saat meminta untuk tetap bersama, justru dirinya ditinggal
Malam yang benar-benar begitu terasa panjang bagi Leo. Saat menunggu hal-hal yang membuat hatinya benar-benar terasa resah. Seharusnya ini adalah hal yang membahagiakan bagi dirinya dan Dira, tapi justru malah sebaliknya.Angan-angan keduanya yang sudah dirancang sedemikian rupa ... apakah akan musnah dalam sekejap mata?Lampu peringatan yang ada di atas pintu masuk ruang operasi, kini padam. Seiring dengan suara tangisan melengking dari arah dalam ruangan. Iya, tangisan bayi memecahkan rasa gelisah semuanya.Leo yang tadinya seolah hanya fokus pada pikirannya, kini menatap ke pintu ruangan yang dibuka dari arah dalam. Segera bangkit dan dengan cepat menghampiri seorang dokter yang keluar dari sana.“Dokter, gimana Dira ... gimana istri saya dokter?”“Putri saya baik-baik aja, kan, dokter?” tanya Riani.Dengan cucuran air mata yang seolah tak berhenti ia keluarkan dari tadi, kini cemasnya semakin memuncak. Bagaimana t
Orang yang paling penting dalam hidupnya, bahkan ia lebih menomorsatukan dia dibanding nyawanya sendiri ... kini tengah berjuang bertaruh nyawa. Tangannya bergetar saat kenyataan buruk ini menghampirinya.Lembaran kertas diagnosa yang diberikan dokter, terlepas begitu saja dari tangannya. Hatinya terasa benar-benar mengalami sayatan menyakitkan. Berharap ini adalah saat-saat yang paling membahagiakan, tapi justru sebaliknya.“Maaf ... saya sudah menjelaskan semuanya pada Mbak Dira dari awal, tapi beliau tetap kekeuh mempertahankan kehamilannya. Tak sekali dua kali peringatan itu saya berikan, lagi-lagi belia tetap pada pendirian.”Ia menangis, kali ini akan jadi hal paling menyedihkan baginya. Sebagai suami, ia benar-benar merasa lalai menjaga sang istri. Dia sakit, bahkan sakit parah hingga harus bertaruh nyawa dan ia tak mengetahui itu semua. Sekarang, tanpa dirinya ketahui, Dira tetap melanjutkan kehamilannya, seolah tak memikirkan keselamatannya
Sampai di rumah, ternyata ia dapati Leo juga baru sampai. Lega, karena suaminya ini tak menghubunginya saat ia masih berada di rumah sakit. Karena pasti dia akan mengetahui kondisinya.“Loh, kok udah pulang?” tanya Dira heran. Karena suaminya bilang dari kantor, langsung menuju kampus karena ada jadwal mengajar.“Aku pulang cepat, mau nemenin kamu ke rumah sakit,” jawabnya.Dira terkekeh. “Sayangnya ini aku baru balik dari rumah sakit,” ungkapnya. “Harusnya tadi kamu telepon dulu, Leo.”Leo tersenyum sambil membelai lembut kepala sang istri. Ya, memang salahnya, sih. “Next time aku pastiin bakalan nemenin kamu. Meskipun kamu melarangku,” ungkapnya.Dira hanya membalas dengan anggukan. Jadi, bagaimana bisa ia membuat laki-laki yang ada dihadapannya ini bersedih. Setidaknya akan ia berikan hal terbesar dan pengorbanan terbesarnya untuk Leo.“Kenapa melihatku seperti itu?”
Sebuah pernikahan akan terasa begitu lengkap oleh kehadiran seorang anak. Iya, siapapun pasangannya, pasti akan mengharapkan itu. Tak terkecuali Leo dan Dira.Bulan bulan di mana rasa mual terus menerpa dirinya di setiap pagi, hingga rasa tak nyaman saat harus memilih posisi tidur ketika sang anak yang ada di dalam rahimnya mulai bergerak aktif. Dira lalui itu dengan rasa haru. Iya, berharap semua ini akan indah pada waktunya.Pagi ini masih seperti biasa ... menyiapkan sarapan untuk Leo, sebelum suaminya itu melakukan rutinitas. Apalagi kalau bukan status dosen yang masih dia sandang, hingga pekerjaan kantor yang seolah tak ada hentinya.Terkadang sebagai seorang istri, tentu saja ia tak tega saat sang suami harus lelah setiap hari. Tapi mau membantu pun, kondisinya yang justru tak mendukung.“Ra, kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Leo saat Dira terlihat begitu pucat pagi ini.“Enggak,” jawabnya dengan senyuman. Kemudian berla
"Surprise!!!" teriak Dira heboh. "Jadi?" Kening Leo berkerut dengan reaksi Dira. "Ini kejutan untukmu di Anniversary pernikahan kita yang ke tiga bulan," jelas Dira. "Itu berarti sekarang kamu, hamil?" Dira mengangguk. "Saat ini aku sedang mengandung anakmu. Anak yang kamu harapkan segera mengisi hari-hari kita. Ia sudah ada di sini," jelas Dira sambil membawa tangan Leo menuju perutnya yang memang masih datar. Leo tersenyum haru saat mendengar penjelasan Dira. Tanpa ragu, ia kembali merangkul Dira ke pelukannya. "Kenapa membohongiku dengan cara seperti ini?" "Aku ingin memberimu kejutan." Taukah apa yang terjadi? Yap, Leo meneteskan air mata. "Kamu menangis?" tanya Dira hendak melepaskan diri dari pelukan Leo. Tapi Leo menahan Dira agar tak lepas darinya. "Tetaplah seperti ini dulu. Aku nggak ingin kamu melihatku menangis, dan beranggapan kalau sebagai cowok, aku begitu cengeng," jelas Leo. Dira
"Itu berarti kamu ..."Leo tak melanjutkan ucapannya, tapi malah langsung memeluk Dira."Aku hamil?" Dalam pelukan Leo, Dira masih bertanya dengan ekspressi bingung."Itu semua sudah membuktikan kalau kamu benar-benar hamil," ujar Leo.Dira bisa melihat dengan jelas ekspressi wajah Leo saat itu. Ia bisa memahami perasaan Leo yang sangat ingin mempunyai bayi. Semoga saja apa yang Leo harapkan benar-benar terjadi."Kita ke dokter?""Harus?""Tentu saja. Agar kita bisa membuktikan kebenarannya, bahwa di rahimmu sudah ada calon anak kita," jelas Leo sambil menyentuh perut datar Dira. "Mau, kan?""Iya, aku mau," jawab Dira setuju.Dira dan Leo segera menuju ke sebuah Rumah sakit. Di perjalanan pun, Dira masih mual-mual. Tapi ia berusaha menahannya. Ia tak ingin Leo malah menjadi repot kalau-kalau ia sampai muntah di dalam mobil.Setelah mengisi formulir, Dira dan Leo segera menuju ruang dokter yang akan memeriksa Dira.
"Astaga, Dira!!!""Omaigat!" Dira kaget saat menyaksikan seseorang yang tergeletak di lantai dengan kondisi yang menyedihkan. "Kamu ngapain tiduran di lantai?" tanya Dia yang membantu Leo untuk berdiri."Dengan tanpa dosanya kamu masih bertanya," dengus Leo dengan kesal.Dira tertawa melihat ekspressi kesal Leo. Tampangnya sangat lucu."Maaf, aku pikir kamu siapa. Habisnya, kamu tiba-tiba menyentuh tubuhku. Ya sudah, cara menyelamatkan diri memang seperti itu," jelas Dira."Ganas sekali."Leo membuka kemejanya, dan meninggalkan kaos berwarna putih yang menutupi tubuhnya."Gimana hari ini di kampus?""Biasa aja. Nggak ada yang istimewa," jawab Leo."Nggak ada cewek cantik atau--""Sayang, aku ke kampus, ya ngajar, bukan buat seleksi gadis mana yang cantik, dan bukan,'' ujar Leo."Bedanya dari tahun kemarin, apa?""Sama saja, bedanya ya kita. Tahun kemarin kita tak punya hubungan apa-apa. Tapi sekarang