Bunga sudah berada di kosan sejak dua jam yang lalu, dia juga sudah siap tidur dengan piyama lusuh, tetapi sejak tadi yang dilakukannya hanya berbaring dari kanan ke kiri seolah mencari posisi yang nyaman untuk bisa terlelap.Bunga masih tidak percaya dengan apa yang tadi diucapkannya pada suami Gina, bagaimana bisa dia mengaku sebagai calon istri Alfian di depan Alfian pula. Boro-boro calon istri, mereka adalah babu dan majikannya. Namun, sungguh ngenes karena Bunga masih terbayang bagaimana mata Alfian menyipit karena tertawa melihat Bunga yang salah tingkah. Mau guyuran mandi, ingat Alfian. Lagi nongkrong di WC muncul senyum Alfian. Untung saat shalat wajah itu sedikit kabur.Arghhh, sumpah Bunga linglung seketika. Itu hanya akting!Sepanjang perjalanan tadi yang bisa dilakukan Bunga hanya menutup mulutnya rapat-rapat, dia takut kembali salah bicara. Bahkan ketika Alfian membawanya kembali ke rumah. Bunga malah kebingungan. "Lha, kok ke sini? Ini, kan, rumah Mas Al?""Lha, memang
Sejak dulu Bunga memang terkenal sebagai orang yang asik diajak ngobrol, dia juga punya banyak teman. Namun, hanya segelintir orang yang ia bisa ia percaya, salah satunya Ismail yang selama ini tahu sekali bagaimana perjalanan hidup Bunga. Mereka sudah bersahabat sejak SD hingga saat ini. Perpisahan mereka terjadi karena insiden Ismail membantunya lari dari mantan suaminya, Mas Hamzah. Teman perempuan juga ada, tetapi lazimnya di daerahnya tidak banyak yang melanjutkan ke jenjang sekolah menengah atas, apalagi sampai kuliah. Danik adalah sepupunya, tinggi di desa lain meskipun masih satu kecamatan. Desanya itu terkenal sebagai desa maling. Jadi, jika Bunga mengatakan nama desanya orang akan mengolok-olok. Meskipun nama desanya sudah diganti, tetapi tabiatnya hanya sedikit berubah. Bapak dan ibunya adalah pendatang yang saat itu sedang gigih untuk wiyata bakti—honorer bahasa kerennya. Ibu masih setia mengabdi, sedangkan bapak memilih gantung ijazah lantas menjadi pedagang pakaian dan
Bunga masih memacu motornya dengan jantung yang berdetak kencang karena ketakutan. Bertemu hantu tentu saja ada senjata yang ampuh untuk mengusirnya, dengan doa pengusir setan. Akan tetapi, manusia asing dengan motor hitam itu jelas tak mempan oleh ayat Al Qur'an. "Arghh, bagaimana ini?!"Dia teringat beberapa hari lalu ada berita tentang pembegalan motor sampai tewas, bagaimana kalau itu terjadi padanya? Entah geng motor atau beneran begal, yang jelas aksi tersebut terekam CCTV."Harusnya aman, kan? Ada CCTV di dalam maupun luar supermarket," gumamnya Bunga yang masih ketakutan akhirnya memutuskan untuk berhenti di supermarket dan segera masuk ke sana. Dengan perasaan yang campur aduk, tubuh menggigil, Bunga mengintip dari kaca supermarket. Dugaannya benar, rupanya orang yang membuntutinya itu ikut berhenti, tetapi tidak ikut masuk ke dalam supermarket. Sosok itu hanya berada di tepi jalan persis di depan supermarket. Akhirnya Bunga memutuskan untuk mengitari rak, mencari tempat p
"Pacarnya, Mas Al?" tanya seorang pemuda yang beberapa menit yang lalu tiba di samping mobil Alfian. Alfian hanya menaikkan alisnya, lantas memberikan kunci motor Bunga pada Rezki, pemuda awal dua puluh dan memintanya untuk mengikuti mobilnya.Sepanjang perjalanan hanya kesunyian yang melingkupi keduanya. Bunga disibukkan dengan kegiatan menghabiskan es krim yang dibelikan Alfian. Sesekali dia melirik ke arah sang pengemudi. Tidak ada kegiatan lain di mobil, apa yang bisa dilakukannya hanya makan dan memandang Alfian yang entah kenapa terlihat lebih seksi saat memegang kemudiDuh, seksi?! Kosakata apa itu, norak! Tiba-tiba, Bunga cegukan. Gadis itu langsung meraba lehernya. "Kenapa, Na?""Aa—anu, Ana makan es krim terlalu cepat, Mas.""Aku nggak minta padahal," ujar Alfian mencoba berkelakar. "Kalau, Mas Al niat minta lagi, ntar matanya timbil. Bisulan di bawah kelopak mata itu.""Iya?! Ada-ada saja," ujar Alfian sangsi. Dia bahkan menghamburkan tawanya hingga berderai-derai karena
Keesokan harinya Bunga bersiap ke rumah Alfian dengan dua misi. Bekerja seperti biasa, sekaligus boyongan. Gadis itu memilih pergi menggunakan motornya dengan barang bawaan yang memenuhi bagian depan motor. Bunga mendapatkan pesan dari Alfian kalau hari ini dia tidak perlu memasak untuknya karena laki-laki itu kemungkinan pulang larut malam.Saat sampai di rumah sang majikan, alangkah terkejutnya Bunga ketika mendapati rumah dua lantai itu kosong. Alfian sudah pergi entah kemana, karena di pesan yang disampaikan pagi tadi, dia hanya mengatakan harus pergi. "Jadi, Mas Al nggak menyambutku?" keluh Bunga kecil hati. Meskipun moodnya sedikit terganggu, Bunga akur. Dia, kan, hanya babu. Bunga bergegas membawa barang bawaannya ke dalam kamar yang sudah Alfian serahkan padanya lewat telepon tadi malam. Kamar itu hampir sama dengan kamar Alfian di atas. Luasnya pun sama, dekorasinya juga sama. Kesan maskulin jelas terlihat dari catnya yang berwarna abu-abu. Hanya saja, kamar tidur tamu ini
Seminggu telah berlalu sejak insiden malam itu, dan selama satu minggu ini pun Bunga belum berani berbicara jujur pada ibunya. Bunga masih memilih untuk menyimpan rahasianya rapat-rapat. Bahwa gara-gara lembur, dia sekarang ini tinggal bersama majikannya. Atau lebih tepatnya, tinggal di rumah majikannya. Seminggu terakhir ini pun Bunga belum pernah lagi bertatap muka dengan Alfian. Janji akan pulang Selasa atau Rabu pun kandas. Laki-laki itu sepertinya begitu super sibuk, sehingga tidak pernah menyempatkan diri pulang ke rumahnya yang di Jakarta. Bunga tidak lagi memasakkan makanan untuk Alfian. Pesan yang dikirimkan oleh laki-laki itu pun hanya sebatas membahas masalah rumah."Hati-hati, Na.""Sudah makan? Kalau malas makan, pesan aja, ya."Jujur saja ada perasaan tidak nyaman di hati Bunga. Inilah yang selalu diwaspadainya, Alfian mudah saja menghilang dari hidupnya seperti tanpa beban apapun, sementara dirinya yang sudah memendam rasa harus berakhir dengan menyembuhkan luka hati s
"Apa, Na?! Astagfirullah … jiahh, anaknya Pak Khosim ini memang juara kalau suruh gelud. Kamu ini nggak berubah sejak dulu, masih tetap ngamukan," kata Danik saat Bunga menceritakan apa yang terjadi di rumah Alfian tadi lewat telepon."Lagian aku enek, mual, muntah banget lihat dia. Dia nggak ngaca apa, ya, sikap dia itu malah yang kayak cewek nggak bener. Lonte gitu, Mbak Dan.""Setuju," timpal Danik. "Pantes Mas Faizal juga nggak suka sama dia. Heran juga kenapa Mas Alfian bisa naksir sama perempuan itu pas masih berwujud cewek. Dia, kan, pria dengan segudang pesona, masa iya dia buta?"Bunga terkekeh. "Tahu deh, ini lagi si Mas Alfian neleponin aku mulu, tapi aku males ngangkatnya. Besok aku mau bolos kerja aja lah, ada mamahnya ini. Feeling aku mamahnya itu agak gimana." Bunga masih terbayang wajah datar ibu Alfian saat memandangnya. Apalagi sepertinya, ibu Alfian itu dekat dengan Gina, bisa jadi, kan, Lampir itu sudah bicara yang tidak-tidak tentang dirinya."Itu Kimcil, Tan. B
Alfian: Na kenapa kamu nggak angkat telepon dan balas chat saya?Kamu tidur di mana?Bunga menghela napas membaca tulisan yang ditempelkan Alfian pada pintu kulkas. Dia duduk di kursi makan sambil merenungkan apa yang sudah terjadi, Sudah seminggu ini dia mengabaikan Alfian. Hari Selasa dia sebenarnya sudah balik ke rumah majikannya. Namun, karena kesibukannya, Alfian tidak tahu jika Bunga sudah kembali. Entah bagaimana dia bisa tahu kemudian meletakkan pesan itu. Seperti mengulang memori awal mereka berkomunikasi. Lewat post it yang tidak ramah lingkungan. Dalam satu pekan ini, Bunga tetap mengerjakan pekerjaannya seperti biasa. Bunga memang sengaja menghindar, untungnya Alfian juga begitu sibuk hingga laki-laki itu mungkin tidur di apartemennya di Cilegon. Sejak mendengar ucapan Gina seminggu yang lalu, Bunga merasa perlu menjaga hatinya. Menurutnya memang tidak sepantasnya ia menjatuhkan hati pada Alfian. Selain tua, laki-laki itu adalah majikannya. Memang Alfian baik, dia juga