Keesokan harinya Bunga bersiap ke rumah Alfian dengan dua misi. Bekerja seperti biasa, sekaligus boyongan. Gadis itu memilih pergi menggunakan motornya dengan barang bawaan yang memenuhi bagian depan motor. Bunga mendapatkan pesan dari Alfian kalau hari ini dia tidak perlu memasak untuknya karena laki-laki itu kemungkinan pulang larut malam.Saat sampai di rumah sang majikan, alangkah terkejutnya Bunga ketika mendapati rumah dua lantai itu kosong. Alfian sudah pergi entah kemana, karena di pesan yang disampaikan pagi tadi, dia hanya mengatakan harus pergi. "Jadi, Mas Al nggak menyambutku?" keluh Bunga kecil hati. Meskipun moodnya sedikit terganggu, Bunga akur. Dia, kan, hanya babu. Bunga bergegas membawa barang bawaannya ke dalam kamar yang sudah Alfian serahkan padanya lewat telepon tadi malam. Kamar itu hampir sama dengan kamar Alfian di atas. Luasnya pun sama, dekorasinya juga sama. Kesan maskulin jelas terlihat dari catnya yang berwarna abu-abu. Hanya saja, kamar tidur tamu ini
Seminggu telah berlalu sejak insiden malam itu, dan selama satu minggu ini pun Bunga belum berani berbicara jujur pada ibunya. Bunga masih memilih untuk menyimpan rahasianya rapat-rapat. Bahwa gara-gara lembur, dia sekarang ini tinggal bersama majikannya. Atau lebih tepatnya, tinggal di rumah majikannya. Seminggu terakhir ini pun Bunga belum pernah lagi bertatap muka dengan Alfian. Janji akan pulang Selasa atau Rabu pun kandas. Laki-laki itu sepertinya begitu super sibuk, sehingga tidak pernah menyempatkan diri pulang ke rumahnya yang di Jakarta. Bunga tidak lagi memasakkan makanan untuk Alfian. Pesan yang dikirimkan oleh laki-laki itu pun hanya sebatas membahas masalah rumah."Hati-hati, Na.""Sudah makan? Kalau malas makan, pesan aja, ya."Jujur saja ada perasaan tidak nyaman di hati Bunga. Inilah yang selalu diwaspadainya, Alfian mudah saja menghilang dari hidupnya seperti tanpa beban apapun, sementara dirinya yang sudah memendam rasa harus berakhir dengan menyembuhkan luka hati s
"Apa, Na?! Astagfirullah … jiahh, anaknya Pak Khosim ini memang juara kalau suruh gelud. Kamu ini nggak berubah sejak dulu, masih tetap ngamukan," kata Danik saat Bunga menceritakan apa yang terjadi di rumah Alfian tadi lewat telepon."Lagian aku enek, mual, muntah banget lihat dia. Dia nggak ngaca apa, ya, sikap dia itu malah yang kayak cewek nggak bener. Lonte gitu, Mbak Dan.""Setuju," timpal Danik. "Pantes Mas Faizal juga nggak suka sama dia. Heran juga kenapa Mas Alfian bisa naksir sama perempuan itu pas masih berwujud cewek. Dia, kan, pria dengan segudang pesona, masa iya dia buta?"Bunga terkekeh. "Tahu deh, ini lagi si Mas Alfian neleponin aku mulu, tapi aku males ngangkatnya. Besok aku mau bolos kerja aja lah, ada mamahnya ini. Feeling aku mamahnya itu agak gimana." Bunga masih terbayang wajah datar ibu Alfian saat memandangnya. Apalagi sepertinya, ibu Alfian itu dekat dengan Gina, bisa jadi, kan, Lampir itu sudah bicara yang tidak-tidak tentang dirinya."Itu Kimcil, Tan. B
Alfian: Na kenapa kamu nggak angkat telepon dan balas chat saya?Kamu tidur di mana?Bunga menghela napas membaca tulisan yang ditempelkan Alfian pada pintu kulkas. Dia duduk di kursi makan sambil merenungkan apa yang sudah terjadi, Sudah seminggu ini dia mengabaikan Alfian. Hari Selasa dia sebenarnya sudah balik ke rumah majikannya. Namun, karena kesibukannya, Alfian tidak tahu jika Bunga sudah kembali. Entah bagaimana dia bisa tahu kemudian meletakkan pesan itu. Seperti mengulang memori awal mereka berkomunikasi. Lewat post it yang tidak ramah lingkungan. Dalam satu pekan ini, Bunga tetap mengerjakan pekerjaannya seperti biasa. Bunga memang sengaja menghindar, untungnya Alfian juga begitu sibuk hingga laki-laki itu mungkin tidur di apartemennya di Cilegon. Sejak mendengar ucapan Gina seminggu yang lalu, Bunga merasa perlu menjaga hatinya. Menurutnya memang tidak sepantasnya ia menjatuhkan hati pada Alfian. Selain tua, laki-laki itu adalah majikannya. Memang Alfian baik, dia juga
Bunga menelan ludah, tiba-tiba dia merasa luar biasa gugup. Selama ini Alfian selalu lembut. Alfian bersikap sengak, ketika mereka terlibat tabrakan yang tidak disengaja waktu itu. Selebihnya, sebagai majikan, laki-laki ini terlampau humble. "Apa?" tanya Bunga lirih."Makan dulu.""Ehmm …."Akhirnya Bunga menuruti kemauan Alfian itu. Keduanya makan dalam diam. Setelah selesai makan, Alfian membawa piring kotor ke tempat cuci piring. Bunga cepat mengambil alih tugasnya."Nanti aja cuci piringnya, aku mau bicara," cegah Alfian.Mereka berdua duduk di sofa menghadap televisi yang masih menyala. Meskipun demikian, pikiran keduanya tidak sedang mencerna film yang sedang diputar itu. "Apa aku perlu minta maaf atas sikap Gina ke kamu, Na?" tanya Alfian."Eh? Hmm, kan, itu bukan salah Mas Al."Alfian memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan Bunga. "Tapi karena itu, kan, kamu marah. Kamu jadi lain dan menghindari aku. Kamu tahu aku nggak salah, tapi kamu sengaja menghindar. Aku harus gimana
"Kamu yakin dengan rencana itu?" tanya seseorang di seberang talian. Nyonya Amy sedang melakukan vidio call. "Tentu saja, Hon. Aku yakin banget. Alfian pasti nurut kali ini.""Jangan gegabah. Dia itu punya kekuatan membaca keadaan. Nanti. dia tambah kesumat sama kita.""Aku bukan kamu, Hon. Kamu, sih, ngasih challenge gampang gitu. Harusnya jabatan prestisius tertinggi yang harus dia raih sebelum usianya 30 tahun. Zaman kalian, kan, beda. Tahun 90 an mana ada CEO umur 25, sekarang lulus SMP saja ada yang sudah jadi CEO.""Mana ada anak SMP jadi CEO. Itu dongeng di novel yang kamu baca. Lucunya!""Bukan itu bacaanku. Bacaan istrimu ini buku motivasi lah.""Iya, iya. Cerewet!" "Jadi, kali ini kamu nurut sama aku, Hon.""Terserah." Nyonya Amy tertawa ngikik. Meskipun hanya panggilan vidio, perempuan tua itu tahu wajah suaminya sedang menyala seperti korek api yang terbakar. Apalagi saat tahu perempuan yang disimpan Alfian masih di ingusan. Dia takut, Alfian masih selalu mengenang so
Setelah terpekur beberapa saat, Bunga akhirnya berbaring di sofa sambil memainkan ponselnya. Sebenarnya sejak kemarin dia hanya mengurung diri di kamar setelah tugasnya sebagai babu selesai. Setelah semuanya dia katakan kepada Alfian, Bunga tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana. Saat mendengar pengakuannya tadi, Alfian terlihat syok. Bunga tahu, Alfian pernah menaruh hati pada salah satu stafnya, tetapi dia mengurungkan niatnya saat tahu Inayah seorang janda satu anak. "Nggak akan aku berhubungan dengan janda. Rumit. Nambahin beban aja," ujar Alfian kala itu. Entah kenapa ada sesuatu yang kosong di dada Bunga. Dia sendiri kebingungan dengan apa yang sudah terjadi sore tadi. Nyonya Amy yang mengancam agar mereka kawin, lantas Alfian yang di awal-awal mengiyakan saja. Namun, setelah tahu status Bunga, seperti laki-laki itu akan mundur teratur. Masa bodoh! Itu lebih baik, asalkan kamu tetap bekerja di sini, Na. Tetap sebagai babu dengan rupiah jring jring jiring!Karena kantuk ya
Bunga meraba-raba kepalanya. Masih utuh, hanya saja ada yang hilang. Kenapa seperti sinetron saja, dia kehilangan memori. Sedikit ingatan yang tak pasti bagian mana. "Nggak usah sampai segitunya. Sudah ada yang mikir negara ini," ujar Alfian mengelus dahi Bunga yang mengernyit. "Lagi ngumpulin ingatan, ini. Nggak enak banget," ringis Bunga menurunkan tangan Alfian yang asyik bertengger di dahinya. Lagaknya seperti pendekar wuxia sedang menyalurkan tenaga dalam saja. "Udahan ih pegangnya. "Aku ingin mengajakmu ke satu tempat.""Kemana?" Bunga cemberut dengan mata yang tinggal segaris. Dia tidak tahu tadi diberi obat apa. Setelah sebelumnya berhasil menyeret Bunga agar sudi memeriksakan diri ke IGD sebuah rumah sakit, ada satu tempat yang ingin dia tunjukkan kepada Bunga. Sepertinya keadaan Bunga lumayan stabil, kepalanya tidak apa-apa, tidak ada trauma meskipun ada denyut yang luar biasa mengikuti setiap langkah Bunga. Menurut gadis itu, rasa nyeri itu hanya sesekali datang lantas