Sebaik apa pun manusia berencana, akan selalu ada saat dimana semesta memutuskan tidak semua bisa berjalan sesuai keinginan. Bahkan untuk seseorang yang sudah sangat berpengalaman seperti Felix sekali pun, masih saja ada ruang untuk hal-hal terjadi di luar rencana rapi mereka.
Berniat menjebak The Janitor agar keluar dari persembunyiannya, kini justru Enrico dan Lynea berada di ambang kematian. Dari balik kepulan asap dan puing-puing ledakan mobil Maybach miliknya, sosok The Janitor muncul.
Ia memakai topeng ski dan kacamata hitam. Sebuah topi berwarna cokelat tua menutupi kepala. Di tangan kanan pistol glock sementara di tangan kiri berjenia colt. Keduanya mengarah pada kepala Enrico.
Sama sekali tak pernah terlintas ia akan mati di tangan musuh dalam keadaan mengenaskan seperti ini. Sebagai seseorang yang sudah lama berkecimpung di dunia bisnis hitam, ia hanya bisa pasrah ketika pistol itu mengarah pada kepalanya. Satu hal yang menghancurkan hati adalah ketika
Ingatan Lynea tertuju pada kalimat dari Jenna. Bisa saja ada wanita lain dalam hidup Gabriel selain dirinya. Kini, sebuah ponsel berdering dan entah kenapa sang dokter menunjukkan sikap berbeda. Selama ini, Gabriel santai saja menerima telepon dari siapa pun di hadapan Lynea. Mengapa kali ini ia ingin menerima telepon di tempat lain? Bahkan sampai hendak meninggalkan ruangan. “Kenapa kamu mau keluar? Kenapa tidak menerima panggilan telepon itu di sini saja?” Lynea mengerutkan alisnya. “Tidak apa-apa. Hanya saja, khawatir suaraku terlalu besar nanti mengganggu ketenangan. Sudah aku silent saja sekarang,” jawab Gabriel mengeluarkan ponsel dan menjadikan mode diam. “Ponselmu baru?” Lynea melihat tajam pada benda di genggaman Gabriel. “Iya, ini baru karena yang lama bermasalah.” “Bermasalah kenapa?” “Susah mendapat sinyal.” Lynea terdiam. Jadi ini penyebab kekasihnya sulit dihubungi ketika sedang berada di desa kemarin.
Jenna tidak tahu harus berbuat apa. Ia menuruti saja permintaan Lynea dan mengatakan pada perawat bahwa majikannya itu ingin pulang paksa. Kondisi Lynea yang masih lemas karena kehilangan banyak darah saat keguguran siang tadi, ditambah gegar otak ringan sebenarnya telah menjadi alasan kuat kenapa ia harus bermalam di rumah sakit. Kejadian memilukan dengan Gabriel membuatnya mual untuk berada di sini lebih lama lagi. Ia ingin pulang dan menenangkan diri di kamarnya. Selain itu, Lynea juga tidak mau apabila Gabriel kembali menemuinya. Dengan berada di Istana De Luca, tentu ia akan jauh dari kekasihnya itu. Hatinya berantakan. Kehilangan anak dan juga kehilangan kekasih pada hari yang bersamaan. Ya, baginya peristiwa ini sama saja ia telah kehilangan Gabriel. Kepercayaan adalah sesuatu yang sangat rapuh seperti cermin. Ketika ia pecah dan disatukan kembali, bekas serpihannya akan selalu terlihat. Dilanda kebingungan, Jenna akhirnya menelepon Bryant dan Alonzo.
Wajah Alonzo semakin tertekuk layaknya kertas kusut. Kabar kepergian Lynea menjadikan sorenya semakin kelabu. Belum hilang rasa sedih akibat kehilangan bayi di dalam kandungan Nyonya Besar De Luca, kini sang Nyonya Besar itu sendiri hendak pergi meninggalkan semua. Ia menatap nanar pada ruang terapi yang khusus dibuat untuk kesembuhan Enrico. Pertama, ia membayangkan sesuatu yang “ajaib” akan terjadi di sini. Permasalahan Lynea dengan Gabriel bisa jadi berkah terselubung bagi Enrico. Namun, lagi-lagi harapan tinggalah harapan, kutuknya dalam hati. Kadang Alonzo berpikir, apakah Kakek Fransiscuss sedang menghukum mereka semua karena mempermainkan janji suci pernikahan? Sementara itu, sudah satu minggu lebih Lynea berada di kabin. Udara segar dan suasana tenang berdampak positif untuk penyembuhan. Malam ini, ia sedang bersiap untuk memberi tahu Enrico bahwa dalam tiga atau empat hari ke depan, ia akan mulai pergi mencari tempat tinggal baru. Di rekening
Udara pegunungan begitu menusuk, terutama saat menjelang musim dingin yang akan datang dalam beberapa hari ke depan. Menurut ramalan cuaca, salju akan mulai turun paling tidak satu minggu dari sekarang. Selimut tebal serta penghangat ruangan seakan belum cukup untuk memberikan rasa nyaman yang dibutuhkan. Lynea terbangun akibat menggigil kedinginan. Tanpa disadari, Enrico telah mengambil seluruh selimut untuk dirinya sendiri. Lalu aku harus mencari selimut dimana? Ya, Tuhan! Ini masih jam dua pagi! Pekik Lynea dalam hati. Tak ada pilihan selain mendekat lebih pada suaminya. “Enrico, bangunlah!” “Ada apa?” Kaget dan panik, Enrico langsung duduk dan memandang sekitar. “Mana pistolku? Ada musuh? Alonzo! Alonzo!” teriaknya seperti mengigau. “Sssh! Sssh! Tidak ada musuh! Kamu aman! Ini aku, Lynea!” jari telunjuk Lynea diletakkan pada bibir suaminya yang menoleh ke kanan dan ke kiri beberapa kali sampai akhirnya benar-benar tersadar.
Mata Enrico mendelik sangat lebar melihat pesan singkat yang masuk. Ia hanya bisa membaca sebagian dari pesan tersebut. Masih ada kalimat lain di belakangnya yang tidak bisa ia lihat tanpa membuka kunci ponsel Lynea yang dikunci. Ingin ia melempar ponsel itu ke dinding karena marah dan cemburu. Baru dua malam dilalui bersama Lynea, apakah harus kehilangan lagi wanita tang telah merubah banyak warna dalam hidupnya. Batinnya menangis perih. Bila diri adalah Enrico yang dulu, tentu detik itu juga akan ia bangunkan lalu maki-maki istrinya sampai puas. Hati yang keras akan melakukan itu semua tanpa peduli apakah ia menyakiti Lynea atau tidak. Luar biasa memang, bagaimana rasa cinta bisa mengubah seseorang. Kegelisahan semakin melanda. Bila ia meminta kejelasan, rasanya tidak punya hak untuk itu. Bila didiamkan, sungguh mengusik ketenangan. Ditimang-timang ponsel Lynea di telapak tangannya. Sorot mata tajam menatap sang istri sedang terlelap. Ponsel bergeta
“Enrico membutuhkan aku. Dia baru saja ingin bunuh diri,” racau Lynea membenarkan tindakannya. “Lalu? Biarkan dia mati. Orang sejahat itu tidak pantas hidup! Lagipula, kamu sudah berjanji akan menceraikan dia, bukan?” kejar Gabriel terus berusaha agar kekasihnya itu kembali padanya. “Kamu itu dokter, lho! Bisa-bisanya kamu menyumpahi orang agar mati saja?” decak Lynea mencibir. Kekesalan semakin memuncak dan ia merasa sudah tidak mengenali lagi orang di depannya. Gabriel terhenyak dengan sindiran Lynea. Rasa frustasi akan kehilangan kekasihnya membuat bibir berucap hal-hal buruk. Sedemikian dahsyat cinta merusak seseorang. “Kamu tidak akan kembali padaku? Berterus teranglah, Lyn,” pintanya lirih. “Aku kecewa denganmu, Gabriel. Maafkan aku bila belum bisa lagi mempercayaimu. Aku butuh waktu untuk melupakan ini semua,” jawab Lynea mengalihkan pandang pada jendela café. Jatuh cinta itu mudah. Berpisah itu sulit. Melangkah pergi hampir tid
Kesempatan kedua ada bagi mereka yang bersungguh-sungguh ingin memperbaiki keadaan. Bila kini hati menjadi mudah menyatu, maka sudah seharusnya dijaga dengan perasaan yang paling tulus.Seperti halnya Lynea dan Enrico yang malam ini saling meluapkan rasa rindu setelah setengah tahun memendam rasa masing-masing. Cinta memang tidak pernah berhenti meninggalkan keduanya. Terbukti dengan bagaimana berdebarnya mereka saat merasakan bibir satu sama lain.“Seandainya sejak dulu aku tahu, dicintai olehmu akan sedemikian menenangkan, pasti akan aku nikahi kamu begitu pertama kali kita bertemu,” desah Enrico tersenyum di sela-sela ciuman mereka.“Memang kamu ingat bagaimana kita bertemu? Kamu tidak pernah menoleh padaku!” tawa Lynea mengingat bagaimana angkuhnya pria itu.“Bodohnya aku, Lyn. Semua yang aku butuhkan di dunia ada di hadapan. Tapi aku terlalu dungu untuk melihatnya.”Enrico menarik kembali wajah istrinya dan
“Tidak sedang apa-apa. Cuma lihat-lihat media sosial saja,” kilah Lynea memencet tombol kunci layar. “Buka lagi ponselmu. Aku mau lihat!” Enrico menatap tajam. Wajahnya dibakar api cemburu. “Enrico, ada apa? Kenapa kamu begini?” “Karena aku melihat sekilas, dan bukan media sosial yang kamu buka. Kamu sedang chat dengan siapa?” “Dengan teman,” jawab Lynea berusaha tenang. “Lynea!” bentak Enrico sudah hilang kesabaran. “Iya, iya! Aku chat dengan Gabriel!” Lynea akhirnya mengakui. Bibirnya cemberut kesal karena Enrico memaksa melihat isi ponsel dan apa yang ia obrolkan dengan mantannya itu. “Tidak sopan melihat-lihat ponsel orang,” tolak Lynea masih tidak mau membuka ponselnya. Ia khawatir suaminya cemburu kemudian memerintahkan sesuatu yang bisa merugikan Gabriel. Bila sebelumnya ia berani memberikan ponsel pada Enrico adalah karena mereka belum kembali intim seperti sekarang. Namun, setelah mereka rujuk, Lynea ta
Sudah hampir satu tahun sejak Lynea menandatangani surat perceraiannya. Ia tetap tinggal di rumahnya yang berada di desa kecil, kota San Aguira. Bryant memilih untuk tetap bekerja di kota San Angelo dan menjadi kepala keamanan untuk kantor utama Maximo Corporation. Setiap dua atau tiga minggu sekali ia selalu pulang menemui Lynea dan keponakannya. Kabar tentang Enrico sering diceritakan oleh Bryant. Namun demikian, Lynea tidak pernah terlalu bersemangat untuk mendengarkannya. Bagaimana ia masih menyimpan luka dan harapan yang tak pernah pudar terhadap hubungan mereka, kadang membuat hatinya semakin sakit. Enrico pun masih sering menanyakan pada Bryant bagaimana kondisi Lynea dan David. Setiap Bryant kembali ke desa, Enrico selalu membawakan hadiah-hadiah mahal untuk anaknya. Kata Bryant, Enrico selalu menanyakan apakah kini Lynea sudah memiliki tambatan hati yang baru? Setiap mendengar bahwa Lynea masih sendiri, Tuan Besar De Luca hanya terdiam kemudi
Dalam temaram kendaraan menuju kantor polisi, Lynea menatap tak percaya pada selembar kertas di tangannya. Enrico setuju untuk bercerai dengannya.“Apakahah dia bersalah? Kamu yang memaksa bercerai, padahal dia hampir gila karena kamu pergi!” Kembali Romario menyindir secara terang-terangan.“Paman, ayolah bantu aku! Lalu sekarang aku harus bagaimana?” rengek Lynea kesal. Sampai kapan ia dan Enrico harus seperti ini.“Aku tidak tahu. Aku hanya pengacara. Kalian yang menikah. Berbicaralah satu sama lain, hati ke hati.”“Kenapa dia tidak datang malam ini? Apa dia tidak tahu kalau aku hampir mati? Apa dia tidak sadar pacarnya mau membunuhku, dan kini pacarnya itu sudah mati?” gusar Lynea.“Telepon saja langsung. Tanyakan sendiri,” jawab Romario santai. “Aku teleponkan Enrico untukmu saat ini juga.”Hati Lynea berdetak lebih cepat. Debaran rindu atau rasa bersalah menjadi sa
Cinta, sebuah rasa sejuta cerita Madu pelepas dahaga Racun pembunuh jiwa Hidup mati karenanya Cinta, mendatangkan obsesi Untuk saling memiliki Tak rela bila harus berakhir Sabit kalam menjelma tahir “Kamu baik-baik saja, Lyn?” Gabriel terengah-engah datang, langsung memeluk kekasihnya. Belum bisa mengucap apa-apa karena rasa shock yang bergulir sepanjang hari, yang ditanya hanya terdiam berlinang kepedihan. “Semua sudah berakhir, Lyn. Besok kita akan pergi meninggalkan ini semua. Hanya kamu, aku, dan anak-anak kita,” lanjut Gabriel mendekap erat. Tubuh yang bergetar, hati yang dingin, dan kunci kebahagiaan yang telah entah kemana. Lynea tertegun menatap sang dokter dengan hampa. “Aku … ti-tidak bisa … ikut de-denganmu,” gumamnya datar, ringan, dan gamang. “Apa maksudmu? Kita sudah berjanji untuk saling setia dan bersama selamanya! Baru tadi pagi kamu dan aku menyusuri sungai masa
Pandang Lynea mengabur. Rasanya semua ini terlalu berat untuk dijalani dalam waktu satu hari. Apakah penderitaan akan berakhir? Mengapa dunia begitu kejam padanya?Dimanakah bahagia itu? Apakah memang benar ada wujud nyata dari sebuah kata tersebut? Kalau memang hidupnya berhak merasakan, kenapa semua sulit sekali didapatkan?“Ga-Gabriel sudah memiliki i-istri? Sejak ka-kapan kalian me-menikah?” Terbata-bata dan bergetar ia bertanya.Lagi, air mata mengalir begitu saja. Rasa itu bahkan seperti sudah mati. Hancur berkeping, terserak di atas tanah begitu saja menunggu gersang.“Sejak lima tahun lalu, Nyonya,” jawab Avril mulai berkaca-kaca pada matanya.“Hai, Kristin. Ayo, ikut Tante. Kita lihat adek bayi, mau?” Jenna mengajak gadis cilik itu menjauh dari dua wanita dewasa yang akan segera runtuh bersamaan.Kristin melirik pada ibunya. Ketika sang ibu menganggukkan kepala, ia menerima uluran tangan Jenna dan
Ombak tenang menghiasi sungai kecil. Dua anak Adam menyusuri perlahan. Sang wanita membiarkan tangannya digenggam erat oleh teman prianya. Wajah mereka berseri, tidak kalah indah dengan gaung alam dan udara senja.“Kamu bahagia atau tidak, Lyn?” tanya Gabriel menatap begitu lembut.“Bersamamu? Aku bahagia. Selama ini aku sudah salah arah,” jawab Lynea tersenyum lalu mengacak-acak sedikit rambut teman masa kecilnya.Tiba-tiba Gabriel berlutut di hadapannya. Tangan kanan mengambil sesuatu dari kantong jaket. Sebuah kotak kain mungil berwarna biru tua.“Aku tahu kamu masih menjadi istri orang dan sedang dalam proses cerai, tetapi aku begitu terobsesi dan jatuh cinta padamu,” ucap Gabriel. Perlahan ia membuka kotak itu.Sebuah cincin emas putih dengan berlian mungil berbentuk hati di tengahnya dipersembahkan untuk Lynea.“Maukah kamu menikah denganku? Be my wife, for all eternity,” pintanya memberi
Enough is enough, begitu kata pepatah. Cukup sudah semua ini membuat hidup Lynea begitu kacau dan naik turun seperti roller coaster. Tidak ada lagi yang harus dipikirikan. Dua kali sudah Enrico bercinta dengan Elena saat masih menyandang status sebagai suaminya. “Terima kasih karena telah membuka mataku, Elena. Kini aku mengetahui, seperti apa suamiku sebenarnya. Kamu bisa mengambilnya. Aku tidak butuh lelaki yang tidak setia padaku.” Lynea menegakkan kepala, berbicara dengan anggun dan tegas. Jika harga diri adalah satu-satunya yang tersisa dari dirinya, maka ia akan menjaganya dengan sebaik mungkin. Tidak ada yang boleh menghancurkan seutas harga diri tersebut. “Lyn, aku minta maaf,” pinta Enrico berniat mengikuti langkah istrinya yang mulai meninggalkan ruangan. Lynea tidak menoleh sama sekali, apa lagi menjawab. Baginya keberadaan Enrico tidak lebih dari sebuah kisah usang. Terus saja berulang tanpa ada akhir bahagia. “Kamu! Wanita ular!”
Sekian pasang mata menatap cemas ketika pintu ruang operasi dibuka dan seorang perawat keluar memanggil keluarga Alonzo. Felix segera berdiri dan maju menghampiri sang perawat.“Saya kakaknya,” ucapnya.“Operasi Tuan ALonzo telah selesai. Ternyata ada tiga peluru yang masuk dalam tubuhnya.”“Apakah Alonzo hidup?” Enrico menyela.“Beliau telah melewati masa kritis selama dua jam terakhir. Tubuhnya menunjukkan repson yang baik terhadap obat-obatan yang kami berikan. Kini kondisinya sudah stabil, tapi masih dalam bius total sampai dua hari ke depan.”“Terima kasih, Tuhan!” jerit Lynea melompat dan memeluk Enrico.Dia lupa kalau sedang menjauhi sang suami. Semua kembali bernapas lega mendengar kabar baik ini. Ketegangan seketika menghilang. Felix menitikkan air mata bahagia, dan langsung di seka oleh jemarinya. Tidak ada air mata bagi lelaki tangguh yang melewati berbagai peperangan. Na
“Alonzo! Bangun, buka matamu! Alonzo, ayolah! Bangun, bangun! Kamu tidak boleh pergi dengan cara seperti ini!” Enrico menepuk-nepuk pipi orang kepercayaan dan sahabat terbaiknya. “Siapkan helikopter!” seru Felix kepada anak buahnya melalui speaker telinga. “Paramedik!” teriak Kapten Abrahm berulang. Orang-orang berbaju putih berlambang palang merah datang, membawa tandu dan kotak pertolongan pertama. Mereka segera menekan luka tembak di dada Alonzo dan menutupnya dengan perban. Tubuh yang sudah tidak sadarkan diri itu kemudian diangkat oleh empat orang ke atas tandu. “Parkir helikopter di halaman belakang saja! Adikku harus ke rumah sakit saat ini juga!” Felix terus memerintah anak buahnya. Ketika mereka melintas di antara kursi-kursi sidang, jenazah Viery sedang tergeletak di atas lantai dengan darah menggenang sangat banyak. Alessia berlutut di samping tubuh sang kakak yang sudah tidak bernyawa. Ia menangis dan berteriak, sangat memilukan.
“Enrico?” tanya Gabriel melirik ke ponsel Lynea.“Hmm, dia telah mencoba menghubungiku sejak kemarin.”“Kamu benar-benar masih cinta padanya? Orang seperti dia, Lyn?”Lynea terdiam. Ia sendiri tidak tahu jawaban dari pertanyaan itu. Ada sesuatu yang membuatnya begitu terikat pada sang suami, dan itu bukan hanya karena Enrico adalah ayah dari putranya. Seolah ada aura khusus yang membuat dirinya, dan juga ratusan wanita lain tidak bisa berhenti mencintainya.Ya, dia memang kaya raya, tapi Lynea tidak pernah memedulikan itu semua. Tampan? Sangat! Akan tetapi, Gabriel pun memiliki wajah baby face yang diidolakan para dokter wanita di rumah sakit.Enrico memiliki jiwa yang misterius. Di sana, ada kekerasan, tetapi juga kelembutan. Penuh dendam, namun juga mencari kedamaian. Serba kekerasan, hanya saja ia juga begitu mencintai istrinya.“Aku tidak tahu, Gabriel. Semua ini terlalu menyesakkan dan membingun