Danan masih mematung di tempatnya, Mahesa Ranajaya adik dari istrinya yang jarang sekali dia bisa temui karena kesibukan Mahesa. Dia adalah seorang penulis buku dan puisi terkenal, memiliki podcast terkenal juga di salah satu platform musik besar. Pendengarnya sudah jutaan, Danan tahu benar karena teman-teman kerjanya selalu membahas ‘MARCH’ nama pena Mahesa. Mahesa terkenal tidak hanya dikalangan usia muda tapi juga usia yang cukup lumayan matang, isi novelnya memang ditargetkan untuk para usia muda tapi isi podcast dan puisi tentunya bisa mencakup banyak kalangan.Sayangnya, Mahesa memiliki kondisi dimana dia tidak ingin tampil di depan publik, setiap kali bukunya diterbitkan dia tidak pernah mengadakan event apapun sehingga penerbit hanya membuat edisi khusus bertanda tangan dan menerima surat penggemar. Namun, itu semuanya tidak membuat para penggemar meninggalkannya dan mungkin itu juga yang dipakai oleh penerbitnya untuk marketing mereka.
Rasa penasaran para fans tentang sosok Mahesa.
Tulisan Mahesa berbeda dengan kepribadian yang dia perlihatkan pada Danan ataupun Gina. Setiap kali membaca tulisan Mahesa, apa yang ada didalamnya tersampaikan dengan baik, setiap cerita dan emosi begitu detail sehingga terasa kita berada di dalamnya, terasa kita adalah tokoh yang sedang berlakon di dalam bukunya. Puisinya lembut dan juga hangat, suaranya di podcast membuat orang-orang semakin penasaran dengan wajah asli ‘MARCH’.
Dan kini pemuda itu berdiri di depannya, mengenakan sweater hitam kebesaran dan celana jeans dengan warna serupa, sepatu kets serta topi yang praktis menutupi wajahnya.
“Ini boleh masuk gak sih?” Tanya Mahesa, Keenan, Danan dan Marva terkejut kemudian mempersilahkan dia masuk. Tersadar bahwa sedari tadi mereka hanya menatap Mahesa.
Mahesa menyeret kopernya dan pergi ke dapur, mengambil air minum. Danan menatapnya, belum bicara apapun. Duduk di sofa bersamaan dengan kedua adiknya.
“Aku akan tinggal disini.” Tiba-tiba Mahesa berkata. Danan tersentak kaget, Marva dan Keenan tidak terlihat demikian. Mahesa duduk didepan Danan, melihat merek bertiga Danan kemudian bertanya,
“Kalian udah ngerencanain hal ini?”
Ketiganya menggeleng.
“Aku cuma rencanain ini sama Keen aja,” Ujar Marva.
“Kamar disini banyak yang kosong ‘kan?” Mahesa berkata. “Kamarku diujung lorong situ.”
Danan makin terheran-heran mendengar Mahesa dengan cepat memberitahukan mana kamar miliknya atau bukan. Apartemen Danan memanglah apartemen besar dengan banyak kamar, niat awalnya untuk membeli apartemen ini bukanlah untuk tempat tinggal adik-adiknya. Kamar berjumlah 6 itu dia rencanakan untuk hal lain.
“Kau sering menginap disini?” Pertanyaan itu terlontar dari mulut Danan yang masih mencerna semua kejadian. Mahesa hanya mengangguk untuk menjawab.
Lagi-lagi, hal seperti ini tidak dia ketahui.
Apa yang sebenarnya Danan ketahui mengenai kehidupan istri dan anak-anaknya?
Mahesa dan kedua adiknya kemudian bercerita bahwa memang benar mereka bertiga sering kali bergantian untuk menginap disini untuk menemani Gina. Karena mental Gina yang kurang stabil setelah melahirkan Jovi, Mahesa sering menghabiskan waktunya disini. Mereka sudah tidak memiliki orangtua, dan saudara mereka tidak ada di Indonesia, jadi untuk Gina hanya ada Mahesa begitupun sebaliknya.
Perih kemudian menjalar didalam dada Danan. Dia merasa telah menyia-nyiakan Gina selama ini, apa yang sedang dia lakukan sebenarnya sih?
“Kamu tidak merasa terganggu dengan anak-anak?” Tanya Danan lagi, Mahesa menoleh dan menatapnya, kemudian menatap Marva dan Keenan.
“Kau tahu pekerjaanku dan mereka berdua ‘kan?” Mahesa bertanya balik pada Danan yang dijawab anggukan hati-hati.
“Kita semua disini bekerja yang berhubungan dengan inspirasi, anak-anakmu adalah inspirasi kami.”
Danan terdiam.
“Kau tahu Marva membuat lagu karena terinspirasi dari Laya? Atau foto ketiga anakmu yang diambil Keenan memenangkan lomba dengan nominal besar di luar negeri? Atau kau pernah mendengar podcastku atau membaca buku dan puisiku?” Mahesa berkata. Danan semakin terdiam, wajahnya memerah menahan segala emosinya.
“Kau terlalu sibuk dengan dirimu sendiri, hal-hal membanggakan anak-anakmu dan adik-adikmu lakukan bahkan kau acuhkan.” Ucapan Mahesa terasa seperti pisau yang menusuk tepat di dada Danan.
“S..Sudah sudah, hentikan percakapan ini, kak Mahesa ke dalem aja, pasti kakak cape perjalanan dari Garut kesini.” Keenan menengahi setelah melihat ekspresi Danan.
Danan menarik napas dalam-dalam, menelan semua omongan Mahesa yang memang ada benarnya. Setiap informasi baru yang sejak kemarin dia cerna dari kedua adiknya, setiap ucapan mereka dan cerita-cerita mereka segala tuduhan itu benar adanya. Bahkan setelah kepergian Gina dia bertanya-tanya apa yang selama ini sedang dia lakukan? Mengapa dia melakukan hal itu semua?
“Aku-“ Danan membuka suara ketika Keenan dan Mahesa baru saja bangun dari duduk mereka, hendak meninggalkan ruangan. “Aku sedang menyesali semua yang kulakukan, meskipun terlambat. Sangat terlambat karena Gina sudah tidak berada di dunia ini, tapi aku ingin memperbaikinya…” Suara Danan terdengar lirih.
“Aku keluar dari program acara di Jakarta..”
Mata Mahesa sedikit melotot mendengarnya, tentu saja dia terkejut. Dia tahu betul siapa Danan, dia tahu betul apa arti program tersebut untuk Danan, dia tahu pengorbanan Danan bukan hanya meninggalkan keluarganya tapi juga waktu istirahatnya, program acara popular itu selalu menempati peringkat satu program yang paling banyak ditonton selama 20 tahun penayangan, maka dari itu Mahesa tahu benar ambisi Danan masuk kesana. Dan sekarang pria ini meninggalkan program itu?
“Aku sudah kehilangan Gina, setidaknya kali ini aku tidak ingin kehilangan ketiga anakku. Juga, adik-adikku…..” Suara Danan begitu pelan dan getir, jari jemarinya mengepal menahan tangis yang rasanya akan pecah lagi untuk kesekiankalinya.
Mahesa hanya menatapnya sebentar dan kemudian menyeret kopernya pergi, Marva dan Keenan yang melihatnya hanya mampu terdiam dan pergi meninggalkan kakaknya sendirian di ruang tamu. Mereka bertiga kemudian masuk ke dalam kamar masing-masing, di dalam kamar diam-diam Mahesa terisak.
Kalau saja,
Kalau saja, kakaknya tidak harus meninggal karena kecelakaan, dia pasti akan senang sekali akhirnya Danan meninggalkan program acara itu dan tinggal bersama mereka. Tapi, terlambat, kakaknya tidak akan pernah tahu kalau suaminya bersedia melepas segalanya setelah dia tiada.
“Aku ingin bercerai dengan Danan, aku tidak kuat lagi, Esa…”
Ucapan terakhir kakaknya ditelpon terngiang lagi, terdengar jelas seperti baru kemarin. Dadanya terasa nyeri, sakitnya luar biasa. Orang yang terakhir menggenggam tangan Gina sebelum akhirnya wanita itu pergi untuk selamanya adalah dirinya. Hanya dia. Tim medis yang telat untuk datang sehingga Gina harus rela menghembuskan napas terakhirnya terjepit diantara besi-besi keras.
Airmata Mahesa mengalir, mencengkram tangannya yang dingin dia menangis dalam diam. Di dunia ini, tidak ada lagi yang bisa dia ajak untuk berbagi emosi selain Gina. Rasa bahagianya, sedih dan marah semua dia luapkan pada Gina. Gina bukan hanya tumbuh sebagai sosok seorang kakak bagi Mahesa, wanita itu seperti ibu baginya. Meskipun usia mereka terpaut hanya satu tahun, tapi semenjak orangtua mereka berpisah dan kemudian meninggal yang tertinggal hanya mereka berdua. Tinggal bersama dari satu bibi ke bibi yang lain sampai akhirnya keduanya memutuskan untuk keluar dari sana dan mencari jalan hidup masing-masing.
Ketika akhirnya Gina mengenalkan Danan padanya, Mahesa bisa melihat betapa bahagianya Gina bersama pria itu. Cara Gina menatapnya, cara Gina bercerita dengannya, seolah-olah Danan adalah dunianya, alasannya untuk hidup. Dan, Mahesa bahagia juga, pada akhirnya kakak perempuanya bisa sedikit egois untuk kebahagiannya sendiri dan menikah dengan Danan. Mahesa kira, hanya sampai situ, dan semuanya akan berakhir dengan bahagia selamanya.
Nyatanya, setiap luka dan sakit Gina dia yang merasakan, dia yang menemani setiap titik airmata wanita itu yang jatuh,. Pada akhirnya, dia sebagai keluarganyalah yang hanya mampu menjanjikan hal nyata untuk Gina.
ꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷ
Mata-mata kecil itu membulat, bisa dilihat betapa terkejutnya mereka pagi ini ketika baru saja bangun dan pergi ke dapur. Selain karena hidangan sarapan yang tersaji, seseorang yang berdiri di belakang konter dapur mengejutkan ketiga bocah itu. Mereka bisa melihat jelas siapa sosok itu, kemudian Aksa dan Jovi berlari, Laya memaksa turun dari gendongan Danan. Ketiganya menghambur memeluk Mahesa.
Pemandangan yang lagi-lagi asing bagi Danan.
“PAMAN ESAAAAAAA!!” Pekik mereka secara bersamaan. Mahesa menggendong Laya dan menciumi pipi bocah itu, bergantian, Jovi dan Aksa juga mendapatkan jatah ciuman dari pemuda itu. Mahesa tertawa lebar, sangat lebar bahkan itu kali pertama Danan melihatnya tertawa dengan sangat tulus.
“Sudah dong, ayo cepat mandi dan makan, nanti terlambat pergi ke sekolah.” Ujar Mahesa.
Ketiga anak itu kemudian sangat bersemangat untuk sekedar mandi, Marva dan Keenan membantu mereka membuka baju dan menyiapkan segalanya. Dan Danan hanya terdiam, lagi-lagi memandangi itu semua. Apa yang dia lihat sangat natural, ini semua hanya dilakukan karena mereka sangat dekat satu sama lain, tidak ada kecanggungan diantara mereka semua. Danan berpikir mungkin inilah yang sering Gina lihat, pemandangan ini, Gina yang menciptakannya.
Dalam sekejap semua pekerjaan rumah beres, bahkan Danan belum melakukan apapun sejak bangun tidur. Semuanya terasa cepat, bagaimana ketiga anaknya mandi dan berpakaian, sarapan dan kemudian pergi bersama ketiga pamannya. Tidak ada jeda dan kini rumahnya kembali sunyi, sepi. Mendadak rasa sunyi ini membuatnya tidak nyaman, padahal dia menyukai rasa sepi, selama dia tinggal seorang diri di asrama dia tidak pernah mengizinkan siapapun masuk ke kamarnya. Dia menyukai kesendirian dan kesunyian setelah syuting lebih dari 6 jam dan bertemu dengan banyak orang, mencoba menghibur untuk tayangan televisi dan penonton. Tapi kini, rasanya ada yang salah, rasanya begitu menyesakkan.
Dia kemudian mendengar bunyi kode pintu di pencet, ada rasa senang menggelitik di hatinya. Ketiga adiknya kembali! Dia menahan senyum ketika melihat ketiganya masuk ke dalam rumah.
“Ada yang ingin kami bicarakan.” Tiba-tiba Mahesa berkata, membuat senyum Danan benar-benar menghilang.
“Kami ingin membicarakan pembagian tugas dan sebagainya,” Keenan mencoba menjelaskan.
“Kapan kau akan mulai bekerja di stasiun televisi disini?” Tanya Marva kemudian. Danan mengerjap, oh, mereka cukup blak-blakan mengenai ini.
“Aku akan mulai bekerja minggu depan.” Jawab Danan canggung karena merasa diinterogasi. Ketiganya mengangguk-angguk, Danan jadi penasaran apa yang sedang mereka rencanakan.
“Bang, kalua aku bawa teman untuk tinggal disini, boleh?” Tiba-tiba Marva bertanya. Ada jeda disana, semuanya berusaha mencerna maksud dari pertanyaan itu. Apakah dia sedang berusaha untuk meminta izin membawa seorang perempuan?
“Ce-“
“Cowo!” Belom sempat Danan menyelesaikan pertanyaannya Marva buru-buru menyela.
“Cowo bang! Fahar! Abang tau Fahar kan?” Marva mencoba menjelaskan.
“Emil maksudnya?” Kini Keenan bersuara dan dijawab anggukkan Marva.
Emilio Fahar adalah sahabat Marva sejak kecil, dulu ketika kecil rumah kami bersebelahan dengan keluarga Fahar. Karena seumuran, Marva dan Fahar sering sekali bermain tapi anehnya sifat mereka sangat bertolak belakang. Orangtua Danan pernah terheran-heran mengapa keduanya bisa berteman cukup lama dengan sifat yang sangat berbeda. Marva yang teledor dan terkesan urakan, dan kurang rapi sangat berbanding terbalik dengan Fahar yang segalanya serba rapi dan rinci, anak itu sangat teliti mengenai hal apapun.
“Emang Fahar ada di Indonesia?” Tanya Keenan lagi.
Fahar adalah seorang backup dancer dari Entertainment bergengsi, dia bahkan sudah pernah jadi seorang backup dancer dari penyanyi tersohor luar negeri. Jadwalnya cukup padat sehingga jarang sekali berada di Indonesia.
“Dia baru pulang, katanya sih di Indonesia 6 bulan makanya mau nyari tempat yang gak ribet. Aku tawarin kesini deh.. Lumayan ‘kan bang kalau dia bayar sewa perbulan?”
Danan, Mahesa dan Keenan menengok bersamaan.
“Emang parah banget sih, temen sendiri aja dipintain duit.” Keluh Keenan, Mahesa mengangguk.
“Dia sendiri yang berminat!” Pekik Marva takut disalahkan.
Danan terdiam, mengingat kamar di Apartemennya cukup, ide untuk menambah orang tidak terlalu buruk toh Danan kenal orangnya siapa lagipula semakin banyak orang semakin dia tenang, anak-anak juga pasti menyukainya. Selama ini hanya ada anak-anak dan Gina.
“Kalau begitu, Hara kebetulan lagi cari tempat tinggal juga. Boleh disini juga gak?”
Yang baru saja Keenan sebutkan adalah sahabat kecilnya, Hara IndraWijaya. Dia seorang balerino dan model, cukup terkenal karena yang Danan tahu setiap kali dia menggelar konser di Indonesia tiketnya selalu habis. Hara tidak pernah absen untuk mengirimkan tiket ke keluarga Danan meskipun Keenan tidak di Indonesia, beberapa kali ketika masih berpacaran dengan Gina, Danan menonton pertunjukkan balet Hara. Hara juga dikenal sebagai model, tubuhnya kecil dan orangnya ceria.
“Tambah aja terus,” Mahesa menimpali, Keenan terkekeh.
“Habisnya kasihan, Apartemen Hara baru kebakaran, dan dia sekarang tinggal di hotel. Dibanding nyewa apartemen lain mendingan disini aja.”
Danan terdiam dan mengangguk sebentar. Dia sedang berpikir.
Orang yang akan tinggal ditempatnya sekarang mungkin sekitar 6 orang dewasa dan tiga anak kecil. Hara dan Keenan bisa tidur bersama, mereka sudah melakukan hal itu sejak kecil, mereka berteman akrab, sifat mereka juga hampir mirip satu sama lain, seingat Danan Hara selalu mengalah untuk Keenan dan dia rasa sampai saat inipun akan sama. Mahesa harus sendirian karena pekerjaannya, Marva dan Fahar tidak bisa tinggal satu ruangan karena mereka sangatlah berbeda.
Kemudian dia merasa yakin dan berkata, “Boleh.”
“Keenan dan Hara bisa tinggal satu kamar, Marva, Mahesa dan Fahar bisa menempati kamar masing-masing. Dan, menurutku daripada meminta uang bulanan sewa aku lebih memilih untuk kita pembagian tugas masing-masing di rumah ini dan juga membayar uang makan.”
Mahesa sedikit terkejut mendengarnya, dia tidak membayangkan kalau Danan akan menyetujui ide tersebut secepat ini. Ketiga orang itu saling lirik sambal mendengarkan omongan Danan tentang tinggal bersama dan pembagian tugas beserta tetek bengeknya.
Marva mengetik pesan di ponselnya,
Bang Danan mau Har, gak apa-apa ‘kan enam bulan disini?
Gak apa Va, lumayan aku irit juga, hehehe… Ini aku ngomongnya nanti sesuai sama apa yang kamu bilang ‘kan?
Iya, biarin bang Danan pikir kita semua tinggal disini sebagai kebetulan aja.
Tinggal bersama adalah ide Mahesa.Mahesa mencetuskan ide ini dua minggu setelah kematian Gina. Saat itu, Keenan dan Marva bahkan tidak berpikir untuk kembali ke Indonesia. Sejujurnya, kematian Gina benar-benar membuat mereka terpukul dan terlebih lagi mereka membenci Danan. Baik Keenan dan Marva memiliki sesuatu yang mengganjal pada Danan, namun mereka belum bisa mengungkapkannya. Bagi mereka yang menghubungkan mereka dengan anak-anak Danan adalah Gina, mereka menyayangi Gina layaknya seorang kakak, Gina menjelma sebagai pengganti Danan yang sangat sempurna untuk mereka, kekosongan Danan bisa diisi dengan sangat baik oleh Gina sehingga bagi keduanya wanita itu adalah segalanya, harta berharga maka ketika Gina tiada, kekosongan itu kembali dan mereka benci perasaan itu sehingga pergi menjauh hanyalah jawabannya.Namun, Mahesa menelepon keduanya.Mahesa berkata bahwa dia menelepon Aksa dan terkejut melihat seisi rumah yang berantakan serta tidak terawat. “A
Ketika Laya pertama kali bertanya apakah Danan merindukan Gina? Jawaban Danan adalah, ia merindukannya. Tapi, ketika pertanyaan itu datang lagi, dan melihat, mengingat apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua membuat Danan jadi berpikir apakah benar dia merindukan Gina?Sudah hampir 3 tahun Danan benar-benar tidak pulang ke rumah, bahkan hari besarpun dia tidak menyempatkan diri untuk datang barang sebentar. Danan memang tidak memiliki hari libur, show yang dia bawakan memiliki jadwal setiap hari tayang secara LIVE itulah mengapa sulit baginya membagi waktu untuk pulang. Para seniornya bilang bahwa sudah seharusnya Danan membawa keluarga kecilnya untuk tinggal di Jakarta, tapi Danan menolak, alasannya cukup klasik bahwa keluarganya ingin tetap tinggal disana. Mengingat kota besar mungkin tidak cocok untuk anak-anaknya. Nyatanya, Danan tidak pernah bertanya pada Gina, tidak pernah menawarkan apalagi mengajak istri dan anak-anaknya pindah agar supay
Sejak pagi Danan sudah disibukkan dengan persiapan berkas yang harus dia bawa ke tempat kerjanya yang baru, dia juga menyiapkan baju yang akan dipakai Laya pagi ini untuk pergi ke Daycare. Hari ini Laya diminta membawa bekal dari rumah, biasanya makan siang sudah disediakan oleh pihak Daycare tapi kali ini istimewa, anak-anak diminta membawa bekal untuk berpiknik dibelakang gedung sehingga Danan meminta tolong Mahesa untuk menyiapkan segalanya. Dia dan Mahesa bangun pagi-pagi sekali untuk menyiapkan hal-hal tersebut, Mahesa juga memasak sarapan untuk mereka.Pukul 7 pagi Aksa dan Jovi sudah siap untuk pergi ke sekolah, mereka diantar oleh Keenan dan Hara yang memang akan pergi keluar hari ini. Sedang Danan pergi bersama Laya.Danan menggendong Laya menuju parkiran sebelum keluar dari lift tadi dia sempat mencium kening Aksa dan Jovi, dia mulai membiasakan untuk hal itu kepada kedua anaknya yang tentu saja merasa risih. Tidak peduli, dia hanya ingin se
Satu bulan sudah Danan berkecimpung dengan dunia barunya yang sangat berbeda dengan apa yang dia lakukan dulu, dia pergi bekerja pukul 5 pagi dan pulang pukul 12 siang. Seminggu dia hanya perlu melakukan pekerjaannya selama 3 kali, acara itu tayang di hari Senin, Rabu dan Jumat. Sisanya dia menghabiskan waktu bersama ketiga anaknya, mencoba, dia masih sedang mencoba mendekati mereka satu persatu, menjadi sosok yang mungkin diimpikan anak-anaknya. Setiap pagi, dia berusaha untuk mengantar ketiga anak itu ke sekolah terutama ketika dia sedang tidak pergi bekerja, meskipun terkadang wajah Taksa dan Jovanka memperlihatkan kekecewaan karena bukan paman kesukaan mereka yang mengantar, pura-pura bodoh, Danan tetap melanjutkan perjalanan.Semua hal sudah dia coba, mencoba membacakan cerita pada Jovanka yang dengan jelas ditolak. Atau bertanya kepada kedua anak itu bagaimana hari mereka di sekolah, hanya Laya yang menjawab penuh antusias. Mungkin ini hanya baru beberapa bulan berlalu,
Danan membuka matanya pagi ini, pagi yang semakin terasa jauh lebih sunyi dan dingin, masih menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih, Danan menyadari bahwa kini paginya tak akan pernah lagi sama, selamanya. Hari-hari yang dia lalui kedepannya akan jauh lebih berat dari yang sudah dia lalui beberapa hari terakhir ini dan dia kesal menyadari bahwa itu semua adalah kenyataan pahit yang harus dia terima tanpa peringatan terlebih dahulu.Semua orang mengatakan padanya bahwa dia akan baik-baik saja, bahwa semuanya akan kembali seperti semula setelah rasa sedih dan kehilangan itu berakhir. Dia menghela napas.Dia bahkan tidak tahu bagaimana rasanya ‘semula’.Dia lupa sebelumnya rasa ‘semula’ itu seperti apa.Dia juga tidak tahu bagaimana harus mengakhiri rasa sedih dan kehilangan.“Pa..” Suara gumaman kecil dari Baby Monitor mengejutkannya, Danan menoleh dan mendapati kedua anaknya ma
Keenan datang sore harinya setelah masalah Jovi disekolah usai, Marva menceritakan kejadian tersebut padanya, juga mengenai ia memberi tahu Danan maksud dari kembalinya ke Indonesia. Keenan menjelaskan kondisinya pada Danan, bahwa sebelum kematian Gina dia memang berniat kembali ke Tanah Air dan menerima pekerjaan disini sebagai seorang photographer sebuah majalah. Jadi, bagi Keenan tidak ada masalah baginya untuk menetap disini dan membantu Danan mengurus ketiga anaknya. Sedangkan untuk Marva, pekerjaannya sangat fleksibel dengan waktu dan tempat, jadi bekerja dimanapun bukanlah masalah besar. Danan menghargai ketulusan kedua adiknya, namun dia tidak sampai hati jika keduanya harus melakukan itu hanya demi dirinya.