Sejak pagi Danan sudah disibukkan dengan persiapan berkas yang harus dia bawa ke tempat kerjanya yang baru, dia juga menyiapkan baju yang akan dipakai Laya pagi ini untuk pergi ke Daycare. Hari ini Laya diminta membawa bekal dari rumah, biasanya makan siang sudah disediakan oleh pihak Daycare tapi kali ini istimewa, anak-anak diminta membawa bekal untuk berpiknik dibelakang gedung sehingga Danan meminta tolong Mahesa untuk menyiapkan segalanya. Dia dan Mahesa bangun pagi-pagi sekali untuk menyiapkan hal-hal tersebut, Mahesa juga memasak sarapan untuk mereka.
Pukul 7 pagi Aksa dan Jovi sudah siap untuk pergi ke sekolah, mereka diantar oleh Keenan dan Hara yang memang akan pergi keluar hari ini. Sedang Danan pergi bersama Laya.
Danan menggendong Laya menuju parkiran sebelum keluar dari lift tadi dia sempat mencium kening Aksa dan Jovi, dia mulai membiasakan untuk hal itu kepada kedua anaknya yang tentu saja merasa risih. Tidak peduli, dia hanya ingin sedikit demi sedikit dekat dengan ketiga anaknya. Danan mendudukan Laya di kursi khusus toddler dan memakaikan bocah itu seatbelt, Laya sangat bersemangat pergi ke Daycare, setelah beberapa kali ditinggal sendiri Laya sekarang sudah merasa nyaman disana.
“Yaya mau piknik.” Ucap anak itu.
“Nanti papa minta ibu guru kirimkan fotonya ya? Papa mau lihat pikniknya.” Ujar Danan.
“Papa gak ikut piknik?” Tanya Laya.
“Papa ‘kan harus pergi kerja.”
“Pulang gak?” Pertanyaan Laya sedikit mengejutkan Danan, anak bungsunya mulai belajar bahwa ketika papanya pergi bekerja dalam waktu lama dia tidak akan kembali. Danan tersenyum dan mengangguk kecil.
Marva membuka pintu kamar dan mendapati Mahesa sedang sibuk di depan laptop sambil memakan roti bakar, di depannya ada segelas kopi yang masih terlihat kepulan asapnya. Dia berjalan ke dapur dan meminum segelas air.
“Sepi banget.” Ujarnya kemudian, membuka tutup toples dan mengoleskan selai kacang ke atas roti bakar yang masih hangat di piring.
“Kamu bangunnya kesiangan, anak-anak sudah berangkat sekolah.”
Marva menoleh ke arah jam dinding, pukul 10 pagi. Dia baru bisa tidur menjelang subuh, menyelesaikan pekerjaan yang tertunda, dia juga masih merasa jetlag walaupun sudah seminggu di Indonesia. Duduk di depan Mahesa dia mulai memakan roti bakarnya.
“Keenan kemana?” Tanya Marva kemudian, melihat sekeliling rumah yang sudah rapi dia sedikit terheran-heran karena biasanya jam segini Keenan dan Hara masih merapikan rumah.
“Pergi sama Hara,”
“AH!”
“Iya, ini tanggal 25. Mereka jadwal kesana.”
“Kemana?” Tiba-tiba suara Fahar terdengar menginterupsi, pemuda itu keluar dari kamarnya, terlihat baru saja beres mandi dengan rambut yang masih basah.
“RSJ.” Jawab Mahesa singkat.
“Wah, aku kira ibunya Hara sudah out darisana.” Fahar membuka pintu kulkas dan mengambi sebotol kopi literan yang dia beli kemarin, menuangkannya di dalam gelas.
“Tapi lebih baik disana deh Har, soalnya siapa yang mau jaga juga kalau beliau keluar.” Marva menanggapi. “Ara sibuk keluar negeri untuk kerja, lagian ibunya udah bener-bener gak ngenalin siapa dia.”
Fahar mengangguk-angguk sambil duduk disamping Marva.
“Apa yang Hara rasain ya, maksudku, dulu ibunya sebegitu jahatnya sama dia.” Fahar kembali melempar pendapatnya, bagaimanapun mereka semua sudah saling mengenal satu sama lain dalam waktu yang cukup lama sehingga hal-hal mengenai keluarga bukan lagi bersifat pribadi.
“Aku pernah nanya juga ke dia, tapi dia cuma ngengesan aja bilang mau gimana lagi itu kan orangtua.” Marva berkata, “Tapi Keenan bilang, pertama kali tahu itu ibunya Hara sempat mau gak peduli, dan gak mau mengurusi. Cuma,” Marva memberikan jeda sebentar sambil memakan potongan terakhir roti bakarnya. “Hara bilang, dia gak pernah merasakan diurus oleh orangtuanya tapi dia pengen orangtuanya tahu bagaimana rasanya diurus dan diperhatikan oleh seseorang.”
“Itu juga yang dibutuhkan Taksa, Jovanka dan Laya,” Tiba-tiba Mahesa menginterupsi. “Kamu dan Keenan juga benci sama kakakmu karena ketika kalian butuh perlindungannya, dia malah menghilang, tapi sekarang toh kalian mau disini meskipun kalian punya hak untuk gak dengerin omonganku. Karena kamu dan Keenan pengen kak Danan tahu bahwa dia gak sendirian.”
Ucapan Mahesa membuat Marva menelan ludah. Ada benarnya.
Dia memang membenci Danan, tapi dia tidak ingin kakaknya ini berakhir sendirian begitu juga dengan ketiga keponakannya.
“Itu namanya keluarga.” Mahesa menyesap kopinya dan tersenyum lebar. Fahar terkekeh sambil menyenggol tangan Marva yang berdehem.
“Va, hari ini mau keluar?” Tanya Fahar kemudian, dia bangun dari duduknya dan bergegas menuju ke kamar untuk berkemas karena dia sudah memiliki janji temu untuk pengaturan jadwalnya.
“Iya nih, ada urusan keluar sebentar. Bareng deh Har, bawa mobil ‘kan?”
Fahar mengangguk sambil memainkan ponselnya.
“Kak Mahesa gak kemana-mana?”
Mahesa hanya mengangguk sambil terus sibuk dengan laptopnya. Marva kemudian bersiap-siap dan dalam sekejap rumah kembali sepi. Mahesa masih asik dengan laptopnya sampai akhirnya dia tersadar bahwa kini di rumah sendirian, melihat keadaan sekitar dia jadi tahu mengapa kakaknya merasa frustasi. Rumah ini terlalu besar untuk ditinggali sendirian dengan anak-anak, belum lagi Laya yang pastinya tidur siang dan hanya Gina sendirian.
Mungkin Gina sibuk membersihkan rumah, mungkin juga dia hanya meminum kopi dingin sambil menatap langit cerah dengan segudang pikiran buruk di kepalanya.
Mahesa kembali terdiam, mengingat bagaimana Gina berjuang sendirian dengan rasa sepi membuat hatinya tidak nyaman. Rasa bersalah kembali menggerogoti hatinya yang seharusnya tidak boleh dia rasakan, setelah kematian kakaknya, Mahesa menemui tenaga ahli untuk membuatnya merasa jauh lebih baik. Rasa bersalah yang menyiksa membuat tidurnya tidak nyaman, wajah Gina selalu terbayang, saat-saat terakhir wanita itu.
Mahesa mengusap wajahnya, airmatanya kembali mengalir.
Dia merindukan Gina.
Dia merindukan kakaknya.
Dia merindukan sosok yang selalu ada untuknya sejak dia masih kecil.
Dia tidak ingin menyalahkan siapapun mengenai kematian Gina karena itu memang murni kecelakaan, hanya saja dia ingin Danan bertanggung jawab mengenai sakit mental yang Gina idap setelah menikah. Baby blues parah yang membuat rambut wanita itu rontok parah dan hampir botak, belum lagi berat badan yang naik turun secara ekstrim. Semuanya hanya Mahesa dan kedua adik Danan yang mengetahui hal itu, dan si kecil Taksa.
Mengingat bagaimana Taksa yang menyaksikan itu semua sejak awal membuat dada Mahesa semakin sesak, anak sekecil itu harus menyaksikan perubahan ibunya yang drastis. Mahesa mengingat ketika pertama kali Taksa meneleponnya sambil terisak.
“Mama menangis dan menjerit, Aksa takut.”
Danan pergi meninggalkan mereka, hanya mereka. Danan pikir anak-anak saja bisa membuat Gina biasa saja, Danan pikir anak-anak cukup untuk membuat Gina sibuk dan tidak stress dengan hari-harinya, Danan pikir dengan menjadikan Gina seorang ibu rumah tangga tanpa kehadirannya adalah pilihan yang tepat. Semuanya salah.
Mahesa menghela napas, membuka ponsel dan membaca semua pesannya lagi dengan Gina.
ꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷ
Danan baru saja menyelesaikan pertemuannya dengan petinggi di stasiun televisi, pikirannya mengenai stasiun televisi lokal dengan rating buruk dan properti seadanya ternyata salah. Tawaran temannya lebih dari itu, stasiun televisi lokal disini sudah hampir menyamai stasiun televisi di ibukota, rating dan ragam acaranya juga bagus. Danan ditawari untuk membawakan sebuah Talk Show dan setelah membaca kontrak, diskusi mengenai banyak hal akhirnya Danan menyetujuinya. Jam kerja yang jauh lebih manusiawi, tidak stripping seperti yang biasa dia lakukan di ibukota, dia akan memiliki banyak waktu untuk dihabiskan bersama anak-anak. Danan tersenyum, masuk ke dalam mobil, melirik ke arah jam tangan, bahkan untuk rapat mengenai kontrak saja dia habiskan dalam waktu singkat. Ini sudah waktunya dia menjemput Laya, ketika dia baru saja akan menyalakan mobil, Mahesa meneleponnya.
“Kak, sudah beres?” Tanya Mahesa.
“Oh iya, ini mau jemput Laya.”
“Bisa jemput aku dulu gak? Biar sekalian langsung ke supermarket, bahan makanan tinggal sedikit.”
Danan mengiyakan ajakan Mahesa. Setelah apa yang terjadi dalam beberapa hari terakhir ini kali pertama dia akan pergi dengan Mahesa, setidaknya dia ingin memperbaiki hubungan dengan adik iparnya. Mahesa sudah tidak memiliki siapapun lagi selain dirinya sekarang.
Satu bulan sudah Danan berkecimpung dengan dunia barunya yang sangat berbeda dengan apa yang dia lakukan dulu, dia pergi bekerja pukul 5 pagi dan pulang pukul 12 siang. Seminggu dia hanya perlu melakukan pekerjaannya selama 3 kali, acara itu tayang di hari Senin, Rabu dan Jumat. Sisanya dia menghabiskan waktu bersama ketiga anaknya, mencoba, dia masih sedang mencoba mendekati mereka satu persatu, menjadi sosok yang mungkin diimpikan anak-anaknya. Setiap pagi, dia berusaha untuk mengantar ketiga anak itu ke sekolah terutama ketika dia sedang tidak pergi bekerja, meskipun terkadang wajah Taksa dan Jovanka memperlihatkan kekecewaan karena bukan paman kesukaan mereka yang mengantar, pura-pura bodoh, Danan tetap melanjutkan perjalanan.Semua hal sudah dia coba, mencoba membacakan cerita pada Jovanka yang dengan jelas ditolak. Atau bertanya kepada kedua anak itu bagaimana hari mereka di sekolah, hanya Laya yang menjawab penuh antusias. Mungkin ini hanya baru beberapa bulan berlalu,
Danan membuka matanya pagi ini, pagi yang semakin terasa jauh lebih sunyi dan dingin, masih menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih, Danan menyadari bahwa kini paginya tak akan pernah lagi sama, selamanya. Hari-hari yang dia lalui kedepannya akan jauh lebih berat dari yang sudah dia lalui beberapa hari terakhir ini dan dia kesal menyadari bahwa itu semua adalah kenyataan pahit yang harus dia terima tanpa peringatan terlebih dahulu.Semua orang mengatakan padanya bahwa dia akan baik-baik saja, bahwa semuanya akan kembali seperti semula setelah rasa sedih dan kehilangan itu berakhir. Dia menghela napas.Dia bahkan tidak tahu bagaimana rasanya ‘semula’.Dia lupa sebelumnya rasa ‘semula’ itu seperti apa.Dia juga tidak tahu bagaimana harus mengakhiri rasa sedih dan kehilangan.“Pa..” Suara gumaman kecil dari Baby Monitor mengejutkannya, Danan menoleh dan mendapati kedua anaknya ma
Keenan datang sore harinya setelah masalah Jovi disekolah usai, Marva menceritakan kejadian tersebut padanya, juga mengenai ia memberi tahu Danan maksud dari kembalinya ke Indonesia. Keenan menjelaskan kondisinya pada Danan, bahwa sebelum kematian Gina dia memang berniat kembali ke Tanah Air dan menerima pekerjaan disini sebagai seorang photographer sebuah majalah. Jadi, bagi Keenan tidak ada masalah baginya untuk menetap disini dan membantu Danan mengurus ketiga anaknya. Sedangkan untuk Marva, pekerjaannya sangat fleksibel dengan waktu dan tempat, jadi bekerja dimanapun bukanlah masalah besar. Danan menghargai ketulusan kedua adiknya, namun dia tidak sampai hati jika keduanya harus melakukan itu hanya demi dirinya.
Danan masih mematung di tempatnya, Mahesa Ranajaya adik dari istrinya yang jarang sekali dia bisa temui karena kesibukan Mahesa. Dia adalah seorang penulis buku dan puisi terkenal, memiliki podcast terkenal juga di salah satu platform musik besar. Pendengarnya sudah jutaan, Danan tahu benar karena teman-teman kerjanya selalu membahas ‘MARCH’ nama pena Mahesa. Mahesa terkenal tidak hanya dikalangan usia muda tapi juga usia yang cukup lumayan matang, isi novelnya memang ditargetkan untuk para usia muda tapi isi podcast dan puisi tentunya bisa mencakup banyak kalangan.Sayangnya, Mahesa memiliki kondisi dimana dia tidak ingin tampil di depan publik, setiap kali bukunya diterbitkan dia tidak pernah mengadakan event apapun sehingga penerbit hanya membuat edisi khusus bertanda tangan dan menerima surat penggemar. Namun, itu semuanya tidak membuat para penggemar meninggalkannya dan mungkin itu juga yang dipakai oleh penerbitnya untuk marketing mereka.Rasa penasaran para
Tinggal bersama adalah ide Mahesa.Mahesa mencetuskan ide ini dua minggu setelah kematian Gina. Saat itu, Keenan dan Marva bahkan tidak berpikir untuk kembali ke Indonesia. Sejujurnya, kematian Gina benar-benar membuat mereka terpukul dan terlebih lagi mereka membenci Danan. Baik Keenan dan Marva memiliki sesuatu yang mengganjal pada Danan, namun mereka belum bisa mengungkapkannya. Bagi mereka yang menghubungkan mereka dengan anak-anak Danan adalah Gina, mereka menyayangi Gina layaknya seorang kakak, Gina menjelma sebagai pengganti Danan yang sangat sempurna untuk mereka, kekosongan Danan bisa diisi dengan sangat baik oleh Gina sehingga bagi keduanya wanita itu adalah segalanya, harta berharga maka ketika Gina tiada, kekosongan itu kembali dan mereka benci perasaan itu sehingga pergi menjauh hanyalah jawabannya.Namun, Mahesa menelepon keduanya.Mahesa berkata bahwa dia menelepon Aksa dan terkejut melihat seisi rumah yang berantakan serta tidak terawat. “A
Ketika Laya pertama kali bertanya apakah Danan merindukan Gina? Jawaban Danan adalah, ia merindukannya. Tapi, ketika pertanyaan itu datang lagi, dan melihat, mengingat apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua membuat Danan jadi berpikir apakah benar dia merindukan Gina?Sudah hampir 3 tahun Danan benar-benar tidak pulang ke rumah, bahkan hari besarpun dia tidak menyempatkan diri untuk datang barang sebentar. Danan memang tidak memiliki hari libur, show yang dia bawakan memiliki jadwal setiap hari tayang secara LIVE itulah mengapa sulit baginya membagi waktu untuk pulang. Para seniornya bilang bahwa sudah seharusnya Danan membawa keluarga kecilnya untuk tinggal di Jakarta, tapi Danan menolak, alasannya cukup klasik bahwa keluarganya ingin tetap tinggal disana. Mengingat kota besar mungkin tidak cocok untuk anak-anaknya. Nyatanya, Danan tidak pernah bertanya pada Gina, tidak pernah menawarkan apalagi mengajak istri dan anak-anaknya pindah agar supay