"Aku tadi siang nyamperin Rega ke kantor polisi."
Melihat keterdiaman lelaki itu, membuat Naya semakin curiga bahwa Deaz memang seorang Narkotika. Namun, daripada terkejut karena tuduhannya barusan, Deaz rupanya jauh lebih terkejut begitu Naya mengutarakan informasi tentang dirinya yang berkunjung ke kantor polisi untuk menjumpai Rega.
Kontan saja Deaz langsung melotot menatap kearah gadis itu.
"Kamu, ngapain kesana?"
"Aku penasaran aja. Tentang apa alasan dia sebenarnya mendekatiku selama ini."
"Jawabannya?"
"Dia mau nawarin aku narkoba."
"Deaz, kamu kenapa sih?" Naya Jengkel. Deaz selalu mengikuti kemana pun Naya pergi seperti anak ayam. Naya pergi ke kamar mandi, Deaz selalu menunggu di depan pintu bahkan sering ikut memaksa masuk. Naya merasa haus di tengah malam, Deaz pergi menyusul ke dapur hingga mengejutkan gadis itu. Bahkan, ketika Naya sedang sibuk mencuci piring kotor seperti saat ini, Deaz tampak setia menemani Naya, memeluk tubuh gadis itu dari arah belakang dan beberapa kali tampak membantunya meski lebih pantas disebut merecoki. Dan setiap kali Naya menanyakan alasan kenapa lelaki itu terus melakukan semua keanehan itu, kalimat yang Deaz keluarkan selalu sama. "Kamu beneran gak jijik kan sama aku?" seperti itu. Naya sampai eneg mendengar pertanyaan itu berulangkali keluar dari bibir seksi sang suami. Demi tuhan. Naya memang sempat terkejut ketika tahu Deaz mantan pecandu. Tapi, tidak p
Tomi Sutedja sedang terbaring di atas brankar rumah sakit dalam keadaan tidak sadarkan diri. Lelaki tua itu terkena serangan jantung membuatnya harus segera dilarikan ke rumah sakit tadi. Wajah tuanya terlihat pucat pasi, sementara tubuhnya telah terpasang alat-alat pendeteksi detak jantung, alat bantu pernapasan di mulut, serta selang infus yang menancap di tangan sebelah kirinya. Naya dapat melihat tubuh ringkih kakeknya dari balik kaca jendela ruang ICU. Air matanya meluruh turun makin banyak sementara Deaz terus mendekapnya, berulangkali membisikan kalimat penenang sampai Naya mulai lelah menangis. Dikecupnya puncak kepala gadis itu dengan sayang dan Naya semakin memeluk erat tubuh Deaz yang masih mendekapnya. Naya mendongakkan wajah kearah Deaz
"Naya, pelan-pelan sayang!" Naya mengabaikan peringatan dari suaminya itu dan tetap melangkah tergesa untuk mencari ruang rawat kakeknya berada. Deaz benar-benar menepati janjinya dengan menjemput Naya pagi-pagi sekali hari ini. Dan berita baiknya, Tomi Sutedja sudah sadar sejak semalam dan kini sudah dipindahkan pula ke ruang rawat inap kelas VIP. Naya sungguh tidak sabar untuk segera memeluk kakeknya itu. Kedebum suara pintu yang terbuka dari luar, hingga suara langkah kaki Naya yang melangkah masuk, mengejutkan empat orang dewasa yang ternyata sedang berada di dalam ruang rawat tersebut. Naya dengan napas terengah, menemukan tubuh sang kakek yang sedang terbaring lemah tak berdaya di sana, membalas tatapannya. "Naya?" Lelaki paruh baya itu masih tampak begit
"Abinaya?" Naya yang tengah berjalan disepanjang lorong rumah sakit hendak pulang langsung menghentikan langkah kedua kakinya begitu mendengar suara seseorang memanggilnya dari arah belakang. Gadis itu, lantas segera memutar tubuh, menatap kearah belakang dan Naya langsung menemukan Agatha disana, tampak duduk di atas kursi roda dengan pakaian rumah sakit. Naya terkejut melihat keadaan temannya itu. "Agatha, kamu?" "Benar lo rupanya. Gue pikir tadi, gue salah orang." Agatha menggerakkan kursi roda menuju kearah Naya. Gadis itu seorang diri. Tidak ada satu orang pun yang menemani. Sementara Naya segera bergerak maju, ikut mendekati Agatha yang terlihat begitu kesulitan karena kursi rodanya. "Agatha, apa yang terjadi?" tanya Naya, memperhatikan Agatha dengan lekat. Ada bekas luka di kening gadis itu dan Naya semakin merasa penasara
Flashback On. "Kedatangan saya kemari, untuk melamar cucukakek?" Kedua alis Tomi saling bertaut melihat lelaki muda dihadapannya itu. Tidak tahu harus merespon seperti apa karena terlalu terkejut. Pasalnya, Tomi tidak mengenal siapa lelaki yang telah memperkenalkan diri sebagai putra tunggal dari sebuah keluarga terpandang yang cukup Tomi kenal itu. Deaz tiba-tiba datang bertamu, mengaku mengenal Retno Ayu--- anak tunggalnya yang telah meninggal dunia. "Yang kamu maksud cucu saya itu, Abinaya Sutedja?" Deaz mengangguk. Tomi memang hanya memiliki satu orang cucu. Namun keberadaan Naya selama ini tidak pernah ia publikasikan dihadapan publik. Jadi, Tomi makin terkejut ketika Deaz tahu dan mengenali Naya sebagai cucunya. "Kamu yakin? Cucu saya itu, orangnya--- ya, begitu." Bu
"Maaf kalau boleh tau, Bapak dirawat dirumah sakitnya berapa hari ya, Non?" "Belum tahu, bik. Dokter cuma bilang, untuk sementara ini, Kakek belum bisa di pulangkan. Dokter masih harus terus memantau keadaan kakek paling tidak untuk tiga hari ke depan," jelas Naya, pada salah satu pelayan yang tengah membantu mengemas beberapa pakaian Tomi Sutedja kedalam tas. Sementara Naya baru saja usai berganti pakaian setelah mandi. Kini sedang duduk tepat di depan meja rias dan menyisir rambutnya yang masih basah. Sebelum kembali ke rumah sakit, Naya juga menyempatkan diri untuk makan dan minum vitamin. Tak lupa segelas susu ibu hamil yang juga rutin harus ia konsumsi. Naya juga berpesan dan menitipkan rumah pada seluruh pelayan yang bekerja di rumah besar itu selama Tomi dirawat di rumah sakit. "Semoga, Bapak lekas sembuh ya Non." "Terima kasih, Bik. Naya pergi
"Kamu bohong!" "Nay ...." "Kamu bohong lagi sama aku!" "Naya, please. Dengerin penjelasan aku dulu." "Kebohongan apa lagi yang kamu sembunyiin dari aku Deaz. Aku muak! Aku capek." "Nay, please." "Kenapa? Kenapa kamu gak bilang kalau kamu terlibat dalam kecelakaan itu?" "Maaf." "Maaf, maaf, maaf! Kamu tahu nggak! Aku udah bosen dengerin kata maaf itu dari kamu." "Nay, aku melakukan itu karena aku gak mau kamu sedih dan jauhin aku. Aku gak mau kehilangan kamu." "Tapi sayangnya, kebohongan kamu kali ini udah bikin kamu kehilangan aku, Deaz." "Nggak Nay. Tolong, kumohon. Jangan." "Kalau aja dari awal kamu cerita semuanya dengan jujur, aku mungkin masih ada sedikit rasa kasihan sama kamu."
Deaz duduk diam dibalik kemudi, dengan kening yang menempel pada stir mobil. Lelaki itu sedang meratapi penyesalannya, marah dengan dirinya sendiri. Masa lalu itu nyatanya tetap menjadi racun meski kini dirinya telah menjadi manusia yang lebih baik. Deaz tidak mungkin marah pada Tuhan atau menyalahkan keadaan. Karena dosa masa lalu itu adalah perbuatan dirinya sendiri. Karma. Deaz percaya itu memang ada. Tapi, dia masih berharap akan mendapatkan keringanan dari Tuhan atas dosa-dosa di masa lalunya itu. Deaz berjanji tidak akan terjerumus kembali. Tapi, bisakah Naya memaafkan kesalahannya? Kesalahan masa lalu yang sebenarnya tidak disengaja terjadi. Deaz ingin hidup bersama Naya dan calon anak mereka. Meski belum ada rasa cinta, namun lelaki itu yakin seiring berjalannya waktu usia pernikahan mereka, cinta akan hadir melingkupi keluarga kecil yang mereka ba