Flashback On.
"Kedatangan saya kemari, untuk melamar cucu kakek?"
Kedua alis Tomi saling bertaut melihat lelaki muda dihadapannya itu. Tidak tahu harus merespon seperti apa karena terlalu terkejut. Pasalnya, Tomi tidak mengenal siapa lelaki yang telah memperkenalkan diri sebagai putra tunggal dari sebuah keluarga terpandang yang cukup Tomi kenal itu.
Deaz tiba-tiba datang bertamu, mengaku mengenal Retno Ayu--- anak tunggalnya yang telah meninggal dunia.
"Yang kamu maksud cucu saya itu, Abinaya Sutedja?"
Deaz mengangguk.
Tomi memang hanya memiliki satu orang cucu. Namun keberadaan Naya selama ini tidak pernah ia publikasikan dihadapan publik. Jadi, Tomi makin terkejut ketika Deaz tahu dan mengenali Naya sebagai cucunya."Kamu yakin? Cucu saya itu, orangnya--- ya, begitu."
Bu
"Maaf kalau boleh tau, Bapak dirawat dirumah sakitnya berapa hari ya, Non?" "Belum tahu, bik. Dokter cuma bilang, untuk sementara ini, Kakek belum bisa di pulangkan. Dokter masih harus terus memantau keadaan kakek paling tidak untuk tiga hari ke depan," jelas Naya, pada salah satu pelayan yang tengah membantu mengemas beberapa pakaian Tomi Sutedja kedalam tas. Sementara Naya baru saja usai berganti pakaian setelah mandi. Kini sedang duduk tepat di depan meja rias dan menyisir rambutnya yang masih basah. Sebelum kembali ke rumah sakit, Naya juga menyempatkan diri untuk makan dan minum vitamin. Tak lupa segelas susu ibu hamil yang juga rutin harus ia konsumsi. Naya juga berpesan dan menitipkan rumah pada seluruh pelayan yang bekerja di rumah besar itu selama Tomi dirawat di rumah sakit. "Semoga, Bapak lekas sembuh ya Non." "Terima kasih, Bik. Naya pergi
"Kamu bohong!" "Nay ...." "Kamu bohong lagi sama aku!" "Naya, please. Dengerin penjelasan aku dulu." "Kebohongan apa lagi yang kamu sembunyiin dari aku Deaz. Aku muak! Aku capek." "Nay, please." "Kenapa? Kenapa kamu gak bilang kalau kamu terlibat dalam kecelakaan itu?" "Maaf." "Maaf, maaf, maaf! Kamu tahu nggak! Aku udah bosen dengerin kata maaf itu dari kamu." "Nay, aku melakukan itu karena aku gak mau kamu sedih dan jauhin aku. Aku gak mau kehilangan kamu." "Tapi sayangnya, kebohongan kamu kali ini udah bikin kamu kehilangan aku, Deaz." "Nggak Nay. Tolong, kumohon. Jangan." "Kalau aja dari awal kamu cerita semuanya dengan jujur, aku mungkin masih ada sedikit rasa kasihan sama kamu."
Deaz duduk diam dibalik kemudi, dengan kening yang menempel pada stir mobil. Lelaki itu sedang meratapi penyesalannya, marah dengan dirinya sendiri. Masa lalu itu nyatanya tetap menjadi racun meski kini dirinya telah menjadi manusia yang lebih baik. Deaz tidak mungkin marah pada Tuhan atau menyalahkan keadaan. Karena dosa masa lalu itu adalah perbuatan dirinya sendiri. Karma. Deaz percaya itu memang ada. Tapi, dia masih berharap akan mendapatkan keringanan dari Tuhan atas dosa-dosa di masa lalunya itu. Deaz berjanji tidak akan terjerumus kembali. Tapi, bisakah Naya memaafkan kesalahannya? Kesalahan masa lalu yang sebenarnya tidak disengaja terjadi. Deaz ingin hidup bersama Naya dan calon anak mereka. Meski belum ada rasa cinta, namun lelaki itu yakin seiring berjalannya waktu usia pernikahan mereka, cinta akan hadir melingkupi keluarga kecil yang mereka ba
"Nay ... Bangun ..," "Gimana nih Cel, kok gak bangun-bangun sih." Celine dan Agatha tampak sedikit frustasi ketika berusaha membangunkan Naya yang tertidur pulas dengan kepala berada di atas meja. Ketiga gadis itu, saat ini memang sedang berada di Brilliane Cafe, tempat mereka janjian untuk bertemu dan rencananya akan pergi shopping seperti biasa. Namun, rencana mereka tidak berjalan mulus karena Naya yang justru malah ketiduran usai membaca novel yang di belinya dari toko buku tepat di seberang Cafe tempat mereka nongkrong saat ini. Celine dan Agatha awalnya berusaha maklum, Naya pasti semalam habis nananinu dengan suaminya, jadi mereka biarkan saja Naya tidur. Namun kini sudah lebih dari 30 menit, dan Naya tidak juga ada tanda-tanda ingin bangun. Khawatir karena keadaan Naya yang tengah hamil, kedua gadis itu pada akhirnya memutuska
"Deaz pekerjaan kamu beneran cuma di bengkel doang? Kamu gak punya perusahaan sendiri atau kerja di perusahaan keluarga kamu gitu? Kamu gak punya sekertaris cantik namanya Jeni?" Deaz yang sedang menikmati makan siangnya itu terlihat menghela napas mendengar pertanyaan Naya barusan. Sementara tepat di seberangnya, Naya terlihat tidak minat untuk makan, sedari tadi hanya terus mengaduk-aduk makanan yang Deaz pesankan tanpa minat. Naya tampaknya masih memikirkan mimpi gila yang baru gadis itu alami hari ini. "Ini masih soal mimpi kamu itu?" Naya mengangguk. "Aku jadi paranoid. Soalnya kamu belum cerita apapun tentang diri kamu ke aku."
Rasanya seperti rumah sendiri. Ya, itu yang Naya rasakan saat tinggal di rumah mertuanya. Naya di perlakukan dengan sangat baik. Tidak ada drama ibu mertua yang sinis pada menantunya seperti yang terjadi di beberapa novel yang pernah Naya baca. Padahal, kerjaan Naya hanya berleha-leha. Tidak melakukan apapun selain menonton tv, tiduran dan kegiatan mager lainnya. Hanya saja, Naya sering dibikin kesal dengan satu orang yang sering mengganggunya. Siapa lagi kalau bukan Rega. "Eits... bagi dua." "Rega, aku rasa kita masih belum sedekat itu untuk bisa berbagi makanan." Naya mendelik kearah Rega yang mencomot begitu saja satu pizza yang masih tersisa di dalam kotak yang Naya letakkan di atas meja. Namun, Rega nyatanya tetap memasukkan potongan itu ke dalam mulutnya sambil melihat ke arah Naya dengan wajah tengilnya tanpa dosa. "Gak boleh pelit sama adik
"Jadi, aku mau minta tolong banget sama kamu. Berhenti meragukan perasaanku ke kamu. Karena aku, gak mungkin berpaling dari kamu bahkan di dalam mimpi kamu sekalipun. Percaya sama aku." Naya hanya mengedipkan kedua matanya, mendengarkan dengan baik setiap apa yang Deaz katakan. Tatapan kedua mata lelaki itu tidak pernah lepas menatap lekat wajah Naya. Naya bahkan yakin Deaz bisa melihat pori-pori di hidungnya saking dekatnya jarak wajah mereka saat ini. "Kamu di mataku itu, bukan hanya cantik Nay. Tapi kamu itu lucu. Menggemaskan sampai aku selalu ingin memakan kamu setiap waktu. Aku mungkin bisa gila kalau harus hidup tanpa kamu." "Deaz, kamu kok, jadi kanibal sih?" Deaz tertawa gemas mendengar respon Naya barusan. Tuh kan, apa Deaz bilang barusan memang benar. Naya ini, benar-benar sangat menggemaskan sampai Deaz bingung sendiri harus bagaimana mendeskripsikan sosok istrin
Hujan deras disertai angin kencang itu, membuat Naya terbangun dari tidurnya. Naya menoleh ke arah jendela kaca yang telah tertutup gorden, namun masih bisa memperlihatkan kilat petir yang menyambar di luar sana. Naya beringsut mendekat ke arah Deaz yang masih tertidur lelap di sebelahnya. Menyadari gerakan Naya tersebut, Deaz membuka mata dan menarik lebih dalam tubuh Naya ke dalam dekapan tubuh hangatnya. Deaz tersenyum tipis menyadari Naya yang ketakutan. "Deaz, aku takut." "Sshh ... ada aku disini." Naya mengangguk. Berusaha memejamkan kedua matanya kembali untuk tidur. Namun, suara kilat petir yang menyambar berikut dengan lampu kamar yang tiba-tiba padam membuat Na