"Nay ... Bangun ..,"
Celine dan Agatha tampak sedikit frustasi ketika berusaha membangunkan Naya yang tertidur pulas dengan kepala berada di atas meja. Ketiga gadis itu, saat ini memang sedang berada di Brilliane Cafe, tempat mereka janjian untuk bertemu dan rencananya akan pergi shopping seperti biasa. Namun, rencana mereka tidak berjalan mulus karena Naya yang justru malah ketiduran usai membaca novel yang di belinya dari toko buku tepat di seberang Cafe tempat mereka nongkrong saat ini.
Celine dan Agatha awalnya berusaha maklum, Naya pasti semalam habis nananinu dengan suaminya, jadi mereka biarkan saja Naya tidur. Namun kini sudah lebih dari 30 menit, dan Naya tidak juga ada tanda-tanda ingin bangun.
Khawatir karena keadaan Naya yang tengah hamil, kedua gadis itu pada akhirnya memutuska
"Deaz pekerjaan kamu beneran cuma di bengkel doang? Kamu gak punya perusahaan sendiri atau kerja di perusahaan keluarga kamu gitu? Kamu gak punya sekertaris cantik namanya Jeni?" Deaz yang sedang menikmati makan siangnya itu terlihat menghela napas mendengar pertanyaan Naya barusan. Sementara tepat di seberangnya, Naya terlihat tidak minat untuk makan, sedari tadi hanya terus mengaduk-aduk makanan yang Deaz pesankan tanpa minat. Naya tampaknya masih memikirkan mimpi gila yang baru gadis itu alami hari ini. "Ini masih soal mimpi kamu itu?" Naya mengangguk. "Aku jadi paranoid. Soalnya kamu belum cerita apapun tentang diri kamu ke aku."
Rasanya seperti rumah sendiri. Ya, itu yang Naya rasakan saat tinggal di rumah mertuanya. Naya di perlakukan dengan sangat baik. Tidak ada drama ibu mertua yang sinis pada menantunya seperti yang terjadi di beberapa novel yang pernah Naya baca. Padahal, kerjaan Naya hanya berleha-leha. Tidak melakukan apapun selain menonton tv, tiduran dan kegiatan mager lainnya. Hanya saja, Naya sering dibikin kesal dengan satu orang yang sering mengganggunya. Siapa lagi kalau bukan Rega. "Eits... bagi dua." "Rega, aku rasa kita masih belum sedekat itu untuk bisa berbagi makanan." Naya mendelik kearah Rega yang mencomot begitu saja satu pizza yang masih tersisa di dalam kotak yang Naya letakkan di atas meja. Namun, Rega nyatanya tetap memasukkan potongan itu ke dalam mulutnya sambil melihat ke arah Naya dengan wajah tengilnya tanpa dosa. "Gak boleh pelit sama adik
"Jadi, aku mau minta tolong banget sama kamu. Berhenti meragukan perasaanku ke kamu. Karena aku, gak mungkin berpaling dari kamu bahkan di dalam mimpi kamu sekalipun. Percaya sama aku." Naya hanya mengedipkan kedua matanya, mendengarkan dengan baik setiap apa yang Deaz katakan. Tatapan kedua mata lelaki itu tidak pernah lepas menatap lekat wajah Naya. Naya bahkan yakin Deaz bisa melihat pori-pori di hidungnya saking dekatnya jarak wajah mereka saat ini. "Kamu di mataku itu, bukan hanya cantik Nay. Tapi kamu itu lucu. Menggemaskan sampai aku selalu ingin memakan kamu setiap waktu. Aku mungkin bisa gila kalau harus hidup tanpa kamu." "Deaz, kamu kok, jadi kanibal sih?" Deaz tertawa gemas mendengar respon Naya barusan. Tuh kan, apa Deaz bilang barusan memang benar. Naya ini, benar-benar sangat menggemaskan sampai Deaz bingung sendiri harus bagaimana mendeskripsikan sosok istrin
Hujan deras disertai angin kencang itu, membuat Naya terbangun dari tidurnya. Naya menoleh ke arah jendela kaca yang telah tertutup gorden, namun masih bisa memperlihatkan kilat petir yang menyambar di luar sana. Naya beringsut mendekat ke arah Deaz yang masih tertidur lelap di sebelahnya. Menyadari gerakan Naya tersebut, Deaz membuka mata dan menarik lebih dalam tubuh Naya ke dalam dekapan tubuh hangatnya. Deaz tersenyum tipis menyadari Naya yang ketakutan. "Deaz, aku takut." "Sshh ... ada aku disini." Naya mengangguk. Berusaha memejamkan kedua matanya kembali untuk tidur. Namun, suara kilat petir yang menyambar berikut dengan lampu kamar yang tiba-tiba padam membuat Na
"Omong kosong macam apa itu? Aku tidak punya Ayah." "Ayo... Ayo kita bertemu. Saya benar-benar Ayah kandungmu." "Naya?" Naya tersentak ketika mendengar suara Deaz tepat di belakangnya. Buru-buru, gadis itu menutup panggilan tersebut, Deaz yang terlihat lebih fresh setelah mandi tampak mengernyit melihat Naya yang menyembunyikan ponsel di belakang punggungnya. "Deaz, kamu udah selesai mandi?" "Ya. Kenapa? Kamu terlihat gugup?" Naya menggelengkan kepala dan bergerak mundur ketika Deaz maju mendekatinya. "Apa yang kamu sembunyikan?" "Bukan. Bukan apa-apa." "Telpon dari siapa?" "Temen." Deaz menaikkan satu alisnya, "Kamu yakin?" Naya terdiam. Menelan ludahnya gugup.
"Wah ... Deaz!" "Kamu suka?" "Banget!" Sejak menikah, Deaz ingat belum pernah mengajak Naya untuk sekedar pergi liburan. Jadi, saat ini keduanya sedang berada di sebuah pantai yang masih berlokasi di negara tempat mereka tinggal. Naya terlihat sangat menikmati pemandangan hamparan lautan yang tersaji tepat di depan mereka saat ini. Kedua tangan Naya terlentang lebar, sementara Deaz memeluk tubuh Naya dari arah belakang. Keduanya, terlihat serasi membuat beberapa orang di sekeliling diam-diam memuji. Menganggumi betapa romantisnya pasangan muda tersebut. Deazmenempatkan dagunya diatas kepala istrinya itu. "Kenapa kamu gak bilang kalau kita mau pergi ke pantai sih. Tau gini kan tadi aku bawa bikini," kata Naya, memecah keheningan yang sempat terjadi. Deaz langsung ters
"Kenapa baru sekarang?" Jeda sejenak, "Kenapa baru sekarang anda muncul dan mengaku sebagai ayah kandungku. Kemana saja anda selama ini?" "Maafkan ayahmu. Maaf." Naya duduk berhadapan dengan seorang laki-laki paru baya yang tidak dia kenal. Lelaki asing yang mengaku sebagai Ayah kandungnya. Saat ini, Perasaan Naya campur aduk. Ia marah tapi juga takut. Restoran tempat mereka bertemu saat ini terbilang cukup sepi, meski ada satu-dua pelanggan yang duduk tak jauh dari meja mereka. Kalian tahu apa kesan pertama Naya ketika bertemu dengan Ayah kandungnya itu. Preman. Ya kata itu sangat tepat untuk menggambarkan sosok Toby-- nama orang itu. Perawakannya tinggi kekar lengkap dengan guratan tatto yang menghiasi hampir seluruh tubuhnya termasuk wajah. Ribuan tindik terpasang di lidah, hidung hingga telinga. Naya benar-benar takut dengan rupa lelaki di hadapann
Mood Naya seharian ini benar-benar buruk. Deaz menyadari hal tersebut. Setelah kembali dari rumah Tomi Sutedja, Naya jadi pribadi yang lebih banyak diam. Deaz tidak senang dengan hal tersebut. Melihat Naya yang biasanya bersikap manja, kekanakan dan cerewet, Tiba-tiba berubah jadi pendiam benar-benar bencana untuk rumah tangga mereka. Deaz melangkah menghampiri Naya yang duduk di kursi balkon kamar mereka. Lelaki itu memeluk Naya dari belakang, menjatuhkan kecupan di atas kepala cukup lama. Naya yang menyadari keberadaan suaminya itu tetap diam, fokus memandang ke depan. "Aku tahu apa yang sedang kamu pikirkan." Deaz memutar kursi yang Naya tempati menghadapnya, kemudian bersimpuh di depan gadis itu. "Deaz pasti jijik sama aku, Deaz pasti menyesal menikahiku, Deaz pasti malu setelah tahu bahwa aku ternyata anak seorang kriminal, Begitu kan?" &n