Deaz duduk diam dibalik kemudi, dengan kening yang menempel pada stir mobil. Lelaki itu sedang meratapi penyesalannya, marah dengan dirinya sendiri. Masa lalu itu nyatanya tetap menjadi racun meski kini dirinya telah menjadi manusia yang lebih baik.
Deaz tidak mungkin marah pada Tuhan atau menyalahkan keadaan. Karena dosa masa lalu itu adalah perbuatan dirinya sendiri. Karma. Deaz percaya itu memang ada. Tapi, dia masih berharap akan mendapatkan keringanan dari Tuhan atas dosa-dosa di masa lalunya itu.
Deaz berjanji tidak akan terjerumus kembali. Tapi, bisakah Naya memaafkan kesalahannya? Kesalahan masa lalu yang sebenarnya tidak disengaja terjadi.
Deaz ingin hidup bersama Naya dan calon anak mereka. Meski belum ada rasa cinta, namun lelaki itu yakin seiring berjalannya waktu usia pernikahan mereka, cinta akan hadir melingkupi keluarga kecil yang mereka ba
"Nay ... Bangun ..," "Gimana nih Cel, kok gak bangun-bangun sih." Celine dan Agatha tampak sedikit frustasi ketika berusaha membangunkan Naya yang tertidur pulas dengan kepala berada di atas meja. Ketiga gadis itu, saat ini memang sedang berada di Brilliane Cafe, tempat mereka janjian untuk bertemu dan rencananya akan pergi shopping seperti biasa. Namun, rencana mereka tidak berjalan mulus karena Naya yang justru malah ketiduran usai membaca novel yang di belinya dari toko buku tepat di seberang Cafe tempat mereka nongkrong saat ini. Celine dan Agatha awalnya berusaha maklum, Naya pasti semalam habis nananinu dengan suaminya, jadi mereka biarkan saja Naya tidur. Namun kini sudah lebih dari 30 menit, dan Naya tidak juga ada tanda-tanda ingin bangun. Khawatir karena keadaan Naya yang tengah hamil, kedua gadis itu pada akhirnya memutuska
"Deaz pekerjaan kamu beneran cuma di bengkel doang? Kamu gak punya perusahaan sendiri atau kerja di perusahaan keluarga kamu gitu? Kamu gak punya sekertaris cantik namanya Jeni?" Deaz yang sedang menikmati makan siangnya itu terlihat menghela napas mendengar pertanyaan Naya barusan. Sementara tepat di seberangnya, Naya terlihat tidak minat untuk makan, sedari tadi hanya terus mengaduk-aduk makanan yang Deaz pesankan tanpa minat. Naya tampaknya masih memikirkan mimpi gila yang baru gadis itu alami hari ini. "Ini masih soal mimpi kamu itu?" Naya mengangguk. "Aku jadi paranoid. Soalnya kamu belum cerita apapun tentang diri kamu ke aku."
Rasanya seperti rumah sendiri. Ya, itu yang Naya rasakan saat tinggal di rumah mertuanya. Naya di perlakukan dengan sangat baik. Tidak ada drama ibu mertua yang sinis pada menantunya seperti yang terjadi di beberapa novel yang pernah Naya baca. Padahal, kerjaan Naya hanya berleha-leha. Tidak melakukan apapun selain menonton tv, tiduran dan kegiatan mager lainnya. Hanya saja, Naya sering dibikin kesal dengan satu orang yang sering mengganggunya. Siapa lagi kalau bukan Rega. "Eits... bagi dua." "Rega, aku rasa kita masih belum sedekat itu untuk bisa berbagi makanan." Naya mendelik kearah Rega yang mencomot begitu saja satu pizza yang masih tersisa di dalam kotak yang Naya letakkan di atas meja. Namun, Rega nyatanya tetap memasukkan potongan itu ke dalam mulutnya sambil melihat ke arah Naya dengan wajah tengilnya tanpa dosa. "Gak boleh pelit sama adik
"Jadi, aku mau minta tolong banget sama kamu. Berhenti meragukan perasaanku ke kamu. Karena aku, gak mungkin berpaling dari kamu bahkan di dalam mimpi kamu sekalipun. Percaya sama aku." Naya hanya mengedipkan kedua matanya, mendengarkan dengan baik setiap apa yang Deaz katakan. Tatapan kedua mata lelaki itu tidak pernah lepas menatap lekat wajah Naya. Naya bahkan yakin Deaz bisa melihat pori-pori di hidungnya saking dekatnya jarak wajah mereka saat ini. "Kamu di mataku itu, bukan hanya cantik Nay. Tapi kamu itu lucu. Menggemaskan sampai aku selalu ingin memakan kamu setiap waktu. Aku mungkin bisa gila kalau harus hidup tanpa kamu." "Deaz, kamu kok, jadi kanibal sih?" Deaz tertawa gemas mendengar respon Naya barusan. Tuh kan, apa Deaz bilang barusan memang benar. Naya ini, benar-benar sangat menggemaskan sampai Deaz bingung sendiri harus bagaimana mendeskripsikan sosok istrin
Hujan deras disertai angin kencang itu, membuat Naya terbangun dari tidurnya. Naya menoleh ke arah jendela kaca yang telah tertutup gorden, namun masih bisa memperlihatkan kilat petir yang menyambar di luar sana. Naya beringsut mendekat ke arah Deaz yang masih tertidur lelap di sebelahnya. Menyadari gerakan Naya tersebut, Deaz membuka mata dan menarik lebih dalam tubuh Naya ke dalam dekapan tubuh hangatnya. Deaz tersenyum tipis menyadari Naya yang ketakutan. "Deaz, aku takut." "Sshh ... ada aku disini." Naya mengangguk. Berusaha memejamkan kedua matanya kembali untuk tidur. Namun, suara kilat petir yang menyambar berikut dengan lampu kamar yang tiba-tiba padam membuat Na
"Omong kosong macam apa itu? Aku tidak punya Ayah." "Ayo... Ayo kita bertemu. Saya benar-benar Ayah kandungmu." "Naya?" Naya tersentak ketika mendengar suara Deaz tepat di belakangnya. Buru-buru, gadis itu menutup panggilan tersebut, Deaz yang terlihat lebih fresh setelah mandi tampak mengernyit melihat Naya yang menyembunyikan ponsel di belakang punggungnya. "Deaz, kamu udah selesai mandi?" "Ya. Kenapa? Kamu terlihat gugup?" Naya menggelengkan kepala dan bergerak mundur ketika Deaz maju mendekatinya. "Apa yang kamu sembunyikan?" "Bukan. Bukan apa-apa." "Telpon dari siapa?" "Temen." Deaz menaikkan satu alisnya, "Kamu yakin?" Naya terdiam. Menelan ludahnya gugup.
"Wah ... Deaz!" "Kamu suka?" "Banget!" Sejak menikah, Deaz ingat belum pernah mengajak Naya untuk sekedar pergi liburan. Jadi, saat ini keduanya sedang berada di sebuah pantai yang masih berlokasi di negara tempat mereka tinggal. Naya terlihat sangat menikmati pemandangan hamparan lautan yang tersaji tepat di depan mereka saat ini. Kedua tangan Naya terlentang lebar, sementara Deaz memeluk tubuh Naya dari arah belakang. Keduanya, terlihat serasi membuat beberapa orang di sekeliling diam-diam memuji. Menganggumi betapa romantisnya pasangan muda tersebut. Deazmenempatkan dagunya diatas kepala istrinya itu. "Kenapa kamu gak bilang kalau kita mau pergi ke pantai sih. Tau gini kan tadi aku bawa bikini," kata Naya, memecah keheningan yang sempat terjadi. Deaz langsung ters
"Kenapa baru sekarang?" Jeda sejenak, "Kenapa baru sekarang anda muncul dan mengaku sebagai ayah kandungku. Kemana saja anda selama ini?" "Maafkan ayahmu. Maaf." Naya duduk berhadapan dengan seorang laki-laki paru baya yang tidak dia kenal. Lelaki asing yang mengaku sebagai Ayah kandungnya. Saat ini, Perasaan Naya campur aduk. Ia marah tapi juga takut. Restoran tempat mereka bertemu saat ini terbilang cukup sepi, meski ada satu-dua pelanggan yang duduk tak jauh dari meja mereka. Kalian tahu apa kesan pertama Naya ketika bertemu dengan Ayah kandungnya itu. Preman. Ya kata itu sangat tepat untuk menggambarkan sosok Toby-- nama orang itu. Perawakannya tinggi kekar lengkap dengan guratan tatto yang menghiasi hampir seluruh tubuhnya termasuk wajah. Ribuan tindik terpasang di lidah, hidung hingga telinga. Naya benar-benar takut dengan rupa lelaki di hadapann
Mengenakan kemeja putih dan celana hitam panjang, Deaz tampak mengetuk-etukan jemari tangan kanannya di atas lutut kaki kanan, duduk cemas tepat di tengah-tengah pengadilan agama, menunggu Abinaya yang belum datang di persidangan kali ini. Pikiran Deaz sangat kacau kini. Keringat bahkan muncul di kedua telapak tangannya yang dingin. Kedua orangtuanya sudah mengambil tempat duduk sedari tadi, namun keberadaan Tomi Sutedja juga belum terlihat disana. Deaz menarik napas, menghembuskannya dengan berat. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh dirinya kalau akan mengalami saat-saat yang seperti ini. Duduk di hadapan para hakim dan para saksi untuk proses perceraiannya dengan sang istri. Deaz takut. Dia tidak ingin pernikahannya berakhir dengan perpisahan. Tapi, mereka sudah sejauh ini. Deaz sudah sangat terlambat untuk memperjuangkan pernikahan mereka yang bahkan belum satu tahun terjalin. "Maaf, saya sedikit terlambat." Deaz menoleh ke arah
Deaz mengendari mobilnya teramat pelan. Tidak ada hasrat untuk pulang, namun Deaz juga tidak mungkin terus terpuruk dengan keadaan. Lelaki itu masih sibuk bekerja lalu pulang seperti biasanya, meski bayang-bayang Naya terus menghantuinya bagai kaset rusak. Deaz tetap harus hidup. Deaz masih ingin hidup untuk kembali bersama Naya dan calon anak mereka. Kerumunan tepat di depan sana, menghentikan laju Deaz secara tiba-tiba. Deaz mengerutkan keningnya, mengamati keadaan di depan sana yang terlihat begitu tegang. Bahkan ada pula mobil polisi yang terparkir di sana. Merasa penasaran, Deaz pun memutuskan untuk turun dan berjalan mendekat. Deaz terkejut saat menyadari rumah itu adalah rumah yang sama, saat Deaz menolong Tsania dan bayinya yang dikurung Endru di dalam kamar rumah itu, satu minggu yang lalu. "Maaf, kalau boleh tahu, apa yang sedang terjadi di sini?" Seorang ibu-ibu berhijab yang Deaz tanyai pun menjawab. "Ada korban kasus pem
Deaz meletakkan kepalanya di kemudi mobil, memejamkan mata namun tidak tidur. Sudah satu minggu hidup lelaki itu kacau, sangat. Naya pergi dan Tsania terus menyalahkan dirinya atas kematian putrinya. Begitu mendengar suara gerbang yang di geser terbuka, Deaz mengangkat kepalanya, memperlihatkan wajah kusut kurang tidur lelaki itu. Inilah yang Deaz tunggu-tunggu, Mobil Tomi Sutedja keluar dari gerbang besar itu. Buru-buru Deaz pun menyalakan mesin mobil miliknya dan melaju perlahan mengikuti mobil tersebut. Kegiatan seperti inilah yang Deaz lakukan selama satu minggu ini. Mengikuti mobil Tomi Sutedja diam-diam dan berakhir kecewa saat mobil itu lagi-lagi berhenti di perusahaan Sutedja Company. Deaz memukul stir, mengacak rambutnya frustasi. Dia benar-benar persis orang gila sekarang. Deaz bahkan lupa mandi, dan makan jika memang perutnya sudah terasa perih. Deaz sudah tidak lagi menangis, air mata buayanya mungkin sudah habis. Toh, d
1 MINGGU KEMUDIAN. Paris, Perancis. Naya terbangun dari tidurnya saat mendengar suara bel rumah yang terdengar. Perempuan itu kemudian keluar dari kamarnya, melangkah ke arah pintu dan membukanya. "Hai, apa aku mengganggu?" "Lumayan, aku baru saja bangun." "Oh. Maaf kalau begitu," kata Shawn, sambil menggaruk belakang lehernya. Naya tertawa renyah melihat tingkah lelaki itu. "Bercanda." Shawn mengangguk, kemudian mengulurkan sesuatu yang dia bawa untuk Naya. "Untukmu." "Wah. Aku merepotkan lagi." "Tidak masalah. Aku senang di repotkan." "Mau masuk?" Tawar Naya. "Ah itu, sebenarnya aku ingin mengajakmu keluar. Bagaimana?" Naya terdiam, tampak menimang.
Air mata Naya terus mengalir turun. Gadis itu berulangkali mengusapnya namun tidak mau berhenti juga. Sopir taksi sampai heran melihat wanita hamil yang duduk di belakang itu. Naya menatap keluar jendela, membiarkan angin menyapa wajahnya yang memerah karena terus menangis. Cukup lama perjalanan dari bengkel ke rumah Tomi Sutedja, akhirnya taksi pun berhenti tepat di depan gerbang besar rumah mewah itu. Naya segera turun tanpa membayar uang taksi terlebih dahulu, seorang satpam yang membukakan gerbang yang akan membayar tagihan untuk cucu kesayangan Tomi Sutedja. Naya kemudian melangkah masuk kedalam rumah karena pintunya memang tidak di tutup. Naya melangkah cepat ke arah ruang tamu, samar-samar terdengar suara percakapan dari sana sambil menahan perut besarnya dengan tangan kanan. Dan begitu melihat Tomi Sutedja yang duduk di sofa panjang ruang tamu, Naya langsung be
"Hai." Naya mengangguk singkat membalas sapaan itu. Gadis itu segera duduk di kursi restoran yang berseberangan dengan tempat duduk Endru. "Maaf, karena telah mengganggu waktumu dengan memintamu datang kemari." "Ada apa?" Tanya Naya to the point. Endru kemudian meletakkan sebuah amplop di atas meja, membuat Naya mengernyitkan kening melihat itu. Endru kemudian menjelaskan.. "Itu riwayat kesehatan milik saya. Saya penderita ...." "Borderline personality disorder. Ya, aku sudah tahu." Endru menaikkan satu alisnya tinggi-tinggi. "Dari Tsania?" Naya mengangguk. "Ya. Endru menghela napas berat, kepalanya tertunduk. Naya menatap dalam diam lelaki di hadapannya itu. "Saya tidak akan menceraikan Tsania." "Saya sangat m
"Kenapa lama?" Naya kembali duduk di kursinya usai dari kamar mandi. Gadis itu tersenyum tipis ke arah Deaz. "Maaf. Tadi BAB." "Tapi kamu gak papa kan?" Deaz bertanya dengan mimik wajah khawatir. "Enggak kok." "Serius, Nay?" "Iya, aku serius." Deaz mengangguk, meski masih menatap ke arah Naya dengan seksama. Dihadapannya, Naya mulai kembali menikmati makanannya yang tadi sempat tertunda, namun entah kenapa Deaz merasa Naya menyembunyikan sesuatu darinya. Sementara Naya diam-diam kembali memikirkan pertemuannya dengan lelaki asing di depan toilet tadi. "Apakah, kita saling mengenal?" "Saya suami Tsania." Naya terbelalak mendengar informasi tersebut. Langkah kedua kakinya terayun mundur. Senyum ramah yang Endru pasang sedari tadi pun p
Perlahan, kedua kaki Naya bergerak mundur, tidak jadi masuk kedalam. Dadanya sesak. Naya tidak sanggup membayangkan apa yang sedang terjadi di dalam sana. Kedua matanya terasa sangat panas, meski di lubuk hati kecilnya, Naya masih menaruh kepercayaan pada Deaz. Deaz tidak mungkin selingkuh. Deaz tidak mungkin berkhianat. Deaz tidak mungkin... "Akh!" Naya memekik, hampir saja tubuhnya akan terjatuh ketika gadis itu ingin berlari pergi dari sana, jika saja kedua tangan kokoh seseorang tidak dengan sigap menahannya. "Sayang?" Naya mengangkat pandangannya dan terkejut. "De-deaz?" "Kamu, ngapain disini?" "Itu ... kamu, kenapa kamu ...." "Bang! Tsania mau lahiran ini!" Teriakan itu, langsung mengalihkan perhatian Deaz dan Naya secara bersamaan. &nbs
"Setelah melarikan diri, ternyata di sini kamu malah selingkuh." "Bajingan!" Teriak Deaz kesal ketika melihat Tsania ditampar. Namun satu tonjokan langsung melayang di rahang Deaz ketika lelaki itu hendak bergerak maju. Dua lawan satu, jelas saja Deaz tidak bisa menyeimbangi kedua lelaki berbadan besar itu. Tubuh Deaz berulangkali di hajar hingga punggungnya membentur tembok. Sementara Tsania hanya bisa menangis dan menjerit, memohon pada suaminya untuk melepaskan Deaz. "Endru! Kumohon jangan! Lepaskan Deaz! Kumohon suruh kedua anak buahmu untuk berhenti." Brak! "Endru!" Kepala Deaz pening. Kepalanya baru saja menghantam meja namun lelaki itu masih bisa berdiri dan langsung membalas pukulan dua orang lelaki yang baru saja merusak ketampannya itu. Deaz marah bukan main. "Deaz! Kumohon Berhenti! Pergilah dari