“Papa mana, El?” Narthana menghampiri Elia yang tengah berjaga di kasir,
Biasanya kalau tak ada les sehabis sekolah, Narthana akan mengunjungi Sadajiwa, entah sekadar untuk bertemu dengan papanya lalu pulang bersama atau mengerjakan tugas dengan Revian, Dafandra & Naren.
“Papanya Mas lagi ke supplier, baru setengah jam lalu berangkat,”
“Oh, gitu ya,”
“Mas mau saya buatin sesuatu?” tawar Elia.
Meski Elia 4 tahun lebih tua dari Narthana, perempuan itu selalu memanggilnya dengan sebutan Mas, dengan niat menghargai lelaki itu sebagai anak dari bosnya. Elia pun membiarkan Narthana memanggilnya dengan nama semata, tanpa embel-embel apapun.
“Bikinin aku teh raspberi
kalau gitu, sama tiramisu,”“Baik, Mas,”
Narthana memilih tempat
favoritnya yang kebetulan masih kosong, tepat di ujung kafe yang langsung bersisian dengan jendela besar yang menampilkan jalanan yang tidak terlalu ramai.“Ini, Mas,” Elia menyajikan pesanan Narthana.
Saat gadis itu hendak kembali ke tempatnya, Narthana menahannya.
“Temenin aku disini,” pintanya.
“Tapi..,”
“Lagian kafe lagi sepi, sebentar aja,”
Elia akhirnya mengiyakan, ia duduk disamping Narthana. Tak lama, tangan Narthana bergerak membuka laptopnya dan menyalakan film.
“Kamu udah makan, El?”
“Udah, Mas. Tadi Arin bawa dimsum,”
“Itu sih cemilan, nih tiramisunya makan aja,”
“Loh, itu kan pesanan Mas tadi. Nggak usah,”
“Udah makan aja, biar perutmu nggak kosong banget,”
Elia menikmati kue tersebut, sambil menonton film yang tengah terputar.
“Kayaknya kamu yang lebih konsen nontonnya daripada aku,” tanggap Narthana.
“Eh? Hehe, soalnya film ini aku baru tonton setengah,”
“Ternyata kamu suka tipe film begini,”
Kini keduanya tengah menonton film Kim Jiyoung (born 1982) , sebuah film yang mengangkat isu patriarki rumah tangga di Korea Selatan.
“Hehe, kalau sesuai moodku
aja kok,” Elia tersenyum kecil.Suasana hening sejenak.
“El, kalau jalan sama aku. Mau?” tanya Narthana.
Elia memandang Narthana, bukan. Elia bukan keberatan karena Narthana lebih muda darinya, namun lebih pada posisi mereka yang cukup berbeda.
“Mau?” tanya Narthana sekali lagi.
“Mas izin sama Papa mas dulu, ya. Kalau udah izin, aku mau,”
Narthana tersenyum senang.
Sera's Media Grup, Studio 5...
Acara “Night-night Show” tengah menjalani proses syuting salah satu episode, dengan Jana Melodia sebagai bintang tamunya. Ia tengah menjadi bahan pembicaraan karena akhirnya mempublikasikan suami dan anaknya di media.
“Kenapa akhirnya anda memutuskan memperkenalkan suami dan anak anda ke media?” tanya MC.
“Karena saya rasa, ini waktu yang tepat. Dan ini juga keputusan bersama dengan suami,”
“Termasuk mengumumkan Jivan sebagai bagian keluarga Naratama? Sekarang dia tinggal bersama Papanya, kan?”
“Iya, sejak bercerai Jivan hidup dengan Sena. Namun hubungan dia dan saya tetap baik, kami bertemu 2-3 bulan sekali,”
“Lalu bagaimana hubungan Jivan dengan Deva? Apakah mereka cukup dekat?”
“Ya, cukup dekat. Deva menyayangi Jivan layaknya anak sendiri. Hubungan Jivan dengan Adara jauh lebih dekat, karena Jivan merasa dia punya adik sendiri,”
“Oh, begitu ternyata. Jadi, Jivan akan dijadikan penerus Naratama atau Sera?” pertanyaan itu terasa menohok.
“Penerus Naratama,” jawaban Jana berhasil memancing komentar para penonton dan staff.
“Oke, mari kita break,” MC langsung memotong.
***
“Maksud kamu apa ngomong kalau Jivan penerus Naratama?” Sena langsung masuk ke ruang tunggu ketika acara sudah selesai.
“Loh, memang iya kan?” Jana memberi kode agar manajernya keluar dari ruangan.
“Tapi perjanjiannya nggak begitu, Jana !!!”
“Nggak begitu gimana? Kalau Jivan udah 18 tahun kan, dia diasuh sama saya,”
“Diasuh sama kamu bukan berarti dia jadi penerus Naratama, Jivan lebih berhak atas Sera !!!”
Jana tertawa sumbang.
“Deva juga ayahnya, dia perlu Jivan sebagai penerusnya. Nggak ada anak laki-laki di keluarga kami,”
“Jivan nggak punya darah Naratama, dia anak saya,”
“Berhenti jadi egois, Jana,” tutur Sena, nada suaranya mulai menurun.
“Kamu yang egois, Sena. Kamu yang memisahkan saya sama Jivan,”
“Kamu sendiri yang mau pisah sama saya, kamu sendiri yang bilang karirmu jadi stagnan setelah kita menikah. Lalu sekarang kamu bilang begitu? Saya masih kasih akses kamu buat bertemu, dan menjalani peran kamu sebagai Ibu. Kamu bilang saya egois? Kalau saya memang benar sejahat itu, saya sudah tutup semua akses kamu untuk bertemu Jivan,” Sena menggelengkan kepalanya.
Jana terdiam, perempuan itu seolah kehabisan kata di depan mantan suaminya.
“Jivan sama sekali nggak ada kaitannya dengan Deva, sedekat apapun mereka. Kecuali kamu mau ditertawakan keluarga Naratama lainnya, karena memaksakan kehendak kamu atas sesuatu yang bukan haknya. Nanti kalau sudah begitu, pada akhirnya Jivan yang akan tersakiti,” setelah kalimatnya selesai, Sena meninggalkan ruangan tersebut.
***
“Anak-anak udah pada beres UTS, kan?” tanya Keenan.
Malam ini Keenan dan tiga sahabatnya itu tengah berkumpul di rumah Johnny, sudah agak lama semenjak terakhir kali mereka bertemu.
“Iya, kenapa?” Satya menyesap tehnya.
“Lo mau ajak liburan, Nan?” tebak Johnny.
“Wah, bener juga. Ayolah, kasihan mereka kejebak di Jakarta terus,” sahut Sena.
“Iya, rencana gue begitu. Ajakin mereka aja dulu,” ujar Keenan.
“Mau kemana nih?” tanya Satya.
“Bali bosen nggak sih?” tanggap Sena.
“Labuan Bajo gimana? Mereka belum pernah kesana kan?” usul Johnny.
“Jangankan mereka, gue aja belum pernah,” Satya mengerucutkan bibirnya.
“Lo sih, mainnya Lombok mulu. Hahaha,” Sena tertawa.
“Labuan Bajo nih? Setuju?
Biar gue aturin semuanya,” kini Keenan yang bersuara.“Siplah, 4 hari 3 malam cukup. Nanti gue bantu lo susun acaranya biar jadi maksimal,” ucap Johnny.
“Makasih, Bang. Oke, kalau gitu nanti jangan lupa tanya ke anak masing-masing,”
Ditengah obrolan mereka, sosok Elenio dan Revian pulang bersamaan. Raut keduanya tampak lelah setelah seharian beraktivitas. Mereka langsung menyalami teman papa mereka satu persatu.
“Noh, mumpung anaknya ada. Tanyain aja,” ucap Sena.
“Tanya soal apa, Om? Pa?” pandangan Revian menyapu keempatnya.
“Kita ada rencana ngajak kalian liburan ke Labuan Bajo, kalian bisa kan?” tanya Johnny.
“Liburan? Ayooo !!!” mata Revian tampak berbinar senang.
“Maaf, Pa. Aku mau, tapi bertepatan sama sertijab himpunan, mana aku kepala bidang. Nggak mungkin aku nggak dateng,” jelas Elenio.
“Oke deh, agenda kamu sepertinya lebih penting,”
“Yaaaah...masa Kak Nio nggak ikut?”
“Maaf deh, Rev,” Elenio menatap Revian tak enak.
“Kalian kayaknya udah capek, boleh ke kamar masing-masing kok,” Keenan memberi isyarat agar keduanya bisa beranjak dari tempat.
“Kayaknya semua bisa ikut selain Nio, gue hubungin sekretaris gue kalau gitu,” ujar Keenan lagi.
“Sekretaris lo siapa namanya? Lupa gue,” tanggap Sena.
“Devina? Iya inget gue. Kenapa, Sen? Ngincer lo?” tembak Satya langsung.
“Ngaco lo, kok disangka gue ngincer,” Sena menyodok pinggang Satya.
“Lo pernah bilang kan, Nan? Kalau Arusha nanya ke lo, apa lo nggak perlu istri buat gantiin Divya,” ujar Johnny.
“Ya, terus?” Keenan menaikkan alisnya.
“Halah lola dia mah, maksud bang Johnny tuh kan anak lo tanya begitu. Lo kagak mau pendekatan sama Devina? Kali cocok,” ucap Satya.
“Oh,” mulut Keenan membulat.
“Anjir lah, oh doang. Percuma gue usul,” Johnny menggelengkan kepalanya.
“Sama Keenan mah jangan kodean, Bang. Geplak aja langsung,” Sena tanpa ampun memukul kepala Keenan.
“Anjir, sakit Sen !!! Lo mah,” Keenan misuh-misuh.
“Beneran anjir, kelakuan lo pada lebih bocah dari anak masing-masing,” Johnny menggelengkan kepalanya.
“Udah ah, balik aja kita. Kasihan Nio sama Revian malah stress denger ocehan kita,” Satya menyuruh Keenan dan Sena untuk berdiri.
***
Satu minggu berlalu, akhirnya rombongan ayah dan anak akhirnya sampai di Bandara Komodo setelah 2 jam terbang, mereka sampai tepat pukul 1 siang. Cuaca cukup panas karena matahari tengah bersemangat memancarkan sinarnya, mereka sampai setengah berlari memasuki bandara dan tak lupa sunglasses yang bertengger di wajah mereka. Ketika menunggu koper keluar dari konveyor, netra Narthana menjelajahi isi bandara yang tidak terlalu ramai. Tiba-tiba ia melihat sesuatu, ada sosok perempuan yang amat dikenalinya—Elia. Gadis itu sepertinya juga baru mendarat, namun ia sudah mendapatkan kopernya. Disampingnya ada seorang laki-laki yang tengah mendorong troliyang berisi barang-barang dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya merangkul pundak Elia. Meski kini gadis itu memakai masker dan hoodie, namun Narthana masih bisa mengenalinya.“Kak? Lihat apa sih? Kok k
Suggestion Playlist :1. Kali Kedua (Raisa)2. Angel (NCT 127) Setelah liburan selama 4 hari, mereka kembali ke Jakarta. Di bandara, beberapa dari mereka ternyata sudah dijemput.“Dijemput ehem,” Satya berdeham kala melihat sosok Jilaine dari jauh. Perempuan itu datang dengan Elenio, sementara disampingnya terdapat sosok Jana & Adara yang ternyata datang untuk menjemput Jivan.“Berisik lo, Sat. Kalau lo ngomong aneh-aneh gue tampol,” Johnny memperingati.“Hai, semua,” Jilaine tersenyum manis sambil mengedarkan pandangannya.“Revian yang minta dijemput, ya? Padahal nggak usah, Jila,” ujar Johnny.“Nggak kok, John. Inisiatifku sendiri, lagian hari ini agendaku juga lagi kosong,”“Oh, gitu. Ya, udah kita pulang,” tangan Johnny memberi kode agar
“Jila..,” ujar Johnny kala teleponnya tersambung.“Ya? Kenapa, John?”“Kamu tahu dimana tempat bubur yang kata kamu waktu itu enak?”“Oh, iya. Kenapa, John? Kamu lagi sakit? Atau anak-anak?”“Mamaku lagi nggak begitu enak badan, terus tadi kirim pesan keaku. Katanya minta bubur yang pernah dibawain kamu,”“Gitu, ya. Lumayan jauh kalau dari kantormu, John. Aku kirim via ojek online aja ke Mamamu, ya? Kalau nunggu nanti kamu pulang, takutnya Mamamu keburu nggak mau,”“Bener? Nanti aku transfer uangnya, Jila,”“Nggak usah, kayak ke siapa aja. Nanti aku kirimin, kamu kabari aja Mamamu kalau makanannya sudah dikirim,”“Makasih ya, Jila,”“Sama-sama, John,” Meski 10 tahun berlalu, sosok Jilaine sepertinya tak tergantikan dalam keluarga Kivandra. Baik untuk Johnny, El
Project baru akan segera dimulai, itu tandanya kesibukan Keenan akan meningkat. Dia sibuk memantau konsep setiap divisi agar sesuai dengan kesepakatan awal, apalagi ini melibatkan kerjasama dengan salah satu perusahaan di Singapura. Semuanya harus tertata dan terstruktur, jika tidak nama Sagara yang akan dipertaruhkan. Kalau sudah begini, maka kertas-kertas file dan komputer yang selalu menyala akan jadi teman setia Keenan.“Pak..,” ketukan pintu membuyarkan konsentrasi Keenan.“Ya, masuk,” sahutnya. Ternyata sosok itu Devina—ditangannya terdapat paper bag yang berlabelkan resto ternama.“Kenapa?” netra Keenan sama sekali tidak berpaling dari file.“Ada kiriman makanan dari Arusha, Pak. Katanya dia mau Ayahnya makan tepat waktu,”“Kamu sudah makan?” tanya pria itu dengan nada tegas
“Ke rumah gue, pada mau nggak?” ajak Revian tiba-tiba saat bubar sekolah.“Dadakan nih?” tanya Naren.“Kayak tahu bulat. Gurih-gurih enyoy,” lanjut Dafandra.“Lo dibayar berapa anjir? Sampe nyanyi begitu,”“Gue nggak bisa, ada latihan nih,” ucap Naren.“Yah, lo mau nggak, Daf?” tanya Revian.“Nggak juga, gue disuruh nganter Mama,” jawab Dafandra.“Ajakin para bocah aja kalau gitu, Rev,” ucap Narthana.“Oke deh, ayo,” Revian melambaikan tangan kearah Dafandra & Revian lalu merangkul Narthana menuju kelas Jivan & Arusha. Suasana kelas 11 masih ramai, sepertinya belum ada tanda mereka untuk pulang dalam waktu dekat.“Hai, Kak,” datangnya Revian & Narthana bertepatan dengan Jiandra yang hendak keluar kelas.“Cieee,” Narthana menyodok pi
“Nih, makan dulu,” Arusha membawakan sepiring spaghetti kehadapan Jivan. Arusha cukup kaget saat mendapati Jivan tiba-tiba datang tanpa memberi tahu terlebih dahulu, apalagi teman baiknya itu membawa tas yang cukup gendut dan ternyata berisi baju dan laptopnya.“Gue nggak lapar,” ujar Jivan.“Makan dulu, heh. Nanti gue dimarahin ayah lo,” Arusha setengah memaksa.“Gue juga makan nih, lo juga harus,” Arusha memperlihatkan piringnya.“Iya, bawel,” Jivan menikmati makanannya.“Enak nggak?”“Om Keenan yang masak?”“Gue,”“Ah, jangan bohong lo,”“Dih, lo mah nggak percaya. Orang tinggal campurin minya sama bumbu,”“Iya sih,” Sepertinya Jivan benar-benar lapar, makanannya habis dalam sekejap.“Jadi ada masalah apa
Hubungan Revian & Jiandra semakin dekat, mereka sering menghabiskan waktu bersama. Entah berjalan-jalan di akhir minggu, belajar bersama dan Revian yang sering berkunjung ke rumah Jiandra.“Nih,” Jiandra mengangsurkan kotak bekal saat dijemput Revian.“Itu kotak bekal Kakak lho, jelas dari Ibu lah. Bingung aku, sekarang anak Ibu tuh aku atau Kakak,” Jiandra memajukan bibirnya.“Hahaha, makasih lho. Kebetulan nanti gue ada kelas olahraga, jadi nggak usah jajan,” Revian mengambil kotak makan tersebut dan lalu memakaikan helm pada Jiandra. Tak sampai setengah jam, mereka sudah sampai di sekolah. Suasana cukup ramai karena 15 menit lagi bel masuk akan berbunyi.“Jian, gue mau ngomong sama lo,” saat baru saja turun dari motor Revian, Jiandra sudah dikagetkan dengan Naren yang mencegatnya. Gadis itu malah menatap Revian, seolah meminta persetujuan. Revian
“Ma, anakmu yang ganteng pulang,” Revian berteriak riang kala masuk ke rumahnya.“Kak, tungguin sebentar,” Jiandra tampak kesusahan membuka sepatunya. Tadi sepulang sekolah, ia sengaja mengajak gadis itu ke rumahnya. Tentu saja dengan izin dari Ibu terlebih dahulu.“Udah diluar sekolah, Jian. Nggak usah pakai kakak segala,” Revian menaruh sepatu gadis itu di rak.“Maaf, kebiasaan,” “Ada siapa, Rev? teman-temanmu? Oh, yang baru ternyata,” Jilaine tersenyum ramah. Jujur, Jiandra terkesiap sesaat. Ini ternyata sosok Mama yang selalu diceritakan Revian—cantik sekali, tubuhnya tampak begitu proporsional untuk seorang Ibu dengan dua anak lelaki yang sudah beranjak dewasa.“Ternyata ini ya, yang naman
Sherianne baru menyelesaikan pemotretannya 15 menit yang lalu, ia masih terduduk di ruang ganti sambil menanti sang manajer menyelesaikan urusannya. Ia meraih ponselnya, tak ada kabar dari Satya ataupun Narthana. Sepertinya dua lelakinya itu cukup sibuk minggu ini. Hingga tiba-tiba ia merasakan seseorang hadir tepat di belakangnya dan mencium pipinya."Satya?" Sherianne mendongak kearah kaca yang memantulkan bayangannya dan Satya, lalu perempuan itu tersenyum manis."Kamu belum pulang?" Satya duduk disamping Sherianne."Belum, urusan manajerku belum selesai," tanggap perempuan tersebut. Satya meraih pouch yang biasanya berisi makeup yang dipakai oleh Sherianne."Micelar water kamu mana, deh? Kapas juga?""Buat apa? Kamu kan nggak pakai makeup, Sat," Sherianne mengerenyitkan alis."Bersihin makeupmu lah, Sher. Nggak bagus kalau wajahmu lama-lama pakaiheavy mak
"Nio !!!" suara khas Dhira terdengar di sepanjang lorong kampus, membuat siapapun yang ada disitu menoleh, termasuk sosok yang dipanggil oleh gadis tersebut--Elenio."Kamu kalau manggil pelan-pelan kenapa. Nggak malu diliatin anak-anak yang lain?" Elenio misuh-misuh. Dhira tertawa renyah."Nggak malu ah, lagian kamunya juga tetep noleh. Abis bimbingan?" tanya Dhira."Keliatannya gimana?" tanya Elenio balik."Galak amat deh, ya keliatannya tadi dari ruang dosen. Pasti abis bimbingan," tanggap Dhira."Udah tahu, kenapa masih nanya," Elenio melangkahkan kakinya, Dhira dengan susah payah menyamai langkah kaki Elenio yang panjang."Abis ini mau kemana?" Dhira sama sekali tak menyerah meski mendapatkan tanggapan tak enak dari Elenio."Mau makan sama Air & Rasen," sahut Elenio."Ikut dong," ujar Dhira."Di kantin belakang Teknik, Dhir. Kamu nggak apa-apa?" Dh
Kediaman Naratama suasananya selalu sama, rumah sebesar itu hanya ditinggali Jana, Deva dan putri mereka satu-satunya--Adara, ditambah beberapa maid dan satpam yang menjaga rumah. Jam baru menunjukkan pukul 21.30, namun suasana rumah sudah begitu sepi. Adara sudah terlelap di kamarnya, sementara Jana biasanya tengah menonton serial drama di ruangan yang memang khusus disediakan untuknya melepas penat. Sementara Deva berkutat dengan pekerjaannya.Ia memijat kepalanya yang terasa pening, sudah sejak dua jam lalu ia standbydi depan laptopnya."Istri saya dimana?" tanya Deva sekeluarnya ia dari ruang kerja."Nyonya masih di ruangannya, Tuan. Dari tadi belum keluar," ujarmaid. Deva mengangguk sekilas dan lalu menuju ruangan Jana yang terletak di lantai dua, ia membuka pintu berwarna putih tulang tersebut. Televisi yang menampilkan serial favorit istrinya tersebut ma
Jivan membuka buku Matematikanya, ia melirik ke sekelilingnya dan begitu kosong. Maklum ini jam istirahat dan semua memilih melepas penat entah untuk mengisi perut mereka yang kosong atau berolahraga ringan di lapangan. Biasanya ia akan menghabiskan waktu dengan Arusha, atau dengan Narthana dan Revian yang berada di kelas lain. Tapi kini semuanya berbeda, Narthana dan Revian kini sudah berstatus mahasiswa dan sibuk dengan perkuliahan, Arusha? Sejak masalahnya dengan sang Ayah, ia lebih memilih menjauh dari Jivan dan lingkungan lamanya. Terlebih saat Arusha mendapati bahwa Devina--lebih memilih dengan Papanya dibanding bertahan dengan situasi yang ada. Jivan melirik ponselnya, 15 menit lagi istirahat akan berakhir. Ia menutup bukunya dan melangkahkan kaki menuju kantin. Sesampainya disana, keadaan cukup ramai. Jivan memutuskan untuk membeli sekaleng soda dansnack."Gue duduk disini, boleh?
3 hari berlalu sejak Revian terakhir kali menghubungi Jiandra, ia sempat lupa karena kesibukannya di kampus. Tapi biasanya jika Revian tengah lupa menghubungi--maka Jiandralah yang akan menghubunginya terlebih dulu, entah viachatatauvideo call.Namun hingga kini, gadis itu sama sekali tak menghubunginya. Apakah jadwal sekolahnya sepadat itu?"Anak bujang Papa bengong aja, kenapa nih?" Johnny yang keluar dari kamarnya mendapati sang anak masih berjibaku dengan tugas, di meja ruang TV--Revian duduk bersila di lantai dengan laptop yang menyala--tak lupa ada segelas kopi disampingnya."Jangan ngopi mulu, nanti kamu makin susah tidurnya," peringat Johnny."Justru kalau aku nggak ngopi, yang ada aku ngantuk Pa," kilah Revian. Johnny menggelengkan kepalanya dan menuju dapur untuk mengambil segelas air. Ia mengenggam mug putihnya yang selalu ia pakai untuk meminum air putih dan duduk
Berita tentang runtuhnya bangunan Sagara menghiasi media beberapa hari belakangan ini, Keenan tak bisa sepenuhnya fokus pada pekerjaan karena ia masih harus mengurusi hal yang berkaitan dengan insiden tersebut. Mulai tuntutan hukum dari keluarga korban, kompensasi yang ia harus berikan hingga tekanan dari dewan perusahaan untuk segera menyelesaikan masalah ini. Mereka berkata bahwa masalah ini harus segera diselesaikan, karena semakin lama masalah ini berlarut maka akan berpengaruh terhadap kredibilitas Sagara sebagai salah satu perusahaantour & travel ternama di Indonesia."Ayah mau kemana?" diluar dugaan--Arusha sudah berdiri dihadapan ruang kerja Keenan."Kok kamu disini, Nak?" Keenan menunduk menatap tinggi Arusha yang kini sudah hampir mencapai pundaknya."Abis Ayah di ruang kerja terus. Ini hari Minggu, Yah. Nggak mauquality timesama aku gitu?" rajuk Arusha sambil
7 tahun yang lalu... Keenan baru saja mengantarkan Arusha ke sekolah, ini selalu menjadi rutinitasnya setiap pagi sebelum berangkat ke kantor--kecuali ia ada urusan mendesak di kantor barulah ia menyuruh supir untuk mengantar anaknya tersebut. Di perjalanan menuju kantor, ponselnya berdering.Sissy...calling."Ada apa, Sy?" tanya Keenan--Sissy merupakan sekretarisnya."Pak, saya baru dapat kabar kalau proyek cabang yang di Bogor mengalami kecelakaan, Pak. Konstruksi bangunan runtuh," ujar Sissy."Yang bener kamu, Sy?" tanya Keenan tak percaya."Iya, Pak. Bapak diminta untuk mendatangi lokasi,""Oke, saya kesana sekarang," Keenan memutus sambungan teleponnya, ia pacu mobilnya dengan kecepatan tinggi dan menuju tempat yang dituju.*** 2 jam kemudian, Keenan sudah sampai di lokasi. Sejak 2 tahun lalu ia memang berencana untuk membangun cabang
"Kayak ABG aja jalan-jalan kemallgini," ujar Jilaine saat ia dan Johnny memasuki lobby."Haha, sesekali. Mumpung kamu lagi disini juga, kalau udah pergi ke NY kan kamu susah pulangnya," Johnny mengamit tangan Jilaine."Iya juga sih, kalau sama kamu kan paling nggak jauh dari ngopi,hunting foto,sama jalan-jalan ke alam," mata Jilaine sibuk melihat toko-toko yang berjejer."Kalausummernanti kita liburan berempat gimana? Mau?" tawar Johnny. Jilaine tertawa."Kok ketawa sih?" Johnny mengerenyitkan alis."Kamu dari dulu juga suka serba dadakan kalau ajak pergi, nggak berubah,""Jadi nggak mau nih?" bibir Johnny mengerucut."Hahaha, mau. Tapi bicarain dulu sama anak-anak, apalagi Revian kan baru masuk kuliah,""Oke, nanti aku bicarain sama mereka," mereka masuk ke salah satu toko sepatu.*
"Kamu pindah sekolah aja, ya?" ujar Keenan saat mereka tengah sarapan bersama. Hari ini hari pertama Arusha sekolah setelah liburan kenaikan kelas kemarin, anak itu menaruh garpu dan pisau yang sedari tadi ia gunakan untuk menikmati rotinya."Yah, nanggung. Setahun lagi aku lulus," Arusha menatap Keenan lekat."Nanggung atau kamu nggak mau jauh dari gadis itu?" tanya Keenan. Arusha menghembuskan nafas panjang."Gadis itu punya nama, Yah. Rea,""Jadi kamu nggak mau pindah karena dia? Iya?" cecar Keenan."Yah, dia nggak seburuk itu," Arusha masih berusaha membela."Pengaruh dia baik setelah bikin kamu suka keluar malam dan balap liar?""Dia yang paling ngerti aku sekarang, Yah. Tolong jangan pojokin Rea terus," Keenan menaruh pisau dan garpunya, ia teguk sisa kopi di gelasnya dan beranjak dari kursinya."Kita berangkat sekarang, Ayah ante