Satu minggu berlalu, akhirnya rombongan ayah dan anak akhirnya sampai di Bandara Komodo setelah 2 jam terbang, mereka sampai tepat pukul 1 siang. Cuaca cukup panas karena matahari tengah bersemangat memancarkan sinarnya, mereka sampai setengah berlari memasuki bandara dan tak lupa sunglasses yang bertengger di wajah mereka.
Ketika menunggu koper keluar dari konveyor, netra Narthana menjelajahi isi bandara yang tidak terlalu ramai. Tiba-tiba ia melihat sesuatu, ada sosok perempuan yang amat dikenalinya—Elia. Gadis itu sepertinya juga baru mendarat, namun ia sudah mendapatkan kopernya.
Disampingnya ada seorang laki-laki yang tengah mendorong troli
yang berisi barang-barang dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya merangkul pundak Elia. Meski kini gadis itu memakai masker dan hoodie, namun Narthana masih bisa mengenalinya.“Kak? Lihat apa sih? Kok kayaknya kaget begitu,” Jivan mendekati Narthana yang terpaku di tempatnya.
“Nggak, yuk,” Narthana mengambil kopernya yang ternyata sudah ada di tangan Jivan.
30 menit berlalu, van yang mereka tumpangi sampai di hotel. Keenan mengurusi administrasi untuk check-in.
“Gue sekamar sama lo,” Keenan mengangsurkan card key-nya ke tangan Sena.
“Gue sama bang Johnny kalau gitu?” Satya mengulurkan tangannya dan lalu mengambilnya.
“Iya, Narthana sama Revian, ya. Terus Arusha sama Jivan,” Keenan membagi kunci ke anak-anaknya.
Mereka menuju kamar masing-masing, ternyata Satya & Johnny diberikan kamar paling spesial yang langsung berhadapan dengan pemandangan laut, sementara Keenan memilihkan kamar dirinya dan Sena dengan pemandangan bukit.
“Anjir, papa lo keren banget, Sha. Ini langsung lihat laut,” Jivan langsung heboh kala memasuki kamar, kakinya langsung melangkah ke balkon utama.
Angin sepoi-sepoi menyapa wajah mereka, Arusha mengabadikan beberapa momen.
“Foto-foto ayo,” Arusha tak menyia-nyiakan momen, ia mengambil beberapa foto bareng dengan Jivan.
“Eh iya, jangan lupa nanti makan malam jam 7,”
“Iya, mau gue duluan atau lo yang mandi?” tanya Arusha.
“Lo aja, gue masih mau menikmati. Hehe,” Jivan tersenyum kecil.
Sementara suasana di kamar Narthana &Revian begitu hening, tadinya Revian ingin menikmati suasana, namun ia menyadari kalau air muka Narthana begitu berbeda dari biasanya.
“Lo kenapa? Lagi ada masalah?” tanya Revian.
“Nggak apa-apa,”
“Jangan bohong sama gue,”
“Gue mau tidur aja, capek,” Narthana menghempaskan dirinya ke kasur dan lalu tak lama ia benar-benar tertidur.
***
Saat sore menjelang, anak-anak memutuskan untuk berenang di infinity pool. Mata mereka benar-benar dimanjakan dengan pemandangan, belum lagi sinar matahari sore yang terasa begitu hangat.
“Loh kok cuma bertiga? Narthana kemana?” Satya heran kala hanya melihat Revian, Arusha dan Jivan yang berada di kolam renang.
“Tadi udah aku ajakin, Om. Tapi dia nggak mau,” sahut Revian.
“Papa sama yang lain nggak ikut renang?” tanya Jivan.
“Nggak, Van. Kita mau ke sauna, kalian hati-hati. Jangan sampai ngebahayain,” peringat Sena.
“Siap, Om !!!” Revian sebagai yang tertua disitu merasa bertanggung jawab.
Keempat lelaki itu pun meninggalkan anak-anak mereka dan menuju area sauna. Mereka memasuki sebuah ruangan yang cukup besar.
“Narthana kenapa? Tumben dia nggak ikut sama yang lain, padahal pas sebelum berangkat dia antusias
juga,” ujar Johnny.“Nggak tahu gue, Bang. Kasihan gue jadinya sama Revian, dia kan sekamar terus lagi liburan gini dia mesti hadapi Narthana yang tiba-tiba moodnya jelek,”
“Santai anak gue mah, Sat,” Johnny menggelengkan kepalanya.
“Sekretaris lo nggak diajak?” tanya Sena.
“Lo nanyain Devina mulu deh, Sen. Kayaknya lo deh yang naksir dia,” tanggap Keenan.
“Ih, nanya doang gue,” Sena mengerucutkan bibirnya.
“Udah-udah. Jangan debat disini, diem aja mending,” Johnny menengahi.
“Gue mau cek Narthana dulu kalau gitu,” Satya yang sejak ucapan Revian tadi didengarnya merasa tak tenang, ia beranjak dari duduknya.
***
“Nat, Papa depan kamarmu. Buka pintunya,” Satya menghubungi Narthana kala sampai di depan pintu kamarnya.
Tak lama, pintu itu sudah terbuka. Narthana langsung berbalik kembali masuk sebelum Satya bisa melihat kondisinya. Anak itu kembali bergelung dibalik selimut, ia biarkan televisi menyala dengan volume minimum agar kamarnya tidak terlalu sepi.
“Kamu kenapa? Tadi kata Revian nggak mau ikut renang? Lagi ada masalah? Atau berantem sama salah satu dari mereka?” Satya duduk di tepian ranjang.
“Nggak kok, Pa. Aku oke,”
“Cerita dong sama Papa, biar kamu lebih lega. Terus Papa nggak enak juga sama yang lain, Om Keenan udah aturin loh,” Satya mengelus surai hitam milik Narthana.
Narthana bangun dari tidurnya dan setengah terduduk, ia menghembuskan nafas panjang.
“Tadi di bandara, aku lihat ada perempuan mirip Elia,”
“Elia yang kerja di Sadajiwa? Terus?”
“Iya, Pa. Aku kalau kesana suka ngobrol sama dia, asik orangnya. Meski aku lebih muda dari dia, tapi dia nggak anggap aku anak kecil. Tadi, aku lihat dia ternyata ambil flight sama kayak kita, dia kayaknya mau liburan juga,”
“Sama cowok?” tebak Satya.
“Iya, Pa. Mana cowoknya ngerangkul Elia,”
“Kamu suka Elia?” tembak Satya lagi.
Narthana diam.
“Boleh, kok. Hak kamu suka dia, jangan minder juga karena kamu lebih muda dari dia, perasaan nggak bergantung dari itu. Tapi kamu harus tahu posisi, ya? Kamu sama Elia belum terikat hubungan apa-apa, terserah Elia mau pergi atau liburan sama siapa. Kalau kamu suka, usahakan. Tapi, kalau dia nolak jangan memaksa. Oke?” Satya tersenyum tenang.
“Iya, Pa. Aku paham, maaf kalau mood jelekku
aku bikin yang lain nggak nyaman,”“Nggak apa-apa, sekarang kamu mandi ya. Atau kalau masih mau, susul berenang teman-temanmu yang lain, abis itu kita makan malam bareng. Oke?”
Narthana mengangguk. Sepeninggal Satya, ia mengecek ponselnya dan sama sekali belum ada balasan dari Elia. Akhirnya ia memutuskan untuk menyusul teman-temannya untuk berenang.
Sementara di Jakarta...
Setelah ditinggal liburan oleh papa dan adiknya, Elenio memutuskan untuk mengajak Alastair—salah satu sahabatnya untuk menginap di unit dan itu pun bertepatan dengan deadline project mereka yang harus diselesaikan minggu ini.
“Si Rasen nih, Lagi banyak tugas gini, malah ngabur liburan sama Elia,” Alastair misuh-misuh sambil menghadap laptopnya.
“Biarin aja, lagian dia udah setor bahannya ke gue. Tinggal diolah, dia udah lama nggak jalan sama Elia,”
“Heran gue mah, nggak pacaran tapi berasa kayak pacaran,” Alastair belum berhenti mengeluh.
“Lo tahu sendiri gimana ceritanya, Air. Udah daripada lo bacot mulu, kerjain aja. Gue mau masak buat lo,”
“Asiiikkk..dimasakin,” air muka Alastair seketika berubah.
“Gue tuan rumah yang baik, ada tamu tuh dijamu. Emang lo, gue ke rumah malah gue yang disuruh masak,”
“Wah, lo dendam sama gue ternyata,” Alastair melemparkan boneka berbentuk moomin yang ada di ruang keluarga.
“Punya Revian itu, nanti kalau kotor gue bilang gara-gara lo,” Elenio tertawa kecil dan lalu mengambil langkah seribu menuju dapur.
Ia, Alastair dan Rasendria memang sudah bersahabat lama, sejak mereka duduk di tingkat 1 perkuliahan. Mereka menghuni jurusan yang sama—Teknik Industri, meski karakter ketiganya berbeda tapi mereka saling melengkapi.
Elenio dinobatkan sebagai si kalem dan dewasa, yang bisa menghadapi masalah dengan kepala dingin. Nio—biasa ia disapa, adalah mesin advice paling realistis, jadi kalau sedang patah hati berat dan butuh dukungan untuk meredakan kesedihan, dia akan jadi tempat paling menyebalkan.
Sementara Alastair, si paling tampan diantara yang tampan. Wajahnya disebut begitu mirip Jaehyun—member boyrgroup NCT, namun ternyata dibalik semua kesempurnaannya Tuhan memberi satu hal baginya. Dia jayus, humor Alastair kadang sulit dipahami oleh Elenio dan Rasendria, mereka lebih sering tertawa karena mengomentari betapa kunonya
humor Alastair.Nah yang terakhir, dia Rasendria. Si cowok asli Surabaya yang tercampur dengan darah Chinese dari leluhurnya, itu kenapa teman-temannya menjulukinya koko-koko chindo, ia paling pintar diantara 3 sekawan ini. Ia aktif di BEM sebagai divisi humas, kemampuan bicaranya adalah yang terbaik sehingga pernah mewakili kampus di juara Debat Nasional.
Kalau kekurangan Alastair adalah candaannya yang kelewat jadul, maka Rasendria adalah Elia—gadis yang berasal dari jurusan Sastra Inggris, yang sudah dicintainya sejak SMA. Namun, Rasendria tak pernah benar-benar memiliki Elia, gadis itu takut akan komitmen karena trauma masa lalunya.
Entah sudah berapa perempuan ditolak Rasendria karena adanya Elia, padahal Alastair dan Elenio sering memberitahu kalau sebaiknya Rasen mencari yang lebih pasti. Tapi, Rasen tetap pada pendiriannya.
Oh, kalau soal percintaan Elenio, dia jarang berpacaran. Sepertinya bisa dihitung jari, pacaran terakhirnya usai 1,5 tahun lalu. Nio menjalin hubungan dengan Dhira, rekannya di BEM yang menghuni jurusan Hukum. Mereka putus karena Nio tak tahan dengan sifat pencemburu yang dimiliki Dhira.
Dan kembali ke malam ini, Elenio membuatkan Alastair seporsi mac 'n cheese
juga kentang goreng yang melimpah, tak lupa ia membawakan soda.“Nah, makan nih sepuasnya. Tapi tugas kita mesti selesai 40% malam ini,” ujar Elenio.
“Begini dong, kan aman. Ayooo !!!” Alastair tertawa.
“Tapi awas, kejunya jangan kena laptop gue,” peringat Elenio.
“Oke, siap bos,” Alastair berlagak hormat.
***
Visual notes :
1. Alastair Pramesta (NCT Jaehyun)
2. Rasendria Dinendra (NCT Winwin)
Suggestion Playlist :1. Kali Kedua (Raisa)2. Angel (NCT 127) Setelah liburan selama 4 hari, mereka kembali ke Jakarta. Di bandara, beberapa dari mereka ternyata sudah dijemput.“Dijemput ehem,” Satya berdeham kala melihat sosok Jilaine dari jauh. Perempuan itu datang dengan Elenio, sementara disampingnya terdapat sosok Jana & Adara yang ternyata datang untuk menjemput Jivan.“Berisik lo, Sat. Kalau lo ngomong aneh-aneh gue tampol,” Johnny memperingati.“Hai, semua,” Jilaine tersenyum manis sambil mengedarkan pandangannya.“Revian yang minta dijemput, ya? Padahal nggak usah, Jila,” ujar Johnny.“Nggak kok, John. Inisiatifku sendiri, lagian hari ini agendaku juga lagi kosong,”“Oh, gitu. Ya, udah kita pulang,” tangan Johnny memberi kode agar
“Jila..,” ujar Johnny kala teleponnya tersambung.“Ya? Kenapa, John?”“Kamu tahu dimana tempat bubur yang kata kamu waktu itu enak?”“Oh, iya. Kenapa, John? Kamu lagi sakit? Atau anak-anak?”“Mamaku lagi nggak begitu enak badan, terus tadi kirim pesan keaku. Katanya minta bubur yang pernah dibawain kamu,”“Gitu, ya. Lumayan jauh kalau dari kantormu, John. Aku kirim via ojek online aja ke Mamamu, ya? Kalau nunggu nanti kamu pulang, takutnya Mamamu keburu nggak mau,”“Bener? Nanti aku transfer uangnya, Jila,”“Nggak usah, kayak ke siapa aja. Nanti aku kirimin, kamu kabari aja Mamamu kalau makanannya sudah dikirim,”“Makasih ya, Jila,”“Sama-sama, John,” Meski 10 tahun berlalu, sosok Jilaine sepertinya tak tergantikan dalam keluarga Kivandra. Baik untuk Johnny, El
Project baru akan segera dimulai, itu tandanya kesibukan Keenan akan meningkat. Dia sibuk memantau konsep setiap divisi agar sesuai dengan kesepakatan awal, apalagi ini melibatkan kerjasama dengan salah satu perusahaan di Singapura. Semuanya harus tertata dan terstruktur, jika tidak nama Sagara yang akan dipertaruhkan. Kalau sudah begini, maka kertas-kertas file dan komputer yang selalu menyala akan jadi teman setia Keenan.“Pak..,” ketukan pintu membuyarkan konsentrasi Keenan.“Ya, masuk,” sahutnya. Ternyata sosok itu Devina—ditangannya terdapat paper bag yang berlabelkan resto ternama.“Kenapa?” netra Keenan sama sekali tidak berpaling dari file.“Ada kiriman makanan dari Arusha, Pak. Katanya dia mau Ayahnya makan tepat waktu,”“Kamu sudah makan?” tanya pria itu dengan nada tegas
“Ke rumah gue, pada mau nggak?” ajak Revian tiba-tiba saat bubar sekolah.“Dadakan nih?” tanya Naren.“Kayak tahu bulat. Gurih-gurih enyoy,” lanjut Dafandra.“Lo dibayar berapa anjir? Sampe nyanyi begitu,”“Gue nggak bisa, ada latihan nih,” ucap Naren.“Yah, lo mau nggak, Daf?” tanya Revian.“Nggak juga, gue disuruh nganter Mama,” jawab Dafandra.“Ajakin para bocah aja kalau gitu, Rev,” ucap Narthana.“Oke deh, ayo,” Revian melambaikan tangan kearah Dafandra & Revian lalu merangkul Narthana menuju kelas Jivan & Arusha. Suasana kelas 11 masih ramai, sepertinya belum ada tanda mereka untuk pulang dalam waktu dekat.“Hai, Kak,” datangnya Revian & Narthana bertepatan dengan Jiandra yang hendak keluar kelas.“Cieee,” Narthana menyodok pi
“Nih, makan dulu,” Arusha membawakan sepiring spaghetti kehadapan Jivan. Arusha cukup kaget saat mendapati Jivan tiba-tiba datang tanpa memberi tahu terlebih dahulu, apalagi teman baiknya itu membawa tas yang cukup gendut dan ternyata berisi baju dan laptopnya.“Gue nggak lapar,” ujar Jivan.“Makan dulu, heh. Nanti gue dimarahin ayah lo,” Arusha setengah memaksa.“Gue juga makan nih, lo juga harus,” Arusha memperlihatkan piringnya.“Iya, bawel,” Jivan menikmati makanannya.“Enak nggak?”“Om Keenan yang masak?”“Gue,”“Ah, jangan bohong lo,”“Dih, lo mah nggak percaya. Orang tinggal campurin minya sama bumbu,”“Iya sih,” Sepertinya Jivan benar-benar lapar, makanannya habis dalam sekejap.“Jadi ada masalah apa
Hubungan Revian & Jiandra semakin dekat, mereka sering menghabiskan waktu bersama. Entah berjalan-jalan di akhir minggu, belajar bersama dan Revian yang sering berkunjung ke rumah Jiandra.“Nih,” Jiandra mengangsurkan kotak bekal saat dijemput Revian.“Itu kotak bekal Kakak lho, jelas dari Ibu lah. Bingung aku, sekarang anak Ibu tuh aku atau Kakak,” Jiandra memajukan bibirnya.“Hahaha, makasih lho. Kebetulan nanti gue ada kelas olahraga, jadi nggak usah jajan,” Revian mengambil kotak makan tersebut dan lalu memakaikan helm pada Jiandra. Tak sampai setengah jam, mereka sudah sampai di sekolah. Suasana cukup ramai karena 15 menit lagi bel masuk akan berbunyi.“Jian, gue mau ngomong sama lo,” saat baru saja turun dari motor Revian, Jiandra sudah dikagetkan dengan Naren yang mencegatnya. Gadis itu malah menatap Revian, seolah meminta persetujuan. Revian
“Ma, anakmu yang ganteng pulang,” Revian berteriak riang kala masuk ke rumahnya.“Kak, tungguin sebentar,” Jiandra tampak kesusahan membuka sepatunya. Tadi sepulang sekolah, ia sengaja mengajak gadis itu ke rumahnya. Tentu saja dengan izin dari Ibu terlebih dahulu.“Udah diluar sekolah, Jian. Nggak usah pakai kakak segala,” Revian menaruh sepatu gadis itu di rak.“Maaf, kebiasaan,” “Ada siapa, Rev? teman-temanmu? Oh, yang baru ternyata,” Jilaine tersenyum ramah. Jujur, Jiandra terkesiap sesaat. Ini ternyata sosok Mama yang selalu diceritakan Revian—cantik sekali, tubuhnya tampak begitu proporsional untuk seorang Ibu dengan dua anak lelaki yang sudah beranjak dewasa.“Ternyata ini ya, yang naman
“Lo disini ya, ada Mama gue juga. Lo mau tidur sama gue?” ujar Narthana. Tadi sesuai perintah Papanya, ia mengajak Arusha ke rumahnya. Sementara Revian dan Jivan menuju rumah mereka masing-masing diantar Johnny.“Iya, gue tidur sama lo,” Arusha memijit kepalanya yang terasa pening. Sherianne membawakan bubur labu dan teh hangat untuk keduanya.“Makasih, Tante. Maaf repotin,” ujar Arusha.“Nggak apa-apa, kamu tenang ya. Ada tante sama Narthana disini,” Sehabis makan, Arusha beranjak mandi. Ia berusaha menenangkan dirinya yang kalut dengan segala pikiran yang ada.“Besok lo nggak usah sekolah dulu, nanti gue urus izinnya,” Narthana menyiapkan bantal dan guling tambahan disampingnya.“Nat..,”“Ya?”“Kenapa semua kejadian ini nimpa gue?” tatapan Arusha menerawang.“Mung
Sherianne baru menyelesaikan pemotretannya 15 menit yang lalu, ia masih terduduk di ruang ganti sambil menanti sang manajer menyelesaikan urusannya. Ia meraih ponselnya, tak ada kabar dari Satya ataupun Narthana. Sepertinya dua lelakinya itu cukup sibuk minggu ini. Hingga tiba-tiba ia merasakan seseorang hadir tepat di belakangnya dan mencium pipinya."Satya?" Sherianne mendongak kearah kaca yang memantulkan bayangannya dan Satya, lalu perempuan itu tersenyum manis."Kamu belum pulang?" Satya duduk disamping Sherianne."Belum, urusan manajerku belum selesai," tanggap perempuan tersebut. Satya meraih pouch yang biasanya berisi makeup yang dipakai oleh Sherianne."Micelar water kamu mana, deh? Kapas juga?""Buat apa? Kamu kan nggak pakai makeup, Sat," Sherianne mengerenyitkan alis."Bersihin makeupmu lah, Sher. Nggak bagus kalau wajahmu lama-lama pakaiheavy mak
"Nio !!!" suara khas Dhira terdengar di sepanjang lorong kampus, membuat siapapun yang ada disitu menoleh, termasuk sosok yang dipanggil oleh gadis tersebut--Elenio."Kamu kalau manggil pelan-pelan kenapa. Nggak malu diliatin anak-anak yang lain?" Elenio misuh-misuh. Dhira tertawa renyah."Nggak malu ah, lagian kamunya juga tetep noleh. Abis bimbingan?" tanya Dhira."Keliatannya gimana?" tanya Elenio balik."Galak amat deh, ya keliatannya tadi dari ruang dosen. Pasti abis bimbingan," tanggap Dhira."Udah tahu, kenapa masih nanya," Elenio melangkahkan kakinya, Dhira dengan susah payah menyamai langkah kaki Elenio yang panjang."Abis ini mau kemana?" Dhira sama sekali tak menyerah meski mendapatkan tanggapan tak enak dari Elenio."Mau makan sama Air & Rasen," sahut Elenio."Ikut dong," ujar Dhira."Di kantin belakang Teknik, Dhir. Kamu nggak apa-apa?" Dh
Kediaman Naratama suasananya selalu sama, rumah sebesar itu hanya ditinggali Jana, Deva dan putri mereka satu-satunya--Adara, ditambah beberapa maid dan satpam yang menjaga rumah. Jam baru menunjukkan pukul 21.30, namun suasana rumah sudah begitu sepi. Adara sudah terlelap di kamarnya, sementara Jana biasanya tengah menonton serial drama di ruangan yang memang khusus disediakan untuknya melepas penat. Sementara Deva berkutat dengan pekerjaannya.Ia memijat kepalanya yang terasa pening, sudah sejak dua jam lalu ia standbydi depan laptopnya."Istri saya dimana?" tanya Deva sekeluarnya ia dari ruang kerja."Nyonya masih di ruangannya, Tuan. Dari tadi belum keluar," ujarmaid. Deva mengangguk sekilas dan lalu menuju ruangan Jana yang terletak di lantai dua, ia membuka pintu berwarna putih tulang tersebut. Televisi yang menampilkan serial favorit istrinya tersebut ma
Jivan membuka buku Matematikanya, ia melirik ke sekelilingnya dan begitu kosong. Maklum ini jam istirahat dan semua memilih melepas penat entah untuk mengisi perut mereka yang kosong atau berolahraga ringan di lapangan. Biasanya ia akan menghabiskan waktu dengan Arusha, atau dengan Narthana dan Revian yang berada di kelas lain. Tapi kini semuanya berbeda, Narthana dan Revian kini sudah berstatus mahasiswa dan sibuk dengan perkuliahan, Arusha? Sejak masalahnya dengan sang Ayah, ia lebih memilih menjauh dari Jivan dan lingkungan lamanya. Terlebih saat Arusha mendapati bahwa Devina--lebih memilih dengan Papanya dibanding bertahan dengan situasi yang ada. Jivan melirik ponselnya, 15 menit lagi istirahat akan berakhir. Ia menutup bukunya dan melangkahkan kaki menuju kantin. Sesampainya disana, keadaan cukup ramai. Jivan memutuskan untuk membeli sekaleng soda dansnack."Gue duduk disini, boleh?
3 hari berlalu sejak Revian terakhir kali menghubungi Jiandra, ia sempat lupa karena kesibukannya di kampus. Tapi biasanya jika Revian tengah lupa menghubungi--maka Jiandralah yang akan menghubunginya terlebih dulu, entah viachatatauvideo call.Namun hingga kini, gadis itu sama sekali tak menghubunginya. Apakah jadwal sekolahnya sepadat itu?"Anak bujang Papa bengong aja, kenapa nih?" Johnny yang keluar dari kamarnya mendapati sang anak masih berjibaku dengan tugas, di meja ruang TV--Revian duduk bersila di lantai dengan laptop yang menyala--tak lupa ada segelas kopi disampingnya."Jangan ngopi mulu, nanti kamu makin susah tidurnya," peringat Johnny."Justru kalau aku nggak ngopi, yang ada aku ngantuk Pa," kilah Revian. Johnny menggelengkan kepalanya dan menuju dapur untuk mengambil segelas air. Ia mengenggam mug putihnya yang selalu ia pakai untuk meminum air putih dan duduk
Berita tentang runtuhnya bangunan Sagara menghiasi media beberapa hari belakangan ini, Keenan tak bisa sepenuhnya fokus pada pekerjaan karena ia masih harus mengurusi hal yang berkaitan dengan insiden tersebut. Mulai tuntutan hukum dari keluarga korban, kompensasi yang ia harus berikan hingga tekanan dari dewan perusahaan untuk segera menyelesaikan masalah ini. Mereka berkata bahwa masalah ini harus segera diselesaikan, karena semakin lama masalah ini berlarut maka akan berpengaruh terhadap kredibilitas Sagara sebagai salah satu perusahaantour & travel ternama di Indonesia."Ayah mau kemana?" diluar dugaan--Arusha sudah berdiri dihadapan ruang kerja Keenan."Kok kamu disini, Nak?" Keenan menunduk menatap tinggi Arusha yang kini sudah hampir mencapai pundaknya."Abis Ayah di ruang kerja terus. Ini hari Minggu, Yah. Nggak mauquality timesama aku gitu?" rajuk Arusha sambil
7 tahun yang lalu... Keenan baru saja mengantarkan Arusha ke sekolah, ini selalu menjadi rutinitasnya setiap pagi sebelum berangkat ke kantor--kecuali ia ada urusan mendesak di kantor barulah ia menyuruh supir untuk mengantar anaknya tersebut. Di perjalanan menuju kantor, ponselnya berdering.Sissy...calling."Ada apa, Sy?" tanya Keenan--Sissy merupakan sekretarisnya."Pak, saya baru dapat kabar kalau proyek cabang yang di Bogor mengalami kecelakaan, Pak. Konstruksi bangunan runtuh," ujar Sissy."Yang bener kamu, Sy?" tanya Keenan tak percaya."Iya, Pak. Bapak diminta untuk mendatangi lokasi,""Oke, saya kesana sekarang," Keenan memutus sambungan teleponnya, ia pacu mobilnya dengan kecepatan tinggi dan menuju tempat yang dituju.*** 2 jam kemudian, Keenan sudah sampai di lokasi. Sejak 2 tahun lalu ia memang berencana untuk membangun cabang
"Kayak ABG aja jalan-jalan kemallgini," ujar Jilaine saat ia dan Johnny memasuki lobby."Haha, sesekali. Mumpung kamu lagi disini juga, kalau udah pergi ke NY kan kamu susah pulangnya," Johnny mengamit tangan Jilaine."Iya juga sih, kalau sama kamu kan paling nggak jauh dari ngopi,hunting foto,sama jalan-jalan ke alam," mata Jilaine sibuk melihat toko-toko yang berjejer."Kalausummernanti kita liburan berempat gimana? Mau?" tawar Johnny. Jilaine tertawa."Kok ketawa sih?" Johnny mengerenyitkan alis."Kamu dari dulu juga suka serba dadakan kalau ajak pergi, nggak berubah,""Jadi nggak mau nih?" bibir Johnny mengerucut."Hahaha, mau. Tapi bicarain dulu sama anak-anak, apalagi Revian kan baru masuk kuliah,""Oke, nanti aku bicarain sama mereka," mereka masuk ke salah satu toko sepatu.*
"Kamu pindah sekolah aja, ya?" ujar Keenan saat mereka tengah sarapan bersama. Hari ini hari pertama Arusha sekolah setelah liburan kenaikan kelas kemarin, anak itu menaruh garpu dan pisau yang sedari tadi ia gunakan untuk menikmati rotinya."Yah, nanggung. Setahun lagi aku lulus," Arusha menatap Keenan lekat."Nanggung atau kamu nggak mau jauh dari gadis itu?" tanya Keenan. Arusha menghembuskan nafas panjang."Gadis itu punya nama, Yah. Rea,""Jadi kamu nggak mau pindah karena dia? Iya?" cecar Keenan."Yah, dia nggak seburuk itu," Arusha masih berusaha membela."Pengaruh dia baik setelah bikin kamu suka keluar malam dan balap liar?""Dia yang paling ngerti aku sekarang, Yah. Tolong jangan pojokin Rea terus," Keenan menaruh pisau dan garpunya, ia teguk sisa kopi di gelasnya dan beranjak dari kursinya."Kita berangkat sekarang, Ayah ante