Asher bukan menggila, Lau, tapi ....
Kapal pesiar mewah kecil itu memiliki pintu di setiap kamar yang tertuju di geladak kapal. Setiap lantai di luar kamar diberi penyekat sehingga tak dapat digunakan untuk lewat. Asher membuka pintu, kemudian duduk tanpa melepaskan Laura. Napas pria itu terengah-engah dan berhenti sejenak ketika Laura meronta ingin kembali ke kamar. “Sayang! Apa kau gila!?” pekik Laura. “Gila ... katamu?” geram Asher. Asher berdiri mengangkat badan Laura tanpa melepaskan penyatuan. Dia mengimpit Laura di pagar pembatas kapal. Suara pekikan Laura tak begitu terdengar oleh deru ombak yang menghantam kapal. Laura mempererat pelukan karena takut jatuh. Tubuhnya sampai menegang saat melihat ke bawah laut. Asher memejamkan mata dengan rahang mengetat oleh cengkeraman Laura di bawah sana. Tuan Naga tercekik dengan kencang dan membuat sang pemilik menggeram gemas. “Sayang ... nanti kita jatuh ....” Tak ada yang terjatuh. Hanya Asher yang jatuh ke lembah hasrat yang kian meledak-ledak. Asher Smith suka s
“Abaikan saja,” kata Jake mengalihkan perhatian semua orang. Yang membawa mobil mewah berwarna merah keluaran terbaru itu hanya Asher Smith seorang. Rachel memperhatikan Alan yang melihat mobil itu cukup lama. Apa yang terjadi? Kenapa Alan jadi terlihat sendu? Meskipun tak ada yang menyadari sedikit perubahan di raut wajah Alan, Rachel yang sedari tadi mengamatinya pun dapat menangkap gerakan kecil di wajahnya. Dia mendekati Alan karena sangat penasaran. Apakah Alan membenci Asher? Atau justru memiliki perasaan khusus kepada Laura? Rachel tak dapat menahan diri untuk bertanya, “Kak Alan, kau kenal dekat dengan Kak Laura?” “Laura sahabat adikku. Tentu saja aku mengenalnya dengan baik.” Alan tersenyum kepada Rachel seperti seorang kakak kepada adiknya. Ah ... Emma dulu juga pernah menggemaskan seperti Rachel. Sekarang, adiknya sudah dewasa dan selalu melakukan perbuatan orang dewasa tanpa mengenal tempat di rumahnya. Alan kehilangan sosok adik kecilnya yang diam-diam sangat dia sa
Alan memaki dalam hati. Kenapa dia harus bertemu dengan mantan tunangannya di tempat yang akan digunakan untuk menenangkan pikiran? Hillary justru semakin lahap mencium pria itu. Alan mengabaikannya dan masuk ke dalam kamar. “Siapa pria itu? Bukankah dia sedang dekat dengan Mark?” Terakhir bertemu Hillary, wanita itu jelas-jelas menggandeng mesra Mark. Sekarang, Hillary berkencan dengan pria lain lagi. “Untuk apa aku memikirkannya?” gerutu Alan sambil menghempaskan badan ke atas kasur. Tak berselang lama, Paulo dan Gerry datang membawa makanan ringan dan beberapa kaleng bir. Alan langsung keluar dari kamar supaya mereka tak perlu melihat adegan senonoh di sebelah, apalagi pelakunya adalah mantan tunangannya sendiri. “Kau kenal dengan orang-orang di sini?” tanya Alan kepada Paulo.” “Tidak. Aku hanya membeli tempat ini waktu harganya masih murah untuk disewakan. Suatu saat nanti, aku akan tinggal di sini bersama istriku, yang mungkin sedang berkencan dengan pria lain sekarang.” Pa
“Kak Alan, kenapa duduk sendiri di sini?” Rachel membawakan makanan ringan untuk Alan. Dave saat ini sedang mengantar Fionna ke kamar kecil. Rachel jadi punya kesempatan mencari tahu tentang kepribadian Alan. Rachel tak ingin membuat Dave berpikir bahwa dirinya sejenis gadis lain yang suka menggoda pria. Untuk saat ini, Rachel hanya penasaran kepada pria yang lebih bersinar dari emas di sampingnya. Biarpun tertarik kepada Alan, Rachel perlu menyelidiki sifat dan perilakunya. Lagi pula, Rachel hanya menyukai Alan dan belum mau berpacaran. Perjalanannya masih panjang untuk mengenal cinta. Dia ingin memilih-milih pria yang tepat menyanding dirinya kelak dan tak mau terburu-buru memutuskan bahwa ketertarikannya merupakan cinta. ‘Suka dan cinta itu berbeda,’ batin Rachel membenarkan diri sendiri. “Beginilah aku. Seperti lubang hitam di antara jutaan bintang-bintang di angkasa.” Alan terkesiap ketika menyadari dirinya tak sengaja mengungkap isi di hati. “Maksudku, aku memang suka duduk
[Selamat bekerja, Kak. Semoga harimu menyenangkan.] Alan tersenyum melihat pesan singkat dari Rachel. Dia bahkan baru saja bangun dan belum siap-siap bekerja. Teringat dengan dugaan tentang Rachel yang mungkin menyukai dirinya, senyuman itu memudar. Alan dilema .... Dia ingin membalas pesan Rachel karena tak suka mengabaikan orang-orang di sekitarnya. Namun, jika dia terus bertukar pesan dengan Rachel, bagaimana jika tebakannya benar? Alan tak mau memberi harapan palsu kepada gadis itu. “Yang benar saja, Alan Ruiz. Dia masih sekolah.” Namun, bukankah sebentar lagi Rachel lulus sekolah? Alan menampar pipinya sendiri. Malu oleh pemikiran sempit ketika membayangkan dirinya akan berhubungan dengan gadis yang terlalu muda darinya. Tetapi, bukankah semalam dia mengatakan kepada Dave, bahwa usia yang terpaut jauh tak akan berpengaruh apa pun dalam hubungan asmara? Seperti Jake dan Carla, maupun Asher dan Laura .... “Argh!” Alan berguling seraya menggosok wajahnya dengan bantal. Dia me
Telapak tangan Hillary terasa perih setelah menampar pipi Alan. Dia segera menyesal karena bertindak terlewat batas. Di depan Hillary, Alan mengepalkan tangan dengan wajah memerah. Seumur hidupnya, baru sekali ini dia ditampar orang. Bahkan, Ben dan Pamela pun tak pernah main tangan saat dirinya melakukan kesalahan. Dan sekarang, dia tak merasa berbuat apa pun yang merugikan Hillary, tetapi wanita itu berani menamparnya. Jika di hadapannya saat ini bukanlah seorang wanita, Alan pasti akan membalas tamparan itu. Segila apa pun dirinya, tak mungkin dia melukai wanita. Itulah yang diajarkan kedua orang tuanya. Meski sebelumnya dia hanya tak suka dengan kepribadian Hillary, Alan jadi benar-benar membencinya. “Kau ... pergi dari sini sekarang,” geram Alan dengan merendahkan suara. Hillary terkesiap melihat cara Alan menatap dirinya. Selama bertunangan dengan Alan, pria itu selalu tersenyum meskipun tak menyukai sesuatu. Kalaupun marah, Alan tak akan menunjukkan ekspresi dingin seperti
‘Aku berdebar-debar karena gadis kecil ini? Yang benar saja, Alan Ruiz!’ Alan ingin menampar diri sendiri supaya tersadar, tetapi tak mungkin dia lakukan di depan Rachel. “Kak Alan? Tidak jadi memesan makanan?” Rachel mengguncang tangan Alan yang bertengger di meja. ‘Sial! Kenapa halus sekali tangannya? Ya ampun, dia masih seperti bayi, Alan! Tentu saja tangannya halus!’ “Kak Alan!?” Alan tersentak dan segera menarik tangannya. Dia merasakan tanda-tanda bahaya jika terus bersentuhan dengan Rachel. “A-ah, iya ... sebentar Kakak pilihkan.” Rachel mengikik geli melihat Alan gemetaran memegang daftar menu hingga terbalik. “Kak Alan suka teka-teki?” “Maksudnya?” “Itu ... yang sedang Kakak pegang terbalik.” Rachel ingin tertawa terbahak-bahak, tetapi dia menahan diri agar tetap terlihat tenang. Alan gegas membalik daftar menu dengan gerakan gugup. ‘Memalukan sekali .... Argh!!!’ “Aku lihat, wajah Kak Alan tadi terlihat kusut sekali waktu jalan dengan temanmu. Kakak sedang ada masal
“Sayang ... angkat dulu ... teleponnya ...,” suruh Laura dengan napas tersengal-sengal. Suara nyaring di ponsel Asher terdengar hampir tiga puluh menit lamanya. Asher tak berniat menjawab selagi dirinya masih berolahraga panas dengan Laura di atas ranjang. Hingga suara panggilan mati dengan sendirinya. Asher melumat bibir Laura agar dirinya kembali fokus saat ponselnya kembali berdering. Dia menggeram marah dan mempercepat pergerakan badan hingga membuat Laura memekik tertahan oleh bibirnya. “Sial,” umpat Asher selagi menikmati puncak kepuasan. Dia gegas menyambar ponsel di nakas dengan posisi badan yang masih sama, tanpa melepaskan Laura yang meronta-ronta di bawah kuasanya. “Minggir dulu!” Laura mendorong dada Asher meskipun sia-sia belaka. Asher mengabaikan Laura, tetapi tetap menatapnya. Dia mengangkat telepon Hillary dengan dada kembang-kempis. “Kau tidak tahu jam berapa sekarang!?” bentak Asher. Waktu masih menunjukkan pukul sembilan lebih tiga puluh menit. Belum terlalu