Bab 20: Seseorang Menghilang
Gadis bernama Hilda yang duduk manis di depan Adrian begitu sibuk memainkan gawai yang berbalut case merah muda kesayangannya. Sesekali gadis itu terkekeh, lalu melanjutkan meng-scroll layar gawainya, memantau satu per satu perubahan yang terjadi di dunia ini melalui layar gawainya.
Adrian yang sedari tadi menikmati sepiring nasi goreng yang masih hangat itu hanya bisa menggelengkan kepala. Keberadaan Hilda seorang tidak bisa mengisi kekosongan yang disebabkan oleh ketidakhadiran Xavier.
Makan siang di restoran seberang kantor, meski memilih menu spesial sekalipun, tetap saja terasa hambar jika tanpa Xavier.
Berbeda dengan Hilda, Xavier hampir tidak pernah memainkan gawai seperti yang dia dan Hilda lakukan. Apalagi menjadi budak dari benda pipih persegi panjang yang semakin hari semakin mahal saja harganya. Itulah yang menyebabkan pemuda itu tidak bisa memainkan game seperti Adrian. Bahkan tidak mengerti atura
Bab 21: Seseorang yang BerubahSudah masuk hari ketujuh, seminggu berlalu dengan begitu cepat, namun Xavier masih saja absen dari tugas magang. Tidak hanya absen, pemuda itu seperti lenyap ditelan bumi, tidak ada jejak sama sekali yang menyiratkan jika pemuda bermanik mata hazel itu masih bernafas.Jangan tanyakan bagaimana risaunya Adrian, pemuda itu kalang kabut mencari jejak Xavier hingga menanyai satu per satu teman di kampus, dan sayangnya Xavier tidak pernah terlihat di sana. Fokus kerjanya ikut rusak, meski sebenarnya Adrian tidak pernah fokus dalam mengerjakan tugasnya sebagai anak magang.Tidak hanya fokusnya yang berantakan, Adrian mulai berhalusinasi, sesekali mendengar Xavier menyapa dirinya seperti biasa. Hal yang membuat Hilda mulai gelisah dan sedikit ketakutan.Pemuda yang terlahir dari rahim wanita bernama Queen itu merebahkan kepala di meja, enggan mengangkat wajah, menggerakkan mouse yang terduduk di meja kerja, apalagi
Bab 22: Malam Panjang Bersama XavierKegusaran yang semakin menjadi membuat Naila berubah bak seonggok patung di singgasananya yang bisa berputar. Dirinya sendiri belum bisa sepenuhnya menyadari bentuk perubahan yang diucapkan Gabriel tadi, sehingga membuatnya berusaha menemukan penyebab dari alasan perubahan yang terjadi.Lama Naila terdiam dengan segala macam pikiran yang memenuhi kepalanya. Berbagai pertimbangan mulai bermunculan, yang sukses membuatnya sibuk menerka-nerka sendirian.Bagaimana mungkin pertemuan dengan Xavier telah membawa begitu banyak dampak dalam hidupnya? Dia Naila, gadis yang menghabiskan hari dengan menerima umpatan orang-orang terhadapnya itu tidak akan mungkin berubah dengan begitu cepat.Merasa putus asa, gadis itu menekan keningnya yang berdenyut dengan ibu jari dan telunjuknya, memijat pelan sembari mengingat-ngingat, setiap moment yang sudah dia lalui dengan pemuda itu. Naila juga ingat, jika tidak ada satu
Bab 23: Rencana NailaNaila memicingkan mata ke arah dua pemuda dan pemudi yang lebih lemas dari pada kue beras. Keduanya bak manusia tanpa tulang. Duduk bersandar di kursi saja seakan tidak bertenaga, apalagi diminta untuk berdiri. Alhasil, mereka berdua hanya rebahan di atas meja, tanpa melakukan apa-apa.“Tsk! Dasar anak-anak malas. Selama ini mereka bergantung sama Xavier. Jadinya begini kalau yang digantungi hilang,” omel Naila dari kursi putarnya.Didengarnya Adrian menghela nafas, lalu disusul oleh Hilda di sebelah pemuda itu. Naila hanya bisa menggelengkan kepala, tanpa tega untuk memarahi keduanya, karena keadaan yang memaksa kedua bersaudara itu jadi hilang arah dan tujuan.Naila melirik kalender kecil di meja kerjanya, dan melihat dua tanggal yang ditandai dengan spidol biru oleh Dian.“Besok aku harus ke luar kota?” Naila menanyai Dian yang duduk di meja kerjanya.Merasa ada yang memanggil
Bab 24: Rumah Sederhana Milik Siapa?Mobil yang disetiri Naila memasuki pedesaan yang berada di pinggiran Kota Bandung. Ketiganya hanya bisa melirik ke luar dari jendela mobil, saat mendapati suasana baru yang hanya bisa dilihat dari layar TV kini tersaji di depan mereka.Perlahan, Naila membawa pelan mobilnya, menyisiri setiap sudut dari desa yang terlihat lengang. Tidak banyak penduduknya yang lalu lalang, dan tidak ada hewan-hewan yang berkeliaran.Meski sebuah pedesaan, desa yang didatangi ketiganya sudah termasuk maju dan tersentuh peradaban. Sawah-sawah di kiri dan kanan jalan sudah dijamah oleh teknologi-teknologi terbaru yang mempercepat pekerjaan. Tidak sampai di situ, sekolah-sekolah yang berderet di sana, bukanlah sekolah biasa dengan atap yang rusak atau lapangan yang seadanya, melainkan sekolah-sekolah yang mampu bersaing dengan sekolah di kota tempat ketiganya berada. Gedung tingkat dua dan lapangan yang bagus.Naila menghel
Bab 25: Keluarga Jim“Kak?” bisik Adrian.Pemuda itu merasa heran dengan wanita yang hanya berdiri diam di pintu rumahnya. Tidak hanya diam, bahkan wanita berparas ayu itu tidak kunjung menjawab pertanyaan Naila.“Apa kami salah alamat, Bu?” tanya Naila lagi.Gadis itu menahan sebal karena wanita yang ditanyai masih enggan membuka mulut. Bibirnya terbungkam rapat, namun kedua matanya berbicara jika perasaannya sedang terluka.Melihat gelagat aneh dari wanita itu, Naila memutuskan untuk berbalik, lalu berucap kepada kedua adiknya, “Sepertinya kita salah rumah, cepat pergi!”“Enggak, Kak?! Aku belum ketemu Xavier,” rengek Adrian. Pemuda itu semakin memeluk kuat gitar tua yang diisukan sebagai milik Xavier.Naila mendelik tajam, dirinya tidak menerima apapun bentuk bantahan baik dari Adrian maupun Hilda. Hanya satu ingin Naila saat ini, sesegera mungkin untuk pergi dari rumah orang asing.“Kalian mencari putraku?” Sontak saja Adrian mengangguk. Sahutan pelan dari arah punggung Naila memb
Bab 26: Jelaskan, Paman Jim!“Adrian, diamlah! Jangan bawa masalah di rumah,” tegur Naila lagi.Adrian yang menyadari kesalahannya barusan segera menutup mulut. Berulang kali dia merutuki kesalahan fatal yang seharusnya tidak dia lakukan.Perihal menghilangnya Jey dan Gabriel yang putus asa mencari keberadaannya itu, tidak seharusnya dia umbar pada siapapun. Bagi Keluarga Halim, itu adalah rahasia yang harus mereka jaga sampai mati.Bukan tanpa alasan keluarga kaya itu memilih untuk mencari keberadaan Jey secara diam-diam selama puluhan tahun. Keluarga itu khawatir jika hal ini diangkat oleh media, maka akan mengundang banyak orang-orang tidak bertanggungjawab, yang nantinya akan mempersulit keadaan, dan semakin sulit menemukan keberadaan pria itu.Mengingat hal ini, Adrian semakin menyesali kecerobohannya sendiri. Tidak seharusnya dia besar mulut hingga dengan mudahnya membeberkan rahasia yang dijaga keluarga.&
Bab 27: KeteganganKetegangan terasa sangat kuat di antara Naila dan Jey. Keduanya masih beradu melalui sorot mata yang tajam. Baik Jey maupun Naila enggan mundur dan memilih bertahan. Jey bertahan untuk menyembunyikan rahasianya, dan Naila bersikokoh untuk membongkar penyamaran Jey.“Apa harus begini, Paman?” Xavier memberanikan diri.Seketika Naila dan Jey berhenti beradu tatap. Menggunakan ujung jemarinya, Naila mengusap pelan sudut matanya yang berair. Patutlah kemarin dirinya merasakan keanehan saat melihat Jey, ternyata ini semua disebabkan oleh ikatan yang mendalam di antara keduanya.“Kenapa Om bersembunyi?” lirih Naila.Gadis itu memilih untuk membelakangi Jey, dirinya tidak ingin memperlihatkan kedua matanya yang basah pada pria itu. “Apa Om tahu bagaimana sulitnya hidup papa selama ini? Papa mencari Om kemana-mana hingga putus asa,” lanjut Naila lagi. Suaranya yang sedari tadi tinggi m
Bab 28: Interogasi dan CurigaTubuh Hilda menegang saat melihat tatapan yang tersorot pada ketiganya. Tidak hanya Ayunda yang ada di sana, juga Wahyu, Moly bahkan Bagas. Keluarga besar Halim sudah berkumpul di ruang tamu dengan berbalut wajah cemas.Tatapan mereka tertuju pada ketiganya yang hanya bisa berdiri diam. Enggan mengangkat pandangan apalagi bersuara.“Duduk dulu, Sayang?!” Gabriel memerintah.Adrian yang mendengarnya segera menurut, baru langkah pertama, suara bariton Queen terdengar, “Berdiri di situ!” Seketika ketiganya kembali ke tempat semula dengan ekspresi yang lebih tegang.“Kalian dari mana?” Queen memulai interogasinya, disusul oleh Ayunda yang siap memberikan ceramah semalaman.“Urusan kantor.” Naila mencoba membela.“Jangan berbohong, Naila. Aku tidak membesarkanmu sebagai pembohong. Jawab Mama dengan jujur! Kalian dari mana? Urusan kerjaan se
Bab 48: Suatu Sore di LA“Kenapa gaun lagi, Sayang?” Pria bermanik mata hazel itu tidak henti-hentinya mengeluh setelah melihat outfit sang istri yang lebih mirip model. Padahal, jika mengikuti rencana awal, mereka hanya akan menghabiskan waktu yang indah di MacArthur Park sembari menikmati sore nan romantis bersama.“Memangnya kenapa?” balas sang istri. Dia menata ulang rambut panjangnya yang tergerai hingga punggung, sebelum akhirnya menjempit anak rambut dengan jepitan mungil yang dibelikan sang suami saat masih di negara sendiri.“Naila ... aku tidak suka jika pria-pria bule itu menatap kaki dan lenganmu! Ganti saja dengan jeans dan kemeja lengan panjang!” keluhnya lagi.“Astaga, Xavier?! Apa kamu lupa siapa penyebabnya? Apa kamu lupa betapa panjangnya malam tadi hingga bangun pagi ini, tubuhku terasa remuk? Pinggangku linu, bahkan seluruh tubuh sakit. Aku kesulitan berjalan jika mengenakan je
Dua sosok yang mengira akan bersama dua tahun lalu itu, kini duduk saling berhadapan dalam bisu. Gadis yang tersenyum tipis itu menghentikan kekakuan dengan menyodorkan selembar undangan nuansa emas serta mengeluarkan harum ke arah pemuda di hadapannya. Dia tersenyum Seraya berujar, “Semoga kamu bisa datang, ya?”“Kamu mengundangku?” selidik pemuda itu.Dia terus berusaha menahan segala tanda tanya yang terus berkecamuk saat melihat mantan kekasih yang pernah dipermainkannya itu berbesar hati mengundang dirinya. Padahal, hubungan keduanya berakhir dengan saling membalas satu sama lain.“Yap ... tidak ada alasan untuk tidak mengundangmu, Rey?!” balas gadis itu.“Setelah kamu menghancurkan karierku, Naila?”“Kamu juga menghancurkan hidupku, Rey. Kamu memanfaatkanku, demi menaiki dunia hiburan itu.” Naila terus berbicara dalam nada rendah. Sekalipun dia tidak me
Bab 46: Peringatan!Kekerasan tidak menyelesaikan segalanya. Adegan di dalamnya hanya sebagai alur dari cerita dan bukan sebagai contoh dalam menghadapi sesuatu di dalam kehidupan.--“Heh! Tikus got kemarin sore nantangin kita, Bro!” Pria bertopi bannie berujar dengan nada merendahkan. Sudut bibir kanannya naik, karena merasa jika Net tidak sebanding dengan dirinya apalagi melawan mereka berdua. Ditambah lagi, pemuda yang berdiri dengan wajah melongo di belakang Net terlihat lebih lemah dari Naila, sehingga rasa percaya dirinya naik berkali-kali lipat hanya dalam waktu yang sangat singkat.“Sebentar, sepertinya gadis ini bukan gadis biasa,” lirih pria berperut buncit dengan tatapan penuh selidik. Dia terus memperhatikan kuda-kuda dari Net serta bentuk tubuh dari gadis itu.Merasa yakin dengan firasatnya, dia kembali memperkuat genggamannya pada belati yang sedari tadi dia gunakan u
Bab 45: Dua Penjahat II“Berhentilah menjerit, kamu akan aman bersamaku, Sayang,” bisik seseorang itu. Naila yang sedari tadi menatap paras penolongnya mulai bersikap tenang. Gadis itu berhenti menjerit, dan memilih untuk mengatur napasnya yang berkejaran.“Kemarilah, peluk aku, Nail.” Pemuda itu melepaskan bekapannya di mulut Naila setelah melihat gadisnya, lalu mengulurkan kedua tangannya demi menyambut gadisnya yang masih begitu ketakutan. Naila yang mengenali dan merindukan pemuda itu, segera menghambur, memeluk seerat mungkin pemuda yang semalam hampir tidak bisa dilihatnya lagi.Keduanya berbagi pelukan dalam. Xavier terus berusaha menghentikan Naila yang menangis terisak dengan membelai punggungnya, sedang Naila semakin mempererat pelukannya pada Xavier, membenamkan wajahnya di pelukan pemuda itu demi memastikan sekali lagi jika pria yang menolong dirinya benar-benar kekasihnya sendiri.“Ke mana gadis
Bab 44: Dua PenjahatHampir satu jam lamanya gadis dengan rambut kuncir kuda atau pony tail itu berdiri di jendela kamarnya yang tertutup tirai putih gading. Tatapannya terus menyisir ke seluruh bagian dari taman belakang rumah yang menjadi pemandangan dari kamarnya. Berulang kali, gadis yang diberi nama Naila itu mencebik, sebab jumlah penjaga yang berjaga hari ini jadi dua kali lipat dibanding sebelumnya.Pagi tadi, tidak ada angin ataupun hujan, sebelum berangkat bekerja, Gabriel memberi perintah pada para penjaga untuk meningkatkan keamanan dan tidak memberi Naila izin untuk keluar tanpa keamanan. Itulah sebabnya, gadis berparas cantik itu menjelma menjadi burung dalam sangkar emas. Tidak ada teman yang bisa menemaninya saat ini, hanya kesunyian yang menjadi sahabat baik gadis itu di kamarnya yang feminin.Di tengah keputusasaan itu, Naila mendengar seseorang bersuara keras dari luar sana. Gelak tawanya memecah sunyi hingga menembus
Bab 43: Keputusan“Xavier, berhentilah! Kamu keterlaluan,” seru Naila. Gadis itu terus mengulangi permintaannya terhadap pemuda yang semakin beringgas merengkuh dirinya.Xavier mengendus dalam-dalam aroma harum dari tubuh Naila, lalu dihadiahinya sebuah kecupan di setiap senti pundak gadis itu. Tanpa henti, tanpa rasa puas. Xavier berubah menjadi monster dengan sorot mata yang kelam hingga tidak mampu mendengar jerit putus asa dari gadis yang disukainya.“Xavier, ada apa denganmu? Hentikan! Kamu menyakitiku, Xavier?!” Naila terus menghujamkan pukulan demi pukulan ke setiap bagian yang bisa dia raih dari tubuh pemuda itu. Namun, semakin beringas pula cumbuan di lehernya yang jenjang serta wajahnya yang lembab.“Aku tidak mau kehilanganmu, Nail,” desah Xavier setelah berhenti mencumbu Naila. Pemuda itu memutuskan untuk merebahkan wajahnya yang menghangat di pundak Naila yang terus bergerak turun dan naik.
Bab 42: Aku Tidak Akan Menyerah“Aku akan melaporkannya pada polisi, Presdir!” saran Jey setelah berpikir cukup lama.“Jangan, Jey! Hal seperti ini hanya akan mengundang wartawan untuk datang ke rumah. Permasalahan pertunangan Naila yang dibatalkan saja sudah cukup menyusahkan. Jika permasalahan seperti ini masuk ke pihak polisi, maka akan menyeret seluruh keluarga dan nama baik perusahaan. Sebaiknya, kita menyelidiki lebih dulu. Aku yakin, ini menyangkut perusahaan,” tahan Bagas tanpa beranjak dari duduknya.Suasana seketika menghening kembali. Setiap anggota keluarga Halim yang berada di rumah itu saling berpikir dalam diam, begitu juga dengan Naila dan Adrian yang masih syok dengan kejadian yang baru saja menimpa keduanya.“Tunggu! Aku ingat sesuatu.” Jey bangkit dari sofa lalu berjalan mendekati Naila yang masih duduk dengan dipeluk oleh Queen.Gadis itu memasang wajah muram, sedikit menengad
Bab 41: Ancaman“Kamu akan berdiri saja di situ?” geram Naila.Sorot matanya terus menatap ke arah gadis berambut pendek yang berdiri tegap tepat di sisi mejanya. Gadis itu melipat kedua tangan di belakang punggung, kedua kakinya tegap, bahkan ekspresinya datar menatap ke luar ruangan.“Apa kamu tidak lelah, hah?” lanjut Naila masih dengan intonasi kesalnya.Sudah semingguan ini, gadis tanpa ekspresi itu menjadi bodyguard yang mengekorinya ke mana pun, termasuk ke kamar mandi. Bahkan, gadis ini tidak menurut jika Naila memintanya untuk menunggu di luar.“Aku tidak butuh Bodyguard, Net!” seru Naila. Dirinya tidak bisa berhenti mencebik, mengingat bagaimana terkekangnya hidupnya setelah Net hadir.“Memangnya kamu enggak punya kerjaan lain, apa? Selain ngekorin aku?”“Kerjaan saya mengikuti Anda, Nona!” balas Net tanpa mengendurkan ekspresi din
Bab 40: Alasan Kembali dan Sindiran Andrian“Saya, Presdir?” Xavier menunjuk dirinya sendiri dengan wajah bingung. Baik Queen dan Naila berhenti sejenak, memandangi Gabriel yang masih menatap Xavier dengan sorot matanya yang dalam.“Ayo, Naila ... kamu harus istirahat,” ajak Queen seraya sedikit memaksa putrinya. Wanita itu sadar jika sang suami punya urusan pribadi dengan Xavier.Dengan berat hati, Naila membiarkan Xavier menghadapi Gabriel seorang diri. Membiarkan pemuda itu dalam sulitnya berhadapan dengan Gabriel, demi menutupi kenyataan jika keduanya mulai bersama sejak hari ini. Meski langkahnya terasa berat, tetap saja dia beranjak mengiringi langkah kaki Queen.“Kita bicara di ruang kerjaku. Jika kedua orangtuamu melihatmu, sudah pasti mereka akan menyeretmu bersamanya,” ujar Gabriel lagi seraya memimpin langkah.Pria itu melepas kacamatanya, lalu berjalan ke arah ruang kerja yang selama