Bab 22: Malam Panjang Bersama Xavier
Kegusaran yang semakin menjadi membuat Naila berubah bak seonggok patung di singgasananya yang bisa berputar. Dirinya sendiri belum bisa sepenuhnya menyadari bentuk perubahan yang diucapkan Gabriel tadi, sehingga membuatnya berusaha menemukan penyebab dari alasan perubahan yang terjadi.
Lama Naila terdiam dengan segala macam pikiran yang memenuhi kepalanya. Berbagai pertimbangan mulai bermunculan, yang sukses membuatnya sibuk menerka-nerka sendirian.
Bagaimana mungkin pertemuan dengan Xavier telah membawa begitu banyak dampak dalam hidupnya? Dia Naila, gadis yang menghabiskan hari dengan menerima umpatan orang-orang terhadapnya itu tidak akan mungkin berubah dengan begitu cepat.
Merasa putus asa, gadis itu menekan keningnya yang berdenyut dengan ibu jari dan telunjuknya, memijat pelan sembari mengingat-ngingat, setiap moment yang sudah dia lalui dengan pemuda itu. Naila juga ingat, jika tidak ada satu
Bab 23: Rencana NailaNaila memicingkan mata ke arah dua pemuda dan pemudi yang lebih lemas dari pada kue beras. Keduanya bak manusia tanpa tulang. Duduk bersandar di kursi saja seakan tidak bertenaga, apalagi diminta untuk berdiri. Alhasil, mereka berdua hanya rebahan di atas meja, tanpa melakukan apa-apa.“Tsk! Dasar anak-anak malas. Selama ini mereka bergantung sama Xavier. Jadinya begini kalau yang digantungi hilang,” omel Naila dari kursi putarnya.Didengarnya Adrian menghela nafas, lalu disusul oleh Hilda di sebelah pemuda itu. Naila hanya bisa menggelengkan kepala, tanpa tega untuk memarahi keduanya, karena keadaan yang memaksa kedua bersaudara itu jadi hilang arah dan tujuan.Naila melirik kalender kecil di meja kerjanya, dan melihat dua tanggal yang ditandai dengan spidol biru oleh Dian.“Besok aku harus ke luar kota?” Naila menanyai Dian yang duduk di meja kerjanya.Merasa ada yang memanggil
Bab 24: Rumah Sederhana Milik Siapa?Mobil yang disetiri Naila memasuki pedesaan yang berada di pinggiran Kota Bandung. Ketiganya hanya bisa melirik ke luar dari jendela mobil, saat mendapati suasana baru yang hanya bisa dilihat dari layar TV kini tersaji di depan mereka.Perlahan, Naila membawa pelan mobilnya, menyisiri setiap sudut dari desa yang terlihat lengang. Tidak banyak penduduknya yang lalu lalang, dan tidak ada hewan-hewan yang berkeliaran.Meski sebuah pedesaan, desa yang didatangi ketiganya sudah termasuk maju dan tersentuh peradaban. Sawah-sawah di kiri dan kanan jalan sudah dijamah oleh teknologi-teknologi terbaru yang mempercepat pekerjaan. Tidak sampai di situ, sekolah-sekolah yang berderet di sana, bukanlah sekolah biasa dengan atap yang rusak atau lapangan yang seadanya, melainkan sekolah-sekolah yang mampu bersaing dengan sekolah di kota tempat ketiganya berada. Gedung tingkat dua dan lapangan yang bagus.Naila menghel
Bab 25: Keluarga Jim“Kak?” bisik Adrian.Pemuda itu merasa heran dengan wanita yang hanya berdiri diam di pintu rumahnya. Tidak hanya diam, bahkan wanita berparas ayu itu tidak kunjung menjawab pertanyaan Naila.“Apa kami salah alamat, Bu?” tanya Naila lagi.Gadis itu menahan sebal karena wanita yang ditanyai masih enggan membuka mulut. Bibirnya terbungkam rapat, namun kedua matanya berbicara jika perasaannya sedang terluka.Melihat gelagat aneh dari wanita itu, Naila memutuskan untuk berbalik, lalu berucap kepada kedua adiknya, “Sepertinya kita salah rumah, cepat pergi!”“Enggak, Kak?! Aku belum ketemu Xavier,” rengek Adrian. Pemuda itu semakin memeluk kuat gitar tua yang diisukan sebagai milik Xavier.Naila mendelik tajam, dirinya tidak menerima apapun bentuk bantahan baik dari Adrian maupun Hilda. Hanya satu ingin Naila saat ini, sesegera mungkin untuk pergi dari rumah orang asing.“Kalian mencari putraku?” Sontak saja Adrian mengangguk. Sahutan pelan dari arah punggung Naila memb
Bab 26: Jelaskan, Paman Jim!“Adrian, diamlah! Jangan bawa masalah di rumah,” tegur Naila lagi.Adrian yang menyadari kesalahannya barusan segera menutup mulut. Berulang kali dia merutuki kesalahan fatal yang seharusnya tidak dia lakukan.Perihal menghilangnya Jey dan Gabriel yang putus asa mencari keberadaannya itu, tidak seharusnya dia umbar pada siapapun. Bagi Keluarga Halim, itu adalah rahasia yang harus mereka jaga sampai mati.Bukan tanpa alasan keluarga kaya itu memilih untuk mencari keberadaan Jey secara diam-diam selama puluhan tahun. Keluarga itu khawatir jika hal ini diangkat oleh media, maka akan mengundang banyak orang-orang tidak bertanggungjawab, yang nantinya akan mempersulit keadaan, dan semakin sulit menemukan keberadaan pria itu.Mengingat hal ini, Adrian semakin menyesali kecerobohannya sendiri. Tidak seharusnya dia besar mulut hingga dengan mudahnya membeberkan rahasia yang dijaga keluarga.&
Bab 27: KeteganganKetegangan terasa sangat kuat di antara Naila dan Jey. Keduanya masih beradu melalui sorot mata yang tajam. Baik Jey maupun Naila enggan mundur dan memilih bertahan. Jey bertahan untuk menyembunyikan rahasianya, dan Naila bersikokoh untuk membongkar penyamaran Jey.“Apa harus begini, Paman?” Xavier memberanikan diri.Seketika Naila dan Jey berhenti beradu tatap. Menggunakan ujung jemarinya, Naila mengusap pelan sudut matanya yang berair. Patutlah kemarin dirinya merasakan keanehan saat melihat Jey, ternyata ini semua disebabkan oleh ikatan yang mendalam di antara keduanya.“Kenapa Om bersembunyi?” lirih Naila.Gadis itu memilih untuk membelakangi Jey, dirinya tidak ingin memperlihatkan kedua matanya yang basah pada pria itu. “Apa Om tahu bagaimana sulitnya hidup papa selama ini? Papa mencari Om kemana-mana hingga putus asa,” lanjut Naila lagi. Suaranya yang sedari tadi tinggi m
Bab 28: Interogasi dan CurigaTubuh Hilda menegang saat melihat tatapan yang tersorot pada ketiganya. Tidak hanya Ayunda yang ada di sana, juga Wahyu, Moly bahkan Bagas. Keluarga besar Halim sudah berkumpul di ruang tamu dengan berbalut wajah cemas.Tatapan mereka tertuju pada ketiganya yang hanya bisa berdiri diam. Enggan mengangkat pandangan apalagi bersuara.“Duduk dulu, Sayang?!” Gabriel memerintah.Adrian yang mendengarnya segera menurut, baru langkah pertama, suara bariton Queen terdengar, “Berdiri di situ!” Seketika ketiganya kembali ke tempat semula dengan ekspresi yang lebih tegang.“Kalian dari mana?” Queen memulai interogasinya, disusul oleh Ayunda yang siap memberikan ceramah semalaman.“Urusan kantor.” Naila mencoba membela.“Jangan berbohong, Naila. Aku tidak membesarkanmu sebagai pembohong. Jawab Mama dengan jujur! Kalian dari mana? Urusan kerjaan se
Bab 29: Rumit“Ma? Mama ngapain?”Queen tersentak kaget, tangannya yang berkeringat dingin segera menyembunyikan selembar foto tersebut lalu menghalangi tumpukan berkas kantor Naila dengan tubuhnya. Wanita itu berbalik, memasang wajah setenang mungkin, berhiaskan senyum cantik meski pelipisnya banjir.“Tante Queen rupanya,” lirih gadis yang masih setengah terjaga dengan bando kelinci yang tersemat di rambutnya.Queen menghela napas lalu merutuk berulangkali setelah sadar jika Hilda yang memanggil dirinya, sedangkan Naila, masih berkutat di kamar mandi. Wanita itu segera merapikan kembali tumpukan berkas, namun enggan mengembalikan selembar kertas milik Naila.“Bangunlah, Hild! Mandi dan sarapan, Om Gabriel sudah menunggu daritadi,” omel Queen berpura-pura demi menekan kegugupannya sendiri. Payah sekali dirinya dalam hal berbohong, dan dia menyadari hal itu.“Iya ... sebentar lagi, Ta
Bab 30: Balasan Naila“Kenapa lagi, ya?!” bisik Hilda. Gadis itu mengerutkan kening setelah melihat perubahan mood dari Naila yang begitu cepat.“Entahlah, mungkin Direktur Tanto bikin Kak Naila kesel lagi,” respon Adrian dingin.Sama halnya dengan Hilda, Adrian juga tidak tertarik untuk mengorek terlalu jauh perihal Naila dan atasannya. Urusan pekerjaan selalu membosankan untuk Adrian, apalagi jika menyangkut tentang perusahaan.“Tapi ... minggu ini beneran jadi, kan? Ke rumahnya Paman Jim?” bisik Hilda lagi. Kedua manik matanya yang indah berubah berbinar. Bayangannya tentang berkemah di depan rumah Jey yang hijau serta ikut ke kebun jeruk menjadi agenda yang sudah terpatri di kepala gadis itu.Begitu mendengar Hilda, Adrian segera membekap mulut sepupunya, meminta agar Hilda menekan sepelan mungkin suaranya. “Hati-hati kalau ngomong, Sekretaris Dian itu mata-matanya Presdir, Hild.”