Francesca memutuskan untuk melepaskan pakaian basah yang membuatnya semakin kedinginan. Dia memeras pakaian hingga air menetes dengan deras. Kali ini dia bingung, haruskah ia mengenakan kembali pakaian basah itu atau menyampirkan di meja seperti yang dilakukan oleh Enrico.
Gadis yang selalu dilayani dan tidak pernah hidup menderita semenjak tinggal dengan orang tua angkatnya, memutuskan untuk mengikuti tindakan pria itu. Dia menyampirkan pakaiannya, dengan keyakinan jika kegelapan malam tidak akan bisa ditembus oleh mata biru itu.Gadis cantik itu berjongkok dengan memeluk lututnya. Dia bersandar di dinding gubuk sambil menatap ke arah celah jendela kayu, memandang hujan yang tak kunjung berhenti.Matanya tanpa sadar terpejam. Tubuhnya sudah sangat lelah melalui banyak hal hari ini. Gadis itu akhirnya tertidur sambil memeluk dirinya sendiri. Melupakan jika dia berada satu ruangan dengan monster yang juga tak berpakaian.Cahaya kilat, memberikaDi depan pintu Kastil, Rebecca melonjak kegirangan saat melihat Enrico datang. Semalaman gadis itu merasa ditelantarkan, sendirian di dalam kastil besar dikala hujan deras yang mengguyur. Wanita itu berlari dengan cepat ke arah Enrico, memeluk pria itu dan menyandarkan kepalanya di dada bidang yang berbalut pakaian setengah kering."Enrico kemana saja dirimu? Semalaman aku mencemaskan dirimu, hingga aku tidak dapat makan dengan nikmat apalagi tidur dengan tenang," rengeknya manja.Enrico memegang bahu wanita itu dan mendorongnya untuk melepaskan pelukan yang terasa mengganggu. Enrico melangkah masuk ke dalam kastil dengan diikuti oleh Francesca. Mata Rebecca seketika menyala melihat gadis itu."Dia! Kau berhasil menemukan budak bodok ini?!" Rebecca menyeringai gembira.Wanita itu merasa sangat senang karena Enrico begitu perhatian padanya, hingga mencari dan menbawa budak yang sudah menyinggung dirin
"Ikuti aku," ucap Enrico saat Francesca selesai menikmati makanannya.Tanpa banyak membantah, gadis itu berdiri dari duduknya dan mulai mengikuti arah langkah Enrico. Pria itu berjalan ke luar kastil, tampaknya mereka akan menuju ke perkebunan. Saat melihat Enrico pergi begitu saja, tanpa menghiraukan dirinya, Rebecca langsung berteriak menyusul. "Aku ikut!"Enrico yang awalnya hendak membawa Francesca berkuda bersamanya, mengurungkan niatan itu. Dia ubah arah langkah kaki dari menuju ke kandang kuda, menjadi ke tempat di mana mobil golf di parkirkan.Rebecca tentu saja langsung berinisiatif duduk di depan di sebelah Enrico."Cepatlah naik!" seru Enrico ketika Francesca masih diam berdiri disamping mobil golf.Mendengar perintah Enrico, gadis cantik itu menjadi heran. Pertama kalinya Enrico mengijinkan dia duduk di mobil golf itu. Berbeda dengan biasanya, dia akan berjalan di belakang mobil golf.Menerima tatapan tajam dari tuannya, Francesca sege
"Aaarkkkk!" Francesca memekik ketika merasakan tarikan di rambutnya. Dia seketika menjadi marah. Gadis itu dengan sekuat tenaga memutar tubuhnya, hingga Rebecca yang duduk di atas punggung Francesca menjadi terkejut.Rebecca berguling di bawah gadis itu. Punggung halusnya membentur tanah dengan keras. Francesca langsung menaiki tubuh wanita itu, kemudian tangannya dengan keras menahan bahu Rebecca sementara tangan lainnya menampar wanita itu.PLAK! PLAK! Dua tamparan keras diterima Rebecca tanpa bisa menghindar. Ini pertama kali dalam hidupnya, Francesca bersikap bar-bar. Tidak pernah sebelumnya dia berkelahi dengan siapapun. Tekanan yang dia rasakan selama di pulau ini, membangkitkan sikap petahanan diri."Aaargghhh!" Rebecca menjerit kesakitan. Pipinya memerah dan air mata mulai merembes keluar karena rasa sakit yang dia terima. Wanita itu marah dan berusaha membalas tamparan gadis itu.Francesca masih menghimpit tubuh
Saat mendengar bunyi air sungai yang bergemericik, Enrico membalikan tubuhnya. Seketika tubuh pria itu membeku, matanya terpana menatap keindahan cipataan Tuhan dalam wujud Bidadari tak bersayap.Gadis itu berenang dengan kepala yang timbul dan tenggelam. Berputar ke depan dan ke belakang. Saat kepalanya tersembul, wajah cantik yang polos itu begitu mempesona.Jantung Enrico berdegub kencang, ketika melihat bidadari itu duduk di sebuah batu yang besar. Ia bersenandung dengan lirih sambil menggosok tubuhnya. Kulit halus dan bersih itu tersembul di sela-sela kain yang melilit tubuhnya.Pria tampan bermata biru dengan alis gelapnya yang sangat sempurna itu, tak dapat mengalihkan pandangan matanya pada sosok gadis tersebut. Tubuh gadis itu tidak terekspos, seperti halnya wanita-wanita bebas dengan bikini yang sering dia lihat.Tapi ... ada keindahan yang membuatnya terpana. Ia terpesona dengan segala perasaan yang tak dia m
Rebecca memandangi Francesca dengan mata yang ingin menguliti. Semalaman ia menunggu Enrico membawa gadis itu kembali, tapi hingga dirinya terlelap, mereka belum juga kembali.Dan pagi ini, dia melihat budak liar itu dalam keadaan baik-baik saja. Lalu apa hukuman yang sudah diberikan Enrico padanya? Hal itu membuat Rebecca semakin tidak suka. Pikiran dan perasaannya diliputi dengan tanda tanya.Mereka makan semeja lagi. Enrico, Rebecca dan Francesca. Rebecca semakin risih mengetahui dia duduk semeja dengan seorang budak, yang berderajat lebih rendah daripada seorang pelayan. Bahkan budak itu itu menyuapi Enrico dan makan satu alat makan dengan pria tampan itu."Berikan padaku, sendok dan garpu milik Enrico!" pinta Rebecca dengan ketus, saat dia melihat Enrico sudah selesai makan. Dia tahu, selanjutnya adalah giliran gadis itu yang akan menyatu dengan saliva pria tampan disampingnya.Francesca tersenyum dalam
Sepeninggal Enrico menuju perkebunan, Rebecca mulai melancarkan aksinya. Wanita itu dengan diikuti oleh Eva, menggedor pintu kamar Francesca.Sebenarnya Francesca enggan membuka pintu kamar, tetapi suara berisik yang ditimbulkan oleh kedua wanita itu, membuat ia terpaksa membukanya."Kau, Budak liar sudah berani berlagak ya!" Rebecca menerobos masuk dan melihat seisi kamar."Apa kau tahu? Baju yang kau kenakan ini, semua Enrico yang membelikannya untukku." Rebecca menepiskan pakaian yang dikenakan oleh Francesca dengan sombong."Tapi ... tidak apa-apa, kau pakai saja semua baju bekas itu. Enrico sudah membiarkan diriku membeli pakaian baru lainnya. Lagipula aku adalah anak Gubernur yang terhormat," ujar Rebecca dengan angkuh."Nona, bisakah anda memberiku beberapa pakaianmu yang indah ini?" pinta Eva dengan mata yang berbinar."Tentu saja. Kau adalah penjilat terbaik yang aku miliki." Dengan an
Tak pernah sebelumnya terjadi pada Enrico, sebuah perasaan rindu yang menyesakan. Dia adalah tipe pria yang sabar dalam menyelesaikan segala sesuatu, pekerjaan atau permasalahan.Tetapi ... saat ini bahkan dia berkali-kali ingin meninggalkan perkebunan. Rasa tak sabar menanti matahari bergulir ke arah barat, ternyata sangat menyiksa.Pria itu tak mengerti kenapa dia harus meloncat dengan cepat ke atas si Brown dan memacunya dengan cepat ke arah Kastil. Yang dia inginkan adalah melihat keadaan budak liarnya.Wanita yang seharusnya menjadi pelampiasan dendam dan amarah itu, entah mengapa perlahan bergeser menjadi wanita yang ingin dia lindungi. Perasaan benci itu entah mulai kapan bergeser.Saat tiba di Kastil, dia bahkan tidak menambatkan kudanya. Membiarkan seorang pekerja untuk melakukan hal itu. Lelaki tampan itu langsung masuk ke dalam Kastil melewati Serra yang mengangguk hormat menyapanya.Tapi ... kamar yang bi
Enrico memandang heran pada Francesca yang masih berdiri dengan sikap kaku. Setelah semua kebaikannya, gadis ini sudah berani melawan. Enrico tiba-tiba merasa terlalu memanjakan budak liar itu."Sudahlah, Sayang. Biarkan saja dia pergi. Biar aku saja yang menemanimu makan. Aku suapi yaa, aaa ...." Rebecca menyondorkan sendok yang berisi campuran kentang tumbuk dan sepotong daging.Francesca bisa melihat dari sudut matanya, saat Enrico menghindari suapan dari Rebeca. Bahkan pria itu mendorong tangan wanita cantik itu me jauhi dirinya."Aku bisa makan sendiri!" Dengan gerakan kasar pria yang bertangan kekar dan kulit terbakar matahari, memotong daging lalu memakannya.Francesca masih berdiri bagaikan seorang robot di dekat mereka. Dalam hati dia menggerutu kesal dengan penolakan Enrico. "Hi ih dasar Monster Jelek! Giliran Nona Rebecca menyuapimu, kenapa harus menolak! Menyusahkan saja. Semoga wan
SATU TAHUN KEMUDIAN "Kau sudah pastikan kalau bekal Frans sudah disiapkan Denisa?" Napas Francesca tersengal ketika menanyakan hal itu. "Iya sudah. Jangan mengkhawatirkan hal itu. Frans akan baik-baik saja." Enrico tampak memegang tangan Francesca dengan cemas. Butiran keringat dingin menghiasi kening wanita cantik yang bertambah pucat itu. Tangan dinginnya dalam genggaman tangan Enrico yang hangat. "Frans … apakah … dia menanyakanku?" Sesaat setelah rasa sakitnya mereda Francesca kembali mengkhawatirkan Frans, anak sulungnya. "Tentu saja. Dia sangat merindukanmu. Kau harus kuat dan sehat ya. Kami memerlukan dirimu." Enrico dengan sabar mengelus rambut Francesca.
"Duh, Kak Francesca cakep banget." Anna menautkan tangannya di lengan kakak perempuannya. "Kau juga cantik sekali Anna dan kau juga sangat menawan. Tak di sangka kalian bisa tampil sangat anggun dan dewasa." Di tengah keluarganya, Francesca merasa kebahagiaannya nyaris sempurna. "Kita 'kan sudah dewasa bukan anak-anak lagi," sahut Anna dan Adelaide bersamaan. "Iya, sudah bisa berpacaran." Francesca menertawakan wajah mereka yang seketika manyun. "Apa ada yang sudah memiliki pacar?" "Anna itu banyak yang 'nembak' tapi dia suka pilih-pilih." "Apaan sih, Adelle!" Semburat merah muda membuat wajah Anna bertambah cantik. "Benarkah? Sssttt pacaran saja, jangan seperti
"Nyonya Francesca Torres? Mari lewat sini." Seorang wanita yang anggun menghampiri Francesca.Francesca menatap heran ke arah seorang wanita tak dikenalnya yang bergaun indah. Sebuah alat terselip di telinga yang membuat dia bisa berkomunikasi dengan orang lain. Wanita itu segera memimpin langkah dan memisahkan Denisa dari Francesca. Meskipun heran Francesca tetap mengikuti langkah wanita yang membawa dirinya ke pintu utama.Anggukan kecil dari wanita tersebut merupakan tanda yang dimengerti oleh pengawal, mereka segera membuatkan pintu.Mata hazel Francesca seketika menyipit ketika melihat kemewahan dan kemeriahan acara di dalamnya. Dia termangu menatap ratusan pasang mata yang seketika menatap ke arahnya seolah mereka sudah menantikan kehadirannya.Musik lembut k
Francesca mematut dirinya di depan cermin, perubahan penampilan yang sangat luar biasa terjadi pada dirinya saat ini. Wajah polos, imut dan manis itu telah berubah penuh riasan memukau yang sangat dewasa dan anggun.Dia hampir tak percaya ketika Leonardo mengirimkan seorang penata rias untuk memoles wajahnya dengan warna-warni yang senada. Kecantikan Francesca tampak lebih menonjol setelah tangan-tangan tampil tersebut menghiasi wajahnya. Wajah mungilnya terlihat sangat berbeda membuatnya merasa seakan menatap sosok lain di pantulan cermin."Anda luar biasa cantik dan sangat anggun, Nyonya. Bagaikan putri dalam dongeng." Perias itu memuji kecantikan Francesca. Dia berulang kali memutari tubuh wanita cantik yang baru saja dia dandani.“Sedikit parfum lagi anda akan spektakuler." Perias itu memilih b
"Bagaimana jika mereka bahagia tanpa kehadiranku?" Francesca mengulang pertanyaan Leonardo dengan putus asa.Hati wanita itu seakan terguncang mendengar perkataan Leonardo. Benarkah kehadirannya selama ini tidak pernah memberikan kebahagian? Bagaimana mungkin semua kebahagiaan yang mereka rasakan selama beberapa bulan ini hanya sandiwara?Apakah Enrico begitu marah padanya sehingga harus pergi begitu saja.Jikalau sedari awal dia menceritakan kepada Enrico mengenai status dirinya, apakah semua ini tidak akan terjadi?"Apakah Enrico berkata seperti itu padamu?" Francesca tampak sangat tertekan.Leonardo mengangkat kedua bahunya acuh seraya menyandarkan punggung ke bangku dan menatap ke arah taman. Dia mengalihkan p
"Dad! Apa passport Anna, Adel dan Archie sudah siap?" Anna menghubungi Andrew Knight melalui video call."Sudah beres, Princes.""Lalu, kapan kita mulai berangkat?" Adelaide tiba-tiba sudah di samping saudara kembarnya."Sudah tidak sabar semua ya, my Princes?" Andrew semakin senang menggoda kedua putri kembarnya yang beranjak dewasa."Iyalah, ini kan pertama kalinya kami bisa keluar negeri." serentak Adel dan Anna menjawab perkataan Daddy Andrew."Bukannya kalian sudah pernah ke Indonesia?""Beda Daddy. Ini pertama kali kita ke Eropa dengan pesawat pribadi." Anna mencibir ke arah Andrew Knight."Benar! Iya kalau kak Conrad
Francesca benar-benar merasa terpuruk. Keadaannya sangat labil dan lemah. Wanita cantik itu terlihat kacau dan terus menangis meskipun tidak sekeras sebelumnya. Serra sudah membawa Francesca kembali ke Mansion utama dan menemani wanita itu untuk berbaring di tempat tidur, tapi Francesca menolak dan bersikeras untuk menanti kedatangan Enrico dan Frans di ruang tamu. Francesca bahkan tidak menyentuh makanan yang tersedia hanya segelas coklat hangat yang dipaksakan oleh Serra. Aroma manis dan rasanya yang legit hanya bisa sedikit saja menenangkan hati Francesca. “Ini sudah malam Serra … mereka tidak juga kembali." Suaranya terdengar serak. "Cobalah berpikir tenang dan positif. Enrico tidak mungkin menjauhkan dirim
"Wah, ada telol ayam di kepala Flans dah sekalang." Tangan mungil Frans menggosok keningnya yang sudah membengkak sebesar telur ayam.Gerakan lucu dari wajah imut yang meringis membuat Enrico tertawa sedangkan Francesca tersenyum lebar. Enrico tak hentinya membelai kepala Frans penuh kasih sayang."Muka Flans jelek ya?" Bibir mungil Flans tampak manyun."Nggak. Frans lucu, Frans tetap tampan meskipun ada telur di sini." Enrico memencet dahi anaknya."Aow! Sakit Pappa." Frans menjerit dengan sorot mata marah."Iya, maafkan Pappa. Frans kalau jalan hati-hati ya, tidak perlu berlari dengan kencang apalagi di atas lantai marmer, licin.""Tadi Flans kangen Pap
Baru saja Devonte berbalik dari pintu ruangan Enrico, dia harus kembali berhadapan dengan Francesca. Tak dapat dia gantikan wajah kecemasan dengan senyuman tenang, karena wanita itu sudah menyadarinya."Apa terjadi sesuatu? Kenapa kau tampak muram?" pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Francesca hanya dijawab dengan hembusan nafas Devonte."Apa terjadi sesuatu dengan Enrico? Kalian bertengkar? Bagaimana keadaannya saat ini?" Francesca bergerak maju melewati Devonte dan hendak memegang gagang pintu."Jangan masuk."Tangan Francesca berhenti untuk menggerakkan gagang pintu, dia membalikan tubuhnya dan menatap heran ke arah Devonte."Dia sudah tahu." Perkataan sepintas Devonte masih menimbulkan pert